• Aku, Kamu, dan Dirinya •

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

[Tema No. 22 – PACAR]

Aku, Kamu dan Dirinya
Penulis: AzukaMeizuki

“Uci, sudah siang. Yuk bangun!“ Seorang cewek baru saja masuk ke sebuah ruangan dimana seorang cowok sedang tidur dengan nyenyak. Cewek itu membuka tirai beserta jendela ruangan sehingga sinar matahari langsung masuk dan mengusik sang cowok.

Fauzi―yang biasa dipanggil Uci tersebut―kini sedang menggeliat lemah di kasurnya. Ia menarik selimut sehingga dapat menutupi wajahnya, berniat untuk tidur kembali.

“Uci, lautnya bagus ih. Seriusan! Harus lihat pokoknya!” Cewek itu menyingkap selimut lantas menarik-narik tangannya.

“Iya, iya. Tunggu diluar.”

“Kok gitu sih?”

“Felli, kamu mau denger suara ingus? Kebetulan hidungku kesumbat sama banyak ingus nih.”

“Ih, jijik! Yaudah, cepetan!” Wajah cewek itu memerah karena marah, ia lantas berlari keluar dan menutup pintu hingga menimbulkan bunyi yang keras.

Fauzi terkekeh pelan setelah sukses menggoda Felli, cewek itu. Ia pun segera mencuci wajah serta menggosok gigi, lalu berganti pakaian.

Fauzi, seorang cowok bertubuh tinggi dengan kulit kuning langsat. Aura wajahnya tampak tegas namun imut jika sedang tertawa dikarenakan giginya yang gingsul. Sementara Felli, seorang cewek bertubuh setinggi bahu Fauzi dengan kulit putih. Wajahnya sangat enak dipandang, apalagi ketika ia tersenyum karena terdapat sebuah lesung pipi yang tercetak jelas di pipinya.

Fauzi dan Felli telah bersama sejak mereka kecil. Hal inilah yang menyebabkan mereka begitu akrab.

Setelah merapikan kamarnya―walau masih terlihat sangat berantakan―ia pun bergegas menghampiri cewek yang tadi telah mengusik tidurnya itu, setelah memastikan kamarnya benar-benar terkunci dengan rapat.

Dari kejauhan, dirinya disambut oleh pemandangan laut yang indah. Ombak kecil yang bergulung-gulung hingga sampai di bibir pantai, dedaunan pohon kelapa yang bergerak melambai akibat tiupan angin, suara burung laut yang terdengar bersahutan, memberi kesan tersendiri untuk dirinya. Dihirupnya aroma khas pantai itu sejenak, sebelum ia mencari keberadaan cewek yang tadi telah membanting pintunya dengan wajah yang memerah.

Rupanya, tidak butuh waktu lama untuk mencari sosok cewek itu. Dirinya tentu sudah hafal betul tentangnya.

Cowok bergigi gingsul itu kini melangkah perlahan-lahan. Berusaha tidak menimbulkan suara sedikitpun. Berniat melakukan sesuatu yang kiranya tidak disadari oleh cewek yang berada beberapa meter di depannya.

Ia meraih kamera yang menggantung di lehernya, lantas memotret sebuah pemandangan indah di depannya. Jika kalian pikir ia memotret keindahan laut, kalian salah besar. Yang ia potret adalah Felli, cewek berambut gelap yang telah membangunkannya tadi. Cewek manis yang sangat ia suka―lebih tepatnya sangat ia sayang. Cewek yang ia harap dapat menjadi pacarnya suatu saat nanti.

Sedetik kemudian, cewek itu menoleh ke arahnya karena menyadari kehadirannya. Rupanya, kebaikan tidak berpihak kepadanya, tanpa sengaja ia menginjak sebuah kaleng bekas minuman yang menimbulkan suara keras.

“Uci, kamu ngefoto aku ya?”

“Nggak boleh? Lagian, itu bukan tindakan kriminal, kan? Bukan tindakan yang membahayakan nyawa.”

“Nggak boleh, dong! Itu aib! Siniin kameranya!” Cewek berlesung pipi itu berusaha meraih kamera yang ada di genggamannya.

“Yang baik dong, masa main rebut-rebut begitu?”

“Lagian, itu bukan tindakan kriminal, kan? Jadi ya terserah aku dong mau ngelakuin apa. Itu kan hakku.” Felli meniru kalimat yang telah ia lontarkan sebelumnya. Cewek itu terus berusaha meraih kamera walau ia telah mengangkatnya tinggi-tinggi.

Melihat tingkah Felli, Fauzi tertawa bahagia. Kalimat ‘seorang cewek akan terlihat cantik ketika mereka sedang marah’ itu benar adanya. Dirinya menganggap Felli terlihat cantik ketika cewek itu menautkan kedua alisnya pada pangkal hidung mancungnya.

“Fel, kamu tahu? Kalo kamu marah gini, kamu keliatan cantik loh.” Ujar cowok itu sambil terkekeh.

“Oh ya? Kalo gitu sebentar lagi kamu bakal lihat aku jadi sungguh-sangat-amat cantik!” Ujar Felli dengan menekan tiap kata pada kalimat terakhirnya. Wajah cewek itu memerah marah, sementara kedua tangannya semakin ganas untuk berusaha meraih kamera di tangan Fauzi.

“Wow, wow, wow! Dengan senang hati!” Senyum Fauzi semakin lebar.

“Uci! Siniin!”

“Ada apa ya? Kok rebutan?” Terdengar suara seorang cowok dari arah seberang. Cowok bertubuh tinggi semampai dengan tatapan yang lembut. Ia berjalan menghampiri mereka berduaꟷlebih tepatnya ke arah si cewek.

Wajah Felli dan Fauzi tampak berubah drastis. Sang cewek tersenyum manis, sang cowok tersenyum kecut.

“Biasa lah, namanya juga anak kecil.” Ujar Fauzi, berusaha menormalkan sikap dan gaya bicaranya.

“Aku udah besar, Uci! Sudah SMA!” Protes si cewek, lantas mencubit pinggang Fauzi.

“Besar apaan? Ngambekan gitu udah besar ya namanya?” Goda Fauzi.

“Bodo amat, ah! Serah mau ngomong apa!” Gerutu cewek itu setengah berteriak.

Mendengarnya, Fauzi tertawa. Namun beberapa detik kemudian, tawanya memudar karena ia melihat cowok di depannya berdiri tepat di samping si cewek. Parahnya lagi, cowok berkulit sawo matang itu mencubit hidung si cewek dengan gemasnya.

Ia cemburu? Ya, bisa dibilang begitu.

“Felli, yang sopan dong kalo bicara. Tadi kan kamu bilang kalo kamu itu sudah besar.” Ujar cowok bermata sipit itu dengan lembut.

“Nopal, kamu nggak ngerti masalahnya kaya gimana. Kamu malah belain Uci.” Ujar Felli kepada cowok yang rupanya bernama Naufal itu.

Melihat Felli yang masih tampak marah, Naufal mengusap rambut cewek itu sembari tersenyum. Perlahan-lahan, senyuman cewek itu mengembang hingga menampakkan lesung pipinya. Naufal selalu sukses membuat Felli tenang. Hal itu tentunya semakin membuat Fauzi tidak enak hati.

“Yaudah, karena udah ada lo, gue cabut dulu ya. Nggak enak jadi obat nyamuk diantara sepasang pacar yang lagi anget-angetnya. Tolong jagain Felli ya, gue percaya sama lo, Fal.”

“Ahahaha, abang bukan obat nyamuk kok. Tapi, saya bakal jaga adek ceweknya abang ini tanpa lecet sedikitpun.” Naufal terkekeh pelan, lantas menoleh ke arah Felli.

“Uci bukan obat nyamuk, tapi nyamuknya. Dia suka banget gangguin orang.” Sela Felli dengan sebal.

“Eish, ssst. Nggak boleh gitu.” Naufal menempelkan jari telunjuknya di depan bibir Felli. “Kalo gitu, saya permisi ya bang. Izin bawa adek abang.” Ujar Naufal dengan sopan.

Mereka lantas pergi setelah mendapatkan izin berupa anggukan disertai senyuman dari Fauzi. Dua muda-mudi itu meninggalkan jejak kaki mereka di pasir pantai bersama dirinya.

Cowok bergigi gingsul itu lantas mengalihkan kameranya ke arah laut yang berada di depannya. Berusaha mencari objek indah lain yang dapat ia abadikan.

Ombak kecil yang bergulung-gulung hingga sampai di bibir pantai, dedaunan pohon kelapa yang bergerak melambai akibat tiupan angin, suara burung laut yang terdengar bersahutan, kini telah menjadi saksi bisu atas perasaannya yang hancur kesekian kalinya.

Felli, cewek itu, cewek yang tak lain adalah adik semata wayangnya. Seorang cewek yang benar-benar ia sayangi. Namun, rasa sayang itu bukanlah rasa sayang antara kakak kepada adiknya. Namun itu adalah rasa sayang antara seorang laki-laki kepada seorang perempuan.

Ia menyadari posisinya. Sangat menyadarinya, malah. Ia juga mengetahui bahwa cewek itu sudah memiliki seseorang yang spesial dalam hidupnya, yaitu Naufal, pacarnya. Seorang cowok baik hati yang lemah lembut terhadap si cewek.

Namun, apapun yang membuat cewek itu bahagia, tentu ia juga akan bahagia. Walaupun perasaan sakit yang nyatanya sering ia dapatkan, namun ia tetap tidak bisa menghilangkan perasaan sayang kepada cewek bermata cokelat itu dari dalam dirinya.

Lagipula, hal itu bukanlah tindakan kriminal, ‘kan?

—°●°●°●°—

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro