#9

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

| RavAges, #9 | 2922 words |

ALATAS BENAR-benar tidak tidur. Dia berjaga saat kami tidur bergantian.

Truck membagi waktu jaga: tiga jam pertama, dia dan Alatas; tiga jam selanjutnya aku dan Alatas. Kadang, Truck malah membiarkanku mendapat bonus tidur setengah jam lebih lama darinya, entah dia memang sedang mendapat hidayah dan mencoba berbuat kebajikan, atau dia cuma tidak mau membiarkanku terjaga lama-lama untuk mengurangi kemungkinan aku menikamnya saat tidur. Pria itu juga tidak membiarkan Erion ikut tugas jaga.

"Tidur!" bentaknya ke Erion, mengingatkanku pada ayah saat aku bergadang nonton film di kamar.

Kadang, aku membiarkan Erion mencuri waktu. Saat Truck tidur, dan yang bertugas jaga adalah aku dengan Alatas, anak itu membuka matanya lalu merayap diam-diam ke sebelahku. Dia ikut duduk, ikut mengobrol, sesekali mengejek Alatas sampai lelaki itu bertanya-tanya kenapa kami berdua cekikikan tanpa alasan. Karena hanya aku yang mendengarnya.

Yah, aku tidak bisa memaksa Erion kalau dia memang mau bangun—siapa yang bisa tidur di tengah-tengah keadaan begini? Cuma Truck yang bisa.

Selama Truck tidur, Alatas menceritakan banyak hal yang tidak bisa dibicarakannya dengan tenang kalau Truck bangun.

Icore, Alatas mendeskripsikannya sebagai si sulung. Icore terkuat mampu membuat gempa kecil, tetapi pada dasarnya mereka membuat listrik dan menyalin Fervor lain yang tengah aktif. Ada beberapa Fervor yang tidak bisa mereka salin: Brainware, Cyone dan Detektor. Alatas menyebut ketiganya sebagai Fervor yang bisa aktif dengan sendirinya, bahkan tanpa disadari oleh si Fervent sendiri.

Brainware, yang kedua ditemukan. Alatas bilang, "Seperti telepati. Satu keuntungan Brainware adalah ia tidak terdeteksi Detektor, tidak bisa diredam Peredam, dan tidak bisa disalin oleh Icore. Brainware otomatis imun terhadap semua jenis kekuatan yang punya dampak terhadap Fervor lain."

Phantom—mereka memanipulasi medan gaya, mengubah bentuk zat, levitasi sampai telekinesis. "Kalau mau tahu lebih jauh, tanya Erion saja. Dia malah pernah menerbangkanku ke atas pohon untuk mengintai."

Steeler, anak keempat. "Err ... yah, oke, ini bidangku. Main-main dengan logam. Sejujurnya, aku juga tidak pandai-pandai amat. Tapi, aku pernah hampir membunuh saudaraku dengan tempelan kulkas."

Teleporter, anak ke—"Sudah sampai anak ke berapa aku menjelaskan ... ah! Anak kelima. Fervent ini bisa berpindah-pindah tempat, dengan catatan, mereka tahu dan mengenali lokasinya. Pernah ada kasus di Herde, seorang laki-laki seumuranku yang mencoba kabur, tapi malah tertanam ke pagar. Butuh 11 jam sampai Pengawas NC bisa mengeluarkannya dari dalam tembok."

Aku dulu Teleporter, lho, celetuk Erion tiba-tiba. Tapi, sudah hilang.

Erion tidak perlu menjelaskan lebih kalau ketiadaan Fervornya berhubungan dengan dampak PF13. "Jadi, sekarang kau bukan lagi Multi-fervent?"

Alatas mengernyit sebentar, tetapi kemudian paham dengan sendirinya bahwa aku tengah bicara dengan Erion.

Masih, jawab Erion sambil mengacungkan tiga jari tangannya. Aku punya tiga.

"Erion, selain Phantom, dia juga seorang X."

"Apa lagi itu?"

Aku lupa mengecilkan suara. Segera saja Truck menggeliat bangun dan kami mesti berjalan lagi. Sesekali, kami berhenti saat akan berpapasan dengan Fervent lain, menghindari serangan mendadak seperti yang terjadi dengan dua Corona itu.

Saat beristirahat, aku mengerahkan semua fokusku untuk memantau isi kepala para anak laki-laki, lalu pergi ke semak-semak atau sungai terdekat saat kurasa aman. Aku ingin menangis karena merindukan toilet sungguhan.

Makin jauh masuk hutan, makin sulit menemukan sesuatu untuk dimakan. Air makin kotor, dan satu kali aku menjerit keras karena ada mayat yang mengapung di sana. Alatas bilang, mayat itu seorang Phantom—baru mati, katanya. Kami berjengit menyaksikannya yang malah lebih peka mendeteksi Fervor orang mati.

Kami juga mulai belajar membuat api unggun yang bertahan lebih lama. Dari usaha Truck dan Alatas mengumpulkan kayu dan Corona-ku, kami menghangatkan diri dan membakar daging sapi malang yang lewat. Erion senang sekali saat, pada akhirnya, dia bisa menyantap daging yang dibakar sungguhan. Sayangnya, kehangatan kecil itu mesti berakhir setiap Alatas mendeteksi Fervent yang mendekat, tertarik dengan api yang kami buat. Karena Detektor-nya lemah, pemuda itu baru bisa mendeteksinya saat si Fervent sudah sangat dekat.

"Calor," Alatas berbisik karena Truck tidur tepat di sebelahnya saat kami kembali berhenti di bawah pohon beringin. "Hantu api. Seluruh badan mereka dari api. Beda dengan api yang dihasilkan Peledak, mereka bisa mempertahankan api semaunya. Walau berbahaya, sepertinya kita membutuhkan satu untuk sekarang."

Digosok-gosoknya bahunya yang menggigil.

"Maaf," kataku seraya melepaskan jaketnya yang terus kupakai, sementara dia hanya mengenakan selembar kemeja yang dipenuhi bercak darah dan lumpur.

"Tidak," Alatas menghentikanku. "Kenakan saja. Tidak apa-apa. Toh, Truck hangat."

Alatas memiringkan kepalanya ke bahu Truck, lalu tersenyum menjijikkan. Aku mati-matian menahan diri agar tidak tertawa, tetapi Erion mengacaukan usahaku dengan menceletuk ke dalam kepalaku, Alatas dan Truck sudah di ambang perceraian ratusan kali, tapi mereka bertahan demi aku.

Kutangkup mulutku, takut Truck terbangun. Pria itu, saat sadarkan diri, lebih menyebalkan daripada kerbau-kerbau liar yang berkeliaran dalam hutan.

"Hmm, sampai mana penjelasanku tadi ...." Alatas mengetuk-ngetuk lututnya dengan jari. Sebenarnya, setengah mati dia menjelaskan, aku tidak bisa mengingat semua variasi Fervor itu. Aku bahkan masih kelimpungan dengan Fervorku sendiri.

"Kalau tidak salah, kau Steeler, bukan?" tanyaku. "Kau menguasai logam. Tidak bisakah kau, entahlah, menyerang Icore dengan semua logam di sini?"

"Sudah kubilang, 'kan, aku agak payah. Lagi pula, Icore bisa saja menyalinnya dan membalikkan seranganku." Dia bergidik. "Tapi ...." Alatas menambahkan, "aku bisa mengubah logam jadi emas."

Aku nyaris tergelak. "Benarkah?"

Alatas mengangguk. "Salah satu pacarku pernah berusaha menjualku karena aku tidak mau menurutinya untuk mengubah rantai motornya jadi kalung emas. Dulu, sebelum Herde belum memenjarakan kami, Fervent diperjualbelikan itu wajar. Beberapa Fervent malah punya harga tinggi, misalnya Cyone yang sehebat Truck—dia harganya miliaran."

"Bagaimana pacarmu akhirnya?" tanyaku sambil mengulum senyum geli.

"Nggak tahu. Kami putus, dan aku tidak pernah melihatnya lagi."

"Orang tuamu?"—Alatas tidak mau menjawab yang ini. Dia langsung memindahkan topik. Yah, tidak masalah, toh, masa lalunya bukan masalahku juga.

Jika sudah tiga jam, kami tidak perlu membangunkan Truck. Pria itu bangun sendiri seakan ada jam beker gaib dalam kepalanya.

Bagaimana cara kami memastikan ini sudah dua jam dan harus ganti giliran?

Kira-kira saja, kata Truck.

Yang adil, pinta Alatas.

"Adil?" kataku. "Kau, 'kan, kena tugas jaga full—masih minta keadilan?"

Dia menyengir. "Kalau waktunya berat ke Truck, waktuku ngobrol denganmu, 'kan, jadi sedikit."

Truck menggeram galak. "Bosan hidup, ya?"

"Aku bosan denganmu."

Aku lebih bosan dengan pemandangan di sekitar kami. Rasanya kami hanya berputar-putar di tempat yang sama. Atau kami memang berputar-putar di tempat yang sama. Langit gelap abadi tidak membantu. Penerangan semata berasal dari cat semprot yang berkelip, atau, saat kami lumayan sial, hanya cahaya senter Erion.

Sampai Truck memperkirakan ini sudah seminggu sejak aku bergabung, aku bertanya dari mana dia tahu. Dia membalas dengan geraman serta delikan tajam yang menyuruhku untuk tidak berani-berani bicara dengannya.

Berarti seminggu juga para cowok terus-terusan memanggilku Cewek Peledak.

Erion pernah bertanya namaku, tetapi aku tidak menjawab. Kadang aku merasa agak curang, betapa aku bisa keluar masuk pikirannya tanpa dia ketahui.

Alatas pernah bertanya juga, kukatakan padanya dia tidak perlu tahu namaku, nanti naksir. Dia pun menjawab dengan cengiran itu, "Sudah naksir, kok."

Truck ... tidak pernah bertanya. Dia sudah puas dengan membentakkan, "Peledak! Hei, Peledak! Cewek berengsek! Corona gila!"

Sampai aku tidak bisa mengelak lagi.

Saat itu Alatas sedang menceritakan Fervent yang laku di pasaran. "Fervent destruktif seperti Corona dan Icore lumayan mahal. Ada isu NC bisa mengekstrak kita kayak sari buah untuk membuat alat-alat seperti bom dan generator dengan kualitas super. Tapi, pemegang rekor termahal adalah Peredam dan Phantom."

Mendengar Phantom, mau tak mau mataku melirik Erion.

Aku mahal, lho, kata anak itu sambil menelengkan kepala. Jual aku ke NC, kau mungkin bisa mandi dan cebok pakai emas seumur hidupmu.

Aku menggeleng ngeri. "Erion masih anak-anak ... maksudku, mau apa mereka dengan anak-anak?"

"Erion bisa menjadikan dirinya tak kasat mata dengan Phantom," jelas Alatas. "Kurang keren apa lagi?"

Mereka mengira aku bisa menembus dinding juga, bisik Erion ke benakku, persis hantu. Jangan bilang-bilang, tapi sebenarnya aku nggak bisa. Aku suka mengancam Truck dan Alatas kalau aku bisa merasuki tubuh mereka kalau mereka nggak memberiku jatah makan mereka.

Aku menggigit keras-keras bagian dalam pipiku agar tidak tertawa.

Truck, untuk keempat kalinya hari ini, membentak Alatas, "Buat apa kau ceritakan itu semua padanya?"

"Ini pengetahuan umum, Truckey," Alatas menjawab. Ramah sekali nadanya. Sungguh hebat lelaki ini belum saling bunuh dengan Truck. "Semua yang menghadiri Herde juga tahu. Apa bedanya dia tahu atau tidak?"

Truck mendengus seperti banteng, tetapi dia tidak berbalik untuk menentang.

"Si cewek Icore yang mengejar kita belakangan itu ..." kataku ragu-ragu, "apa mungkin dia sebenarnya mengincar Erion?"

"Ha-ha." Truck membalas sinis. "Perempuan itu tidak tertarik padaku, kau, atau Erion. Dia hanya mengincar Alatas."

"Kenapa?" Aku mengernyit. "Kalau aku jadi dia, orang pertama yang kukejar dan kubuat jadi bola ping-pong pastilah kau, Truck."

Truck mendengus. "Tanya saja ke predator di sebelahmu itu."

"Bung," Alatas merentangkan tangan untuk protes, "siapa yang tahan liat lekuk bokong itu? Matamu sendiri juga sempat seperti akan keluar waktu wanita itu muncul! Akui saja, kau iri waktu dia langsung menubrukku—"

"Dia menyerang kalian begitu saja?" tanyaku sambil berjengit.

Truck menggeleng. "Masa tidak paham?"

"Memang, apa yang terjadi?"

"Gara-gara PF13, para perempuan jadi lebih buas, jahat, haus darah, liar, dan ..." Mata Alatas mengerling pada Truck, yang dibalas cengiran pria itu. "Seksi."

Rupanya sejak tadi mereka bertukar lelucon kotor. Baru aku sadar, dibalik binar mata kekanakan itu ... Alatas tetap saja anak cowok. Itu menjelaskan jenis cengiran dan tatapannya padaku belakangan—tipe yang harus kuhindari.

"Dan, si Icore ini secara ajaib mau menjadikanmu pacarnya?" tanyaku.

Alatas tidak menangkap sindiranku dan malah mengedikkan bahu seringainya, seolah-olah dia paling cakep sedunia atau apa .... Yah, meski tidak setampan Ryan, dia memang agak cakep, aku akui. Namun, justru tipikal macam ini yang masa mudanya habis untuk berburu perempuan dan masa tuanya habis menjomblo.

"Tapi ...." Alatas melanjutkan, "cewek agresif hasil PF13 itu mengerikan."

"Sebelum bisa menyentuhnya, kau sudah remuk olehnya." Truck melirikku.

Aku memutar bola mata. "Tetap bukan alasan mengubur orang hidup-hidup."

"Wah, masih marah, ya?" Alatas terkekeh. "Maaf, ya. Kami sungguh tidak bisa ambil risiko waktu itu. Dikejar-kejar satu cewek Icore yang bahkan tidak kami ketahui namanya sudah bikin kami sengsara. Omong-omong tentang nama ...."

Wah. Aku tahu ke mana pembicaraan ini bermuara.

"Kita sudah melewati bahasan tentang nama. Kita sedang membahas mahalnya Fervent, ingat?"

"Kembali ke masalah nama," Alatas bersikeras. Astaga, cengirannya itu—cara kepalanya menunduk dan matanya mendelikku. "Seminggu aku membayangkanmu sebagai bom granat berjalan. Jika kau biarkan aku memanggilmu Peledak sehari lagi, image itu tidak akan pernah kulupakan selamanya."

Pembohong, aku ingin menyahut, tetapi tidak jadi. Bisa-bisa dia tahu aku kadang suka mengintip isi pikirannya ... yang sebagian besarnya menunjukkan kesannya terhadapku. Bukan sekadar kesan untuk seseorang yang tidak sengaja ditemukannya di bawah reruntuhan, melainkan kesan seorang laki-laki untuk satu-satunya perempuan yang tersisa di dunia. Terdengar romantis, tetapi, percayalah, saat aku mengintip ke dalam kepalanya, dia tidak membayangkan bom granat sama sekali, dan aku mesti buru-buru menjauhi pikiran nistanya sebelum aku menimbulkan keinginan pribadi untuk meledakkannya.

Aku tak boleh membiarkan itu berlangsung lama. Bagaimana pun, perasaannya timbul karena aku adalah satu-satunya keturunan Hawa di dekatnya, yang tidak mencoba mencekiknya sampai mati. "Panggil aku Multi-fervent saja."

"Jangan pelit, cuma nama, kok."

Aku menahan napas. Kalau dipikir-pikir, sudah 9 chapter, dan aku memang belum menyebutkan nama. Kulontarkan pandanganku jauh-jauh ke langit. "Leila."

"Leila," Alatas mengulangi, sunggingan senyumnya membumbui suara khasnya yang basah. "Leila. Manis—nama yang manis. Leila."

Tidak heran, Icore yang sudah gila jadi tambah tergila-gila karena cowok ini.

"Oke, Leila," Alatas mengayun suaranya lembut. "Jadi, kita lanjutkan pelajaran singkat tadi. Nah, sampai di mana kita—ah, harga Fervent!"

Truck meludah ke samping. "Tidak usah banyak memberinya penjelasan!"

"Truckey," Alatas berkata penuh penekanan seperti bicara pada anak 5 tahun. "Si Cantik ini bisa saja diserang suatu hari saat kita tidak sedang berada di sampingnya. Dia butuh informasi. Kau tega,"—tangannya melambai ke arahku—"membiarkan satu-satunya bidadari yang tersisa di dunia ini celaka?"

Aku hampir tertawa. "Itu ... lumayan menjijikkan."

Alatas memasang raut kecewa palsu di wajahnya. "Aku membelamu, Manis."

"Menjijikkan level 2."

"Apa aku sudah bilang matamu seindah langit malam?" Alatas menjentikkan jari tangannya. Saat dia melakukan itu, kawat-kawat menyembul dari dalam tanah, terlampau dekat dengan kakiku sampai aku terlompat. Wajah Alatas menggelap, matanya kehilangan binar jail. "Maaf. Kadang aku lupa logam ada di mana-mana."

Aku menggeleng gugup sambil mengelus dada. "Kau ternyata sama dengan om itu,"—kukedikkan kepalaku ke arah Truck—"sama-sama mau membunuhku."

Truck menelengkan kepalanya. "Siapa yang tadi kau panggil om?"

"Yang jelas bukan Erion," kataku. "Yang paling tua di sini ... siapa lagi?"

"Aku." Alatas menangkup dadanya sendiri. Dia memasang ekspresi terluka yang hampir lucu. "Aku yang paling tua di antara kita."

Aku mengangkat sebelah alisku. Terkejut. "Serius?"

Truck terbahak—keras sekali, dan bunyinya bisa saja menakut-nakuti anak kelinci yang masih hidup di sekitar kami.

"Umurku sekitar enam bulan lagi 18!" Truck menggebuk dadanya sendiri, kemudian menodong Alatas. Yang ditunjuk malah melambai dengan senyum menggemaskan seolah dirinya tengah berada di bawah lampu sorot. "Cowok feminin itu hampir 20. Kalau perhitunganku tepat, tiga bulan lagi dia kepala dua."

Aku menangkup mulutku tidak percaya. Pria tua itu seumuranku, sedangkan si muka bayi adalah kakak kelasnya di sini.

Erion tiba-tiba menepukkan kedua tangannya demi mendapatkan perhatian kami semua. Anak itu sejak tadi terus berdiri di atas bebatuan tinggi sementara kami berleha-leha, jalan dengan lelet. Bergegaslah! Aku lapar, berengsek!

"Erion?" kataku, hampir membentak. "Bilang apa kau barusan?"

Erion memutar bola matanya. Lapar.

"Bukan. Setelah itu."

Erion melirik ke samping, menghindari tatapanku. Dua lelaki di sampingku mengernyit tidak paham.

"Kau bilang 'berengsek'." Aku bersedekap. Ibu dan ayah mendidikku terlalu baik sampai aku merasa tabu dengan kata-kata kotor. Jika keluar dari mulut Truck, aku maklum—dia memang berlidah got. "Apa umurmu yang sebenarnya 30, hm?"

10 tahun, kok.

Aku histeris mendengarnya. "10 tahun dan kau sudah menyumpahi orang?!"

"Bah!" Truck berteriak. "Inilah alasan lainnya aku nggak mau ada anak cewek di antara kita!"

Pria itu sepertinya akan mati kalau tidak memusuhiku sehari saja.

Dengan gusar, aku mendahului para pria berumur tak sinkron dengan wajah itu untuk menyusul Erion. Butuh usaha keras bagiku untuk menyejajari anak itu yang melompat-lompat dengan mudah seperti kelinci.

Aku tidak pernah pandai dengan anak-anak. Namun, bukan berarti aku tidak menyukai anak-anak. Aku selalu suka hal-hal imut—kombinasi yang aneh jika dihubungkan dengan hobiku menonton film horor lawas—dan Erion adalah segala keimutan yang terkumpul jadi satu, cemar oleh pergaulan dua pemuda di belakang. Tidak setiap hari kau menemui bocah 10 tahun yang bersikap bak pemuda 30 tahun.

Karena tidak memiliki bahan pembicaraan sebanyak saat bersama Alatas, aku hanya bisa melirik senternya dan menceletuk, "Baterainya tidak habis-habis, ya."

Icore sempat keliaran di hutan ini untuk mengejar cintanya, Erion mengerling Alatas. Dia bisa mengalirkan listrik ke barang-barang konduktor, tahu, 'kan? Dan, sejak tadi Alatas mainannya cuma lempengan besi yang berceceran. Tempat ini sumber listrik, dan yang jalan di belakang kita itu seorang penghantar listrik hidup.

Untuk seorang anak yang belum puber, Erion punya pembendaharaan kata yang agak mengerikan.

"Sejujurnya," akuku, "aku masih tidak mengerti kekuatan super ini. Semua ini masih setengah hati kucerna. Kenapa Icore bisa punya banyak fungsi? Phantom juga. Sementara Teleporter atau Detektor hanya punya satu macam kekuatan."

Nanti, deh, kalau kita kebetulan ketemu seorang ilmuwan atau perpustakaan khusus Fervent, pertanyaanmu mungkin bakal terjawab.

Entah mengapa kesinisannya tidak menyinggungku. Aku tetap mengoceh, "Yang paling tidak kumengerti justru adalah Brainware. Kenapa aku mendengarmu lebih jelas? Aku mesti berusaha dengan isi otak Truck dan Alatas. Malah, waktu terkubur di dalam puing-puing itu, aku sempat mendengarmu dengan sendirinya."

Yang kau dengar ini hanya apa yang ada di permukaan, kata Erion. Itulah yang kau dengar dariku. Istilahnya ... membatin? Sama seperti saat kau membaca buku di dalam hati, ada kata-kata yang terbentuk lebih jelas di otakmu.

Seperti ini? Aku mempraktekkan langsung. Aku tidak berharap Erion langsung bisa mendengarnya, tetapi dia serta-merta mengangguk.

Aku bisu, kata anak itu lagi. Aku terbiasa berusaha keras mendorong kata-kata di dalam kepalaku kepada orang-orang meski mereka tidak bisa mendengar. Dan, lagi, Brainware bekerja seperti Detektor dan Cyonetidak perlu diaktifkan oleh kesadaran si Fervent. Tapi, aku berani taruhan, banyak pemikiranku yang lebih dalam yang tidak bisa kau gali.

"Kau lebih pintar dari umurmu," pujiku sungguhan. "Kenapa kau tidak belajar menggunakan bahasa isyarat?"

Pertama, Mbak Leila, terima kasih atas pujiannya. Dan, untuk menjawab pertanyaanmu, aku bakal balik tanya: belajar ke siapa? Abang Google sudah tiada, buku-buku sudah musnah, dan orang baik untuk menjadi guru cuma tinggal nama. Truck dan Alatas malah belum pernah punya kenalan orang bisu sebelum aku.

Aku terkesima dengan gaya bicaranya. Entah hanya aku atau disinisi anak 10 tahun memang sememukau ini?

"Kau tampak lebih memahami Brainware ketimbang aku."

Banyak Brainware sinting di Kesatuan Pemburu—kami sering dikejar mereka. Mereka terlalu sering melihat ingatan manusia dan pikiran-pikiran yang bisa berbenturan, itu membuat mereka kayak orang linglung dan melantur.

"Aku nggak melantur," bantahku. Namun, kalau dilihat dari sudut pandang Alatas dan Truck saat ini, aku memang tengah mengoceh sendirian.

Memiliki kekuatan super tidak semenyenangkan yang dielu-elukan oleh film-film. Aku malah tak merasa keren sama sekali. Maksudku, di mana sisi kerennya jika kami semua berlumuran debu, lumpur, tanah, darah, luka-luka, bau keringat, dan berkantung mata bengkak yang antara kurang tidur atau lebam?

Serangan Corona dan Icore baru contoh kecil betapa menyedihkannya dunia baru dalam naungan kekuatan Fervor, dan aku sudah hampir mengencingi diriku sendiri berkali-kali. Dunia berubah menjadi hutan liar, reruntuhan dengan benda tajam yang mencuat-cuat dari bawah, dan material bangunan yang bisa saja jatuh dari langit tanpa kami sadari. Semuanya cemar dan beraroma busuk bangkai. Berbagai jenis dan cara kematian mengincar—NC, sesama Fervent, seleksi alam.

Sudah tak terhitung berapa kali aku membuat obituari singkat dalam kepalaku: Leila, 17 tahun, mati kelaparan di tengah hutan; Leila, 17 tahun, tewas dicekik dan disetrum sampai hangus oleh seorang wanita misterius; Leila, meninggal di usia 17 tahun, penyebab kematiannya didorong jatuh ke sungai oleh seorang pria berinisial Truck.

Namaku Leila. Aku seorang Fervent—pengguna kekuatan-kekuatan super. Aku masih 17 tahun, dan saat ini tengah berada dalam pengawasan malaikat.

Malaikat maut.

ヾ(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro