6. Interact

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Korban pelecehan seksual yang dibahas tadi sore langsung menghubungiku satu jam setelah pamflet yang dibuat Sinta, Radit, dan Dila diunggah. Ia menceritakan kronologis kejadian sedetil-detilnya. Pun, menyertakan bukti-bukti berupa riwayat chat dan nomor telepon pelaku.

Caca namanya. Ia mengaku sangat takut dan cemas saat ini, hingga tidak berani keluar indekos untuk sekadar membeli makanan. Aku menawarkan diri untuk mengunjunginya, namun ia menolak. Ia meneleponku karena hanya ingin mengobrol, dan mungkin mencari ruang aman. Selama obrolan berlangsung, Caca hanya menangis ketakutan.

Rencananya, esok aku akan menghubungkan Caca dengan Farrel. Jika dipikir lagi, ia cukup kredibel karena berasal dari fakultas psikologi, punya bekal ilmu yang cukup untuk memahami kondisi Caca saat ini. Yaa, meskipun sebenarnya aku sangat muak jika harus bicara dengan lelaki itu. Namun, aku tidak bisa egois. Jika aku tidak bisa menyembuhkan Caca, setidaknya aku harus membantu dirinya.

Aku sudah mengirim pesan pada Caca, jika ia luang besok, kami akan bicara dengan Farrel. Caca pun bersedia, dan tugasku berikutnya harus benar-benar bicara pada cowok itu. Aku tidak mungkin mengkhianati ucapanku untuk berkomunikasi dengan advokat gender.

Hai, Farrel. Gue Anya, ketua biro sospol HMK. Hari ini dapet laporan ada korban kekerasan seksual secara verbal, akibatnya korban cukup trauma sampe enggak ikut ospek. Kasusnya masih diusut sama kahim gue, karna bukti yang dipunya belum cukup. Gue harap kita bisa ngobrol sama korban besok via telepon, karna dia butuh pendamping/advokasi untuk saat ini. Let me know kalau lo enggak sibuk besok, TIA.

Perlu waktu setengah jam untuk mengetik pesan tadi. Tentunya, tidak satu kali mengetik dan selesai. Aku mengetik, lalu menghapusnya lagi. Berpikir diksi mana yang cocok untuk digunakan bicara padanya. Usai itu, aku langsung menjauhkan ponselku, dan mengalihkan diri dengan pergi ke kamar Winda. Ia sedang membuat pola jahitan untuk tugasnya.

"Lo gelisah amat, Nya?" tanyanya. Mungkin ia menilai gerak-gerikku yang mondar-mandir sambil mengeretek jari-jari tangan.

"Oh, itu, gue ... kepikiran Bang Angga aja, sih. Dia jadi lebih perhatian gitu, gue agak deg-degan jadinya," dustaku.

Tidak mungkin aku berkata jujur pada Winda, kasus ini, kan, masih jadi rahasia.

"Hadeh, kelamaan jomlo lo. Samanya kayak si Japi. Eh, gue lagi nitip boba ke Japi, lo mau sekalian gak?"

Aku menggeleng. "Enggak, deh, gue mau ke kamar aja."

"Idih! Salting, ya, lo?"

Aku menghiraukan ucapan Winda, lebih memilih untuk menarik napas panjang supaya lebih tenang. Kemudian aku kembali mengecek ponselku, rupanya selang semenit Farrel membalas pesanku.

Hai, Adriana. Masa gak gue bantu, sih. Kabarin aja mau jam berapa, ya. Sama tolong kirim bukti yang udah ada ke gue, oke?

Begitu jawabannya. Aku tak berkata apa-apa lagi, hanya mengirimkan tautan dokumen yang berisi kronologis berdasarkan pengakuan korban dan bukti-bukti. Nyaris meledak kepalaku ketika ia memanggilku dengan "Adriana", seolah-olah ingin menunjukkan bahwa ia mengenaliku. Apalagi, ketika ia kembali membalas "terima kasih" dan foto profilnya berganti menjadi foto dirinya memakai sweater Toy Story seperti yang ia unggah di Instagram. Artinya ia menyimpan nomorku, kan?

Sial, sial, sial! Aku harus menghapus kontaknya! Setidaknya aku sudah punya riwayat chat dengan dirinya, jadi masih bisa kiranya untukku menghubungi dia lagi.

Yaa, aku yakin, sih. Urusan ini akan cukup panjang akhirnya.

Kemudian ponselku berbunyi lagi, ia mengirimkan pesan lagi kepadaku yang isinya cukup membuatku naik darah.

Oh, iya. Kita bisa ketemu dulu berdua buat obrolin tentang ini gak, Nya? Lewat telepon pun, gak apa-apa:)

Agak gila si Farrel ini. Bodohnya, jariku terbiasa refleks menekan pesan yang belum terbaca. Mau tidak mau, aku harus segera membalasnya.

Enggak bisa:) gue rasa lo bisa nilai kasus ini dari kronologis versi korban dan buktinya. FYI, kasus ini mirip sama yang pernah dipegang kahim gue. Kalau gak salah, lo juga yang dampingin korbannya, kan?

Dia pikir, aku mau bicara lebih banyak dengannya? Tidak, tidak akan! Cukuplah hidupku selama beberapa waktu ke depan akan bertambah runyam karena harus berhadapan dengannya.

Oke deh. Good night;)

Tentu saja aku tidak membalasnya lagi. Kalau selesai perkara ini, akan kublokir dia dari seluruh hidupku. Ya ampun, dadaku kadang masih sesak jika mengingatnya. Astaga.

***

Pagi ini, Angga menjemputku seperti yang sudah direncanakannya semalam. Melihat itu, Zafi dan Winda kembali meledekku. Kali ini mereka hanya memainkan ekspresi wajahnya saja untuk menggodaku, melirik-lirik Angga, lalu menaik-turunkan alisnya seraya menatapku. Memang dasarnya mereka iseng, jadi tidak kuacuhkan keduanya.

Katanya Angga akan mengajakku sarapan di kantin yang baru buka, letaknya tidak jauh dari fakultas teknik. Seperti biasa, lelaki itu mengendarai mobil meskipun hanya ke gerai streetfood seperti ini.

"Nasi goreng di sini enak, tau, Nya. Kamu suka nasgor, kan? Mau langsung dipesen?" katanya begitu kami duduk di salah satu meja.

"Boleh, yang biasa aja, ya. Gak usah pedes."

"Sip, aku pesen dulu."

Tempat ini mirip seperti festival kuliner, terdapat beberapa stand yang menjual menu sarapan atau minuman seperti kopi, teh, jamu, dan lainnya. Ada juga brand produk kebutuhan rumah tangga yang menawarkan promo berhadiah lunch box. Cukup ramai dan menarik, sih.

Tidak lama, Angga kembali dengan membawa nasi goreng di dalam box bento, dan dua botol air mineral. "Thank you," ucapku begitu ia menyerahkan nasi goreng kepadaku.

"Anything," sahutnya. "Kalau mau yang lain, bilang aja, ya."

Aku hanya mengangguk dan mulai menyantap sarapan. Memang benar, nasi gorengnya lumayan enak. Setidaknya sebanding dengan harga, meskipun saat kusentuh box-nya sudah tidak begitu panas, seperti sudah dibuat beberapa menit sebelumnya.

"Oh iya." Angga tiba-tiba berujar. "Aku udah nangkep orang yang suka naro kopi sama cokelat buat kamu di sekre."

Mataku membola mendengarnya, sontak kufokuskan seluruh atensiku kepada Angga. "Beneran, Bang? Siapa orangnya?"

"Bener. Kan, betul kata aku, orangnya angkatan 10. Iseng emang mereka."

"Siapa?"

"Kamu enggak kenal kayaknya."

"Iya, emang siapa namanya?"

"Ada, kamu gak perlu tau aja."

Aku memutar bola mata jengah. "Gue berhak tau, dong, Bang. Dari pertengahan semester satu, lho, dia naro kopi itu."

Angga malah tertawa, lalu menepuk pelan puncak kepalaku. "Gemesin banget kalau kesel," katanya. "Si Dito, kamu tau? Yang pake kacamata itu, lho, yang suka diem di ruang internet access dari pagi sampe diusir satpam."

Mendengarnya, aku merengut bingung. Dito? Cowok itu memang terkenal karena keanehannya, sih. Ia sangat penyendiri, dan selalu berteriak marah jika ada yang mendekatinya.

"Kok dia bisa tau gue, ya?" ucapku heran.

"Yaa ... emang siapa yang gak tau kamu, coba?"

Jika benar Dito orangnya, maka orang itu benar-benar mencurigakan. Setiap harinya ia tidak pernah bicara kepada siapa pun, selalu menunduk jika berjalan. Jika ada yang ingin duduk di sebelahnya di ruang internet access, langsung berteriak tak suka.

Aku jadi merinding. Kenapa ia bisa punya ketertarikan padaku?

"Udaah, gak usah dipikirin," kata Angga. Kemudian, ia mengeluarkan kopi dan cokelat dari tasnya. "Dito udah aku urus. Dia gak akan naro kopi sama cokelat lagi di sekre. Kalau mau ngasih, kubilang buat kasih langsung. Tapi kayaknya, dia gak akan berani. So, mulai sekarang, aku yang bakal ngasih ini."

Sebotol kopi kemasan, dan cokelat rasa kismis. Terdapat satu sticky note di setiap kemasannya. Di kemasan kopi, bertuliskan: Hari baru, kopi dulu! Sedangkan di kemasan cokelat terdapat tulisan: Keep smile Anya Cantik:)

Aku tersenyum tipis. Angga mau berusaha untuk bersikap manis, bagaimanapun ia sangat pantas untuk dihargai. "Thanks a lot."

"Sama-samaaaa," jawabnya sambil menepuk lagi kepalaku dengan pelan.

Setelah itu, kami melanjutkan sarapan. Sesekali mengobrol ringan untuk menghangatkan suasana. Saat hendak memasukkan sesendok nasi goreng ke dalam mulut, seseorang menabrak tanganku hingga makanan di sendok jatuh berantakan. Sontak, aku berdiri untuk membersihkan nasi yang berjatuhan di celanaku.

Orang itu sepertinya tersandung, ia sempat terkena ujung meja hingga jatuh dan isi tas belanjanya berserakan. Karena terlalu banyak, kubantu ia membereskan barangnya.


"Maaf, ya, Mbak," katanya begitu kami selesai.

Aku sedikit syok melihatnya.

"Eh, Riana. Sorry banget sekali lagi, ya. Makasih juga udah dibantuin."

Aku hanya mengangguk kikuk, lalu menjawab sekenanya, "Nevermind."

"Kalau gitu, gue duluan, ya."

Sebelum pergi, ia tersenyum padaku, juga pada Angga. Sama sekali aku tak berminat meliriknya. Kalau ia menyadari, ekspresi ramah tidak kuperlihatkan.

"Itu, ketum HMP, ya?" Angga bertanya setelah cowok itu pergi.

Aku mencoba menahan kedengkian sebelum menjawab, "Iya, si Farrel itu."

🌻🌻🌻

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro