5

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

🎼

Dalam keramaian di antara banyaknya murid-murid yang berlalu lalang. Tak ada candaan, perbincangan, topik berbasis gosip, dan hal-hal lain yang bisa Hara tanggapin. Ia seperti mesin robot berjalan tanpa jiwa. Hanya raga yang mendiami seorang gadis bertampang jutek.

Siapa yang peduli, aku tidak butuh teman.

Moto terbaru yang selalu ia tanamkan dalam otaknya. Sejak berada dalam pengkhianatan beberapa bulan lalu, ia menjelma menjadi cewek penyendiri. Menjauhi sesuatu yang mengikatnya dan berlabel teman. Hara tidak ingin sakit untuk yang kedua kalinya. Cukup sekali saja ia jatuh, merangkak seperti orang tolol.

Apa dengan sendiri ia akan mati?

Apa dengan bersama ia akan bahagia?

Tidak selalu, tetapi berimbang. Tergantung bagaimana takdir seorang menyeret mereka dalam drama terbaik atau terburuk.

Siang ini ia akan ke kantin. Tentu ditemani angin, dan keriuhan dari siswa-siswi di sekitarnya. Menjalani sesuatu yang berbeda, menjadikanmu perlu bertahan supaya tahu bahwa semua itu tidaklah mudah.

Ekpresi Hara lempeng, menatap lurus pada jalan di depannya. Tungkai jenjang miliknya di seret santai. Namun, saat sampai di koridor kelas sepuluh. Hara melesat ke balik dinding. Ia seperti tengah dihantui makhluk tak kasat mata. Padahal Hara hanya ingin menghindari siswi berponi rata yang celingukan mencari sesuatu. Jangan salah sangka, ia bukan sedang menguntit. Melainkan menjaga jarak sejauh mungkin dari cewek yang masih dalam pantauannya.

Akhir-akhir ini ia sering dibuntuti oleh teman sekelasnya. Siapa lagi kalau bukan Alula si gadis aneh yang terus-terusan menempel padanya. Dari kejauhan, Hara tidak lagi menemukan sosok  Alula. Entah pergi ke mana dia, yang jelas untuk sementara aman.

Hara mengembuskan napas lega. Tetapi napasnya terhenti sesaat kala mendapati Gazy telah berdiri di belakangnya. Untung saja, ia tidak jantungan dan mati mendadak.

“Kamu ngapain di sini sih! Bikin kaget aja,” cibir Hara dengan mata menyalak.

“Aku cuma lewat,” katanya menatap datar. Ekspresi tak mengerti kentara di wajahnya, “apa yang kamu lakukan, apa yang kamu lihat?”

“Bukan urusanmu. Pergi sana.”

Hara mengusir cowok itu. Tak ingin memperpanjang obrolan. Bukannya pergi, Gazy masih setia berdiri di sana sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

“Apa?” tanyanya bernada tinggi. Ia merasa aneh ditatap oleh Gazy. Pikiran lain justru terbesit di otaknya. Manusia mesum.

“Aku ada satu permintaa—“

Stop! Berhenti, jangan bicara,” sela Hara tak mau mendengar lebih jauh kalimat selanjutnya. “Berhenti sok akrab denganku. Bahkan kita tidak saling mengenal, Man.”

“Tapi, bukannya kita teman sekelas. Lalu apa masalahnya?”

“Kamu, masalahnya kamu,” ucap Hara menunjuk Gazy dengan jari telunjuknya. Sesekali menyembul dari balik tembok, masih mencari keberadaan Alula. Satu anak hilang, datang anak lainnya.

“Hei, Ra. Aku benar-benar punya satu permintaan padamu.”

“Jangan meminta sesuatu dariku. Aku tidak akan mengabulkannya. Kamu pikir aku siapa? Pergilah.”

Hara tak peduli jika dianggap jahat. Toh mereka tidak saling kenal, dan tidak ada hubungan apa pun. Cuma tahu nama dan berada di kelas yang sama. Hara hanya ingin menjalani masa sekolahnya dengan damai. Apa ia tidak bisa santai sebentar saja?

Lagipula, Hara yakin jika cowok yang tampangnya mirip preman ini cukup mencurigakan. Ia memperhatikan Gazy dari ujung rambut sampai kaki. Rumor buruk yang mencap dirinya adalah bukti, bahwa Gazy termasuk anak yang perlu ia jauhi. Bukan hal yang menguntungkan. Bisa-bisa masalahlah yang mendatanginya.

“Kamu masih di sini? Baiklah, aku saja yang pergi, huh.”

Hara mencebik kesal dan beranjak meninggalkan Gazy yang masih terdiam di tempat.

^0^

“Hei-hei, Hara ayo duduk sini.”

“Tidak mau.”

“Kenapa?” pertanyaan yang sudah jelas bagi Hara, bahwa Alula perlu tahu diri. Sayang, cewek itu tak paham sedikit pun. Lihat saja tampang polosnya yang terlihat seperti bocah memelas.

“Ada apa denganmu? Berhenti mengikutiku,” kesal Hara karena Alula ikut duduk di belakang mengekorinya.

Percuma, iris Hara berusaha abai pada makluk di sampingnya yang cengar-cengir sendiri. Kalau tahu begini, ia tidak akan ikut ekskul drumband. Sebab, tanpa terduga Alula juga mengikuti ekskul yang sama dengannya. Apa ini sebuah kebetulan?

Sudah beberapa minggu cewek itu merengek minta sesuatu pada Hara, persis seperti yang Gazy lakukan. Tunggu …. kenapa ia jadi teringat cowok itu? Sepertinya isi kepala Hara ada yang salah.

“Ra, ajarin aku dong lagu kemarin. Aku belum bisa tau.”

“Minta ajarin orang lain aja.”

“Heum, nggak bisa,” cicit Alula memonyongkan bibirnya mirip ikan lohan.

“Maka belajarlah sendiri. Jangan karena kamu tidak bisa lalu menyusahkan orang lain.”

“Tapikan, belajar dari ahlinya lebih baik, Ra.”

“Terus?”

“Ya kamukan jago main pianika, nggak papa ‘kan kalo ajarin aku. Nanti aku traktir bakso tiap hari deh.”

Ini terdengar seperti dia sendang menyogok Hara dengan tawaran rendah.

Dari ekor mata Hara, ia hanya melirik tanpa menoleh. Pandangannya tetap fokus ke depan.

“Ayolah, Ra, ya, ya.” Alula masih merayu seraya mengguncang lengan Hara.

“Nggak mau. Aku sibuk.”

“Eeh, padahal aku pengen cepet-cepet nunjukin kemampuanku bermain alat musik ini ke Wika.”

“Itukan urusanmu, kenapa nyusahin aku,” ketus Hara tidak peduli sama sekali.

Menjadi orang baik terkadang malah memperumit keadaan. Ia belajar dari pengalaman pahitnya. Oleh karena itu, Hara kukuh menolak terang-terangan. Dari pada memberi jawaban mengambang dan berujung pengharapan.

Raut masam Alula terpampang jelas di wajahnya. Dia diam tidak berbicara lagi. Lalu mengeluarkan pianika dari wadah yang membungkus benda tersebut. Hanya dengan melihat keribetan Alula saja, membuat Hara mengeryitkan dahi.

Siswi itu mulai menekan tuts satu persatu. Sesekali berhenti melirik pada buku panduan, dia belum hapal kunci nada. Sekali, dua kali nada yang tercipta semakin mengarah pada ketulian. Hara yang berada tepat di sampingnya berusaha menghentikan gadis itu. Lantaran permainan Alula lebih terdengar seperti radio rusak. Beruntung saja, tak lama para senior ekskul datang dan kegiatan rutinan itu dimulai.

“Hei apa yang kamu lakukan? Ini semua apa maksudnya?” pekik Hara terkejut karena dengan tiba-tiba Alula menumpahkan isi tas miliknya di depan Hara. Hingga membuat ia sedikit berjingkat mundur.

Sesi latihan baru saja selesai. Sedetik kemudian, Alula kembali merusuh. Sebelum keanehan anak itu menular padanya, Hara buru-buru bangkit dari duduk. Namun, gerakannya terhenti karena ditahan oleh Alula. Mau tak mau Hara berdiri mematung.

“Ah, ketemu.” Rupanya Alula mencari sesuatu yang terselip di antara barang bawaannya. “Buat kamu.”

“Apa ini?”

Lagi ia mendapatkan jajanan stick berlumur coklat kering. “Jangan bilang in—“

“Titipan dari Gazy.”

Terperangah untuk kesekian kali. Hara dibuat melongo atas kelakuan teman-temannya yang aneh. Demi apa, Gazy kembali memberinya sekotak pocky. Yang kemarin saja ia tolak, walaupun di makan Sora bersama gengnya. Apa tujuan lelaki itu sebenarnya?

^0^

“Kamu, berhenti ngikutin aku.”

“Tapi, aku benar-benar punya satu permintaan. Jadi bisakah kamu dengar sebentar aja.”

“Nggak. Aku bilang nggak mau. Apa kamu penguntit?”

“Bukan.”

“Bagus. Kalo gitu berhenti sekarang, atau aku laporkan ke guru,” tegas Hara melototi Gazy, “dan jangan lagi memberi makanan atau apa pun lagi padaku.”

Kemudian, Hara langsung melesat keluar kelas, membiarkan cowok itu terpaku di tempat tanpa bisa berkomentar lebih jauh. Ia sungguh kesal akhir-akhir ini. Bagaimana tidak, Gazy terus-terusan mengekorinya, meminta hal aneh yang ia sendiri tidak ingin mendengar. Tetap saja, siswa itu tidak mengerti. Apa Hara perlu pakai bahasa planet?

Huh.

Ia tidak punya kewajiban untuk memenuhi permintaan Gazy. Lagipula, siapa yang begitu mudah terjerat dalam rayuan klasik. Cukup pengalaman buruknya di tahun lalu saja, hingga mengantarkan pada pengkhianatan yang menyedihkan. Hara hanya tak ingin kembali ditinggalkan oleh orang terpercaya, dengan label pertemanan. Semua palsu.

“Na, kamu yakin belanja sebanyak ini?”

“Iya. Kamu perlu beli juga, Ra.”
“Heum, nggak. Aku nggak perl—“

“Ini kayaknya bagus buat kamu,” sela Lana meraih dress selutut, dan mencocokkan di badan Hara.

“Na,hei, aku nggak beli. Kamu tau ‘kan gimana kondisiku sekarang. Lagian, aku cuma nemenin kamu.”
Hara berusaha menjelaskan agar Lana mengerti. Tetapi, temannya itu terlihat sangat tak stabil. Dengan wajah pucat dan bibir bergetar, dia tetap abai pada Hara.

“Sekali ini, Ra. Tt-olong ….”

“Kamu kenapa? Lana?”

Lana tak menjawab dan beringsut ke meja kasir. Tanpa terduga di sana sudah ada Sora, juga beberapa temannya. Berdiri sambil bersedekap tangan, menampilkan muka mengejek.

“Wah, liat siapa yang berhasil bawa Hara ke sini … Lana. Kerja bagus.”

“Kalian, apa yang terjadi?” tanya Hara tidak mengerti. Apalagi saat Lana ikut bergabung bersama si biang kerok Sora. “Na, kamu?”

Raut muka Hara keruh dengan rahang mengeras. Sementara, Lana hanya tertunduk tak bersuara. Membiarkan Hara sendiri menghadapi usikan Sora.

“Well, Hara santai aja. Lo belanja juga, masih sanggup bayar? Gue denger kalo keluarga lo lagi butuh duit?” sindir Sora sambil mendekat ke arah Lana, “bener nggak, Na?”

“Kamu!?" Hara menggeram kesal karena anggukan Lana.

Ia benar-benar ditipu oleh temannya sendiri. Padahal, Hara tak pernah berpikir bahwa Lana akan membeberkan rahasia keluarganya yang sedang terpuruk. Lalu, dengan gamblang Lana berkhianat begitu mudah. Sejak saat itu, Hara tak mudah percaya pada siapa pun. Hatinya tertutup dan mati rasa.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro