#61

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

| RavAges, #61 | 3855 words |

AKU TAK mengerti kenapa para Calor begitu tunduk pada Pyro.

Dia tak lebih tua dari Embre, tidak sebesar Truck, dan lebih pendek dari Alatas. Dia tidak menyemburkan api seperti jet dari kakinya, atau membuat kami terbakar seketika dengan jentikan jari. Yang menarik perhatianku hanyalah matanya yang menyala oranye, dan logam putih yang melingkari lehernya seperti choker.

Jujur saja, membayangkannya memakai choker, meski kalung itu terbuat dari belenggu logam sekali pun, justru membuatnya tampak menggelikan di mataku.

Aku dan Alatas sempat merancang-rancang cara kabur, tetapi Pascal menukas bahwa Phantom Erion terlalu besar untuk disembunyikan dari Detektor.

"Dan lagi, kepala Embre jadi taruhannya kalau kalian kabur karena dia yang membawa kalian kemari." Pascal kemudian menepuk-nepuk bahu Alatas seperti gestur bersahabat. "Cowok ini, 'kan, bisa mengalah. Dia harusnya membiarkanmu membunuhnya. Begitu kau dan satu temanmu yang hidup diserahkan ke Bintara, aku dan Embre akan cari cara untuk membebaskanmu dari komandan iblis itu."

Kuperhatikan Alatas yang tampaknya tak mendengarkan. Dia terus menoleh ke sudut lain arena di mana Truck dan Erion telah dipisahkan dari kami. Embre bersama mereka. Ketiganya membicarakan sesuatu yang tak bisa kudengar. Aku bahkan tak bisa masuk ke kepala Erion untuk menyimak seolah anak itu menolakku.

"Hei!" Pascal mencengkram bagian depan jaket Alatas. "Kau bakal mengalah ke Leila, 'kan?"

"Ya, ya, tentu," balas Alatas seolah hal ini hanya pembicaraan sambil lalu. "Tapi, bagaimana dengan Erion dan Truck?"

"Mungkin mereka sedang merundingkan siapa yang mesti mengalah," kata Pascal, yang seketika membuat wajah Alatas jadi pucat. Matanya menatap goyah ke seberang arena. Aku bisa merasakannya seperti sedang tercabik jadi dua—antara Erion dan Truck, dan dia sama sekali tidak bisa memilih.

Dia bahkan tak memikirkan nasibnya sendiri.

Alatas bergerak maju seperti hendak menyeberangi arena untuk mencapai Truck dan Erion, tetapi segera didorong mundur. Kami dipaksa duduk paling depan, diapit oleh para Calor yang barangkali ditugasi menjaga kami.

Alatas bertingkah seperti orang kebelet hendak ke toilet. Kakinya terus bergerak gelisah, dan berulang kali dia mencoba berdiri sebelum didorong untuk duduk kembali oleh pria besar di sisinya.

"Jadi ...." Pascal duduk di sampingku dan mengamati Alatas. "Dia ini Alatas?"

Aku menautkan alisku. "Ya. Kenapa?"

"Pacarmu yang kauceritakan waktu itu?"

Wajahku langsung terasa kebas, padahal para Calor di bangku penonton sedang dalam mode padam, dan baju ini lebih dari cukup untuk melindungiku dari suhu yang panas. Alatas sendiri langsung menoleh dengan raut wajah kebingungan.

Sial. Sangat, sangat sial. Aku lupa saat Pascal dan aku terjebak di markas NC, aku sempat berbohong kalau aku punya pacar agar dia berhenti menggangguku. Alih-alih menyebut Ryan, mantan pacarku, aku malah menyebut nama Alatas.

Aku bohong padanya, kataku berbisik ke benak Alatas. Karena dia terus-terusan menggodaku, kukatakan padanya aku sudah punya pacar. Namamu keluar begitu saja! Tidak ada maksud apa-apa!

"Oh," gumamnya. Kucengkram lututku sendiri. Ada rasa gemas yang ganjil ketika aku menyadari wajah Alatas ikut memerah. "Eh, iya, boleh-boleh saja."

Calor di sisinya tampak heran karena Alatas bicara sendiri. Sedangkan Alatas masih memakukan tatapannya padaku. Aku mesti menyusup ke benaknya lagi untuk mengalihkan perhatian Alatas ke depan. Erion dan Truck, kataku. Sekarang bukan saatnya memikirkan hal konyol yang Pascal ucapkan!

"Oh, betul!" seru Alatas dengan cukup keras.

Spontan, pemuda itu berdiri lagi sampai membuat Calor yang menjaganya kesal. Calor itu menghempaskan Alatas kembali ke kursinya. "Kau ini kenapa?!"

Di atas singgasananya, Pyro berdiri dan mengangkat satu tangannya. Hanya dengan gestur kecil itu, seisi arena menjadi hening. Semua sorakan berhenti. Bahkan Calor yang masih anak-anak seperti Ash pun seperti disihir untuk bungkam.

"Apa dia Brainware?" tanyaku berbisik.

"Sst," desis Pascal, lalu dia menggeleng untuk menjawab pertanyaanku.

Salah satu Calor di sisi Pyro memegangi sebuah mikrofon, dan gaya bicaranya mengingatkanku pada pembawa acara pertandingan tinju di televisi yang pernah ayah tonton bertahun lalu. Dia mengumumkan nama petarung, jenis Fervent, dan hadiah yang akan didapat pemenang: dijual ke Komandan. Sedangkan yang kalah akan mendapatkan satu keuntungan berupa kematian dengan tubuh utuh, alias tak tersentuh api Pyro. Aku tak mengerti kenapa hal itu disebut keuntungan.

Pria itu kemudian memberi tahu aturan utama di atas arena: pertarungan baru selesai setelah salah satu atau kedua petarung mati.

"Dilarang menggunakan arena sebagai senjata—diutamakan bagi Steeler."

Mataku mengamati lantai arena yang seluruhnya dari logam, tak memiliki jejak kerusakan mau pun karat. Baru kemudian aku terpikir, dari sekian banyak tahanan yang Pyro bunuh di sini, bagaimana bisa arena ini masih tampak baru?

"Serangan hanya diizinkan kepada lawan. Serangan yang sengaja diarahkan atau berpotensi membahayakan penonton sangat dilarang. Petarung diizinkan membawa senjata apa pun ke dalam arena sebelum pertarungan, tetapi dilarang memanggil senjata tambahan begitu pertarungan telah dimulai."

Aku melirik Alatas dan Erion bergantian. Artinya, Phantom dan Steeler tidak akan berguna banyak begitu memasuki pertarungan. Paling banter, Erion hanya bisa memelantingkan Truck sampai menderita patah tulang atau pendarahan ....

Aku mengerjap, lalu merasa ngeri pada diriku sendiri. Meski Truck dan aku tak pernah akur, tak sepantasnya aku lebih memihak Erion. Tak ada yang boleh mati di antara kami. Dan Erion tidak boleh menjadi pembunuh.

Baru kemudian rasa resah itu timbul. Kakiku bergerak gelisah seperti Alatas, dan rasanya aku jadi ingin berdiri untuk menarik Erion serta Truck keluar dari arena. Memikirkan harus ada yang mati—pasti ada yang mati—di antara kami, membuat isi perutku seperti dipelintir.

"Kalau peraturan tadi dilanggar," kataku, karena para penonton kembali bersorak usai peraturan dibacakan. "Apa yang akan terjadi?"

"Pyro akan membakar arena sampai para petarungnya gosong," jawab Pascal. "Logam arena ini titik leburnya melebihi 3000ºC—"

"Tungsten," sambut Alatas. Matanya mengamati arena. "Aku sudah jelas takkan bisa mengendalikannya dengan benar."

Aku menoleh lagi ke Pascal. "Kalau pria diktator itu bukan Brainware, kenapa kalian begitu penurut padanya?"

"Ini dinamakan rasa takut, yang membuat kami berlutut padanya," kata Embre di kursi belakangku. Ketika aku menengok, dia sudah bersandar ke depan. Senter milik Erion terkalung di lehernya. Pria itu menepuk bahu Pascal dan memerintah, "Naik sana, beri tahu Pyro bahwa bocah itu tunarungu."

"Apa gunanya memberi tahu—" Kalimatku tak selesai gara-gara Embre menarik tanganku, lalu menjatuhkan sesuatu ke telapaknya. Mataku membelalak ketika sadar bahwa saat ini alat bantu dengar milik Erion tak berada di telinganya.

Melihat dua alat mungil itu di tanganku, Alatas langsung berdiri lagi. "Kenapa—bagaimana Erion bisa bertahan di sana jika kau membawa—"

"Agar dia tak mendapat gangguan yang tak perlu," kata Embre enteng. "Dan, supaya Pyro percaya bahwa anak itu tak mendengar—oh, lihat, sudah dimulai!"

Tahu-tahu Erion dan Truck sudah berdiri di atas arena. Jarak mereka terpaut puluhan meter jauhnya.

Truck diam berdiri dengan kedua tangan mengepal. Tudung jaketnya tak dia naikkan seperti undangan untuk sebuah serangan fatal. Namun, yang paling membuatku khawatir adalah Erion—anak itu tampak oleng dan nyaris jatuh ke lantai arena, tetapi tak berapa lama kemudian dia kembali menyeimbangkan badannya. Sesekali tangannya menyentuh telinga seperti gerakan refleks.

Aku melirik Pyro dan beberapa anak buahnya. Di atas sana, Pascal sudah berada di sisi Pyro, dan dia membisikkan sesuatu.

"Apa mereka akan menghentikan pertarungan kalau tahu Erion penyandang disabilitas?" tanyaku penuh harap. Kutangkup alat bantu dengar milik Erion.

Embre menjawab kalem, "Tentu tidak. Pyro, saking adilnya, tak pernah membeda-bedakan orang. Kalah ya kalah. Menang ya menang."

Aku dan Alatas berdiri lagi dari kursi kami secara bersamaan. Sebelah kaki Alatas sudah melewati pagar tribun saat lehernya disekap dan oleh Calor di sisinya, sedangkan aku dicengkram oleh Embre.

"Daripada melakukan hal yang tak perlu, bagaimana kalau kau membantuku sebentar?" bisik Embre. Jarinya menunjuk dua orang Calor yang berdiri bak patung penjaga di sudut arena—pria dan wanita yang barangkali hanya beberapa tahun di bawah Embre, kisaran umur 25 tahun. "Coba masuk ke otak yang laki-laki."

Aku menatapnya heran, tetapi Embre tampak yakin. Jadi, aku mencoba ....

Aku terkejut sendiri karena yang timbul dalam kepalaku malah suara almarhum Steeler di dalam mobil truk yang menyanyikan lagu Potong Bebek Angsa. Apakah lagu itu sudah menjadi semacam trauma baru yang tertanam dalam kepalaku?!

"Tidak bisa, ya?" tanya Embre yang tampaknya menilai raut mukaku. "Setidaknya dapatkan namanya saja? Tidak? Apa kau yakin kau ini Brainware?"

Aku mengepalkan tanganku yang tak memegangi alat bantu dengar Erion. Buku jariku sampai memutih saking kuatnya aku menggenggam. "Kalau kau bisa memberi tahuku namanya, mungkin akan memicu Brainware-ku—"

"Kau salah kaprah, Nona," potong Embre. "Kalau kau tak bisa dapatkan namanya, hampir mustahil kau bisa masuk ke kepalanya."

"Bagaimana dengan yang perempuan?"

"Tidak," decaknya. "Aku cuma butuh yang laki-laki. Kalau kau tak bisa, apa boleh buat. Kita serahkan saja pada nasib."

Baru aku akan bertanya apa yang sebenarnya dia rencanakan, tetapi kemudian pagar tribun seberang ambrol ke bawah karena salah satu pilarnya terbang ke arena. Diikuti pekikan jeri dan seruan dari tribun lain, Erion menyerang.

"Tidak boleh merusak arena!" Anak buah Pyro berteriak ke mikrofon seperti kesetanan. "Jangan mencederai penonton—ke, keluarkan anak itu! Keluarkan!"

Namun, Erion tak mendengar apa-apa. Dia terus membawa barang-barang berbobot besar masuk ke arena, lalu mencerai-beraikan materialnya. Dentang demi dentang logam dan suara beton yang hancur memenuhi telinga. Semua orang di tribun penonton menjerit-jerit tak keruan ketika kursi-kursi mereka tercerabut dan terbang ke dalam arena. Berbondong-bondong mereka mengungsi ke sisi lain yang masih utuh, sementara para anak-anak Calor bersorak menyemangati Erion untuk melakukan perusakan properti yang lebih hebat lagi.

Aku melirik dengan ngeri apakah Pyro tengah bersiap untuk membakar Erion, tetapi yang kulihat justru seringai senang yang muncul di wajahnya. Di sampingnya, Pascal terus bicara. Aku tak tahu apa yang Pascal katakan, tetapi senyum Pyro terus melebar. Begitu Erion mencerabut pasak-pasak logam dari tribun yang telah dikosongkan, dia membuat semacam angin puyuh mini di mana seluruh material berat terburai dan berputar-putar di sekitarnya.

Pascal segera merebut mikrofon dari tangan temannya dan mengumumkan dengan bangga, "Itu, Kawan-kawan, adalah Phantom kecil dari penjara khusus buatan NC untuk mengurung Fervent anak-anak yang berbahaya! Erion—tercatat sebagai satu-satunya Multi-fervent yang selamat dari Pusat Karantina dan selalu lolos dari kejaran Pasukan Pemburu! Bocah tunarungu ini dapat mendengar rasa takutmu, dan membunuhmu tanpa suara!"

Itu sungguh berlebihan, tetapi aku mengerti apa yang tengah Pascal lakukan. Harapan melambung lagi dalam hatiku ketika aku menyaksikan ekspresi wajah Pyro yang berseri-seri—apa pun yang Pascal katakan, dia berhasil membuat Pyro tertarik pada Erion dan batal membakar anak itu hidup-hidup meski merusak arena.

"Tak perlu mencemaskan arena karena di sini kita memiliki Multi-fervent Steeler pengabdi Pyro, yang akan memperbaiki arena dalam sekejap mata!"

Pascal menunjuk tribun di samping kananku. Aku bisa melihat dua Multi-fervent yang berdiri sambil memasang senyum terpaksa, kentara sekali jengkel pada Pascal dan tugas yang dilemparkannya pada mereka. Para Steeler itu barangkali tak senang dengan rekonstruksi ulang, terutama yang melibatkan logam berat.

"Dan, tentu kita punya Steeler tambahan di sini, Kawan-kawan!" Pascal menunjuk ke arah tribun kami—atau lebih tepatnya ke arah Alatas yang masih ditahan seorang Calor. "Lihat pemuda tampan di tribun satu?!"

Aku bisa melihat para wanita dari tribun kami dan tribun sebelah yang menengok penuh rasa ingin tahu, beberapanya cekikikan genit begitu menemukan wajah Alatas dan berbisik-bisik ke temannya. Entah kenapa itu membuatku muak

"Sangat muda dan masih lajang, kalau perlu kutambahkan!" timpal Pascal. "Dan aku mengatakan ini karena memang kenyataannya demikian, bukan karena aku ingin merebut pacarnya atau apa."

Sementara Pascal mengalihkan perhatian penonton, Erion telah membentuk angin puyuh yang cukup besar hingga suara angin ribut di tengah arena kembali merenggut perhatian kami ke pertarungan. Sorakan kembali terdengar bersamaan dengan decak kagum. Perkara rusaknya arena sudah terlupa, lantaran kini yang ada hanya nama Erion yang dielu-elukan.

Aku menyangka Erion akan melakukan serangan kejutan ke arah Pyro.

Betapa terkejutnya aku ketika angin puyuh itu justru bergerak ke arah Truck.

"Erion!" teriak Alatas. Wajahnya memerah dan urat-urat di lehernya bertonjolan saking kerasnya usaha pemuda itu melepaskan diri dari pria Calor yang menahannya. "Erion! Jangan—"

Truck sempat berlari mengelilingi setengah arena untuk menghindar ketika akhirnya didepak oleh pusaran angin. Tubuhnya terhempas ke tengah-tengah arena.

Seluruh material dalam angin ribut buatan Erion mendadak melesat keluar seperti dimuntahkan dari dalam meriam. Kami semua dipaksa merunduk ke bawah kursi kecuali ingin mati tertimpa beton atau tergores besi yang terlontar.

Selama beberapa menit yang mencekam, tak ada sorakan mau pun bunyi baku hantam. Udara dipenuhi kabut dan debu, pasir semen menyelimuti kami.

Ketika kabut sudah mulai turun, aku bangkit berdiri untuk melihat keadaan arena, yang langsung kusesali. Di tengah-tengah arena, Truck tampak seperti akan pingsan. Wajahnya memutih oleh debu, darah membasahi rambut dan pelipisnya, dan jaketnya berlubang-lubang. Dia duduk sambil terengah, satu tangannya menahan darah yang merembes dari pingangnya—genangan darah kental itu memberi tahuku bahwa dia tak sekadar menderita luka sayat kecil, tetapi luka robek.

Yang lebih mengerikan adalah separuh bagian pilar tribun yang menimpa kaki Truck. Tangannya yang masih bebas susah payah mencoba mengangkat pilar itu, tetapi darah yang terus merembes keluar tampaknya melemahkan Truck.

"Dan, lawan dari si kecil," ujar Pascal lagi pada mikrofon. Wajahnya berbedak pasir semen, dan dia sempat terbatuk sebentar sebelum kembali melanjutkan, "Pria besar ini berasal dari antah berantah. Tiada yang tahu asal-usul mau pun identitasnya! Dia ditemukan di bagian bak sebuah mobil truk, yang kemudian melekat menjadi namanya! Seorang Cyone murni, Kawan-kawan! Dengan akurasi tertinggi pada generasinya dan fleksibilitas di atas rata-rata! TRUUUUCK!"

Aku tak tahu dari mana Pascal mendapat semua informasi itu. Yang jelas, para penonton berdengap ketika Truck, dengan segenap ototnya, akhirnya mendorong potongan pilar tersebut dari atas kakinya. Entah sejak kapan darah telah berhenti merembes dari pinggangnya. Dan, dengan bunyi serta pemandangan nan membuat ngilu, kaki Truck yang awalnya pengkor tertimpa pilar pun perlahan kembali lurus.

Aku ingat saat kaki Alatas patah, dan pemuda itu bertingkah seperti akan menjemput maut sampai panas-dingin. Aku ingat saat rusukku sendiri mengalami hal serupa, dan aku tersedu-sedu ketika Cyone-ku memperbaikinya—ada sensasi menyakitkan seolah ruas-ruas igaku dicengram olah tangan tak kasat mata yang memaksanya menyatu kembali.

Namun, Truck bahkan tak berjengit. Meski makan waktu yang agak lama, bentuk kakinya kembali normal dengan proses yang membuat mataku berair menyaksikannya. Para anak-anak Calor yang pertama bersorak untuk Truck, yang kemudian ditingkahi para Calor dewasa. Dukungan untuk Truck membanjiri arena.

Ketika Truck akhirnya berdiri di atas genangan darahnya sendiri, Pyro bertepuk tangan dari atas singgasananya.

"Jika Pyro sudah senang dan terhibur," lanjut Pascal. Cengiran samar terulas di wajahnya. "Saatnya untuk klimaks—antara bocah Multi-fervent dengan tingkat serangan mematikan, atau pria Cyone murni yang nyaris mustahil untuk dibunuh."

Truck menggerakkan kepalanya seperti anggukan kepada Erion. Seolah diberi aba-aba, Erion mengangkat satu tangannya dan membuat tubuh Truck melayang satu meter dari pijakannya. Kaki Truck meronta, dan kedua tangannya mencakari lehernya sendiri seolah seseorang mencekiknya di sana. Serangan ini membangkitkan mimpi burukku akan gadis Icore yang dulu pernah menyalin Phantom Erion dan mencekikku persis seperti ini.

Satu tangan Erion yang lain melakukan gestur mencabik sampai luka-luka baru terbuka di sekujur tubuh Truck, tetapi semuanya menutup kurang dari setengah menit. Penonton yang kurang sabaran berteriak, "Koyak isi perutnya, Nak!"

Alatas mencengkram tanganku di tengah itu semua. Tangannya basah oleh keringat, gemetaran. Calor di sisinya sudah melepaskan sekapannya, tetapi Alatas tetap mematung seolah hilang daya untuk bergerak.

Sesuatu yang aneh kemudian terjadi. Sound system mendadak mendenging sampai Pascal terpaksa mematikan mikrofonnya. Alat bantu dengar Erion menghangat di tanganku, dan ada rasa menggelitik seperti setruman kecil ketika ujung jariku menyentuhnya. Embre langsung melepaskan kalung senter milik Erion. Dia mengeluarkan baterainya sambil menyengir kepadaku. "Sudah dimulai."

Tribun paling pojok mulai ribut. Embre tertawa dan berkata bahwa mungkin para penonton di sana sedang berdebat siapa yang bertanggung jawab atas kekacauan ini—karena ada Multi-fervent Icore yang duduk di sana.

Tercium bau sangit seolah udara terbakar, lalu tubuh Truck mulai mengejang. Napasnya satu-satu, matanya memelotot seperti akan meloncat keluar dari rongganya. Lalu, Erion menutup telapak tangan kirinya ....

Kulit Truck membiru, dan matanya terbalik ke dalam tengkorak kepalanya sebelum kemudian pria itu jatuh lemas ke tanah.

Pikiranku mendadak jadi kosong. Aku tak bisa mendengar sorakan para Calor, atau merasakan tangan Alatas lagi. Baru beberapa detik kemudian kusadari Alatas memang sudah tak memegangiku. Dia meloncat turun dari atas tribun. Karena para Calor sibuk menjaga Alatas, tak ada yang menghentikanku saat aku ikut turun.

Mikrofon kembali dinyalakan, dan Pascal mengumumkan, "Amos dan Iris—kalian dipersilakan memasuki arena."

Amos dan Iris adalah pria dan wanita yang selama ini terus berdiri di ujung arena, yang sebelum ini ditunjuk oleh Embre. Amos—pria yang tadi Embre pinta agar kumasuki otaknya—mencapai Truck lebih dulu dan berjongkok untuk mengecek denyut nadinya. Jantungku bertalu-talu ketika Amos berdiri tegak.

Yang dilakukan Amos selanjutnya membuat Alatas dan aku tertegun—Amos membuat gestur mati dengan menyeret garis melintang di lehernya menggunakan ibu jari. Dia lalu menunjuk Erion, yang satu tangannya telah diangkat oleh Iris sebagai pemenang. Sorak sorai para Calor yang mengelu-elukan kemenangan Erion membuatku mendadak merasa mual.

"Tidak ...." Sorot mata Alatas mendadak jadi liar. "Truck tidak mungkin mati."

Alatas menerjang melewatiku untuk mengejar para Calor yang mengangkat jasad Truck. Erion sendiri digiring ke arah sebaliknya oleh Iris. Kakiku mendadak jadi lumpuh. Air mataku berlinangan. Bolak-balik aku mengawasi antara Truck dan Erion—aku mesti ke mana?!

"Awas!" Embre memamanas-manasi di belakang Alatas yang masih menerjang. "Steeler marah! Beri jalan!"

Tertatih-tatih, kuputuskan untuk menyusul Alatas.

Begitu aku mencapai lorong yang menuju bagian bawah arena, Alatas sedang memojokkan satu Calor yang berkeras menjaga pintu. Calor itu mengatakan sesuatu sampai, untuk pertama kalinya kudengar, Alatas membentak marah, "Erion tidak mungkin membunuhnya! Minggir!"

Kami tertahan cukup lama sampai-sampai Erion sempat menyusul ke dalam bersama Cybra. Leher anak itu dikalungi jalinan bunga kertas warna merah. Wajahnya berkeringat, dan sorot matanya kosong karena kelelahan. Satu tangannya memegangi dinding lorong dan tangan lainnya digandeng oleh Cybra seolah dia tak bisa berjalan dengan benar jika tak memiliki tumpuan.

Buru-buru kutarik anak itu dan kulingkarkan kedua lenganku yang gemetaran di sekitarnya. Aku berbisik dengan air mata bercucuran, "Kau tidak membunuhnya, 'kan? Aku percaya kau tidak membunuh Truck."

Namun, Erion tak mendengarku. Dia memasang wajah linglung sambil menyeka air mataku. Sedangkan pikiranku terlalu kacau untuk masuk ke kepalanya.

Ketika aku baru selesai memasangkan alat bantu dengar Erion, terdengar suara debuman keras di belakangku. Alatas telah menghempaskan pintu logam sampai terbuka. Segera saja kami menerobos masuk meski diteriaki oleh si penjaga pintu.

Embre melewatiku dan berteriak marah pada kawanannya yang berkerumun, "Hei! Apa yang kubilang—jaga jarak! Kenapa kalian mengerumuninya?!"

Para Calor itu mengerubungi jasad Truck—aku bisa melihat satu kakinya terjulur di antara kaki-kaki para Calor yang mengelilinginya. Aku nyaris jatuh lemas hanya karena melihat kaki Truck, tetapi Alatas dan Erion menggamit tanganku untuk maju. Begitu kami mendesak, kerumunan itu pun terbelah dan menampakkan Truck yang ....

Dia sedang duduk tegak.

Matanya terbuka, satu kakinya menekuk, satu tangannya memegangi dada kirinya. Wajahnya masih agak biru dan pucat, tetapi Truck masih bernapas. Di sampingnya, ada alat yang kukenali sebagai defibrillator—alat pacu jantung.

Salah satu lelaki yang tampaknya hanya beberapa tahun di atasku menyenggol alat pacu jantung itu dengan kakinya dan berujar kecewa, "Kami bahkan tak sempat memakai ini. Pria ini langsung bangun begitu diberi CPR."

"Kau yang telat membawa alatnya, 'kan," protes seorang bocah yang kemudian kusadari adalah Ash. "Padahal aku pingin liat dada orang disetrum lagi!"

Aku tergagap, "A, apa—"

"Henti jantung," kata Embre. "Kadang kami mencoba memalsukan kematian beberapa korban Pyro—yang tidak terbakar hidup-hidup, tentu saja. Amos hanya memeriksa denyut nadi, yang mana memang tak bisa ditemukan jika seseorang mengalami cardiac arrest. Biasanya kami menggunakan Icore, tapi kemungkinan berhasilnya kecil. Dari sepuluh kejadian, yang sukses cuma satu. Nah, kebetulan sekali si kecil ini ternyata bisa membuat malfungsi irama listrik di jantungnya."

Erion menyengir samar-samar saat Embre mengacak rambut anak itu dengan sayang. Tangannya meraih tanganku, dan akhirnya suara Erion menelusup ke benakku, Jangan-jangan, kau meremehkan Cyone-nya Truck, ya?

Air mataku langsung menetes lagi tanpa sadar. "Kalian nekat sekali."

"Awalnya aku berpikir membuatnya jadi serangan jantung—akan lebih mudah untuk Phantom ini menyumbat aliran darahnya, menghambat oksigen masuk, atau apalah. Tapi, orang yang serangan jantung bisa saja jantungnya tak berhenti berdetak—percuma saja kalau Amos merasakan dia masih hidup. Jadi, begitu melihat daya senter anak ini yang masih menyala—" Embre mengalungkan senternya kembali ke leher Erion. "Aku bisa menerka dia pasti sudah terbiasa mengalirkan listrik sendiri dari jejak Icore di Garis Merah."

"Ya," jawabku terkagum-kagum. "Dia pernah mengatakannya. Dia mengisi sendiri daya baterai senter itu dengan benda-benda konduktor yang dimainkan Alatas sepanjang jalan."

"Icore memang menghasilkan listrik," lanjut Embre, "tapi dalam beberapa penelitian, Phantom level atas justru mengendalikan listrik lebih baik daripada Icore level menengah. Lagi pula, bocah Cyone itu hampir pasti selamat. Aku yakin sekitar 78% ini akan berhasil, lebih banyak 50% dari yang kuyakini biasanya."

"Pyro tidak akan menyadari ini, 'kan?" tanyaku cemas.

"Aman, selama Truck tidak muncul di depan Pyro." Embre melambaikan tangannya seperti melibas kecemasanku. "Pyro tidak terlalu pintar—musang tidur pun dikiranya mati. Sebelum kerasukan Fervor Calor, pria itu cuma tamatan SD."

Cybra bilang, kekuatan super tanpa landasan ilmu, sama dengan barang rongsokan—tidak berguna. Pyro contoh nyatanya. Erion menunjuk seorang pemuda tunarungu lain sekaligus orang yang memperbaiki alat bantu dengarnya. Cybra sejak tadi berdiri sendirian di sudut ruangan seperti bayang-bayang, tak berniat membaur sedikit pun.

"Aku masih tak percaya kau bisa nekat begitu—mengotak-atik jantung orang," desahku sambil bergidik. "Jangan pernah lakukan itu lagi, oke?"

Alatas jatuh lemas ke sisi Truck. Suaranya serak saat dia berkata, "Saking leganya, aku bisa saja memeluk dan menciummu, Truck."

Masih tampak sekarat, Truck menggeser pantatnya menjauhi Alatas.

"Aku peluk Erion saja." Alatas mengesot lemas dan meraih Erion ke dalam dekapan tangannya. Dia menepuk-nepuk punggung anak itu, lalu melirikku. "Leila, kau mau dipeluk juga?"

Aku terlalu syok dan lega, jadi aku hanya bisa memutar bola mata dan menyeret langkah mendekati Truck. Aku berjongkok di sisinya, tak tahu mesti berkata apa, jadi aku hanya mengamatinya sambil menyeka jejak air mata di pipi. Dia masih menahan dada kirinya dengan tangan seolah jantungnya bisa jatuh sewaktu-waktu.

Truck memicingkan mata ke arahku. Dengan suara yang lebih lemah, dia bertanya sinis, "Kau tidak menangisiku, 'kan?"

Aku menahan diri agar tak berdebat dengan orang yang habis mengalami henti jantung. "Aku senang kau masih hidup, Truck. Jangan bikin aku menyesalinya."

"Bagaimana denganmu sendiri?" tanyanya lagi. Dia menarik napas perlahan, matanya memberat seperti hendak memejam. "Kau dan Alatas bakal saling bunuh sebentar lagi. Trik henti jantung seperti ini kemungkinan besar akan gagal jika diterapkan pada kalian berdua."

Aku terduduk. Mataku mencuri pandang ke arah Alatas yang tampaknya masih terlampau senang. Aku tak sampai hati menghampirinya dan mengacaukannya lagi dengan bertanya, Jadi, antara kau dan aku—siapa yang mati selanjutnya?

Truck mengusap wajahnya dengan satu tangan sampai sisa darah di pelipisnya terpeper ke dagu. Suara amat lirih saat berkata, "Inilah kenapa aku tak mau ada tanggungan tambahan, entah itu bocah 10 tahun atau anak cewek menyebalkan."

"Apa?"

"Tidak apa-apa—lupakan saja."

Tentu saja susah untuk melupakan yang barusan. Sedemikian lama aku mengira dia membenciku karena aku ini Corona, atau Brainware, atau karena Cyone-ku bisa membuatku hibernasi sedangkan dia tidak. Rupanya alasannya memang karena aku ini anak cewek—tanggungan, beban, dan sebagainya. Seperti halnya Erion yang dulu hampir dia tinggalkan. Andaikata Alatas tak mengambil kami ... Truck mungkin sudah melenggang pergi seolah tak pernah melihat seorang bocah 10 tahun dalam brankas besi dan gadis seumurannya di bawah reruntuhan.

Kucoba untuk mengesampingkan masalah itu dahulu dan memikirkan yang lebih mendesak. "Mungkin sebaiknya aku mengambil kesempatan dengan Pyro saja. Kalau aku bisa memasuki pikirannya di arena ...."

"Tidak." Truck lagi-lagi menarik tudung jaketnya yang kotor dan bebercak darah ke depan, seperti yang dilakukannya sebelum pertarungan. Matanya memerhatikan simbol api serta tulisan NC di sana. "Kurasa kita justru beruntung tak perlu melawan Pyro."

ヾ(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan


A/N: Jawaban Q&A akan dipublikasikan besok atau lusa karena pertanyaan kalian ternyata banyak _('ཀ'」 ∠)_

A/N lagi: Bagian mereka masuk sarang Calor ini paling sulit diketik karena saya selalu takut ... kalo salah ketik nama Embre jadi Ember.

Entah ini A/N atau bukan: bagian yang Erion bilang pernah nge-charge baterai senter sendiri itu ada di chapter #9 '-')/ begini bunyinya:
     "Icore sempat keliaran di hutan ini untuk mengejar cintanya, Erion mengerling Alatas. Dia bisa mengalirkan listrik ke barang-barang konduktor, tahu, 'kan? Dan, sejak tadi Alatas mainannya cuma lempengan besi yang berceceran. Tempat ini sumber listrik, dan yang jalan di belakang kita itu seorang penghantar listrik hidup."

.

.

.

Next ....

Fanart unch dari anaivilo1303 (ノ◕ヮ◕)ノ*:・゚✧

Maacih maacih maaciiiih Σ>―(〃°ω°〃)♡→

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro