10. Terpukau

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

            Aku tidak habis pikir bakal menemukan Argo di acara resepsi pernikahan dengan kondisi seperti ini. Mengumpulkan piring dan gelas kotor lantas memasukkan ke dalam keranjang dan merapikan tatanan makanan prasmanan yang berantakan. Apakah ini akan menjadi pekerjaan Argo berikutnya setelah dia resign dari MyStory?

Duh, aku lupa. Waktu Mas Didas ngurut kakiku, kenapa aku tidak mencoba cari informasi dari dia, ya. Habisnya Mas Didas saat itu nyeremin. Aku tidak bisa berpikir jernih dalam keadaan dipijat begitu. Apa lagi sama Mas Didas yang secara kenyataan masih tercatat sebagai atasan resmiku di kantor. Saat itu situasinya sedang aneh saja.

"Lo mau ke mana? Jangan main kabur aja." Mas Navin menahan lenganku ketika kakiku hendak melangkah mengekori Argo.

"Gue ada urusan mendadak. Lo selesein urusan lo sendiri aja deh, Mas. Kalau urusan lo udah kelar kabarin aja. Gue masih di sekitar gedung ini, kok."

"Emang lo punya urusan apaan? Sok sibuk."

"Urusan gue masih di sekitar sini, Mas. Gue nggak akan pergi jauh. Katanya lo pengin menuntaskan urusan tanpa mengurangi sisi kejantanan lo sebagai seorang pria. Sekarang silakan dibuktikan. Lo bisa mengatasi masalah sendiri tanpa harus gue temani. Lo pasti bisa, Mas."

Mas Navin menarik napas dalam-dalam. Melirik sekilas ke arah pelaminan lantas meneliti penampilannya sendiri.

"Lo bener, Nir. Gue emang selalu bisa."

"Nah, gitu dong. Bikin tuh cewek nyesel udah mutusin lo, tapi jangan bikin dia balikan sama lo. Tunjukin sama dia kalau hidup lo lebih berfaedah sejak kalian putus."

Mas Navin tersenyum lebar. "Memang itu tujuannya."

Kubiarkan Mas Navin berkreasi menyelesaikan babak akhir drama kehidupannya terhadap sang mantan dengan caranya sendiri. Aku tidak mau ikut campur karena saat ini aku punya fokus yang lebih penting, yaitu menemukan Argo di antara kerumunan manusia. Langkah pertama untuk mendeteksi keberadaannya adalah fokus kepada orang-orang yang mengenakan kemeja putih dan celana panjang hitam. Itu adalah seragam untuk bagian katering di acara ini berdasarkan pengamatanku.

Aku mengikuti seorang wanita berpakaian serupa membawa nampan berisi gelas, berjalan ke luar aula. Baru kali ini aku antusias banget kepoin hidupnya orang. Wajar tidak, sih? Gara-gara Argo, aku memiliki softskill terbaru yang tidak banyak dikuasai semua orang. Yaitu menjadi penguntit. Suatu saat nanti kalau ada rekrutmen agen rahasia aku akan mengikuti setiap tahapan seleksinya. Mungkin bekal pengalaman pribadi menguntit ini bisa dijadikan bahan pertimbangan supaya diterima sebagai bagian dari tim pencari orang hilang atau menemukan buronan.

Seorang pria dengan kemeja putih longgarnya sedang jongkok sambil mencuci peralatan makan membuatku berspekulasi.

"Hai, Argo," sapaku.

Pria itu menolehkan kepala. Alisnya menukik dan matanya menyorot tajam ke arahku. Aku nyengir menanggapi ekspresi keterkejutannya. Dia mencuci tangan, lalu berjalan mendekatiku. Melihatnya menekuk wajah kayak gitu bikin aku waswas. Tepatnya, deg-degan.

"Ada apa?" tanyanya setelah kami berdiri berhadapan.

"Kok lo bisa..." aku tidak enak bilangnya.

Argo melipat tangannya. Meneliti wajahku kemudian beralih kepada busana yang aku kenakan.

"Lo datang sama siapa?"

Aku menggaruk tengkuk. Senyuman kecilku menjelma menjadi senyuman lebar. Kubikin bentukan senyum paling manis berdasarkan versiku. Seketika aku merasa kikuk. Kenapa aku bisa jadi segatal ini di depan lawan jenis, ya?

"Sama abang gue. Lo kok bisa... ngurusin katering di sini?" tanyaku hati-hati, takutnya nanti dia tersinggung.

"Oh, gue kira sama Mas Didas."

Aku melongo mendengar ucapannya. Tersirat ada irama sindiran. Sejak insiden pijat memijat di depan lift itu, Argo pasti punya penilaian tersendiri. Belum puas aku menuntaskan rasa penasaran, Argo berbalik melanjutkan pekerjaannya.

"Gue masih kerja. Lo balik aja," cetusnya.

"Lo selalu kerja meskipun ini malam Minggu, Go? Hari libur tetap kerja gitu?" tanyaku kesal.

"Bukan urusan lo."

Argo terburu-buru mencuci peralatan makan, menimbulkan bunyi berisik. Barangkali dia sengaja supaya aku cepat pergi dari situ. Pantesan badannya kurus kering begitu. Kerja kantoran setiap Senin sampai Jumat pulangnya larut malam, belum lagi akhir pekan dia juga mengisi waktunya buat kerja. Tega amat, sih, memforsir diri kayak gitu? Biar apa coba.

"Gimana caranya biar jadi urusan gue?"

Ups, aku menggembungkan pipi. Baru sadar aku punya tingkat kepercayaan diri yang sungguh hakiki berani mengutarakan kalimat barusan. Menghentikan kegiatannya, Argo menoleh.

"Nggak bisa. Gue nggak punya waktu buat lo."

Mengatur napas satu-satu. Tampaknya kali ini aku yang tidak bisa mengelola sabar. Aku mulai capek hati dengan rencana yang kubuat sendiri. Namun, hatiku berbisik agar aku tidak berhenti walaupun terasa nyelekit-nyelekit gitu. Argo kembali membasuh piring cepat-cepat. Suaranya dentingannya dua kali lipat lebih ramai dari sebelumnya. Dia bisa nyuci tidak, sih?

"Piringnya ntar pada pecah kalau lo nyucinya kayak gitu, Go," decakku seraya mengambil alih spon di tangannya. Menggantikan aktivitasnya mencuci piring kotor yang tersisa beberapa biji.

Beberapa orang petugas katering yang lalu lalang di sekitar melirik kami. Aku tidak peduli seribet apa busana yang membungkus tubuhku. Mungkin di mata orang-orang kelihatan tidak pantas mencuci piring dengan setelah baju kayak gini. Hanya saja aku gemas cara Argo mencuci itu sangat tidak profesional.

"Ini barang pecah belah, terbuat dari kaca. Lo mesti nyuci pelan-pelan kalau nggak mau disuruh ganti rugi. Lo boleh capek, tapi jangan ceroboh," omelku.

Aku terus mengomel sepanjang sesi cuci mencuci. Mengabaikan komentar-komentar orang sekeliling yang terlintas di kuping. Tak jarang teman-teman Argo mampir sebentar buat menggoda. Bahkan terang-terangan ada yang mengambil gambar kami. Dasar orang kurang kerjaan. Awas saja kalau sampai fotonya disebar. Zaman sekarang apa-apa dibikin viral, dikomersilkan, cuma buat numpang tenar.

Sementara Argo bungkam di sampingku. Mengawasi peralatan makan yang menjadi tanggung jawabnya. Piring-piring sudah kususun rapi di dalam keranjang plastik. Nah, beres.

"Tangan lo basah," kata Argo, membuatku mengernyitkan kening.

"Ya iyalah. Namanya juga habis nyuci. Kena air," sahutku heran.

Argo celingukan seperti mencari sesuatu. Ya ampun, aku sampai lupa. Gimana kabar Mas Navin, ya? Kok Mas Navin belum ngabari. Apakah dia baik-baik saja? Kayaknya sih, aman. Tidak terdengar hiruk-pikuk dari dalam aula. Berarti tidak ada perkelahian. Paling urusannya sudah beres makanya adem ayem. Kurasa Mas Navin sekarang sedang menikmati hidangan.

"Nggak ada tisu," ujar Argo.

"Buat apa?" Aku menatapnya kebingungan.

Sorot matanya memindaiku lagi. Memangnya ada yang salah sama kostumku? Tapi, dia ngelihatinnya seperti terpukau begitu. Tiba-tiba Argo menyambar kedua tanganku. Mengusapkan tanganku yang basah di kemejanya. Aku benar-benar tidak mengerti apa yang dia lakukan.

"Buat ngeringin tangan lo."

Oh, astaga. Aku tertawa mengetahui tingkat kepekaan Argo terhadap kebersihan ternyata patut diapresiasi. Aku saja tidak ada pikiran ke arah sana. Tanganku sudah kering. Kali ini gantian aku memindai objek manusia di depanku. Menundukkan muka, Argo menolak menyambar tatapan mataku. Dia kembali menjadi Argo yang diam dan tidak banyak komentar.

"Makasih. Gue balik," pamitku, sedikit mendongak supaya bibirku sejajar di telinganya.

Aku tersenyum sepanjang kaki melangkah. Kepergianku diwarnai siulan hingga sorakan heboh para petugas katering acara. Menutup sebagian wajah seperti cabai-cabaian yang terciduk nongkrong di kelab malam, aku kembali masuk ke dalam aula. Kembali kepada Mas Navin.

Nah, kan. Menemukan Mas Navin di antara lautan manusia rupanya bukan hal susah. Masku itu sedang duduk di salah satu kursi undangan sambil menikmati sepiring es krim. Rona mukanya terpancar ceria. Kayaknya dia berhasil menuntaskan misi pembalasan sakit hatinya.

[Ready To Love You]

"Hidung lo belum sembuh, Mas?" tanyaku ketika mengambil air hangat dari dispenser.

Posisi duduk Mas Genta memang paling dekat dengan dispenser. Aku bisa lihat pangkal hidungnya masih dibalut perban.

"Udah mendingan, kok. Si bego itu kebangetan, Nir. Dasar cemen. Mana sekarang? Beraninya ngumpet di keteknya Didas. Masih baik nggak gue laporin polisi, tuh. Untung aja bentar lagi dia resign," jawab Mas Genta sambil menunjuk-nunjuk meja Argo.

Iya, sih. Setelah keributan tempo hari Argo pindah ruang kerja. Sekarang dia berada satu ruangan dengan Mas Didas. Eh, Argo beneran mau resign?

"Kenapa lo bisa sebenci itu sama Argo sih, Mas?"

"Gimana nggak benci, dia masuk perusahaan ini tuh nggak pakai tes. Sedangkan gue mesti melalui proses yang belibet. Gue kenal Didas udah lama, tapi dia nggak mau ngusahain gue pakai jalur khusus. Sedangkan Argo? Diusahain ke mana-mana. Sekarang posisi Didas udah naik jadi bos, makin menjadi-jadi aja tuh orang."

"Emangnya bener ya, Mas Didas saudaraan sama Argo?"

Mas Genta mencibir. "Ngimpi!"

Tampaknya ada sekelumit kisah yang cukup ribet. Apapun itu, pokoknya sudah berhasil menarik perhatianku. Kutinggalkan Mas Genta yang kembali memasang earphone. Mas Didas, Argo, dan petugas katering di acara pernikahan. Keterkaitan yang membingungkan.

Aku membujuk Tiara untuk meminta alamat rumah Argo kepada pihak HRD. Kebetulan Tiara akrab dengan salah satu orang HRD. Tidak mungkin aku mau minta sama Mas Didas. Sungkan saja rasanya setiap bersama orang satu. Awalnya Tiara menolak, tapi setelah kulancarkan jurus lemah tidak berdaya akhirnya dia mau juga.

Kini, di tanganku tergenggam kertas bertuliskan alamat rumah Argo.

"Lo gila ya, Nir. Segitunya banget deketin Argo. Jelas banget lo jatuh cinta sama dia," komentar Tiara saat menyerahkan kertasnya padaku.

"Jatuh cinta?" gumamku.

"Iya, lo nggak nyadar udah jatuh cinta, terpesona, terpukau sama Argo yang bahkan asal-usulnya nggak jelas dari mana. Kalau nggak cinta mana mungkin lo repot-repot cari tahu Argo sebegininya. Kekepoan lo sama dia udah kebangetan. Selera lo emang aneh, Nir. Yah, meskipun Argo itu baik, tapi tetap aja nggak jelas."

Bibirku mengerucut. "Kok lo ngomongnya gitu?"

Tiara mengedikkan bahu. "Lo itu selalu gerak cepat kalau menyangkut kemashlahatan orang lain, tapi sayangnya lo lemot banget buat memahami diri lo sendiri."

Kan mendahulukan kepentingan orang lain lebih diutamakan ketimbang mendahulukan kepentingan pribadi. Tiara ini gimana, sih. Pokoknya nanti sore setelah pulang kerja aku mau ke rumah Argo berdasarkan alamat yang tertulis di kertas ini. Alamat rumahnya tidak terlalu sulit, kok.

Dan, sekarang aku berdiri melongo di depan sebuah rumah berpagar abu-abu. Ini beneran rumahnya Argo, kan? Sepi banget. Aku menghela napas panjang sebelum masuk pekarangan rumahnya. Mau mengetuk pintunya saja tanganku panas dingin. Seketika aku berpikir, aku mau ngapain ke sini? Biarin, deh. Nanggung juga sudah sampai sini.

"Bismillah," gumamku.

Kuketuk pintunya berkali-kali. Aku baru sadar di sudut tembok ada bel setelah terdengar seseorang membuka kunci pintu yang kuketuk. Dodolnya diriku. Sebentar lagi pintu terbuka. Dadaku bergemuruh. Lalu, gemuruhnya lenyap seketika begitu menjumpai seorang pria yang masih lengkap dengan setelan kerjanya.

"Lho, Nira?"








Kira-kira siapa yang ditemuin Nira,  ya? 😯😂

#UnconditionallyLoveSeries adalah series cerita mengenai romansa yang tidak biasa. Baik berupa tokoh yang memiliki kondisi yang tidak biasa, maupun keadaan yang membuat hubungannya jadi tidak biasa.

Nih, jadwal update cerita #UnconditionallyLoveSeries.

1. Senin - Selasa : I Need You by kakahy

2. Selasa - Rabu : Ready To Love You, cerita akoh

3. Rabu - Kamis : Lovesick by indahhanaco

4. Kamis - Jumat : Shades of Cool by awtyaswuri

5. Jumat - Sabtu : Inspirasa by coffeenians

6. Sabtu - Minggu : Icy Eyes by matchaholic

Jangan lupa dukung kami dengan vote dan komentar, ya... 😚😚





Yogyakarta, 14 November 2018

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro