• Code Name Target : Dia •

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

[Tema No. 17 - Dia]

CODE NAME TARGET : DIA
oleh AeFlytte


Code name target : Dia

Status : tersangka.

***

"Gue tunjukin tapi lo jangan nengok ke orangnya. Ngelirik aja, ya, awas kalau sampe nengok. Nah, di belakang lo ada orang yang duduk di bangku hijau, 'kan? Di samping cowok itu ada cowok lagi. Dia yang ituloh, yang pakai jam hitam di tangan kiri. Jangan nengok! Astaga, gue kan udah bilang May!"

Kurasakan tangan Lisa mencubit pahaku keras-keras.

"Sakit, Lis, sakit! Ampun!"

"Ih udah dibilangin juga jangan nengok, May!" Lisa cemberut.

"Maaf ya, hehe," aku nyengir, "gue ini tipe yang nggak bisa ngelirik. Kepala harus ikut gerak kalau mau lihat ke samping."

"Kalau gitu kenapa nengok juga? Orangnya jadi sempat lihat sini, 'kan? Duh, nanti kalau misi gue ketahuan gimana coba, May?"

"Misi apaan sih, Lis?" tanyaku dengan tingkat penasaran tinggi, "dari kemarin lo minta gue temenin masi-misi melulu. Nama orang yang lo targetin juga gak lo kasih tahu. Ya gimana gue bisa bantu."

"Emm, sekarang gini aja deh, May. Kita bikin code name buat orang itu."

"Lis, perkataan lo nggak nyambung sama yang gue omongin." kataku dengan wajah datar. Lisa memang suka mengabaikan orang lain seenaknya.

"Emang lo ngomong apaan?" tanyanya dengan ekspresi yang minta ditampar.

"Nggak. Nggak jadi. Balik aja bahas code name atau apalah itu."

"Oke. Jadi, code name biar kita gampang sebutnya adalah 'dia'."

Aku terbatuk. "Klise banget astaga. Kreativitas lo udah terkikis sebegitu jauhnya, hah? Kasih nama yang bagus dikit, kek! Lagian kenapa nggak lo sebut aja nama aslinya, sih?"

Lisa menggeleng kuat, "Walau lo ngebantu gue menjalani misi ini, kerahasiaan target tetap hanya gue yang tahu. Tugas lo adalah bantu gue, bukan mengetahui rahasia. Jadi--"

"Bentar," aku memotong perkataan Lisa yang terdengar diktator,
"Apa maksud perkataan lo barusan? Enak banget ya, gue kayak babu lo lama-lama."

"Yee Mayra, katanya lo mau bantu gue."

"Nggak kalau kayak babu."

"Ntar gue bakal kasih tahu semuanya setelah semua ini selesai, kok, May. Gue janji. Lo bisa pegang kata-kata gue."

***

Code name target : Dia

Status : tersangka.

***

Sulit mempertahankan identitas si 'dia' karena kami satu sekolah. Pada tiga hari kemudian, setelah mengamati Lisa yang hanya berfokus ke satu orang, akhirnya aku tahu siapa si 'dia' itu. Dia adalah siswa kelas dua belas, mantan ketua divisi organisasi Palang Merah Remaja, dan laki-laki. Tapi, untuk menjaga kerahasiaan misi ini dari orang-orang, kami sepakat untuk tetap memanggil nama kakak kelas itu dengan code name dia.

Istirahat kedua, aku baru saja kembali dari koperasi sekolah. Lisa yang menolak saat kuajak jajan, kini sedang sibuk mencoret-coret sesuatu di bagian belakang buku tugas biologi miliknya. Aku melihat sekilas, ia tampak menulis kata-kata yang terhubung dengan garis-garis. Mirip seperti peta konsep yang biasa kulihat di halaman pertama tiap bab di buku-buku pelajaran. Melihat ada kata "dia" diantara garis-garis itu, akhirnya kutahu kalau Lisa sedang mencoba merangkai peristiwa demi peristiwa.

"Mau nggak, Lis?" aku menyodorkan keripik talas berbumbu balado plus micin yang baru saja kubeli.

Lisa mengambil satu dari plastik, menggigitnya sambil meneruskan kesibukannya.

"Apaan tuh?"

"Ini, peta relasi 'dia'."

"Relasi apaan dah," komentarku sambil kraus-kraus mengunyah keripik, "Gue aja masih belum tahu tujuan lo nyelidikin si' dia' itu buat apa. Lo nggak keliatan naksir sama 'dia', jadi, apa sih tujuan lo?" Normalnya sih, seorang cewek SMA sampai seserius itu mencari informasi tentang seseorang itu karena dia memang suka dengan orang tersebut. Tapi Lisa tidak. Mungkin inilah definisi "sebatas kepo" yang biasa dijadikan alasan para cewek tatkala ketahuan sedang mencari info tentang gebetan mereka. Lisa mungkin benar-benar hanya kepo, tanpa suka.

Tapi, kepo sampai membuat peta relasi orang yang bersangkutan kan aneh!

"Udah dibilang, rahasia tetap milik gue. Lo 'kan asisten, nggak usah banyak tanya dan bantuin gue sini deh."

Aku melirik Lisa sebal. Hobi sekali dia bersikap bossy pada teman sebangkunya sendiri. "Bantuin apa? Lo suruh gue ngapain?"

"Eh, bantuin gue apa ya? Masalahnya peta relasi ini isinya rahasia semua gimana?"

"Yaudah kalau gitu gue bantuin nonton," aku mengunyah keripik talas keras-keras. Lisa hanya nyengir kuda. Ia melanjutkan berkomat-kamit tidak jelas sambil menggores ujung pensil pada kertas, persis seperti nenek sihir yang sedang mencari mantra baru.

"Permisi, ada Mayra nggak?"

Mendengar namaku dipanggil, aku menoleh ke asal suara. Seorang gadis berjilbab memanggilku dari pintu kelas. "Ya Dil? Kenapa?"

"Sini deh May." Dila melambaikan tangan, memintaku mendekat. "Nih ya May, lo kan di mading edisi ini tugasnya jadi seksi perlengkapan,"

"Iyaa." Aku mengangguk-angguk, mencium aroma perintah darinya.

"Nah, gue minta tolong mintain koran di perpus dong. Gue sama Tasya nggak ada guru abis ini, niatnya mau nyicil mading biar nanti sore cepet selesainya. Jadi, lo ambil koran dan nanti bawa ke ruang mading ya."

"Oke."

"Sip. Makasih May!"

"Yoi."

Ketika aku akan melangkahkan kaki keluar, Lisa berseru, "May, lo mau ke mana?"

"Perpus. Mau ikut?"

Lisa nyengir lagi, "Oh, kagak. Sono pergi lu."

Aku berdecak, lalu segera pergi menuju perpustakaan yang berada nun jauh di bagian belakang sekolah.

Aku berjalan melewati koridor yang ramai. Siswa kelas sepuluh hingga dua belas banyak berlalu lalang. Entah ada yang menuju atau kembali dari kantin, dari atau ke masjid untuk salat, atau yang melewati koridor untuk hal lain. Perpustakaan ada di depan sana. Aku harus melewati jajaran kelas dua belas untuk sampai ke bangunan besar itu. Kadang memang malas sih, selain karena jauh dari kelasku, menuju ke sana berarti melewati koridor kakak kelas yang biasanya penuh. Kadang aku heran, untuk apa mereka menghabiskan waktu untuk mengobrol di depan kelas, bukannya di dalam saja. Tebak pesona, mungkin. Benar saja, koridor kelas dua belas ramai. Aku malas harus jalan berbungkuk-bungkuk demi sopan santun. Oh ya, jangan lupa pasang senyum agar tak dicap adik kelas kurang ajar.

Sesampainya di perpustakaan, setelah meminta izin mengambil koran kepada ibu perpus yang galak, aku segera menuju ke rak tempat koran-koran ditumpuk. Koran lama ada di rak paling bawah, jadi aku harus berjongkok untuk mengambil beberapa bundel kertas kelabu tersebut. Tema mading kali ini adalah retro. Rencananya, koran lama ini akan dijadikan sebagai backgroundnya, jadi aku sekalian mengambil yang sudah terlihat kumal.

Kurasa lima bundel sudah cukup. Aku segera berdiri sambil membawa tumpukan koran lama. Tapi, sempat oleng karena bahuku menabrak sesuatu ... Atau seseorang.

Dan betapa kagetnya aku ketika mengetahui apa yang bahuku tabrak.

"E-eh, maaf kak! Maaf banget kak!"

Dia mengangguk, tersenyum. "Santai aja kali," dia melirik tumpukan koran yang kubawa, "koran yang lo bawa itu tanggal berapaan?"

"Oh, ini udah tiga bulan yang lalu, Kak."

Dia mengangguk-angguk, "Lo tau koran baru di sebelah mana? Gue jarang ke perpus jadinya nggak tau, hehe. Buat tugas berita Bahasa Indonesia."

"O-oh," kataku lumayan terbata, berada di dekat dia membuatku merasa aneh, "ini kak, di tumpukan paling atas."

"Oh di situ. Thanks ya."

Aku mengulas senyum dan mengangguk, lalu buru-buru pamit.

"Eh, tunggu," kurasakan tangan seseorang menahan bahuku agar tidak beranjak. Aku berbalik sambil sibuk mengeluh dalam hati. Nih orang mau apa lagi, sih?

"Gue tau lo," kata pemilik code name dia dengan ekspresi serius yang membuatku merinding, "Lo yang sering bareng Lisa, 'kan? Kenapa akhir-akhir ini, kalian menguntit gue? Emangnya gue nggak tau?"

Waduh.

Mampus.

***

Code name target : Dia

Status : kesaksian.

***

Aku menghabiskan sisa pelajaran di hari ini tanpa bisa fokus. Lupakan soal kumpul mading sore ini, aku sudah bertekad untuk membantu Lisa dan 'dia' menyelesaikan urusan mereka.

Lisa berkali-kali bertanya mengapa aku mendadak diam setelah istirahat, aku seperti manusia tanpa energi jiwa, katanya. Aku hanya membalas sekenanya, pikirku masih berkelana mencari kata yang tepat untuk mempertemukan kedua belah pihak. Aku tidak mengerti mengapa 'dia' menceritakan masalah mereka begitu saja kepadaku sementara Lisa menutupnya rapat-rapat. Ah bodo amatlah, yang jelas aku gemas sendiri jadinya.

Pada akhirnya, tidak ada kata-kata puitis apalagi kejadian dramatis yang kugunakan untuk mengajak Lisa bertemu dia. Aku sudah berjanji akan bertemu dia lagi sepulang sekolah, di perpustakaan, tempat yang jarang dikunjungi para siswa.

"Ih jangan tarik-tarik, May! Jalannya pelan dikit napa sih?"

"Gue buru-buru ini. Udah diem, sekarang lo nurut gue deh, jangan protes."

Aku memaksanya masuk ke dalam perpus yang sudah sepi. Ibu perpus sedang pergi entah ke mana, hanya ada satu orang sudah duduk sambil bermain ponsel di meja baca.

Lisa menahan lenganku agar tak masuk.

"Ada dia, May."

"Emang." jawabku santai sambil menariknya paksa. Akibatnya, kami mencipta suara gaduh yang menyebabkan dia menyadari kehadiran kami. Seperti yang kuduga, cowok itu menatap kaget.

"Kalian harus ketemu di sini, sekarang." Aku memaksa Lisa--yang masih berontak--untuk duduk tepat di hadapan si dia.

"Kok lo--"

"Maaf ya, kak," Sebenarnya, tadi aku berjanji untuk bertemu dengan dia lagi karena penjelasannya terpotong oleh bel tanda istirahat berakhir. Tapi, karena aku sudah mengerti, jadi aku memilih untuk menuntaskannya sekalian, "Silahkan kalian berdua berbicara. Gue menunggu di luar."

Lisa bermaksud untuk menyusulku yang melangkah pergi, tapi panggilan dia menghentikan langkah Lisa.

"Lis, temen lo benar. Kita harus bicara."

***

Code name target : Dia

Status : Bebas

***

"Lo ninggalin gue May, jahat lo."

Pagi hari, diriku sudah disambut dengan serapah dari mulut Lisa yang datang hampir terlambat.

"Yakali gue nunggu kalian. Bisa abis duluan gue jadi serpihan debu gara-gara kena deflasi."

Lisa meletakkan tasnya ke meja dan menghempaskan punggung di kursi kayu yang keras. Ia mengernyit, "Apaan deh. Deflasi apaan juga. Hobi banget ngaco, lo ya."

Aku melirik Lisa sambil terus menyalin tugas fisika yang nanti harus dikumpulkan, "Deflasi adalah proses pengikisan batuan atau tanah yang diakibatkan oleh angin. Yah, jadi maksud gue itu, kalau gue nunggu lo berdua ngobrol sampe selesai, tubuh gue bakal abis terkikis angin."

Lisa tambah melongo, "Ha! Jayus lo, dasar anak salah jurusan."

"Itu geografi dasar, di SMP juga pernah kali."

"Ah, nggak peduli gue ah, May." Lisa menangkupkan kepalanya di atas meja.

"Gimana kemarin? Dia gimana sama lo?"

"Biasa aja." katanya tanpa mengangkat kepala.

"Biasa gimana? Dia nggak nganggep lo adik gitu atau gimana?"

"Sebaliknya May, huaaa!" Lisa tiba-tiba memelukku, membuat tinta pulpenku meluncur bebas melintang sepanjang kertas folio. Barisan angka dan kata yang kutulis dengan berhati-hati agar tak ada noda tip-ex di lembar tugas, kini tercoreng oleh garis tebal melintang.

"Lis, lo nyoret tugas fisika gue--"

"Kak Bima minta maaf sama gue, May! Dia nangis karena merasa pengecut. Dia juga sama kayak gue, ragu buat memastikan kalau gue  beneran adiknya apa bukan. Lima belas tahun itu waktu yang cukup untuk membuat seseorang lupa! Apalagi, mama papa pisah pas kita berdua masih TK, itu udah lama banget gila. Gue bahagia banget, May! Kak Bima manggil gue 'adek' lagi, walau dia juga udah punya adek baru! Menurut lo, apa gue harus cerita ini ke Mama?"

Aku menepuk-nepuk puncak kepalanya, "Cerita aja, Mama lo pasti kangen sama anaknya."

"Oke sip." Lisa melepas pelukan, lalu senyum-senyum tidak jelas.

"Kenapa sih lo?" tanyaku karena dia menyeringai tidak wajar kepadaku.

"Tau nggak si, May? Kak Bima sempet ngira kalau lo suka dia karena kita berdua sering muncul di jarak pandangnya. Gue malah curiga kalau kakak gue yang suka sama lo, deh."

"Apaan dah, ngaco." Aku melambaikan tangan, menepis pemikiran ngaco Lisa yang sedang kumat.

"Kak Bima nyuruh gue buat ngajak lo makan."

"Hah? Buat apa?"

"Ucapan terima kasih, katanya. Tapi gue sih nggak percaya."

Aku melirik Lisa sebal. Apa dia nggak ada pekerjaan lain selain memikirkan sesuatu yang tidak penting seperti ini?

"Ngomong-ngomong Lis, apa kerjaan fisika lo udah kelar?"

Terjadi jeda sejenak.

"Eh astaga! Baru setengah!"

Syukurlah pembahasan itu berhenti karena Lisa mulai panik akan tugasnya padahal bel masuk sudah meraung-raung.

Soal masalah Lisa, aku ikut senang, sih.

Lisa dan kakaknya terpisah selama  lima belas tahun karena perceraian kedua orang tua mereka. Sementara itu, setelah perceraian, keduanya hampir tidak pernah bertemu, seakan memiliki kehidupan sendiri-sendiri. Kata Lisa, dia bahkan hampir lupa kalau punya kakak laki-laki. Tapi namanya juga saudara, selalu ada ikatan yang lebih kuat untuk mengenalinya walau telah dipisahkan. Lisa ragu untuk memastikan, bahkan sampai menyeretku ke dalam misi konyol mencari informasi orang dengan code name : Dia. Aku masih tak habis pikir, kalau Lisa memberi tahuku sejak awal tanpa sok merahasiakan masalah itu, aku jamin, urusan mereka sudah selesai sejak lama.

***

Code name target : Dia.

Status : selesai.

***

-°●°●°●°-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro