Prologue

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mahasiswi semester lima. Status itu kini tersemat untukku. Sedikit tidak percaya, rasanya baru kemarin aku menjalani rangkaian ospek, tersasar di gedung fakultas sendiri, salah memanggil nama dosen, ah ... banyak sekali kebodohanku di semester pertama.

Hari ini bukan hari pertama masuk kuliah, tetapi sekarang ini waktunya aku dan rekan anggota himpunan jurusanku menyambut mahasiswa baru. Esok, mereka mulai ospek, dan sebagai kakak tingkat yang baik kami akan mendampingi mereka. Sekalian, mendokterin para mahasiswa baru agar bergabung dengan hima.

Aku meraih jas almamater yang digantung di dalam lemari. Setelah memastikan penampilanku rapi, bergegas aku pergi ke kampus yang jaraknya hanya tiga ratus meter dari tempatku.

Setibanya di sana, semua panitia sudah menyelesaikan tugasnya. Sebagai kakak tingkat yang sebentar lagi akan demisioner, aku lebih banyak mengawasi dan memastikan semua kebutuhan kegiatan telah terpenuhi.

"Anya!"

Aku menoleh, kemudian meleempar senyum. "Eh, Bayan."

"Tadi Bang Angga nyariin kamu ke sini, tapi kata aku tèh Anya belum dateng," katanya.

"Bang Angga, ya?"

Bayan mengangguk. "Ai kamu beneran jadian sama dia? Eh, maap tapi ini mah, bukannya aku kepo. Cuma tèh, itu ... dianya ngomongin kamu terus."

Aku terhenyak. Inilah salah satu beban beratku: menghadapi cowok bernama Erlangga Sigit. Dia kakak tingkatku, sudah terang-terangan mendekatiku sejak tahun lalu, tapi tak pernah mengungkapkan perasaannya padaku. Aku pun tak tertarik untuk sekadar bertanya soal kepastian kenapa ia mendekatiku. Bukan maksud jual mahal, hanya saja memang aku belum ada niat untuk menjalin hubungan lagi.

"Anya, maaf euy kalau kesinggung. Jangan diem begitu, atuh," ujar Bayan yang cukup membuatku terperanjat.

"Enggak, Yan, santai aja. Aku enggak jadian sama Bang Angga. Emang dia ngomong ke siapa aja?"

"Ke panitia yang ngumpul, pas kamu belom dateng." Bayan menoleh ke kanan dan kiri, mulai banyak mahasiswa baru yang berdatangan masuk ke auditorium. "Ya udah, aku ke dalem dulu, ya. Bentar lagi mulai, kamu tolong jaga pintu, ya."

Aku mengangguk. Bayan adalah ketua umum Himpunan Mahasiswa Komunikasi di kampus, kami cukup akrab karena sudah bertemu sejak ospek hari kedua.

Lalu aku memilih untuk berdiri di depan pintu auditorium. Menyambut setiap mahasiswa baru yang datang, dan berkoordinasi dengan panitia lain agar semua mendapat tempat duduk.

Pada pukul delapan tepat, aku menutup pintu auditorium. Berdiri di paling belakang, menjaga pintu. Sebentar lagi mungkin aku akan maju juga ke depan, untuk sesi perkenalan. Bayan menunjukku sebagai ketua divisi sosial politik. Jika ada sesi perkenalan, namaku pasti dipanggil untuk maju.

"Kak Anya."

Seseorang memanggil. Dia adalah Radit. Adik tingkatku, yang juga anggota divisi sosial politik.

"Kenapa, Dit? Semua aman?"

"Ada yang naro ini di sekre. Tadi gue enggak sengaja jatohin, jadi botolnya penyok." Radit menyodorkanku sebotol kopi kemasan yang sudah sedikit penyok, kopi tersebut ditempelkan menggunakan selotip dengan sebatang cokelat kacang almond, kesukaanku.

"Tapi, itu bukan punya gue."

"Ini, Kak, tadi ada note Buat Anya, tapi copot. Maaf banget, ya."

Aku meraihnya, sembari mengamati tulisan tangan di note tersebut. "Ah, oke, Dit. Thanks, ya."

"Iya, Kak. Anyway, congrats buat hubungannya sama Bang Angga. Semoga bahagia."

"Eh, Dit—"

"Makasih udah baik sama gue, jujur gue seneng kok kalau Kak Anya jadian sama Bang Angga. Seenggaknya Kak Anya udah tau, gimana perasaan gue buat lo. So, gue lega."

Radit tersenyum sebelum melenggang pergi.

"Tapi gue enggak naksir siapa-siapa," ujarku lirih sambil mengamati kepergiannya.

Aku tak bisa mencerna apa yang terjadi. Radit memang menaruh hati padaku. Dia telah mengungkapkannya secara manis, beberapa bulan yang lalu. Saat itu aku berkata jika aku hanya menganggapnya tak lebih dari adik tingkat. Radit menerima penolakanku, dan hubungan kami masih berjalan baik sampai sekarang.

Namun, yang membuat kepalaku runyam di pagi hari ini adalah: Angga. Dia belum menyatakan perasaannya padaku secara langsung, tetapi kenapa sudah menyebar gosip begini? Harusnya, kalau dia benar-benar suka padaku, ya ... berterus terang saja. Kalau begini, aku bingung sendiri.

Kopi dan cokelat juga. Aku sudah sering menerimanya, sejak semester dua, atau tiga, entah aku lupa. Apakah Angga yang memberinya? Tetapi, kenapa ia tak pernah memberikannya langsung padaku?

Astaga, padahal hari ini baru jam delapan. Namun beban di kepalaku rasanya sudah bertumpuk ratusan.

"Ya, selanjutnya perkenalkan ketua divisi sosial politik kita, Adriana Kalila! Silakan kepada Kak Anya Enggak Pake Geraldine untuk naik ke atas panggung, dan memberikan sambutannya sedikit tentang divisi sosial politik."

Aku terkesiap. Di tengah kalutnya pikiranku soal Angga, kopi, dan cokelat, aku harus terlihat berwibawa untuk memberi sambutan.

Baiklah, Anya. Selamat menjalani hari yang sulit dimengerti.

🌵🌵🌵

Hima: (Organisasi) Himpunan Mahasiswa

🌻🌻🌻

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro