Arsip 2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Salah satu rekan penghuni indekos Kali adalah Badran. Berkacamata, bertubuh gempal, berambut pendek cenderung rapi, dan sering mengenakan hoodie bertudung. Khusus di bulan Agustus yang relatif panas seperti sekarang, dia lebih memilih kaus tipis. Cuaca akhir-akhir ini teramat gerah, menurut Badran, terlebih acap kali sorot matanya terhenti pada pintu kamar terujung di lantai dua, yakni kamar Kali.

Pada hari-hari biasa, Badran akan membiarkannya begitu saja. Dia memang sempat menyapa Kali di dapur walaupun perempuan itu mengabaikannya. Yang meresahkan Badran, Kali sering meninggalkan piring kotor di bak cucian hingga menumpuk dan baru dicuci di akhir pekan. Karenanya, hari ini, Badran terpaksa menghampiri pintu tersebut. Enggan dia membiarkan hari-hari tenangnya lagi-lagi terliputi kekesalan.

Tok. Tok.

Lima, sepuluh, hingga enam puluh detik lamanya tidak ada respons dari dalam ruangan. Badran mencoba lagi: mengetuk pintu lebih kencang daripada sebelumnya sambil berucap, 'Halo?' dengan agak keras.

Tetap, tidak ada jawaban.

Badran yakin Kali berada di dalam kamar meskipun tidak terdengar suara-suara. Dia juga hampir yakin perempuan itu bahkan belum pernah keluar dari rumah indekos sejak hampir dua minggu lamanya. Efek kamar mandi pribadi yang terletak di dalam kamar tersebut kian mengurangi frekuensi keluar-masuk. Sejauh ini, Badran hanya pernah mendapati sosok si penghuni kamar dua hingga tiga kali, yakni ketika perempuan itu sedang mampir ke dapur. Itu pun hanya sekilas, tanpa sempat Badran perhatikan dengan lebih saksama.

Karena itu, Badran perlu memastikan sesuatu.

Sembari membetulkan posisi kacamatanya, dia menyeru dari balik pintu, "Siapa pun kamu, penghuni baru, keluarlah! Aku tahu kamu di dalam sana! Aku perlu lihat wujudmu karena seorang di antara kami hampir yakin kamu itu makhluk gaib."

Di dalam kamar, Kali mulai bereaksi dengan menggeliat malas di atas kasur. Terlanjur nyaman di bawah tumpukan selimut, perempuan itu menggerutu. Dia coba mengabaikan panggilan dari balik pintu tersebut, tetapi si pemanggil bersikeras memaksanya keluar dari sarang.

Siapa dia? Si jangkung atau si kacamata? Kali menduga-duga. Sejauh ini, yang dia ketahui, ada dua penghuni lain selain dirinya—sebagaimana yang diberi tahu oleh wanita pemilik indekos. Wanita itu sendiri—berusia paruh baya dengan wajah ramah—tidak tinggal di dalam rumah tersebut, atau setidaknya begitulah yang dia sampikan ke Kali pada pertemuan mereka sebelumnya.

Tidak berminat berkenalan, Kali hanya pernah melihat dua penghuni lain tersebut secara sekilas tanpa berniat menyapa barang sebentar saja. Satu laki-laki jangkung langsing dan satu laki-laki berkacamata berbadan tambun; itu saja yang sempat Kali perhatikan. Dia tidak repot-repot ingin mencari tahu nama mereka berdua.

Yang mana pun identitas si pemanggil, rupanya dia masih ingin mengusik Kali. Kini Badran meninggikan suaranya. "Terhitung hampir dua minggu sejak kamu pindah kemari, aku jarang lihat penampakanmu! Apalagi lihat kamu keluar masuk rumah. Aku sih enggak peduli, hanya ingin memastikan kamu belum jadi bangkai di dalam sana," ujarnya. "Dan jangan lupa cuci piring kotor bekasmu!"

"Oke. Aku masih hidup, jadi kamu bisa singkirkan bokongmu dari depan kamarku!" sahut Kali, masih belum beranjak dari atas kasur.

Badran terdiam, tertegun sekejap oleh ucapan Kali sebelum melanjutkan, "Kok ngomongnya begitu, beneran cewek bukan sih? Yah, seenggaknya aku tahu kamu masih hidup."

Terdengar suara langkah kaki menjauh dengan gusar. Kemudian langkah kaki itu terhenti, tergantikan oleh jenis langkah kaki lain. Bagi Kali, langkah kaki yang baru ini terdengar lebih ringan dan mulus, berbeda dari langkah si pemanggil—Badran—yang berat dan tersok-seok seakan sedang mengepel lantai dengan kedua kaki.

Lantas terdengar gumaman dua orang dari balik pintu; entah apa yang mereka bicarakan, Kali tidak dapat mencuri dengar. Berikutnya, pintu kamar Kali diketuk lagi.

"Kalilan, kamu di dalam? Bisa keluar sebentar?"

Suara lainnya menembus celah pada pintu kamar Kali. Berbeda dengan laki-laki sebelumnya, laki-laki ini mempunyai suara yang dalam dan rendah. Sangat sopan dan latif secara maskulin, bila dibandingkan dengan laki-laki satunya. Namun, tidak lantas menjadikan Kali berubah pikiran untuk menuruti kata-katanya tersebut.

"Aku sibuk!" tukas Kali dari balik pintu.

"Sebentar aja." Suara itu terdengar tenang—sama sekali tidak memaksa, tetapi nuansa berwibawa nan lembut yang terkandung di dalamnya seakan menyihir Kali untuk beranjak. Setidaknya kalau aku menurut sekarang, mereka akan diam, batin Kali. Dengan pikiran tersebut, perempuan itu pun akhirnya beranjak.

Usai membuka pintu, Kali mendapati dua sosok laki-laki berdiri di hadapannya. Sel-sel kerucut pada retina matanya perlahan beradaptasi dengan penerangan di luar kamar. Kamar tidurnya selalu redup, sehingga mata Kali butuh beberapa waktu untuk menyerap serbuan sinar. Dibantu cahaya matahari yang menyinari koridor lewat jendela, kini Kali dapat mengamati kedua rekan serumahnya dengan lebih jelas. Si laki-laki tambun tidak sekecil yang pernah dilihatnya, sedangkan si laki-laki jangkung ternyata tidak setinggi yang dia kira semula. Kedua laki-laki itu menyiratkan ekspresi wajah yang berbeda. Yang satu menekuk mulut ke bawah, sementara yang satunya lagi menyunggingkan senyum.

"Astaga, seram banget," cibir Badran dengan takjub sekaligus cemberut. "Apa pula itu yang ada di rambutmu?"

"Ini disemir, belum pernah lihat?" cibir Kali, tersinggung akan reaksi si laki-laki berkacamata yang sebegitu terkejut melihat warna biru pada sejumput rambut di bagian samping kiri kepala Kali.

"Halo, Kalilan. Aku Arka, dan dia Badran," ucap si laki-laki-jangkung-yang-tenyata-tidak-begitu-jangkung dalam upaya menengahi. Senyum cerahnya cukup kontras dengan warna kemeja hitam pekat yang dia kenakan. Kini Kali bisa menentukan perbedaannya; ternyata laki-laki bernama Arka ini merupakan pemilik suara dalam nan rendah yang, anehnya, terkesan karismatik. "Kita sudah tinggal bersama di rumah ini selama dua belas hari dan tiga jam empat belas menit, kalau kamu belum tahu," lanjut Arka, sambil mengecek jam tangannya.

"Terus kenapa?" Sesingkat itu respons Kali. Dengan kepala melongok lewat celah pintu, dia masih enggan mengeluarkan seluruh tubuh dari sarang nyamannya hanya untuk meladeni kedua pengganggu itu.

Arka masih mengulas senyum, seolah lekuk bibir demikian telah terukir sejak lahir pada wajahnya. Namun, intonasi suaranya kontan berubah—dari yang mulanya tenang dan santai—menjadi serius. "Terus, karena kita rekan serumah, ada peraturan-peraturan yang harus kamu tahu dan taati. Aku baru punya waktu sekarang untuk kasih tahu kamu. Sedangkan Badran," Arka menepuk bahu laki-laki tambun di sebelahnya, "belum cukup berani untuk menghadapimu."

"Bukannya aku takut, Arka," sergah Badran, berganti menunjuk Kali tanpa segan. "Lihat aja penampakan dia!"

Tidak menghiraukan ucapan Badran, Kali justru menantang Arka. "Peraturan apa? Ibu Kos enggak pernah bilang soal itu sebelumnya, dan kamu bukan Ibu Kos yang bisa seenaknya membuat peraturan."

"Ah, aku memang bukan Ibu Kos," tanggap Arka, masih dengan nada serius pada raut wajahnya yang ramah. "Tapi, aku pemilik rumah ini."

Sontak Kali terpelongo, sementara Badran—yang sudah mengetahui fakta tersebut—tercengir culas sembari mengangguk-angguk puas.

Sebelum Kali bisa mendebat, Arka lekas melanjutkan, "Perempuan yang kamu kira 'Ibu Kos' dan kamu temui pada hari pertamamu di sini bukan ibuku. Dia kuminta jadi perantara aja karena aku sedang sibuk kemarin-kemarin. Jadi, bakal kujelaskan peraturan rumah ini ke kamu besok. Jam tiga sore di ruang makan. Aku enggak menolerir keterlambatan."

Setelah berkata demikian, Arka menyunggingkan senyum pamit. Dia lantas berbalik meninggalkan Kali dan Badran; menuruni tangga dengan langkah ringannya. Masih Kali terganga meskipun, sejurus kemudian, dia berpaling pada Badran, "Kukira kamu bakal jadi yang paling menyebalkan, kayaknya aku keliru."

Kepala Kali lekas menghilang ke balik pintu kamarnya, disusul oleh hantaman cukup lantang serta dengkusan sebal dari hidung Badran.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro