• Fallen Inquinira - Zep's Secret •

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

[Tema No. 7 – LANGIT]

Fallen Inquinira – Zep's Secret
oleh KagayakiMiHa

Judul: Fallen Inquinira – Zep's Secret File
Genre: Science Fiction + Romance

* * *

Bunyi konstan mesin pendingin itu memenuhi ruangan kedap suara ini sekaligus menghasilkan dingin yang menusuk tubuhku. Membuatku kembali mengeratkan selimut tipis yang tidak banyak membantu dan menariknya sampai menutupi seluruh tubuh.

Aku membuka mata, berjalan pelan untuk mengambil minum karena rasa kering yang mendera bibir serta tenggorokanku. Merasakan lantai putih itu menularkan dingin pada telapak kaki dan membuatku berjalan cepat sembari berjingkat untuk mengurangi luas permukaan yang menyentuhnya. Setelah itu, aku kembali duduk di tepi ranjang dan menyelimuti diri. Menggosok kedua telapak tangan lalu mengembuskan napas perlahan.

Sebenarnya, aku tidak lemah menghadapi dingin. Tapi, jika keadaanmu mengharuskan untuk mengenakan kain tipis yang terbuat dari katun dan dikurung di ruangan bersuhu 15° selama 43 jam, kurasa itu bukanlah hal yang mudah. Dan aku sedang mengalaminya, selama 43 jam 27 menit.

Aku mengedarkan pandanganku. Menatap meja putih, pintu kamar mandi, dan ada satu hal yang menonjol dari ruangan ini, yaitu pembatas kaca di hadapanku yang kini tampak hitam. Gelap gulita.

Sejenak, aku melihat celah cahaya yang masuk membentuk garis lurus di antara kegelapan itu, membuatku memicingkan mata lebih tajam.

"Halo."

Suara dari speaker yang terpasang di dua sudut ruangan ini diserap oleh saraf sensorisku dan mengubahnya berupa informasi suara sosok yang kukenal. Dia, lelaki berperawakan tinggi--dan kuakui tampan--itu duduk di tengah kursi dengan sinar yang menyorotnya. Menyisakan cahaya pudar yang tengah melingkupi dirinya.

"Apa kabarmu, Zure?"

Aku terdiam. Menatap tajam padanya.

"Apakah mungkin ... kaulupa padaku?"

Aku menggeleng. Tersenyum ketus. "Bagaimana bisa aku lupa dengan seseorang yang telah mengkhianatiku? Dan," ucapku sarkastis, "jangan memanggilku dengan sebutan itu. Kuperingatkan."

Ia tertawa. Menggeleng pelan lalu tersenyum, membuat lesung pipi yang dulu--jujur masih--kukagumi itu muncul di kedua pipinya. Menambah kadar ketampanan yang ia punya ... tunggu, apa?

"Bagaimana kabarmu?"

Aku menautkan kedua alis. Tentu saja, sosok itu tidak pernah berbasa-basi dan anehnya ia menanyakan hal itu.

"Pertanyaan klise," jawabku datar.

"Apa susahnya untuk menjawab 'aku baik-baik saja' atau 'aku tidak baik-baik saja'?"

"Untuk apa aku menjawabnya?" Aku memutar bola mataku, jengkel. "Apakah kau tidak bisa menafsirkan keadaanku saat ini? Kau bisa melihatnya dengan jelas."

Ia terdiam. Menautkan kedua tangannya dan memilih menatap ke bawah. "Baiklah, lupakan basa-basi barusan. Itu bukan style-ku."

Tepat sekali.

"Intinya, aku hanya ingin bilang bahwa setelah masa karantina ini, kau akan kembali ke permukaan. Itu saja."

Mataku membulat sempurna mendengarnya. Kuhempaskan selimut yang melingkupiku dan memukul kaca tebal yang membatasi kami.

"Omong kosong apa yang kau katakan?" geramku.

"Aku sudah mengatakannya dengan jelas tadi. Dan itu bukan omong kosong."

Napasku semakin memburu. Tidak menghiraukan dingin yang kini tergantikan oleh kenaikan suhu tubuhku, atau mungkin suhu hati dan otakku.

"Apakah semua ini tidak cukup?! Apakah bagimu jabatanku sebagai kepala biokimia dicabut belum memuaskanmu, hah?!" Aku mengacak rambutku frustrasi. "Sekarang kauingin aku meninggalkan Inquinira, begitu?"

Pria itu mengangguk.

Aku memukul kaca itu kembali. Menatap benci sosok pria yang pernah kucintai dan menahan diri untuk tidak berkata kasar karena seorang Azura Adelliandra tidak akan pernah berkata kasar. Salah satu prinsip yang kutanam sejak aku mengetahui ada kata seperti itu di dunia.

"Apakah itu adalah lanjutan dari skenariomu? Skenario yang sudah menjebakku sampai dikarantina seperti ini?" tanyaku mencoba tenang.

"Ya, tentu saja. Memangnya aku hanya akan menjebakmu seperti itu?" Ia menggeleng dan tertawa. "Akan lebih seru jika kaukembali ke permukaan dan akhirnya, penghalang terbesarku bisa hilang."

Aku mengepalkan tanganku kuat-kuat. Memejamkan mata, lalu mencerna ucapan pengkhianat di sana. Sebenarnya, semua sudah jelas. Namun, otak dan hatiku tidak sinkron. Tidak mau berkompromi satu sama lain.

Logikaku percaya.

Hatiku tidak.

Menyebalkan memang. Ketika dua hal ini saling bertentangan, pasti urusannya akan panjang. Mengganjal, membuatku sakit kepala.

Lalu mungkin karena itulah aku melempar cincin pertunangan kami ke arahnya walaupun terhalang oleh kaca tebal itu. Mengatur napasku yang memburu dan duduk kembali di tepi ranjang sembari memijit kedua pelipisku.

"Hal paling bodoh yang selama ini aku lakukan adalah mempercayaimu. Mencintaimu." Entah mengapa dadaku sesak dan mataku memanas. "Aku menyesal karena melakukannya selama ini. Aku harap pertemuan antara kau dan aku tidak pernah terjadi."

Ya, akhirnya logikaku menang.

Kurasakan keheningan muncul, tapi tak lama kemudian ia menjawab, "Baiklah, aku akan pergi. Urusanku saat ini denganmu sudah selesai."

Aku memilih menunduk. Tidak sudi menatapnya lagi untuk terakhir kalinya.

"Sebagai penutup, janganlah hidup sebagai daun yang terjatuh ...."

Setelah kalimat itu, tidak ada lagi kata-kata yang kudengar darinya dan kusimpulkan ia telah meninggalkan ruangan itu karena cahaya yang menyorotnya tadi pun sudah tidak ada.

Aku mengedarkan mataku dan berhenti pada cincin yang tergeletak tak jauh di sana. Mendongak ketika mata ini mulai memburam dan berharap bahwa air mata itu tidak keluar.

"Tidak, aku tidak akan hidup menjadi daun yang terjatuh. Aku akan menemukan sejumlah angin sehingga aku dapat berada di atas kembali."

** *

Lima bulan yang lalu. Ketika para peneliti di Inquinira tengah menjalani rutinitas biasa yang orang awam anggap luar biasa, aku tengah membaca hasil penelitian tentang perkembangan hewan langka yang sedang kami uji untuk dikembangbiakkan. Tingkat keberhasilan sudah mencapai angka 90% dan sebuah senyuman terukir di bibirku.

Oh, ya. Aku belum memberitahukan kalian tentang Inquinira, ya?

Jadi, begini. Inquinira adalah tempat dari pusat observasi, studi, dan eksperimen para peneliti dan ilmuwan di seluruh dunia. Inquinira yang berupa pesawat raksasa ini memiliki sepuluh lantai dengan masing-masing lantai seluas 10 Km persegi.

Di bagian luar pesawat ini dilapisi oleh material TPS (Thermal Protection System) untuk menahan panasnya suhu ketika bergesekan dengan atmosfer dan menahan suhu yang sangat ekstrem di lapisan termosfer. Sumber tenaga utama pesawat ini adalah dengan tenaga surya dan mengorbit bumi dengan kecepatan 11 Km/detik.

Kurasa sudah cukup. Aku tidak akan menjelaskan lebih jauh karena aku sendiri bukanlah teknisi pembuat pesawat super ini. Aku hanya seorang kepala bagian biokimia dan bidang genetika adalah favoritku.

Oke, itu tidak penting.

Ketika aku asyik menulis laporan tentang perkembangan itu, sebuah bel menginterupsinya. Membuatku menatap sebal sosok yang kini berjalan santai ke arahku dengan kedua tangan yang ia masukkan ke saku jas putih itu.

"Ada apa dengan ekspresi itu?" Sosok itu dengan seenaknya duduk di kursi di hadapanku dan menguap sebentar. "Padahal aku sudah membuang tenagaku untuk berjalan ke sini."

Aku menggeleng pelan dan memilih untuk melanjutkan menulis laporan tadi.

"Oh, ayolah. Mengapa kau tidak menyambutku?" Ia bersandar dan melipat tangan di dada. "Bersyukurlah bahwa aku masih sempat mengunjungimu hari ini."

Aku menyerah. "Baiklah, katakan saja apa maumu."

Ia tampak berpikir sejenak. "Bagaimana dengan ciuman selamat datang?" ucapnya sembari tersenyum jahil.

"Itu berlebihan. Lakukan itu ketika kita sudah menikah nanti."

"Jadi kau mau menikah denganku?" Ia berlagak terkejut. "Aku tidak menyangka makhluk sepertimu mau menikah."

"Cukup." Aku mulai kesal. "Jika aku tidak mau menikahimu, cincin ini tidak akan aku pakai dan aku tidak akan mau menunggu selama dua belas bulan untuk hari sakral itu."

"Mungkin saja, kok." Ia memajukan tubuhnya dan menatap intens kedua mataku. "Jika kau menolaknya sekalipun, aku akan memaksamu untuk menerimaku apa pun yang terjadi."

"Ya, aku bersyukur karena menerimanya. Jika tidak, entah bagaimana aku akan terjebak dengan permainan gilamu itu."

"Terima kasih atas pujiannya."

"Jujur, itu bukan pujian."

"Baiklah, aku akan tetap menganggapnya sebagai pujian. Jadi, sudah berapa lama kau menunggu hari pernikahan kita?"

"Kurasa 3 bulan 25 hari 20 jam 56 menit."

Kudengar ia berdecak. "Hey, bagaimana mungkin kau bisa menghitung setepat itu?"

"Lagi pula, kau melamarku tepat jam dua belas malam, jadi aku bisa menghitungnya dengan mudah."

"Iya aku tahu, tapi tetap saja .... Eh, tunggu. Berarti sekarang jam 9 malam kurang 4 menit?"

"Kurang 3 menit," koreksiku.

"Yang benar saja." Lelaki itu bersandar lagi dan memejamkan matanya.

"Memangnya kenapa? Sepertinya kau kecewa."

Ia mengangguk. "Tentu. Hari ini aku tidak bisa makan malam denganmu lagi karena rapat panjang barusan."

Aku tertawa kecil. Berdeham pelan dan mengusap kepalanya. "Tidak apa-apa, ini bukan kesatu atau kedua kalinya. Jadi aku sudah terbiasa."

"Itu terdengar seperti menyindirku."

"Sebenarnya aku tidak bermaksud seperti itu. Tapi mungkin saja alam bawah sadarku yang ingin demikian."

Ia menekuk wajahnya. Well, kurasa sekarang ia yang kesal denganku.

"Whatever." Ia mengibaskan tangannya lalu berdeham. "Apa yang kau tulis tadi? Kurasa aku menyuruhmu untuk beristirahat dan tidak menulis laporan-laporan menyebalkan itu."

"Aku sudah sembuh, Zep. Kau tidak--"

Ia memegang keningku.

"Kau masih demam. Seharusnya kau mendengarkan kata-kataku. Simpan buku perkembangan hewan langka itu, lalu tatap diriku."

"Baiklah." Aku menutup catatanku dan menatap wajahnya--persis dengan instruksinya barusan. "Aku sudah menuruti kata-katamu."

Ia tertawa dan mengangguk. Membuat lesung pipi itu kembali muncul--salah satu hal yang paling aku suka dari dirinya.

"Kau ini memang penggila genetika. Kurasa kau ...."

"Apa?"

Ia terdiam sejenak. Sorot matanya tiba-tiba berubah serius, membuatku sedikit terkejut karenanya.

"Zep? Ada apa?"

Ia menggeleng pelan dan tersenyum kembali. "Kurasa kau harus menemukan sebuah penemuan baru. Tentu saja yang berguna untuk umat manusia."

"Untuk apa? Di permukaan, kan, masih baik-baik--"

"Jangan seperti itu. Gunakanlah kemampuanmu itu untuk membantu umat manusia. Anggap saja itu sebagai cadangan jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan."

Aku terdiam. Berpikir sejenak, dan akhirnya mengangguk walau agak ragu.

"Bagus! Kita jadikan ini proyek rahasia. Jika berhasil, kita akan mempresentasikannya di hadapan Pak Ketua dan para Kepala Bagian lainnya."

Akhirnya aku menuruti keinginannya tersebut. Mulai membuat suatu virus yang kami anggap dapat menyelamatkan umat manusia di masa depan.

Sebenarnya, kerja virus ini tidak rumit. Ia akan menjangkit inang--manusia--tapi tidak akan aktif jika tidak ada pemicunya.

Pemicunya sederhana. Emosi, yang negatif.

Jadi, virus itu akan 'tertidur' dalam otak manusia. Lalu ketika emosi negatif mulai muncul--seperti marah, benci, dsb.--virus ini akan bangun kemudian menghambat kinerja saraf di otak yang juga akan berdampak pada tubuh.

Jika kita kesal, virus ini hanya akan membuat kita pusing. Jika kita marah, virus ini membuat kita pusing dengan tingkat kesakitan di atas ketika kesal. Lalu, jika hasrat membunuh mulai muncul--oke, sebenarnya aku agak ngeri--virus ini akan membuat tubuh kita menjadi kaku dan akhirnya pingsan.

Kalian bisa membayangkannya, kan?

Maaf kalau tidak. Aku memang tidak terlalu pandai berkata-kata.

Sebenarnya ini bukan virus berbahaya, bukan? Dan menurutku virus ini sangat membantu jikalau nanti akan ada peperangan sehingga gencatan senjata skala besar dapat dilakukan. Apalagi ketika aku dan Zep--itu nama kesayanganku untuknya--bisa membuat virus itu menyebar melalui media udara.

Well, ini proyek yang pasti akan membuat ketua dan para kepala bagian terkesan--ya, sedikit kurasa.

Tapi, ketika keberhasilan virus ini mencapai 87% atau sekitar lima bulan pengembangan, entah kenapa informasi tentang pengembangan virus ini bisa bocor dan akhirnya membuatku di sidang. Padahal kami sangat berhati-hati dan melakukannya di ruangan pribadi yang tidak dijaga terlalu ketat.

Sidang yang cukup panjang serta menguras tenaga dan emosi. Ya, mereka menuduhku tengah mengembangkan virus yang dapat membahayakan hajat manusia--katanya.

Padahal virus itu belum selesai dan mereka sama sekali tidak tahu apa-apa tentang virus itu.

Tapi, apa yang kudapatkan? Aku mendapat hukuman karena telah melanggar peraturan yang berbunyi, "Tidak boleh mengembangkan suatu objek yang dapat membahayakan hidup manusia". Lalu menjalankan protokol yang ada.

Bagaimana dengan mantan calon tunanganku? Apakah dia tidak dihukum juga?

Haha, tidak. Saat aku melakukan pembelaan, dia hanya terdiam dan akhirnya malah menuduh semua itu padaku. Pengkhianat memang, dan aku sangat membencinya.

Aku juga mendengar bahwa dialah yang melaporkan proyek ini. Masuk akal juga, karena hanya kami berdua yang tahu.

Cukup cerita panjang lebarnya. Sekarang protokol pemulanganku sudah siap. Dikurung selama tiga hari pun sudah kujalani. Lalu, detik ini aku akan meninggalkan Inquinira.

Jiwaku. Cita-citaku.

Aku harus mengubur masa depan di tempat ini lebih lama. Ya, mau bagaimana lagi? Toh, sudah terjadi.

Tapi, sebelum aku meninggalkan tempat ini, sebelum pintu pesawat yang akan mengantarku tertutup, terbesit satu hal. Ya, si pengkhianat itu. Aku tidak tahu kenapa, tapi aku ingin melihatnya sekali lagi dan mungkin untuk terakhir kalinya.

Ya ampun, 'pertengkaran antara logika dan batin' ini mulai terjadi lagi. Aku pun menepis perasaan itu dan membalikkan badan. Memalingkan wajah dari pemandangan malam penuh bintang yang pasti akan kurindukan ini.

* * *

Aku menghirup dalam udara sejuk di hutan ini. Bersandar pada kursi kayu di bawah pohon yang tumbuh di halaman rumah kecilku dan menatap langit. Akhir-akhir ini aku suka memandang langit, tepatnya sejak kepulanganku dari Inquinira.

Semua kenangan di sana seperti tidak nyata. Seolah, hanya sebuah fatamorgana. Lalu, 'dia' juga seperti tidak ada. Mungkin saja lelaki itu hasil imajinasiku karena membutuhkan pendamping hidup yang akan memenuhi segala kebutuhan finansial, biologis, dan ... ah, sudahlah. Akhir-akhir ini juga aku sering berkhayal yang bukan-bukan dan merasakan gelisah setiap malam.

Apakah ini efek depresi atau frustrasi karena pergi dari Inquinira, ya? Kurasa tidak juga. Mungkin memang ada sedikit rasa sedih dan kecewa, tapi tidak sebegitunya. Aku masih bisa menjaga emosiku menggunakan logika yang ada, setidaknya seperti itu benteng pertahananku.

Tapi, ada sesuatu yang mengganjal. Ada sesuatu yang seolah menghantam dadaku dan membuatnya sesak. Membuat mataku sering memanas ketika melihat langit.

Apakah aku sedang pubertas? Merasakan kelabilan yang biasanya dirasakan remaja di usiaku yang menginjak 28 tahun? Hmm, mungkin saja. Saat remaja aku tidak merasakan itu. Aku tidak perlu khawatir bahwa Zep akan berselingkuh atau melirik wanita lain karena dia bukan tipe seperti i--

Tunggu. Kenapa aku mengingatnya? Kenapa aku memanggilnya dengan nama itu? Aku, kan, sudah memberinya gelar pengkhianat, bukan?

Dan, apa ini?

Air mata lagi?

Aku menghapus air mata ini dan memandang tanganku seraya tertawa hambar.

Bahkan, ketika saat seperti ini pun aku masih saja memikirkannya. Azura Adelliandra! Kau sudah ditipu oleh Septimus Alexander Xavier!

Ditipu!

Dikhianati!

Semua kenangan masa lalu itu tidak berarti! Big no.

Inginnya aku berkata itu. Dan mungkin logikaku sudah berteriak selama dua bulan terakhir ini, tapi lagi-lagi hati ini menentangnya. Haha, mengenaskan sekali.

Lelah karena gejolak emosi ini, aku bangkit kemudian berjalan menuju pintu rumah. Namun, tak lama kemudian suara yang tak asing memanggil namaku yang sontak membuatku membalik.

"Prof. Azura, Apa kabar?" sapa pria berperawakan besar dengan rambut blonde dan senyum khas itu.

"Kau ...," aku mengingat wajah familier itu, "Apa yang kau lakukan di sini, Robert?"

Ya, Robert Evanue. Asisten utama mantan calon suamiku itu--tidak. Si pengkhianat itu.

"Aku hanya ingin memberimu kotak ini."

Aku menaikkan alisku. "Dari?"

"Prof. Septimus."

"Untuk apa? Aku tidak akan menerima apa pun--"

"Tunggu!" Wajah yang terlihat selalu ceria itu berubah sedih. "Kumohon, demi janjiku padanya, terima hadiah ini."

"Harus?"

Ia mengangguk.

"Wajib?"

Ia memutar bola matanya. "Kau sama keras kepalanya seperti dulu."

"Baiklah, akan kuterima agar kau berhenti memanggilku keras kepala."

"Tapi kenyataannya memang seperti itu."

Aku terdiam sejenak. "Baik, aku tidak akan menyangkal. Kaumemang selalu saja menang."

Sebuah senyuman muncul di bibirnya. "Terima kasih! Kurasa, malam ini aku bisa tidur dengan tenang."

"Apa maksudmu?" Oke, aku penasaran. "Apakah akhir-akhir ini kau ... yeah, selalu merasa gelisah dan tidak bisa tidur dengan nyenyak?"

Ia tampak terkejut sebentar lalu berdeham pelan.

"Ya, itu benar."

Yes! Lampu hijau untukku. "Apakah kau pubertas lagi?"

Matanya tampak melotot dan wajahnya bersemu merah. "Tidak! Aku tidak puber kedua! Aku sudah menikah dengan istriku yang sangat cantik. Anakku ada dua. Yang satu seorang perempuan cantik bernama Virella lalu yang kecil dan tampan sepertiku--"

"Cukup." Aku mengangkat tanganku untuk menghentikan kalimat super cepat dan panjang itu. "Mengapa kau panik? Bukankah hal wajar jika kita pubertas? Merasakan kelabilan pada diri sendiri. Lalu, bukankah ada yang namanya pubertas kedua? Mungkin kau mengalaminya."

Ia menganga mendengar pertanyaanku barusan. Katakan, aku salah apa?

"Ah, tidak. Intinya, aku tidak mengalami masa pubertas kedua yang kau maksudkan itu."

"Lalu, mengapa kau gelisah?"

Sekarang, raut sedih itu muncul kembali dan ia menunduk.

"Sebuah alasan yang membuatku tak bisa tenang selama dua bulan terakhir ini dan sebuah permohonan yang akhirnya dapat kupenuhi."

Aku terdiam. Sebenarnya aku ingin tahu lebih lanjut, tapi aku menahan rasa 'sangat ingin tahu berbagai hal' yang sudah melekat dalam darahku sejak aku dapat berpikir, dan memilih untuk menepuk pundaknya.

"Aku tidak tahu alasan atau permohonan apa itu. Tapi, kurasa kau harus cepat melupakannya, karena itu tidak baik untuk kesehatan."

Ia tersenyum dan menggeleng pelan. "Aku tidak akan bisa melupakannya. Selama aku melihat langit, otakku otomatis akan mengingatnya."

Wah, masalahnya rumit sekali.

"Baiklah, aku tidak akan bertanya atau memberi saran jika seperti itu masalahnya. Karena kautahu, kan, kalau aku juga tidak terlalu handal dalam konsultasi psikologi atau memecahkan permasalahan hidup yang lebih rumit dari kalkulus dan kawan-kawan."

Kulihat bahunya berguncang dan membekap mulutnya. "Huft ...," lenguhnya. "Aku benar-benar rindu mengobrol dengan kalian berdua," ucapnya sembari menatap langit.

"Bukankah kau sering mengobrol dengannya?" Tunggu dulu. "Sebentar, apakah kau sedang masa cuti? Kenapa kau ada di permukaan sekarang?"

Ia kembali menatapku. "Ya, aku cuti. Cuti yang cukup panjang dan aku pun membawa kotak darinya untukmu."

"Ah, jadi seperti itu." Aku mengangguk berkali-kali. "Aku tidak akan menyampaikan rasa terima kasihku padanya."

"Kurasa itu tidak perlu. Kau bisa berterima kasih padanya sendiri."

Aku berdecih. "Tidak. Terima kasih."

Ia terdiam dan tak lema kemudian membalikkan badan. Memutus kontak mata di antara kami. "Apakah kau sangat membencinya?"

"Tentu, itu wajar, bukan?"

"Ya, tentu. Aku tidak akan menyalahkannya. Tapi," ia menghirup dalam-dalam udara sekitar. "Apakah kesalahan yang menyakitimu itu dapat menghapus kenangan-kenangan indah di masa lalu?"

Aku terpaku mendengar kata-katanya barusan. Apa maksudnya? Aku tidak mengerti. Baiklah, kalian boleh menyalahkan intensitas kepekaanku yang jauh di bawah rata-rata ini.

Tapi, sungguh. Aku tidak mengerti.

Karena larut dengan kebingungan ini, aku bahkan tidak mengetahui bahwa Robert sudah pamit dan meninggalkanku di sini.

Dengan ribuan pertanyaan sama yang berulang kali terlintas dalam benakku.

"Azura, semua ini ganjal. Lalu, apa yang sebenarnya terjadi?"

* * *

Kurebahkan tubuhku di atas kasur dan menatap kotak pemberiannya yang kini terletak di samping wajahku. Aku menatapnya sebentar kemudian membalikkan tubuh.

Jika aku menerimanya, bukan berarti aku tidak boleh untuk tidak membuka kotak itu, bukan? Lagi pula, perjanjiannya seperti itu. Ia harus memberikannya padaku, bukan memastikan aku sudah menerima dan membukanya, kan?

Oke. Ya, begitu.

Tapi, kenapa aku ingin tahu?

Huft, terkutuklah kau rasa 'sangat ingin tahu berbagai hal' yang membuatku mau tidak mau membuka kotak itu.

Dan akhirnya aku membuka kotak itu. Ada sebuah rasa puas yang kini semakin membuatku menjadi. Kukoreksi, untuk mengetahui lebih lanjut kotak ini karena pernyataan tadi agak ambigu.

Setelah membukanya, terdapat sebuah kotak yang kini memunculkan sebuah hologram. Ada tulisan di sana, dan otomatis aku membacanya dalam hati.

Jika kau melihat hologram ini, maka kau sudah berjanji untuk melihatnya sampai akhir.

Oh, sh--Oke, tarik napas ... buang. Seorang Azura Adelliandra tidak akan berkata kasar! Baiklah, lanjut.

Kini, di hologram itu muncul wajah Zep--maksudku Septimus dengan wajah yang tampak agak ... sedih?

"Hallo, Zure. Apa kabarmu?"

Aku tertawa sinis. Basa-basi lagikah?

"Yeah. Sekarang aku sedang basa-basimu denganmu. Sangat bukan style-ku, huh?"

Aku mengangguk mantap. "Exactly."

"Well, sebenarnya aku tidak suka berbasa-basi. Tapi, karena aku ingin berbicara denganmu lebih lama, aku lakukan hal kurang bermutu itu--setidaknya bagi kita berdua."

Aku memilih diam saja. Sebenarnya aku tidak sudi mendengarkannya bercerita panjang lebar. Tapi, karena aku sudah berjanji mau tidak mau aku harus mendengarkannya sampai akhir.

Prinsip seorang Azura Adelliandra nomor kesekian. "Tidak boleh melanggar janji".

"Tapi, hey. Sepertinya basa-basiku hanya sebatas mengucapkan kata 'apa kabar?' saja. Payah sekali, bukan?

Baiklah, aku tidak akan berbasa-basi lagi. Aku akan menjelaskan semuanya dari awal. Mengapa aku melakukan ini padamu. Mengapa aku melukaimu.

Semua pertanyaan itu. Aku akan berusaha semampuku untuk menjawabnya.

Kurasa kau tidak tahu, bahwa sekiranya dua bulan yang lalu atau bisa dibilang tiga bulan di masa depan saat aku membuat video ini dan malam kepulanganmu, aku akan mencatat sejarah. Dan kerennya sebagai pahlawan.

Aku tidak bermaksud sombong, tapi mungkin tiga bulan yang akan datang namaku akan menjadi trending topik.

Kau pasti tidak akan mengetahuinya karena aku tahu, jika kauingin menenangkan diri, maka kauakan memutus semua koneksi internet maupun media dan berdiam diri di tempat terpencil. Kutebak kau sekarang ada di rumah kecil di pedesaan yang dibeli dari gaji pertamamu, bukan?

Nah, hari itu mungkin kaulah satu-satunya yang tidak mengetahuinya--dan beberapa orang yang mengisolasi dirinya sepertimu.

Hari itu akan dikenang dengan nama "Fallen Inquinira". Hey, namanya tidak terlalu buruk, bukan?

Jadi, karena terdapat nama Inquinira, maka pasti hal itu terkait dengannya, kan?

Baik, akan kujelaskan. Jadi begini, apakah kau ingat tentang hari dimana aku  memintamu untuk membuat virus itu? Dan dimana aku menjalani sidang cukup panjang?

Nah, di sidang itu kami membahas sebuah meteor raksasa yang akan menabrak bumi dan diprediksi akan menghantam dalam waktu tujuh bulan yang akan datang. Jika kami tidak bertindak, maka bumi akan menemui akhirnya.

Di sidang itu pula kami berusaha membuat teknologi yang dapat membelah meteor itu. Terdengar gila, kan? Tapi mau tak mau kami harus membuatnya.

Dan setelah berjalan selama lima bulan--atau bisa dibilang min dua bulan--sesuai prediksiku, proyek itu tidak berjalan lancar. Ia menemukan titik kelemahan terbesar pada sumber energi.

Kapasitas energi yang dibutuhkan sama besar dengan kapasitas untuk menerbangkan Inquinira. Dan kami, tidak membuat alternatif selain menggunakan tenaga Inquinira itu sendiri.

Aku yang mengetahui bahwa proyek ini pasti tidak akan berjalan mulus pun rupanya mengambil langkah yang tepat. Aku membuat sebuah perjanjian dengan ketua agar kaudapat ke permukaan secepatnya tanpa mengetahui sedetail pun informasi.

Aku tidak ingin kau terlibat dengan hal ini, dan aku bersyukur karena pada saat sidang itu kau tidak bisa hadir karena sakit.

Dan, ya. Aku menjebakmu. Dengan memanfaatkan rencana pembuatan virus yang sudah kita lakukan selama lima bulan terakhir dan membuat sebuah sidang palsu yang hanya kami ketahui.

Tentu saja, dibalik itu semua ada konsekuensi. Ya, perjanjian itu membuatku harus menandatangani kontrak untuk menyelesaikan misi ini sampai akhir.

Misi yang pasti akan mengorbankan nyawaku.

Kau pasti tahu jika tenaga Inquinira habis dalam sekejap, maka Inquinira akan kehilangan keseimbangan dan jatuh, kan?

Maaf. Jika kau tahu kenapa aku tetap menjelaskannya, ya? Ah, sudahlah. Aku akan melanjutkannya.

Sebulan yang akan datang, kami semua akan memilih orang-orang yang sukarela mengorbankan jiwanya untuk menyelamatkan bumi. Dan aku salah satunya, yang menandatangani surat perjanjian itu.

Yeah, aku bisa membayangkan nanti di ruang angkasa akan menembakkan teknologi terbesar umat manusia itu dan jatuh bersama Inquinira I."

Aku melihat ia tertawa sumbang sekarang. Dan, air mataku sudah berjatuhan sejak tadi.

"Maafkan aku, Zure. Sungguh maafkan aku. Aku takut jika nanti kau adalah salah satu orang yang berkorban. Ya, karena aku tahu sifatmu itu. Sifat keras kepala yang mementingkan orang lain terlebih dahulu. Mungkin logika yang kau banggakan itu akan membuatmu bertindak di luar dugaan.

Kau bisa saja mengorbankan diri karena kau pikir, 'Mengorbankan satu jiwa untuk keselamatan seluruh umat manusia adalah hal yang wajar'. Hey, aku tahu sifatmu itu! Dan aku tidak mau menjadi seorang lelaki yang ditinggal oleh calon tunangannya! Big no."

Aku tertawa getir. Menahan rasa sesak yang kini membuatku sesak napas. Membuatku ingin menjerit sekuat tenaga.

"Akhirnya aku malah mengorbankan diri. Dan notebane 'Seseorang yang ditinggal calon tunangannya' jatuh padamu! Yeay!" Ia bertepuk tangan. "Oke, aku bercanda."

Dasar bodoh. Lelaki bodoh.

"Aku hanya ingin kau selamat. Lebih baik aku saja yang berkorban, tetapi jangan kau. Satu-satunya harapanku untuk hidup."

Memori masa kecil kami pun terputar jelas. Selama ini, ia selalu bergantung padaku. Seseorang anak lelaki berumur sepuluh tahun yang dari kecil menggemaskan dan yatim piatu. Aku mengerti bahwa aku sangat berharga baginya. Aku juga mengerti bahwa ia juga sangat berharga untukku.

Tapi, aku tak pernah berpikir. Bagaimana jika aku pergi darinya? Bukankah itu akan sangat menyakitinya? Aku memang orangnya tidak terlalu ambil pusing dan memilih untuk berusaha menyelaraskan hidup sesuai logika.

Tapi bagaimana dengannya? Ia tak sepertiku.

Sebenarnya ia rapuh.

Dan bodohnya aku, kenapa aku tak memikirkan sejauh itu?

"Kurasa semua sudah jelas, kan? Kalau ada yang tertinggal maafkan aku. Kau bisa menanyakannya padaku--tunggu. Kau tidak akan bisa menanyakannya, ya? Ya sudah tanyakan saja pada Robert atau Ketua, okay?

Lalu, aku ingin bilang bahwa aku sangat mencintaimu. Terima kasih sudah datang di hidupku. Terima kasih sudah menerimaku. Terima kasih karena sudah bertemu denganku pertama kali saat kita masih berumur sepuluh tahun."

Ia mengambil sesuatu dan sontak membuatku membulatkan mata.

"Cincin ini, cincin pertunangan sekaligus cincin pernikahan kita kau, tahu? Teganya kau melemparnya seperti itu. Oke, aku bercanda lagi. Intinya dua cincin ini akan selalu kubawa. Bahkan ketika nanti aku pergi. Kurasa, aku tidak akan mengoceh terlalu panjang lagi.

Aku akan mengakhirinya di sini. Jika kauingin membuangnya, lakukan saja. Aku akan terima. Oh, ya satu lagi. Ingatlah kata-kataku untukmu.

Jangan hidup seperti daun terjatuh yang tidak membenci angin. Bencilah angin itu. Bencilah aku. Sehingga, kau akan mudah melupakanku.

Tapi, jika kau tak bisa dan merindukanku. Tataplah langit. Karena aku ada di sana.

Selamat tinggal.
Aku menyayangimu. Zure."

—°●°●°●°—

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro