37. Not Good Enough

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Keadaan Dito di yayasan terbilang cukup baik. Ia menjalani beberapa terapi untuk pengendalian kecemasannya, juga pemulihan pascatrauma. Kami hanya sebentar menemui Dito, itu pun hanya menyapa saja. Ia menolak untuk bicara lebih banyak. Katanya, kedatangan kami hanya mengingatkannya pada geng si Algi.

Wajar, sih. Aku dan yang lain, sangat erat dengan HMK. Pun sama halnya dengan Algi, yang dikenal juga sebagai pentolan HMK. Bagaimanapun, kenyamanan Dito adalah yang utama. Ia sudah jujur kepada terapisnya saja, rasanya sudah lebih dari cukup.

"Gue baru liat Dito senyum, deh," kata Musa. Kami berada tidak jauh dari gazebo, tempat Dito melukis untuk terapi.

"Mana? Mana?" sahut Bayan heboh. Kami yang tidak setinggi Musa dan Farrel berjingjit untuk melihat Dito. Wajahnya terhalang kanvas milik orang lain.

"Yah, udah gak senyum," kata Musa lagi.

Aku dan Bayan mendesah kecewa. Selama ini, Dito selalu terlihat ketakutan atau marah. Tentu saja senyumannya menjadi suatu hal yang asing bagi kami.

"Nih, gue fotoin Dito barusan." Farrel memamerkan layar ponselnya, di sana Dito terlihat sebagai sosok yang hangat. Ia tersenyum pada terapis yang mengajaknya bicara.

Senyumnya begitu hangat. Sangat berbeda dengan Dito biasanya.

"Udah liatinnya. Ntar lo naksir Dito lagi," kata si Farrel, entah kepada siapa.

"Lo flirting Anya mulu perasaan. Bukannya lo deket sama si Sheryl anak FEB itu, ya?" ujar Musa dengan tatapan menelisik.

"Udah enggak. Dia juga udah ada cowok."

"Cih."

"Sumpah, Mus."

"Bukan gara-gara lo nyetel Glimpse of Us setelah rabes ospek di Graha Antasari?"

Aku melirik Bayan, memberi isyarat tidak nyaman dengan percakapan mereka berdua.

"Ayo, Nya, kita pulang aja," kata Bayan sembari menarik tanganku, menjauh dari keduanya.

"Lo gak bisa bawa Anya balik gitu aja dong, Yan." Suara Musa menghentikan langkah kami, sungguh usil! "Kan, Farrel mau traktir kita all you can eat. Kalau Anya balik, ntar dia gak makan."

"Kapan manèh bilang mau traktir, Rel?" Bayan terlihat skeptis.

Farrel membalas dengan cuek, "Tadi pas di FISIP, pas Anya ribut sama si Tari."

Rahangku seolah jatuh mendengar ucapannya, nyaris saja aku ternganga untuk waktu yang cukup lama. Kuakui tadi aku memang terlubat adu mulut, tetapi apakah harus dengan gamblang ia menyebutnya sebagai "ribut"? Toh, aku tidak mencuri atensi khalayak.

Bayan menoleh kepadaku dan bertanya, "Tadi itu emang siapa, Nya?"

Napasku melenguh panjang. Aku tak ingin bercerita soal Tari, di lain sisi Bayan dan Musa---sahabatku---pasti akan khawatir jika berpikir Tari orang asing.

"Kita mau ke AYCE, kan? Ntar gue cerita di sana aja," ucapku pada akhirnya.

Farrel tersenyum angkuh, begitu pula dengan Musa yang merasa idenya berhasil.

***

"Baca bismillah bego, Yan."

Meja kami telah dipenuhi hidangan. Aku dan Farrel sibuk memanggang daging, sementara Bayan dan Musa memilah makanan tanpa tujuan.

"Manèh taburin dulu kejunya itu," sahut Bayan. "Jadi itu tadi siapa, Nya? Kenapa jol ngelabrak kamu?"

Aku menahan diri untuk tidak mengeluh, atau sekadar membuang napas dengan kasar.

"Tadi tuh, adek tiri gue. Ya ... beda dua bulanan kayaknya. Pacar dia si pengelola situs bokep yang jual muka gue," jelasku sekenanya.

Musa dan Bayan menatapku tak percaya, mereka bertanya nyaris bersamaan, "Adek tiri?"

Aku mengangkat alis, membenarkan. "Satu bapak beda nyokap," ujarku yang masih fokus memanggang daging.

"Dia feeling guilty karna cowoknya bandar bokep yang jual foto Anya. Tapi malah gaslighting." Farrel menyahut dengan santai, tangannya lihai mengangkat daging yang telah masak. "Dia takut balik ke rumahnya, jadi pengen tidur di apartemen gue. Apesnya emang dia tau gue ngekos."

"Kenapa minta tolong ke lo? Emang cuma lo yang dia kenal?" tanya Musa.

Farrel bersuara untuk menjawab Musa, namun sepertinya ia urung. Ia melihatku, seolah-olah hendak meminta izin bicara.

Kuisyaratkan saja dengan anggukan, apa pun faktanya, aku siap mendengar.

"Dia pengen tau soal Anya, sih." Jawaban Farrel itu, menghentikan tanganku yang sibuk mengangkat daging panggang. "Dia banyak nanyain lo, terus bandingin sama kelakuan lo kalau di rumah. Gak tau maksudnya apa," katanya padaku.

"Biar lo tau, gue seburuk itu," sahutku tak minat. Kupikir, Tari bertanya soal apa.

"Terus manfaatnya apa?"

"Ya, kan, dia percaya kalau gue genit. Makanya jadi objek seksual. Atau mungkin, biar dia ada topik buat ngobrol sama lo aja, Rel."

"Rujit gini," ujar Bayan.

"Susah juga, ya, mengedukasi soal KS ini." Musa mengangguk sambil menelan makanannya. "Padahal, Rel, lo suruh dia tidur di rumah Bayan aja."

Bayan tertawa kecil. "Iya, biar diospek si Bulet."

"Lumayan bantuin Mama Bulet nyuci piring, kan," sahut Musa lagi.

"He-em." Bayan mengangguk setuju. "Kebetulan di rumah tèh baju yang belum disterika numpuk."

Farrel tertawa. "Anjir, jadi babu, dong!"

Aku tertawa samar. Sedikit senang rasanya ada yang membela. Kalau di rumah, mungkin saja orang-orang akan membenarkan asumsi Tari bahwa pelecehan yang terjadi adalah salahku. Lalu akhirnya aku akan disuruh memperbaiki diri, menutup ujung rambut sampai kaki. Kemudian akan muncul lagi gosip baru, bahwa aku seorang radikal---bakal calon teroris.

Bukannya berpikir buruk. Pernah ada warga baru yang bercadar dan disebut seperti itu. Lagipula, kalau memang pakaianku---yang tidak mengenakan jilbab adalah penyebabnya, lantas mengapa kekerasan seksual juga terjadi pada Rini? Dia, kan, berjilbab.

"Makan, Nya. Malah bengong." Farrel menegurku sambil mengetuk-ngetuk wajan menggunakan capitan.

Karenanya, aku lantas memasukkan makanan ke dalam mulutku. Kami pun kembali mengobrol, santai, dan lebih banyak berguyon tentang apa sekiranya yang akan terjadi jika salah satu di antara kami menjadi presiden mahasiswa.

"Oh iya, kemaren gue dikabarin bokapnya Winda, kalau Daniel, Ricky, Algi udah dapet surat panggilan tapi kagak dateng," kata Musa usai mengecek ponselnya. Ia pasti baru ingat, hingga seketika mengubah pembicaraan. "Sama Jovanka juga, yang jadi admin bokep itu."

"Hadeh." Bayan mengeluh, "Udah otak mesum, pengecut lagi. Masih mending babi ternyata, ya, masih punya rasa pede buat tampil di publik meskipun pernah makan tai sendiri."

"Si bahlul, ngomongin tai depan orang makan." Musa mengomel, dibarengi dengan sikutnya yang sengaja menyenggol Bayan.

Farrel berdehem sedikit keras. "Ya, gak usah dilanjut napa, Mus!"

"Eh," dehem Musa meminta perhatian. "Gue mau mastiin, Angga gak ngubah pernyataannya, kan?"

"Eng ... gak kayaknya," jawab Farrel ragu.

"Si Angga, kan, terang-terangan bahas dia butuh duit. Gue takut dia malah narik omongannya, terus Dito bener-bener jadi kambing hitam."

"Gak akan, Mus," sahut Bayan dengan yakin. "Kemaren di kosan Dito, saya nemuin SD card. Itu tèh isinya rekaman suara dia di-bully sama geng cabul. Emang cuma satu, sih, tapi harusnya tetep jadi pertimbangan. Karna, kan, bullying rada susah dibuktikan."

Kami semua mengangguk mengerti. Semestinya semua berjalan lancar, kalaupun tidak, berarti ada permainan uang dan kekuasaan. Selanjutnya obrolan beralih menjadi gurauan, mereka bertiga tertawa lepas seolah tidak ada lagi beban yang menindih kepalanya.

"Gue ke toilet dulu, ya," izinku. Tadi aku mengambil makanan menggunakan tangan, tak betah rasanya jika jariku berminyak.

Aku baru pertamakali makan di restoran yang begitu luas ini, sehingga agak kesulitan menemukan letak toilet. Kepalaku menoleh ke kanan kiri, pasti orang-orang yang melihatku langsung tersadar, bahwa aku tengah mencari sesuatu.

"Are you lost, baby girl?" Seseorang berdiri begitu saja di hadapanku, dan nyaris dadanya tertabrak.

Sialan juga. Kenapa harus mengambil dialog film dewasa, sih?

"Siapa sangka kita bakal ketemu di sini?"

Aku berdecih, menatap sosok di hadapanku dengan remeh. "Siapa sangka, tempat sebagus ini didatengin iblis cabul?"

Dia Algi. Mendapati pertanyaanku, air mukanya berubah. Kini, matanya menyorotku penuh kebencian.

🌻🌻🌻

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro