Merah - At Last - [1/1]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Hei, bukankah dia—"

"Katanya dia melakukan percobaan bunuh diri di sini!"

"Hah?! Benarkah?"

"Sudah kuduga! Hanya karena lelaki itu, kan?"

"Wow! Dasar gila!"

"Gosip ini sudah empat minggu jadi viral!"

"Yang karena lelakinya—"

"Sttss! Dia sudah dekat! Bisa-bisa mendengar kita."

"Vaness!"

Dia yang dibicarakan itu berhenti ketika namanya diserukan. Berbalik dan menemukan gadis sebaya dengannya.

"Kau mau kemana?" tanya gadis itu pelan.

Vanessa, gadis bersurai kecoklatan itu memandang gadis di hadapannya dalam. Enggan menjawab pertanyaan yang dilontarkan.

"Atap," jawabnya, akhirnya.

Gadis yang ada di hadapannya ini siaga. Hendak membuka mulut, namun langsung dipotong Vanessa.

"It's okay."

Vanessa sempat melirik empat gadis yang sedari tadi membicarakannya.

Tidak apa.

Dia sudah biasa.

"Tapi Vaness-"

"Augie Mei, I'am okay. Aku gak bakal lakuin itu, kok," katanya penuh keyakinan.

Menatap lembut gadis berambut hitam legam yang lebih pendek darinya. Augie, gadis itu mengembungkan pipinya.

"Ta-tapi, mereka akan membicarakanmu lagi. Lagi dan lagi jika kau pergi ke sana!" pekiknya kemudian.

Vanessa menatap sekeliling. Mereka jadi pusat perhatian sekarang.

"Aku pantas akan hal itu, kok. Once more, it's okay."

Ya! Dia sudah biasa dibicarakan.

Risih memang, tapi kurasa, hatinya terlalu lemah untuk merasa marah. Peristiwa itu terlalu meremukan hatinya.

"Vaness..."

"Augie, kamu ke kantin saja. Aku akan ke sana sebentar, ya?" ujarnya seraya menyentuh pundak satu-satunya temannya itu.

Hanya Augie. Gadis polos nan lugu yang mengerti kejadian sebenarnya.

Yang tak menjauhinya.

Hanya gadis berambut panjang dengan tubuh kecil nan imut ini.

Dan Vanessa, lagi-lagi tak menyalahkan keadaan.

"Setelah itu kau harus susul aku, oke?" pintanya tegas.

Vanessa tersenyum tipis dan mengangguk.

Ia tak tahu sejak kapan hujan melanda. Menambah rasa sesak di dada.

Perlahan ia berjalan menembus rintik-rintik hujan. Tak memperdulikan resikonya.

Ia mengadah, membiarkan rintik-rintik kecil itu menghujam wajahnya.

"Rein," bisiknya kemudian.

Suara alunan petikan gitar terdengar. Dengan cepat ia menoleh, ke arah sumber suara.

Di tengah guyuran air mata langit, ia melihat. Sosok yang menyenderkan diri di tembok. Memangku gitar dan memetiknya perlahan.

Layak adegan film yang dilambatkan. Ia menahan napas dan menatap.

Sosok itu penuh luka dan kerinduan.

"Rein."

Alunan petikan gitar itu menyatu dengan bunyi rintikan hujan. Menambah suasana sendu di sana.

"Permainanmu masih seindah dulu,

Sayang."

---

Hujan mengguyur kota dengan deras kala itu. Seorang gadis bersurai coklat dengan manik hitam hanya mampu melihatnya dari balik perlindungan Sang Kaca Jendela.

Vanessa, ia duduk dengan sebuah coklat panas di tangan. Maniknya memandang jauh ke depan.

"Rein," ucapnya kemudian.

Merajuk.

Pandangannya beralih menatap sosok lelaki yang bergeming di hadapan sebuah PC yang diletakkan di kamar itu.

Memangku sebuah gitar, dengan tangan kanan yang senantiasa menyentuh mouse, dan tatapan yang tak beralih dari layar.

Rambutnya hitam, panjang bagian poni: sampai-sampai kalau ia menunduk, poninya menutup kedua matanya.

Kulit tan miliknya dibalut celana jins panjang dan kaos putih lengan pendek.

Tampan.

Adalah satu kata yang terlintas dipikiranmu saat melihatnya.

"Rein."

Vanessa beranjak sekarang. Meninggalkan coklat panas dan pemandangan yang ia sukai.

Melangkah mendekati sosok yang dipanggilnya Rein itu.

Ia berdiri dibalik kursi, ikut memandang apa yang Rein pandang. Sebuah not balok, yang ia tak mengerti.

"Apa yang kau lakukan dengan not balok itu?" tanyanya seraya mengalungkan tangannya di leher sang lelaki.

"Sebentar," jawab Rein akhirnya.

Ia meraih tangan yang mengalung itu: melepaskannya. Kemudian, memutar kursinya hingga menghadap ke arah Vanessa.

"Duduk."

Vanessa menurut, ia turun dan bersila di lantai. Namun tiba-tiba, Rein beranjak. Menarik Vanessa yang duduk di bawah, dan mendudukannya di kursi yang ia duduki sedari tadi. Sedangkan ia sendiri duduk di lantai.

Vanessa hendak protes namun alunan gitar menahannya.

Ia memperhatikan, jemari Rein yang berpindah dengan cepat.

Jemari Rein yang memetik senar dengan teratur.

Jemari Rein yang menghasilkan nada yang pas. Menghanyutkannya.

Tubuhnya merespon senang. Ini bukan kali pertamanya melihat Rein bermain gitar untuknya. Namun, tetap saja ia merasa senang sekaligus kagum.

Ketika ia masih hanyut di antara petikan nada, Rein berhenti melakukannya.

Lelaki itu mendongak dan menatap tepat di manik Vanessa.

"Kenapa berhenti?" tanya gadis itu kecewa.

"Belum selesai." Rein mengaku.

"Jadi, itu lagu baru?"

"Kau tak suka? Aku bisa buat yang lain kalau kau tak suka."

"Tunggu! Jadi, itu untuk ku?" tanyanya kaget.

"Untuk siapa lagi? Melodiku hanya untukmu," jawabnya membuat tubuh Vanessa diterjang rasa senang.

Kala itu, ia berpikir bahwa, tak salah takdir mempertemukan mereka.

---

"Kenapa kau menolaknya?"

"Kau ingin aku menerimanya?"

"Huh? Ap-tidak."

"Baiklah."

Vanessa mengerucutkan bibirnya. Kurang puas dengan jawaban pria yang sekarang berjalan di hadapannya.

Ia menghembuskan napas keras kemudian berlari. Menjitak Rein yang beberapa saat lalu mendapat pengakuan cinta dari gadis popular di sekolah mereka.

"Dia itu ratu sekolah, tahu!" katanya jengkel.

Rein mengusap kepalanya dan memandang Vanessa tanpa dosa. "Lalu kenapa? Aku tak suka dia, kok."

"Terserah kau saja," Vanessa menghembuskan napas pelan dan kembali berjalan. Setelah Rein menyusul dan menyamakan langkahnya, ia berujar, "Aku tak tahu kau cukup popular dikalangan wanita."

"Aku juga," jawabnya singkat.

"Ngomong-ngomong kita mau kemana?" tanya gadis itu sambil mengedarkan pandangannya. Menyadari bahwa ini bukan jalur yang biasa mereka lewati.

"Toko musik," ujar Rein pelan.

"Kamu mau beli apa?" Vanessa memandangnya sekarang.

"Gitar." Rein mengadah ke atas menatap langit yang mulai gelap.

Sepertinya hujan akan turun.

"Gitar? Kamu mau beli gitar lagi? Yang kemarin masih bagus, kan?"

Rein menatap Vanessa, "Yang ini buat kamu." Tangannya terulur mengenggam tangan gadis yang masih kebingungan itu. "Buruan yuk! Mau hujan, nih."

"Buat aku? Tapi aku—"

"Waktu itu aku bilang mau ngajarin kamu, kan." Rein terus menambah kecepatannya ketika hujan perlahan mulai menyentuh bumi.

"Tapi Rein, aku kan belum bisa." Vanessa mencoba mengimbangi langkah besar-besar milik Rein. "Kalau udah bisa aja belinya, ya?"

"Tak apa. Aku beliin dulu aja." Rein melepas jaketnya, memberikannya pada Vanessa sambil berujar, "Buat payung, buruan."

Vanessa memakai jaket itu dan menaikan kerudungnya. "Kamu gimana?"

"Udah biasa hujan-hujanan kan."

---

"Jadi tadi dia mendatangimu lagi?" tanya Vanessa sambil berguling ke pinggir tempat tidur. Menatap jemari Rein yang menari di antara senar gitar akustik miliknya.

"Siapa?" tanya Rein balik namun tak memandang Vanessa.

"Blair." Vanessa masih menatap jemari itu. "Aku mengidolakan jemarimu!"

"Siapa itu?" Akhirnya Rein menghentikan permainannya. "Kita bisa berlatih lagi kalau kau tak memutuskan senar gitar mu."

"Gadis yang menyatakan cinta padamu waktu itu," ungkap Vanessa pelan. "Itu unsur ketidaksengajaan, Rein!"

"Oh, ya, kenapa?" Rein mulai meletakan gitarnya dan mendekati Vanessa, memandang wajahnya. "Aku heran bagaimana bisa kau memutuskan senar itu dalam kurung waktu dua hari."

"Dia cantik, kenapa kau tak mau?" tanya Vanessa membuat Rein mengangkat satu alisnya.

"Cantik atau tidak, tak berpengaruh padaku. Bukannya aku tidak ingin punya pacar. Aku hanya butuh yang mengerti diriku," jawabannya membuat Vanessa hendak tertawa.

Namun, ia menahannya.

"Dia menemuiku juga tadi," Vanessa merentangkan badannya, menghadap langit-langit kamar Rein.

"Dia?"

"Iya, Blair," ungkap Vanessa pelan. "Dia me-mengancamku."

Seketika Rein bangkit berdiri, menatap Vanessa di atas ranjangnya.

"Vane, dia bilang apa?"

Vanessa beranjak, menepuk kasur di sampingnya: menyuruh Rein duduk di sana.

Rein menurut dia duduk di situ dan menatap manik Vanessa. Yang ditatap merasa enggan dan berpaling.

"Vane."

"Dia bilang aku tidak boleh dekat-dekat denganmu." Vanessa mengigit bibir bagian bawahnya. "Tapi aku tak takut!" tambahnya yakin.

"Vane, kau tak lupa janjimu kan?" tanya Rein pelan.

Lelaki itu menundukan kepalanya dan meraih tangan Vanessa. Mengelus punggung tangan itu.

"Untuk tidak meninggalkan satu sama lain?" Rein mengangguk. "Apapun alasannya, meskipun ini egois."

Vanessa tersenyum dan mengangkat tangannya. Menyentuh pipi Rein lembut dan mengusapnya.

"Kau tahu bahwa aku tak akan meninggalkanmu."

Dan Rein tersenyum mendengarnya kala itu.

"Aku akan melindungimu," ia memberi jeda sejenak. "Satu-satunya gadis yang kucintai. Kau."

Vanessa tersenyum mendengarnya.

"Ngomong-ngomong Vane, sampai kapan kamu akan menginap di sini?"

"Sampai aku merasa bosan!"

"Vane!"

---

"Gadis gila."

"Jangan-jangan dia..."

"Aku tak menyangka, gadis polos itu."

"Kelakuannya."

Vanessa mengerutkan dahinya. Pandangan tak suka orang-orang diarahkan padanya.

Dan entah kenapa, mereka berbisik-bisik sambil menatapnya.

"Vaness!" teriak seorang gadis berambut panjang dikucir dua.

"Augie?"

"Katakan padaku bahwa yang mereka katakan itu salah!" katanya tegas.

Vanessa mengerutkan dahinya. Bingung.

"Ap—"

Hendak saja gadis itu bertanya, namun, Augie menariknya. Membawanya ke arah mading sekolah.

"Permisi!" teriaknya dan semua orang menatapnya.

Tidak-tidak! Bukan Augie.

Tapi Vanessa.

Mereka menatapnya dan kembali berbisik.

"Lihat, Vaness." Augie menunjukannya. "Kau tahu pasti bahwa Indonesia tidak seperti negara asalmu. Katakan padaku jika ini salah."

Itu fotonya.

Empat foto dirinya.

Dia yang sedang berdiri di tangga apartement Rein.

Dia yang sedang membuka pintu apartement Rein.

Dia yang sedang duduk di jendela dengan Rein yang mengacak-acak rambutnya.

Dia yang sedang duduk di jendela dengan selimut di tubuh, dan Rein yang memandangnya.

"Vaness, kau ta—"

Dengan cepat kilat ia menarik lembaran kertas foto itu. Dan kemudian tertegun,

kaget menatap kertas yang ditempel dibaliknya.

Sebuah note kecil bertulis,

'Sudah kubilang, jangan berani mendekatinya.'

"Vanessa McWinter."

Vanesaa berbalik, menatap salah satu guru di sana.

"Follow me girl!" Mau tak mau ia menurut.

Menelan ludah dan masuk kesebuah ruangan yang tak pernah terlintas dipikirannya.

---

"Jadi, kau sudah hapal berapa kunci gitar?" Rein menatap gadis di hadapannya. Menunggu jawaban, namun hal itu tak kunjung datang.

"Vane?" Ia memanggilnya dengan nama sayang.

Vanessa bergeming.

"Sayangku, Vanessa." Rein menepuk pipi gadis itu pelan. Vanessa berkedip sesaat, namun kemudian, tatapannya kembali kosong.

Rein menghembuskan napas, kemudian mendekatkan bibirnya ke arah pipi kanan Vanessa.

Menciumnya perlahan menyebabkan sang empunya pipi terlonjak.

"Rein!" pekiknya.

"Salah siapa mengabaikanku." Respon Rein santai. "Kamu sedang mikir apa?" tambahnya.

"Bukan apa-apa. Hanya saja, aku tak akan bisa menginap lagi mulai besok." Rein berdiri. Melangkah mendekatinya.

"Kenapa?"

Vanessa memeluk dirinya sendiri. Rein mendekat, dan berujar, "Kau tak akan meninggalkanku, bukan?"

"Tak akan. Aku tak akan melanggar janjiku," kata Vanessa yakin.

Gadis itu mengigit bibir bagian bawahnya. Kemudian, ia bergerak memeluk pria itu.

"Kau tau aku menyayangimu."

"Dan kau tau aku mencintaimu, Vean."

Andai ia tak berucap kala itu.

---

Vanessa menatap televisi di hadapannya. Salah satu siaran TV menayangkan kegiatan futsal remaja.

Ia tertawa melalui hidung,

Futsal, ya?

Hal itu mengingatkan dia pada pria keturunan Perancis yang telah lama tak bisa ia kunjungi.

Rein.

Mereka pernah memperdebatkan nama futsal dahulu.

Futsal atau footsal.

Padahal, mereka tahu itu sama saja.

Vanessa menekuk lututnya, menyembunyikan wajahnya di sana.

Semenjak kejadian itu, ibunya melarang ia menghubungi Rein.

Ya, Tuhan. Padahal mereka tak melakukan apa yang orang pikirkan.

Gadis itu menahan tangisnya dan meraih ponselnya.

Sudah lebih dari seminggu benda persegi itu mati total. Ia terlalu takut menghidupkannya.

Namun akhirnya, ia menghidupkannya juga.

Beribu pesan masuk.

Dan itu hanya ada satu pengirim.

Satu orang yang mampu mendebarkan hatinya.

Rein.

Vanessa mengambil napas dan menekan tombol itu lama. Setelah muncul tanda delete, ia menutup mata dan menekan tanda yes.

Ia terlalu takut untuk membacanya.

Barusaja ia hendak bernapas lega ketika sebuah notifikasi tertangkap indera matanya.

Sebuah pesan baru dari pengirim yang sama. Tertulis di sana.

'Kamu tahu? aku benar-benar merindukanmu. By the way, setelah ujian akhir aku akan kembali ke Paris. Satu hal yang kuingini adalah bertemu denganmu, Vean. I miss you so bad.'

Dia terperanjat.

Ia tahu pasti bahwa Rein akan kembali ke Paris. Namun, ia tak tahu kalau akan secepat ini.

Tuk!

Bunyi itu mengalihkan perhatiannya. Ia memandang jendela, sang sumber suara.

Seharusnya gadis itu tak membukannya. Karena setelahnya, rasa sesak kerinduan memenuhi setiap tulang di tubuhnya.

"Rein."

Pria di bawah sana tersenyum.

"Vane! Kumohon."

Vanessa mundur dan membungkam mulutnya. Mati-matian mencoba menahan air mata yang mulai muncul di sana.

"Vanessa! Usir dia, waktumu 10 menit."

Ia tak perlu menengok untuk melihat siapa yang berbicara. Itu ibunya.

---

"Vane!"

Vanessa mundur dan memeluk dirinya sendiri, menolak kontak fisik yang akan Rein berikan.

Matanya senantiasa menatap ke bawah, menghindari kontak mata.

"Pergi-lah, Rein."

Ia tak kuasa mengatakan itu.

"Vane," panggilnya sendu. "Aku merindukanmu. Kenapa kau menghindariku?"

"Jangan pernah hubungi aku," ia memberi jeda. "Selamanya." Vanessa melirik ibunya yang berdiri menatapnya dari balik jendela.

"Vane—"

"Jangan panggil aku dengan nama itu!" Tubuhnya bergetar.

"Vane, aku, aku mencintaimu. Kumohon."

Ia hendak memeluk gadis itu lagi.

Tidak!

Jangan!

Vanessa hanya ingin dia pergi. Kalau tidak-ibunya, ibunya akan...

Plak!

"V-vane?"

"Ti-dak, Rein. Aku-tidak."

Vanessa melirik tangannya sendiri. Ia tak bermaksud menampar wajah Rein.

"Vane, k-kau...."

"Rein, per-pergi, ak-aku, maaf." Ia mengambil napas panjang. "Kumohon. Pergilah.

"Bahkan, mungkin akan lebih baik kalau kau,

Mati saja."

Rein menatapnya tak percaya, air mata mulai menggenang di mata pria itu. Vanessa harusnya tak melakukan itu. Ia tahu pasti Rein tak suka kekerasan.

Namun, apa yang bisa ia perbuat?

"Pergilah."

Vanessa berjalan ke arah pintu. Baru saja hendak ia menutupnya, Rein berujar,

"Kau tahu pasti hanya kau yang kucintai."

Dan dia merosot jatuh.

----

Aku akan turuti permintaanmu. Maafkan aku.

- r

Vanessa menegang ketika membaca pesan itu.

Ia harus menemukan Rein.

Sekarang.

Vanessa berlari, menembus udara dan kerumunan. Berlari menuju apartement pria itu.

---

Dia memutar otaknya ketika sama sekali tak menemukan pria itu dimanapun.

Jangan! Jangan sampai ia kehilangan Rein.

Otaknya berputar mengingat tempat yang di cintai pria,

Atap.

"Rein!" Dia mengedarkan pandangannya.

"Vane," Vanessa menengok, itu dia: Rein yang duduk di pinggir gedung dengan gitar di sampingnya.

"Rein aku—"

"Aku minta maaf." Vanessa menatapnya. Kali ini Rein yang menghindari kontak mata.

"Harusnya aku tahu. Aku-ak-kenapa aku tak tahu kau disepertiitukan?"

Ia tahu pasti arah pembicaraan ini.

"Rein, aku tak ap—"

"Aku menghancurkan hidupmu."

Vanessa menggeleng.

Bukan itu.

"Persetanan dengan janji itu. Maafkan aku, Vane."

Bukan! Bukan percakapan seperti ini yang Vanessa mau.

"Aku tak pantas hidup."

"Aku mencintaimu."

Rein menatap Vanessa cepat.

"Vane."

"Maukah kau menjadi kekasihku?"

Rein menengang. Ia menelan air ludahnya kasar.

"Apa mencintai semua yang ada padamu. Kau, rambutmu, sikapmu, jemarimu—"

"Kalau begitu, apakah kau masih mencintaiku jika jariku tak seindah sekarang? Tak lagi mampu memetik senar gitar. Apakah—"

"Tentu." Rein tersenyum.

Vanessa hendak melangkah mendekat, namun segara Rein menyuruhnya tetap di situ.

"Aku kekasihmu sekarang, turutilah aku."

Vanessa menurut, ia mundur perlahan.

"Kau tau arti namaku?"

Vanessa diam, menatapnya bingung.

"Rein, aku lahir tepat saat hujan, jadi ibu memberiku nama itu. Bukan Rain, tapi Rein."

"Pria kecil yang hingga sekarang merasa tak dinginkan."

"Ayahku membenciku, ibu tak bisa berbuat apa-apa. Ia meninggalkanku.

"Layak hujan, kedatangannya tak dinantikan. Tak diinginkan.

"Kedatangannya adalah sumber malapetaka.

"Aku. Bagimu."

"Vanessa Ren McWinter. Aku adalah malapetaka bagimu. Tidak! Dengarkan aku!"

"Vane, setiap butir hujan ada untuk ditakdirkan jatuh. Ada untuk mati terhempas. Ada untuk menyentuh muka bumi."

"Hilang, tak diingat."

"Seperti aku. Aku adalah salah satu dari butir itu."

"Biarkan aku jatuh, agar kau melupakanku."

"Satu-satunya wanita yang ku sayang, Vanessa Ren McWinter. "

"Akankah kau masih mencintaiku? Jika aku bukan lagi seorang manusia?"

"Aku melakukan ini demi dirimu, sayang."

Vanessa tak tahu apa yang terjadi setelahnya.

Rein menjatuhkan dirinya.

Di hadapannya.

Seperti adegan film yang dilambatkan, gadis itu mencoba lari dan meraihnya.

Tapi semuanya terlambat.

Pupus sudah cintanya.

Remuk sudah jantungnya.

Hancur sudah kehidupannya.

Ia menangis sejadi-jadinya.

Ia tahu ia tak akan mampu hidup lagi setelah ini.

Akankah Rein memaafkannya jika ia ikut terjun?

---

Di sinilah ia sekarang. Berhadapan langsung dengan Sang Bayangan.

Rein.

Yang mengenakan pakaian yang sama waktu itu.

Celana jins, sepatu kets, dan jaket coklat yang lengannya ia tarik ke atas.

"Mengapa hati ini begitu terluka? Terasa begitu sesak dalam dada."

"Sekarang, yang ada akan tampak samar."

"Begitu memilukan."

Gadis itu mendekat, melingkarkan tangannya di leher Rein yang hanya tertunduk dan memainkan gitar.

"Suara mu setiap malam, yang memeluk ku dalam kehampaan. Di segala kenangan yang ditinggal, aku tak menemukan arah pulang."

"Begitu pudar, dan aku merindukanmu setiap malam."

"Rein, tolong biarkan aku bersamamu."

Dan sosok itu mendongak, membalas pelukannya.

Vanessa melonggarkan pelukannya, menatap pria itu sendu.

Perlahan wajahnya mendekat, matanya tertutup rapat.

Bibirnya menyentuh bibir Rein perlahan. Menautkan rasa kerinduan.

Hangat.

Memabukkan.

"Vaness!"

Fin.

-based of true story(dikit doang kok.)

By: casscash

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro