Day 2 (Bersandal Amarah)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bajunya hanya secarik kain robek terpasang di bagian tubuh atasnya dengan celana kain berwarna hitam kusam. Tubuhnya kurus mering dengan kulit kering kelontang. Dia bertopi jerami dengan memanggul kain goni di bahu kanannya. Alas kakinya terpasang sandal berbeda warna, bahkan salah satu pasang tali sandal miliknya telah diganti dengan karet ban bekas.

Pemuda itu membungkuk saat membawa plastik, kerdus, kabel bekas, hingga puing pipa paralon. Dia telah mengais puing-puing sampah dengan tangan kurus mering dan kulit kering kelontang. Dia mencium beribu bau busuk dengan secarik kain robek dan celana kain berwarna kusam. Dan dengan percaya dirinya, sepasang sandal jepit yang sebagian telah berganti tali menjadi ban bekas melangkah tegas di antara setapak perumahan mewah.

Namun, seribu kata sayang teruntuknya, teruntuk alas kaki gembel yang dia pakai, pengumuman bertajuk besar tertempel di dinding pagar perumahaan menjadi penghalang keras untuk mereka-mereka dengan tubuh gembel.

Bukan hanya di satu perumahaan, bahkan seluruh perumahan mewah di negeri Ibu Kota melarang keras pakaian gembel, pemusik gembel, atau siapapun yang gembel menjejakkan kedua kakinya di jalan setapak mereka. Tidak ada kata belas kasih di antara deretan rapat bangunan besar berharga ribuan milyar di Ibu Kota.

Teruntuk sayang seribu sayang lagi kepada pemilik sandal jepit ini, kepada kulit hitam kering mering, teruntuk pakaian robek dan celana hitam kusam, terdengar teriakan melengking, membahana, dan sumpah-serapah keluar dari mulut pria dengan seragam putih, celana biru yang agak longgar, dan alat pemukul di tangan yang tengah berlari menghampirinya.

"Hei, ngerti nggak loe, dilarang keras orang-orang kayak loe ada di kawasan ini!!!" Pria itu berteriak sambil berlari ke arahnya. Setelah berada di depan Si Pemilik Sandal Jepit, tangannya bersiap ingin terulur, tetapi kembali terurung melihat dua tangan itu penuh kotoran dari bak-bak sampah sebelumnya.

Pemulung bergeming. Dia menggaruk tengkuk lehernya dengan tangan kotor itu.

"Loe bisu?!" 

Pemulung menggeleng.

"Kalau loe nggak bisu, kenapa loe nggak ngomong?!Budek loe?!"

Lagi-lagi pemulung menggeleng.

Tanpa ada kesabaran, Si Petugas menarik kaos robek pemulung ini, menambah panjang lubang di kaosnya. Dia membawanya dengan kasar untuk kembali ke pos kerjanya. Dia mendorong keras tubuh pemulung hingga menubruk dinding pos, membuat karung goni itu terjatuh, dan mengeluarkan bau tak sedap. Salah satu kawannya tergerak keluar dari pos, melihat satu pemulung bersandar dengan meringis tengah mengusap lengannya. Pun bau busuk itu menyergap hidungnya

"Kenapa?" Si Teman berseru dengan kerutan di kening.

"Gue ketemu pemulung nggak guna di dunia ini! Nggak bisa ngomong, nggak bisa denger!" Si Petugas bersungut kejam menatap pemulung itu.

Si teman mengubah tatapannya ke pemulung. "Loe bisa baca pengumuman di depan?" Dia bertanya dengan mengarahkan telunjuk ke pagar depan perumahaan. Nadanya kalem, lebih-lebih ia mengulas senyum lebar kepada pemulung si pemilik sandal jepit.

Si Pemulung mengikuti arahan telunjuk si Petugas. "Maaf Pak, saya nggak bisa baca." Si Pemulung akhirnya berkata.

Si Teman mengangkat bahunya, lalu melirik ke temannya dengan seulas senyum.

"Bisa ngomong juga ya, loe? Tadi kenapa gue tanya nggak loe jawab, hah?!! Sombong banget loe jadi pemulung!" Dia memprotes dengan telunjuk yang teracung-acung ke depannya.

Si Teman justru tergelak. Si Teman kembali beralih ke pemulung. "Duduk?" tawarnya, menunjuk kursi di dalam pos.

Si Pemulung menggeleng.

"Heh!" Si Petugas tadi berseru, memilih berdiri di depannya dengan tangan mendorong bahunya. "Loe sombong banget sama gue?! Orang lagi tanya, ya dijawab!"

Si Teman petugas hanya menggeleng pelan di depan pemulung. Raut wajahnya terlihat penuh penyesalan akan perilaku dari teman kerjanya satu ini.

"Boleh saya tanya?" Si Pemulung ini justru membalas dengan pertanyaan.

Si petugas itu pun semakin memprotes penuh amarah, sebab pertanyaanya justru dibalas dengan pertanyaan. Sampai akhirnya, Si Teman petugas menarik bahu temannya, menyuruhnya untuk berdiri di belakangnya.

"Silakan, silakan." Si Teman Petugas mempersilakan.

Si Pemulung tersenyum. "Maaf sebelumnya, kamu nggak marah hidup kayak gini?" Pertanyaan ini bukan untuk Si Teman, tetapi untuk Si Petugas yang menggeretnya kemari.

"Gue lebih marah ke pemulung yang sombongnya minta ampun kayak loe!" seru Si Petugas masih bersungut penuh emosi. 

Si Pemulung mengangguk. "Saya hanya bingung sebab akibat apa yang membuat kamu marah dengan saya? Saya ini pemulung, kamu itu Si petugas keamanan. Apa kamu punya nafsu untuk menjadi pemulung?"

Si Petugas mengerutkan keningnya. "Hei. Nafsu darimana?!! Lihat loe aja gue muntah! Jangan terlalu percaya diri!!"

"Lalu apa sebabnya kamu marah kepada saya? Padahal teman kamu tidak sedikit pun menyumpah amarah itu untuk saya?"

Si Petugas tersentak. Dia diam tanpa kata. Dengan kesadaran tersiasa, dan dengan alasan seadanya, dia bekata, "Karena loe menjejakkan kaki loe dengan berani ke perumahaan mewah ini ! loe ngerti nggak, orang-orang yang berhak masuk ke perumahaan ini hanya orang-orang bersepatu, bukan orang dengan sandal jepit yang diganti dengan tali ban!!!"

Si Pemulung tersenyum lagi. Tidak membuat kedua sudut bibirnya bergerak ke bawah. "Karena sandal ini? Kamu marah hanya dengan sandal reot yang telah saya perbaiki ribuan kali? Mungkin seharusnya yang marah itu saya."

"Dan alasan terakhir itu yang membuat gue marah."

"Maksudnya?" Si Pemulung dengan sandal reot terkesan heran. Sam pula dengan teman Si Petugas.

"Sejak tadi kenapa loe dengan lapang hati tidak memiliki nafsu amarah kepada gue, Petugas keamanan yang miskin hati?"

Si pemulung tertawa. Si Teman menyaksikan itu hanya mengulum senyum puas. "Kamu tahu saya juga ingin mengatakan hal yang sama. Kenapa saya lebih berotak miskin ketimbang kalian yang berotak kaya?"

"Bukankah lebih baik berotak miskin ketimbang berhati miskin?" Si Teman menyahut, menyela perbincangan mereka.

Si Pemulung menghela nafas keras. "Jika otak saya miskin. Bagaimana saya tahu mana yang salah dan mana yang benar? Dan akhirnya, tanpa berotak, saya akan seperti ini, menahan amarah karena tidak tahu cara untuk dikeluarkan dengan benar."

###

Di lapak ini saya akan menceritakan Human's Life. Slice of life. Sebuah bumbu-bumbu perilaku manusia yang menjadi opini saya. 

Hari ini saya menceritakan kisah dua Si Petugas Keamanan dan Si Pemulung dengan sandal bertali ban bekas. Si gembel dengan otak miskin, dan si Petugas keamanan dengan hati miskin. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro