#3

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

| RavAges, #3 | 2808 words |

"TUTUP!" BENTAK seseorang yang tak bisa kulihat di atas sana.

"Dia sekarat di bawah situ," kata lelaki yang mengintip ke dalam. Matanya yang serupa kelereng disorot lampu senter menatapku lamat-lamat.

"SEKARANG, ALATAS!"

"Tunggu!" gerungku dengan usaha terakhir, membuat dadaku seperti meledak dalam rasa sakit. Namun, bongkah logam itu kembali menutup cahaya di atas kepalaku. Tunggu, aku terisak tanpa mampu bersuara lagi. Jangan pergi!

Aku tertunduk lagi tanpa daya. Aku pasti mati.

Beberapa menit lagi berlalu, yang rasanya seperti bertahun-tahun. Tiba-tiba logam itu kembali berkeriut. Aku mendongak dan melihat lelaki tadi. Disorotkannya senter ke bawah, menyiksaku dengan belati silaunya.

"Maaf." Dia mengalihkan arah senternya. "Kau nggak apa-apa?"

Tolong! Suaraku tak bisa keluar. Kuharap dia mampu membaca gerak bibirku.

"Apa?" Dia kembali mengarahkan senternya kepadaku, lebih seperti gerakan refleks, memaksaku berpaling lagi dari silaunya.

Apa semua laki-laki memang lemot atau hanya dia?

Tolong, ulangku dengan mata menyipit tersiksa. Padahal hanya cahaya senter, tetapi aku merasa seolah wajahku disengat api. Keluarkan aku!

"Erion." Lelaki itu bersuara. "Bisa kau capai dia?"

Kurasa dia tengah berbicara dengan orang lain. Kuharap bukan dengan pria kasar yang tadi menyuruhnya menguburku kembali.

Kuusahakan, terdengar suara samar, awalnya serupa dengung. Kupikir, aku berimajinasi karena telingaku penuh oleh tanah. Lalu, suara itu kian lama kian jelas. Berbentuk. Ada banyak kawat besi mencuat di sekitar kakinya.

"Apa?" Si lelaki bertanya pada temannya.

Logamah, kampret, Al! Kendalikan logamnya!

"Apa?" Lelaki itu bertanya dengan nada yang lebih mendesak.

"Logam," sahutku setelah berdeham. Suaraku terdengar seperti suara tersedak berdahak, bergema di antara lorong reruntuhan. Lidahku mengecap rasa bacin yang ganjil. "Ada logam mencuat di sekitar kakiku."

Dari mana temannya itu tahu ada kawat-kawat di sekitar kakiku? Aku sendiri mesti memicingkan mata untuk melihat kilat-kilatnya di bawah bongkahan tembok.

Cahaya senternya mendadak mati dan meninggalkanku dalam kegelapan total. Terdengar bunyi logam yang berkeriut. Kukira aku mengkhayalkannya saat melihat kilat-kilat besi di dekat kakiku membengkok. Bobot di atas kakiku bergerak turun dan menekan selama sesaat sebelum kemudian terangkat. Kurasakan ruangan membuka dan kakiku bisa diluruskan lagi. Lalu, badanku melayang ke atas.

Itu membuatku makin panik. Manusia tidak bisa terbang, 'kan?

Tanganku menggelepar di udara, mencoba menjangkau entah ke mana. Begitu sebelah tanganku mampu mencengkram tanah, telapaknya terasa panas seolah aku telah menyentuh bara api. Udara terbakar sampai-sampai wajahku terasa meleleh.

Segalanya meledak—tanah, bongkah bahan bangunan, badanku ....

Bunyinya hampir-hampir berdampak ke dalam kepalaku, tetapi entah bagaimana aku baik-baik saja. Aku masih berdiri. Legging hitamku bolong-bolong, tetapi kakiku utuh. Sisa reruntuhan membentuk kawah besar di sekitarku.

Asap dan debu mulai turun. Kobaran api kecil menyala di antara puing-puing. Di hadapanku, seorang pemuda dan satu bocah terlongo, entah karena melihatku meledak atau karena semua kawat yang beterbangan itu menancap dekat kaki mereka. Yang bocah kusimpulkan masih 10 tahun. Yang satunya adalah lelaki yang tadi terus menyenteriku, mungkin lebih muda dariku. Tubuhnya tinggi ramping, dibalut jaket kulit hitam lusuh sangar yang tak serasi dengan wajah bayinya.

"ALATAS! APA YANG KAU LAKUKAN?!" Seorang lagi muncul dari asap dan kabut pekat, tangannya mencengkram bahu si lelaki remaja. Dari suaranya, dia adalah pria kasar yang tadi menyuruh temannya untuk menguburku kembali. Begitu dia menampakkan dirinya, aku bisa melihat sesosok pria dengan postur tubuh tinggi besar berotot seperti seorang algojo yang habis menelan algojo lain.

"Ah ...." Alatas—si remaja berjaket kulit—meringis. "Maaf, Truck. Sepertinya aku dan Erion baru saja mengeluarkan seorang Peledak."

"Sudah kubilang!" Truck—namanya seperti badannya—menggeram. Sebelah kakinya melangkah ke depan, seperti kuda-kuda untuk menyerangku. "Semestinya kita langsung membunuhnya saat masih terkubur."

Spontan, aku berjengit. Kutatap sekitar, mencari jalan untuk lari. Namun, tempat ini terlalu gelap, terutama setelah api-api itu mulai padam. Langit kelam membentang di atas kepalaku, yang berarti ini masih malam ... atau sudah malam. Aku tidak tahu berapa hari aku terkubur. Satu-satunya sumber cahaya berasal dari senter kecil yang terkalung di leher si bocah lelaki—Erion, jika aku tak salah dengar Alatas memanggilnya tadi. Seluruh pemandangan tempat ini—selain tiga laki-laki dan satu perempuan—hanyalah semen, kawat rangka dari sisa-sisa pilar, dan asap.

Tapi, kayaknya waras. Aku mendengar suara itu lagi—agak sengau dan berat. Aku yakin itu adalah suara si bocah—Erion. Setidaknya dia bukan Multi-fervent.

"Multi-fervent?" tanyaku. Meski masih parau, rasa lega bisa keluar dari reruntuhan memberiku kekuatan lebih untuk bersuara.

Erion mengangkat alisnya. Perlahan, sudut bibirnya ikut terangkat, menyengir. Oh, seorang Brainware! Ah, berarti memang Multi-fervent.

"Brainware?" tanyaku lagi.

"Lihat? Dia gila." Truck menuduh. Matanya nyalang menatapku.

Erion berbalik, tangannya menepuk lengan Truck. Dia bicara denganku!

"Apa?" tanya pria itu, persis seperti nada kebingungan Alatas sebelum ini.

"Kau ...," kataku ragu-ragu kepada Erion, baru menyadari betapa anak itu sejak tadi tidak sungguhan bersuara. Sejak tadi aku mendengarnya di dalam kepalaku?

Erion menunjuk telinganya, yang baru kusadari ada sesuatu menempel di sana. Alat bantu dengar. Anehnya, dia masih menyengir saat bersuara lagi, Tunawicara, tunarunguterserah kau mau menyebutnya apa. Tapi, tidak penting. Kau tetap bisa mendengarku.

"Brainware." Alatas seperti sadar. "Kau bicara dengan Erion sejak tadi."

"Bagus!" Truck menggerung. "Dengan begitu, jadi lebih mudah buatku menghabisinya. Brainware selalu membuatku muak."

Erion buru-buru memasang badan antara aku dan para pria. Tinggi badannya hanya sepinggangku, tetapi sikap tubuhnya begitu mantap melindungiku.

"Erion ...." Alatas berbisik lirih. Matanya melirikku gelisah seakan aku bisa menelan teman kecilnya sewaktu-waktu. Truck sendiri terus tampak waspada. Tidakkah keduanya paham, akulah yang sejak tadi merasa terancam oleh mereka?

Erion mengabaikan mereka dan malah berbalik menghadapku, tangannya menyapu udara. Lantas, bak ditiup angin, coreng-moreng jelaga dan kotoran tanah rontok dari kulitku, berputar-putar membentuk liukan partikel serupa angin puyuh mini. Aku mesti mengerjap dan meludah karena debunya masuk ke mulutku.

Erion berbalik kembali ke arah teman-temannya. Jari mungilnya menunjukku.

"Kembali ke sini, Erion," perintah Truck. "Sini!"

"Truck," Alatas berkata sambil masih mengamatiku. "Kurasa, cewek ini tidak sama seperti yang lainnya."

Mata kami bertemu, yang seketika membuatku terkesiap. Tidak pernah aku melihat sepasang mata seperti miliknya. Warnanya seperti permukaan air berlumut. Bahkan dalam gelap di bawah cahaya senter, mata pemuda itu luar biasa memukau.

Erion mengangguk bersemangat pada Alatas. Jarinya menuding-nuding luka lecet dan darah yang mengering di sekujur lenganku.

"Kita tidak akan membantunya," bantah Truck.

"Kurasa dia tidak berbahaya," gumam Alatas. Mereka lantas berdebat.

Mataku jelalatan ke sepenjuru puing-puing. Ranselku hilang—ponselku di sana. Meski sinyal makin susah, ponsel adalah satu-satunya penuntunku. Aku tidak mengenal daerah ini sama sekali. Aku tidak tahu arah jalan lagi karena kekacauan.

Bagaimana caraku pulang?

Kuabaikan Erion yang masih berusaha mendapatkan perhatianku. Dia terus membuntutiku saat aku mulai mengarungi reruntuhan. Sedangkan Alatas dan Truck masih bertengkar, berdebat tentang apa yang mesti mereka lakukan terhadapku.

"Dia Corona—seorang peledak!" Suara Truck naik. "Dan Brainware! Seorang Multi-fervent, dan dia perempuan! Entah apa lagi yang bisa dia lakukan!"

Kedua tanganku saling remas dengan frustrasi. Kepalaku sakit, kakiku gemetaran, tenggorokanku kering, dan mataku perih. Seluruh badanku terasa remuk redam dan aku benar-benar ketakutan sekarang. Ayah dan ibuku di mana?!

"Hei," panggilku kepada Erion ragu-ragu. Saat dia mengangkat sebelah alisnya sebagai balasan, barulah aku berani meminta, "Bisa aku pinjam senter?"

"Wah-wah-wah! Tidak!" Truck meninggalkan Alatas dan tidak lagi peduli pada jarak aman denganku. Dia meregap bahu Erion, menariknya menjauhiku.

"Aku cuma ingin penerangan ke arah jalan," kataku. "Aku cuma ingin pulang."

Truck menepis ucapanku. "Rumahmu hancur! Satu-satunya jalan pulangmu cuma kematian."

Kepalaku kian panas dibuatnya. Sebelum aku menyadarinya, hal itu terjadi lagi—segalanya memanas. Mataku, wajahku—sekujur tubuhku. Lalu, panas itu berganti menjadi rasa dingin, suhu naik-turun hingga seolah udara lenyap di sekitarku. Seluruh badanku bergetar. Cahaya putih menguar dari setiap inci kulitku. Truck menyadari kesalahannya dan menyeret Erion mundur. Bahkan, Erion ikut menahan napas, membelalak menatapku.

"Dia akan meledak," kata Alatas, antara terkesima dan ketakutan.

"Hentikan!" Truck membentak. Jari telunjuknya menodongku. Aku merasa ada hal lain yang pria itu takutkan—dia terus menoleh ke suatu tempat ke langit, seperti cemas akan sesuatu di ujung sana. "Hentikan itu! Kau akan memancing para Icore!"

Aku bahkan tak lagi bisa peduli apa itu icore. Kudekati mereka dengan emosi yang meluap. Lalu, bumi berguncang. Awalnya, kupikir tanah berderak di bawah kaki ini adalah perbuatanku juga. Kemudian kusadari para cowok menatap ke ujung langit, lebih ketakutan akan apa yang ada di sana.

Cahaya menyurut dari seluruh tubuhku, dan rasa panas yang sempat membakar udara pun menghilang. Rasa takut menjadi satu-satunya yang menyelubungiku saat setiap patahan beton bergeser dan pasak setengah lebur berkeriut.

Gempa bumi?

Kami jatuh berlutut. Tanah dan puing-puing bergetar, bergolak, bergelombang seperti hamparan kain yang diambung dari kedua sisi.

"Icore!" Alatas berteriak menyaingi suara guncangan. Entah sejak kapan dia sudah berlutut di sampingku. "Dia kemari—makin dekat!"

"Lari!" adalah teriakan Truck yang segera kami patuhi tanpa banyak protes.

Alatas di belakangku. Truck memimpin di depan sambil menggandeng Erion yang mati-matian mengimbangi langkah lebar-lebarnya. Senter yang terkalung di leher Erion tersentak-sentak di dadanya, menyorot liar ke reruntuhan dan langit.

Di belakang, bongkahan tembok yang tadi menguburku terperosok, lalu hilang ditelan retakan tanah yang membuka. Pemandangan itu membuat kakiku ngilu.

Kami berlari. Melompat. Berteriak. Bunyi dengung di mana-mana, merambat dan merusak telinga. Dengung itu seperti berbentuk secara fisik, mengejar kami. Daratan terus membelah di bawah kaki bak mulut lapar, siap menelan segalanya.

Retakan terbesar membuka, dan mampuslah kami semua oleh gravitasi ke dasar jurang yang pekat.

Sebelum aku sempat memunculkan obituari kilat di dalam kepalaku, kusadari bahwa aku jatuh dengan lambat. Beberapa meter sebelum menghantam dasar, tubuhku mengambang di udara. Ah, bukan hanya aku ....

Kami berempat mengambang di udara.

Ujung sepatuku menangkap sesuatu yang padat. Permukaan, sesuatu yang datar, tetapi tak kasat mata. Sekitar satu meter di hadapanku, Erion merentangkan tangannya. Jari-jarinya yang mungil membuka tutup.

"Pelan-pelan, Erion," Alatas mendesah. Matanya melirik ngeri ke dasar jurang yang gelap. "Satu lapis lagi saja untuk menyelamatkan nyawa kita semua."

Meski tidak tampak apa-apa di bawahku, tubuhku bersikeras merasakan adanya permukaan yang mampu disentuhnya. Sesuatu yang bisa diinjak.

Erion yang pertama berdiri tegak di atas kesintingan ini. Melihat Erion berpijak di udara kosong, Alatas meneladaninya—goyah sesaat, lalu berdiri sepenuhnya. Truck mencoba hal sama, tetapi kemudian jatuh berlutut. Aku, tanpa kusadari, telah berdiri di atas kedua kakiku sendiri sejak tadi. Kakiku memijak mantap.

Erion mengangkat kedua tangannya ke atas perlahan. Bidang tak kasat mata yang kami pijak serta merta naik, mengikuti arah tangannya. Rasanya seperti di dalam lift, dengan lantai dan dinding dari kaca super transparan. Seketika lututku lemas. Isi perutku entah ada di kaki sebelah mana saat ini. Aku ingin muntah.

"Apa ini?" cicitku ngeri.

"Phantom," jawab Alatas. Terus kupandangi dia sebagai isyarat bahwa aku sama sekali tidak mengerti apa yang dia katakan. "Phantom, Nona Corona," ulangnya penuh penekanan, yang mana percuma. Aku makin tak paham mendengar istilah Corona yang disebutkannya seperti sebuah nama. "Yang dulu digolongkan sebagai telekinesis, tetapi namanya berubah menjadi Phantom."

Antara aku yang sudah gila atau dia.

Kami masih dalam perjalanan untuk naik ke permukaan saat seseorang melompat turun dari atas. Dilihat dari rambut ikal panjangnya yang berkibar, sepertinya dia perempuan. Saat dia mendarat di hadapanku, lantai tak kasat mata Erion bergoyang seperti akan runtuh. Anak itu bahkan ikut tergoncang seolah-olah dia menahan lantai ini secara harfiah. Keringat membanjiri wajahnya.

Kepanikan menyaput mata semua orang.

Perempuan di hadapanku ini tidak mungkin lebih tua dariku. Tinggi tubuhnya sama denganku. Dia mengenakan baju dan celana dril yang agak lusuh, tetapi rambutnya jatuh mengikal di kedua bahu seperti baru disisir. Warna matanya kelabu terang dengan tatapan nyalang. Aku tak meyakini penglihatanku, tetapi sepertinya aku baru menyaksikan kilat kecil di iris matanya, seperti sambaran listrik.

"Apa lagi yang kau inginkan, Icore?" Truck membentak gadis itu.

Icore—gadis itu—tak mengacuhkan Truck. Dia melangkah mendekati Alatas, yang perlahan menyeret pantatnya mundur. Di belakangnya, Truck bangkit berdiri dan mencoba menyerang, tetapi gagal saat gadis itu, tanpa menoleh, melibaskan tangannya ke arah Truck. Seperti terkena ledakan, Truck terpelanting dan nyaris jatuh ke kegelapan di bawah. Tangannya mengait ujung lantai tak kasat mata.

Icore menjaga keseimbangannya lebih baik daripada kami semua. Sebelah tangannya terulur. Seketika, tubuh Alatas terangkat beberapa inci. Icore bahkan tidak menyentuh Alatas sedikit pun, tetapi lelaki itu menggaruk-garuk lehernya dengan panik seolah Icore mencekiknya. Mata pemuda itu membelalak lebar. Kakinya yang tergantung mengayun-ayun.

Sial, sial, sial. Aku tidak mengerti apa yang terjadi, tetapi ....

Mataku memelototi tindik emas di telinganya. Kutanamkan segenap kebencian ke sana. Meledaklah! Meledak!

Tidak ada yang terjadi. Aku merasa idiot.

Aku tidak menyerah sampai sana dan beralih memelototi tanah. Aku meledakkan tanah sebelum ini. Mungkin ....

Bum!

Icore tersentak, begitu pula aku. Dia menoleh ke seonggok tanah yang baru meletup, memercikkan kembang api kecil. Serpihannya menjatuhi kepala Truck.

"Bukan aku!" Truck menukas saat Icore menatapnya dingin.

Kuhantamkan kepalan tanganku ke udara, mengincar mulut tebing di atas sana. Letupannya tidak besar, dan apinya langsung padam, tetapi perkiraan jarakku cukup akurat. Longsorannya berjatuhan ke atas kepala Icore dan Alatas.

Aku tidak bermaksud mengubur kami semua. Rencanaku hanya mengalihkan perhatian Icore, dan itu berhasil. Gadis itu melepaskan Alatas dari belenggu telekinesisnya dan mendongak ke atas, mencari-cari tersangka peledakan, sementara Alatas jatuh berlutut dan terbatuk-batuk.

Jarak pandangku terbatas di bawah sini. Namun, aku tidak punya pilihan. Kuledakkan apa yang bisa kulihat sebelum dia menyadari sumber masalah berada tepat satu meter di balik punggungnya.

Sekilas, saat tanpa sengaja aku melirik Truck, kudapati pria itu menggeleng-geleng ngeri ke arahku, memintaku menghentikan apa pun yang tengah kulakukan.

Aku tidak berhenti.

Sesaat yang memabukkan, aku merasa berkuasa. Rentetan letupan kecil itu terus berlangsung sampai Icore menoleh ke arahku. Tangannya terulur, dan meledaklah dinding tanah di belakangku. Sial, rupanya dia juga bisa.

Aku mencoba menghindari longsoran tanah saat gadis itu menyerangku. Tangannya bahkan tidak menyentuhku, tetapi aku merasakan cengkramannya di leher. Udara melesak habis dari paru-paruku.

"Erion!" bentak Truck. "Lepaskan!"

Di sela penglihatanku yang mengabur, kulihat Erion menurunkan tangannya dan pijakan transparan kami pun menghilang. Semua orang menjerit, tidak terkecuali Icore, yang langsung melepaskanku. Dengan ketepatan waktu luar biasa, Erion memunculkan lagi bidang tak kasat mata itu saat gravitasi tinggal beberapa meter dari meremukkan kami semua. Isi kepala dan perutku seolah dihempas.

Erion berdiri lebih dulu dan memukulkan tinjunya ke arah Icore. Aku tidak yakin dia punya tenaga untuk itu. Namun, hanya dengan satu ayunan tangan mungilnya, kudapati Erion melemparkan Icore ke langit sampai gadis itu lenyap.

Sungguh. Entah benturan itu telah merusak penglihatan dan otakku atau ini semua memang terjadi.

"Itu," kata Alatas sambil mengusap peluh di keningnya. "Keren."

Erion mengangguk-angguk. Keringat membasahi rambut dan bajunya, tetapi anak itu menyengir menatapku.

Selebrasi kemenangan kami dihentikan oleh geraman Truck. Pria itu berada jauh di sisi, tersudut ke dinding tanah. Kakinya tertekuk, terjepit oleh bidang tak kasat mata Erion dengan posisi yang sungguh tidak enak dilihat.

Erion menahan napasnya. Matanya membelalak, disaput rasa bersalah. Salah satu tangannya terangkat dan melakukan gerakan seperti menarik sesuatu. Kurasakan pijakan tak kasat mata kami bergeser, hampir membuatku dan Alatas tersungkur hilang keseimbangan. Kaki Truck pun terlepas dari belenggunya.

Truck jatuh berlutut ke atas pijakan tak kasat mata kami, tersengal. "Kau nyaris meremukkan kakiku, Erion. Tapi, terima kasih."

"Kau, Dik, bakal dapat jatah makanku malam ini," janji Alatas.

Erion menggeleng. Jarinya menunjukku.

"Oh, yah, benar." Alatas melebarkan senyumnya menatapku. "Terima kasih untukmu juga, Cantik." Lalu, matanya terarah pada Truck. "Entah bagaimana nasib kita tadi tanpa anak cewek ini, iya, 'kan?"

Truck meludah ke samping, tidak mengatakan apa-apa.

"Saatnya naik." Alatas menepuk-nepuk bahu Erion. "Kau masih kuat?"

Erion mengangguk. Satu tangannya terangkat seperti meraih langit, tangan lainnya masih menangkup pijakan kami. Kali ini, anak itu tidak lagi melakukannya dengan perlahan. Seketika .... Wush!

"Erion!" Truck membentak sesaat dan, begitu kami telah sejajar dengan permukaan, membungkuk ke samping untuk mengeluarkan isi perutnya.

Alatas mendesah sebentar, lalu merangkak menjauhiku. Sambil mencengkram salah satu gundukan tembok yang menyerpih, lelaki itu ikut muntah.

Aku memejamkan mata. Pening. Suara Truck yang berusaha mengeluarkan apa yang tersisa dari mulutnya mengundangku untuk melakukan hal serupa—mulutku jadi terasa asam dan isi perutku bergolak. Kujatuhkan diriku di samping Erion. Kutangkup wajahku dengan kedua tangan. Tubuhku basah oleh keringat. Rasa nyeri timbul-tenggelam saat aku melakukan gerakan sekecil apa pun. Seumur hidup, aku belum pernah terluka berdarah sebanyak ini. Sungguh mengherankan aku belum mati, tetapi aku bersyukur masih hidup.

"Icore pasti kembali lagi." Truck berkata sambil mendekati kami, rampung dengan aksi muntahnya. "Kita harus cepat."

Erion menyentuh lenganku.

"Uh-uh, Erion! Cewek itu tidak ikut dengan kita!"

Aku bangkit dari posisi telentangku. Kujaga suaraku agar tidak bergetar—aku tidak mau dia tahu aku kesakitan. "Aku tidak punya niat ikut kalian sedikit pun."

Alatas bergabung dengan kami. Dia menyeka debu di pipinya, yang malah membuat noda itu menyebar sampai dagu. "Jadi, kau mau ke mana?"

Aku menggeleng. "Ke mana saja, jauh-jauh dari kalian para pengubur manusia." Aku menoleh pada Erion. "Kau tidak termasuk."

Truck membuka mulutnya, entah ingin mengatakan apa, saat bunyi keriut menggema di atas kami. Tidak ada yang melihat bangunan itu masih berdiri di depan. Cahaya senter Erionlah yang sekelebat menyorot ke sana dan memberi kami secercah peringatan. Setengah bagian bangunan bertingkat yang tersisa, setinggi dua lantai dan sebagian besarnya hanya kawat-kawat dan serpihan tembok, bergerak condong ke arah kami. Perlahan. Namun, pasti.

Terlambat untuk menghindar, tetapi kami tetap bergerak. Saling tabrak. Berlarian entah ke arah mana. Mendekati dan menjauhi cahaya senter Erion.

Dan, bum ....

ヾ(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro