11. Stressed Out

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Setelah menutup agenda rapat dadakan yang penuh perdebatan, Musa memintaku untuk tidak dulu pulang. Memang aku pun tidak bisa segera pulang, notulensi rapat tadi belum dirapikan. Semestinya itu tugas Musa sebagai sekretaris umum, tetapi ia harus menggantikan Bayan dalam memimpin rapat tadi.

"Kenapa, Mus?" tanyaku begitu semua orang meninggalkan ruang sekretariat. Hanya tinggal kami berdua, pasti ada hal privat yang harus didiskusikan.

"Kemaren, Bayan ngomongin masalah konselor sama Pak Danar, sama Pak Yanto. Gue agak kurang paham, tapi intinya korban bakal ditangani psikiater. Itu pun, kenalannya Farrel."

"Bentar. Korbannya langsung ketemu psikiater?" Aku mengabaikan laptop yang masih menyala, urusan notulensi rapat sepertinya bisa ditunda karena aku merekam diskusi bersama pengurus tadi. "Setau gue, Mus, kalau ke psikiater itu, kan, dikasih obat ujungnya. Bukannya kejauhan, ya, kalau korban harus minum obat? Maksud gue, mereka lebih perlu konseling gak, sih?"

"Gue juga mikir gitu. Si Farrel, kan, cuma mahasiswa sarjana psikologi, belum kredibel buat asesmen psikis korban." Musa duduk bersandar seraya memejamkan matanya, ia tampak lelah dan kurang tidur. Tidak lama, Musa menatapku serius. "Menurut lo pelakunya siapa, Nya? Lo ngerasa curiga ke siapa?"

"Pertanyaan yang agresif," sahutku usai membuang napas panjang. Laptop di hadapanku layarnya menggelap, daripada lama diabaikan, lebih baik dimatikan. Sepertinya, obrolan dengan Musa harus kuutamakan. "Gue enggak curigain siapapun, tapi gue rasa ada yang janggal di HMK."

"Kenapa?"

Mulutku terbuka begitu teringat kejadian tadi siang bersama Dito. Caranya menghindari orang lain, dan tuduhannya kepadaku sebagai anggota HMK yang "sama saja" memancing pikiranku untuk berhipotesis. Tetapi, jika kukatakan kepada Musa, argumenku kosong. Hipotesisku nantinya tidak berdasar, sebab aku baru bicara sekali dengan Dito. Ditambah, hampir satu jurusan mengatahui bahwa Dito memang temperamen dan penyendiri, sehingga perkataannya sukar divalidasi.

"Kenapa, Nya?" Musa bertanya lagi.

Aku menggeleng. "Gue curiga pelakunya dari internal HMK, atau at least ada pengurus di periode sekarang yang bantu pelaku. Coba, gimana ceritanya pelaku itu bisa tau banget kondisi HMK sekarang? Juga, gimana dia bisa niruin Bayan sampe Diva percaya itu beneran Bayan? Kan, pasti ada hubungannya sama anggota internal."

Musa terdiam. Pandangannya lurus namun terlihat kosong, sedangkan jemarinya menari di atas meja kayu, membentuk irama ketukan beruntun yang lambat. Lalu, tiba-tiba ia menatapku lagi. "Kalau gue curiga sama Bayan, gimana?"

Sebisa mungkin aku menyembunyikan rasa terkejut. Bagaimana bisa Musa mencurigai Bayan? Lelaki humoris yang ramah, yang selalu mengutamakan kepentingan rekannya di atas kepentingan pribadi.

Ya, aku pun paham, di situasi sekarang semua orang adalah terduga. Tetapi, kenapa harus Bayan?

"Jujur aja gue enggak mau curiga, apalagi sampe nuduh. Tapi, Nya, Bayan itu ikonik, ciri khas dia itu enggak ketebak. Gak gampang buat impersonate Bayan." Musa menegakkan tubuh, menatapku lebih dalam. "Jelasnya lagi, bahasa daerah kalau dituturkan orang yang bukan dari daerah itu, bakal aneh. Perlu waktu yang lama buat lo dapet aksen lokalnya."

Benar juga. Akan sulit untuk menyamar sebagai Bayan di lingkungan HMK, yang notabene tidak didominasi oleh orang Sunda.

"Bayan juga lebih ngerti, lho, bedanya psikiater sama psikolog. Dia juga paham efek dari obat-obatan buat masalah psikis. Tapi kenapa tindakannya rada ngasal, coba? Giliran gue tanya kenapa milih psikiater itu, dia cuma jawab karna kenalan Farrel. Kan, ngaco."

Musa begitu menekankan kalimat terakhirnya. Mungkin, pertanyaan "kenapa" itu tengah menari-nari dalam kepalanya, atau ia sedang berusaha menghentikan pikiran negatifnya terhadap Bayan. Lagipula, Bayan tidak punya dasar ketika memutuskan untuk menggunakan jasa psikiater, ia juga bertindak sendiri tanpa diskusi dengan kami. Ah, bahkan di saat seperti ini, aku tidak bisa memungkiri bahwa orang terdekat sekalipun dapat menjadi tersangka.

"Gue ngerti, Mus. Situasi sekarang ini bikin kita curiga sama siapa aja. Lo boleh berasumsi, tapi jangan sampe nyakitin yang lain, ya?"

Cowok itu memandangku lekat, sebelum akhirnya memalingkan wajah sembari membuang napas dengan kasar.

"Balik, yuk, Mus?" tawarku, "Udah jam delapan, bentar lagi gedung UKM pasti dikunci."

"Ayo, gue anter lo sekalian, Nya."

***

Bukan tanpa alasan Musa mengantarku pulang, ia hendak menjemput Rahma yang sedang kesal padanya. Kekasihnya itu curhat kepada Zafi, dan ketika Musa sudah menyusulnya mereka berdebat di kamar Zafi.

Aku mengembuskan napas panjang begitu rebah di atas kasur. Kejadian hari ini secara otomatis berputar dalam kepalaku, mulai dari cokelat pemberian Dito; Dito yang membenciku karena anggota HMK; Angga yang dekat dengan Bang Willy; dan kecurigaan Musa terhadap Bayan.

Semua berakar dari organisasi yang kuikuti, HMK. Pelaku kekerasan seksual itu tahu betul kondisi HMK saat ini, juga mengenal Bang Willy. Bayan sebagai ketua umum menjadi tertuduh, dan kurang mempertimbangkan dalam memfasilitasi korban untuk mendapatkan konseling. Kecurigaan Musa bukan tanpa dasar, Bayan memang terlihat seperti tersangka saat ini. Ia mengaku tidak mengenal Bang Willy, tetapi ia bisa saja berbohong, kan?

Namun, Bayan yang kukenal bukan pembohong.

Astaga. Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada harus mencurigai orang yang kita sayangi. Segala prasangka yang ada harus dibuktikan. Masih ada harapan jika Bayan bukan pelakunya.

"Anya, udah tidur?" Suara Zafi dari luar terdengar jelas setelah pintu kamar diketuk tiga kali, gegas aku menghampirinya.

Zafi berdiri di depan kamarku, tangannya membawa kotak yang dibungkus layaknya paket pengiriman.

"Nih, paket. Lo jadi beli sepatu oxford?" Ia menyerahkan kotak tersebut.

"Enggak. Gue enggak pesen apa-apa, Za."

"Lah, ini paketnya atas nama lo. Pengirimnya juga kayak toko sepatu. Tuh, baca, Ashoe Official."

Aku memeriksanya. Semua data penerima tercantum sesuai dengan identitasku.

"Kalau lo gak order apa-apa, bisa jadi ini dari yang kemaren ngasih boneka sama sweater, Nya."

Benar juga. Bisa jadi paket ini memang dari orang yang sama. Tetapi, nama tokonya seperti janggal, dan terkesan fiktif. "Ini nama olshop-nya, lebih deket ke 'asu' gak, sih? Nyeleneh banget."

"Lah, iya, ya?" Zafi terkekeh pelan. "Lagi musim sekarang nama brand hasil plesetan gitu. Udah buka cepet, gue kepo. Mana tau dari Angga, kan?"

Akhirnya kami berdua duduk di lantai kamarku, membuka paket tersebut sambil memvideokannya untuk mengantisipasi jika terjadi sesuatu.

Paket itu merupakan sebuah kotak kado berukuran sekitar dua puluh senti, berwarna merah, dengan pita hitam di atasnya. Begitu kubuka tutup kotak tersebut, Zafi tak bisa menahan keterkejutannya. Ia berteriak, sedikit memekik. Berbeda denganku yang hanya bisa terperangah.

Sebuah boneka Barbie berambut kusut tanpa busana tergeletak di sana, bersama dengan tiga lembar polaroid yang merupakan fotoku. Foto pertama, aku yang berada di depan minimarket. Lalu yang kedua, aku tengah berjalan di depan fakultas, dan yang terakhir fotoku di depan pagar indekos.

Selain foto dan boneka, terdapat juga selembar kertas dari hasil sobekan buku diari. Di sana tertulis kalimat: Dear Anya, you belong to me.

"Anya, ini gak bener. Ini ngancem lo, buset! Lo harus lapor polisi!" Zafi berkata heboh, dan mengundang Musa juga Rahma datang ke kamarku.

"Ini apaan? Ini dari siapa?" Suara Rahma yang tak bisa kujawab.

Musa merebut kertas tadi dari tanganku, ia membacanya cukup lantang hingga Zafi semakin panik dan Rahma terkejut bukan main.

"Ini kado teror."

🌵🌵🌵

Gedung UKM: Gedung Unit Kegiatan Mahasiswa, biasanya diisi ruang sekretariat berbagai organisasi & fasilitas kegiatan kemahasiswaan.

🌻🌻🌻

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro