22 : a lie

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Buatlah cerita tentang seorang pengamen yang sedang menyanyikan lagu karangannya sendiri, minimal memasukkan 1 BAIT LAGU yang dinyanyikan pada dialog pengamen tersebut (Lagu yang dinyanyikan bisa dari puisi atau lagu ciptaan penulis)

[]

Pria-pria itu tengah asyik memetik gitarnya sambil menyanyikan sembarang lagu mulai dari lagu Aerosmith, Bob Marley, bahkan hingga ke Rita Sugiarto. Sesekali mereka menjadikan meja dan bangku yang ada di sana sebagai gendang. Aku kagum pada spontanitas mereka dalam bernyanyi, tak ada jeda antar lagu, mereka hanya saling menyahut lirik secara spontan. Yang bermain gitar cekatan mengganti lagu, yang bernyanyi pun tak kalah pintar menyambungkan lagu. Dan semua itu mereka lakukan sambil sesekali mengupas kuaci.

Di tiap sesi nyanyi-nyanyi ini akan ada satu momen di mana mereka membuat lagu secara spontan dari apa pun yang mereka lihat seperti saat ini di mana mereka menyanyikan lagu tentang kopi dengan nada lagu Cucak Rowo.

"Kopi hitam bukan sembarang kopi
Sekali teguk, nggak bisa tidur
Apalagi kalo minum intisari
Sebotol habis, lupa dibayar"

Gelakan tawa mengudara. Mereka saling menuduh.

"Lu kemaren abis tiga botol langsung cabut aja," ujar salah satunya.

"Bu, ini nih, Bu, alesan nggak mau bayar, padahal dia abis disawer seratus ribu." Yang dituduh menyikut rekannya itu.

Aku yang tertarik untuk diajarkan bermain gitar pun keluar dan ikut menyahut, "Iya, lu kemaren nggak bayar ya, Bang?" Aku memang suka tiba-tiba muncul dengan sok asik.

"Udah, udah bayar tadi sore, ya 'kan, Bu?" jawab pria yang sering dipanggil Nugro itu. Kepalanya menengok dan matanya mendelik ke arah Bu Atun.

"Iya," sahut Bu Atun.

"Oh, udah bayar," ucapku.

Aku langsung bergabung pada mereka dan duduk di samping pria yang tengah memegang gitar.

"Bang, ajarin gua main gitar dong," pintaku.

"Kuku lu, noh, potong dulu!" cerca pria yang akrab disapa Mamat itu.

"Iya, besok gua potong, tapi janji ajarin ya?" Aku masih memohon, lalu teringat sesuatu, "Eh, nggak bisa deh besok, emak gua kerjanya pagi."

"Nyokap lu satpam?" sahut Bang Jabrik. Beberapa orang mendengkus geli.

"Dih, enak aja ngatain emak gua satpam! Perawat, Bang."

"Gua kira selama ini lu anaknya Bu Atun," ujar Bang Mamat.

"Kagak, Bang," ucapku.

"Siapa nama lu?" Bang Nugro berusaha mengingat-ingat.

"Nayla." Bang Jon yang menjawab.

"Oh iya, lu ngapain kerja di sini?" tanya Bang Nugro.

"Ya biar dapet duit lah, Bang," jawabku enteng.

"Emang lu mau ngapain kalo dapet duit?" tanyanya lagi.

"Ya ... buat ditabung lah." Sebetulnya ada keinginanku yang tak bisa kukatakan pada orang tuaku sehingga aku bertekad untuk kerja selama liburan ini.

"Ah, nggak mungkin," tolaknya mentah-mentah.

"Kenapa nggak mungkin? Gua mah anak baik, Bang, nabung biar nggak nyusahin orang tua terus," ucapku berusaha meyakinkan. Alih-alih menjawab, Bang Nugro malah terkekeh.

"Bagus lah kalo niatnya baik, tapi lu udah izin mau kerja sampe malem gini?"

Aku kontan menunduk, lalu menjawab, "Nggak, sih, Bang, gua juga sebenernya nggak dibolehin kerja."

"Kalo lu ngotot gitu berarti ada niat buruknya," ucapnya.

Aku pun mengedarkan pandangan ke sembarang arah. Hal itu memang benar. Pun tak menyusahkan orang tua adalah salah satu niatku, aku ingin mencicipi bagaimana rasanya mencari uang sehingga aku terbiasa nantinya. Orang tuaku juga senantiasa mewanti-wantiku untuk menabung dan bekerja keras. Di samping itu, aku juga punya keinginan yang tak bisa kuutarakan kepada orang tuaku, yaitu aku ingin menindik telinga. Mama pasti tak akan memberiku izin, terutama karena khawatir infeksi dan lain sebagainya.

"Lu dari awal nggak diizinin, tetep pergi aja, udah gitu punya niat buruk, nggak berkah itu," ucapnya dengan senyum cengengesan. Entah dia bercanda atau tidak, aku merasa dia serius mengatakan itu dari hati.

Kurasa, aku harus mendengarkan nasihat itu dari awal Bang Nugro mengatakannya. Pasalnya, tak sampai sebulan aku bekerja, telah terjadi peristiwa luar biasa yang mengakibatkan suatu efek domino. Bang Cipeng meninggal dunia secara mendadak saat menenggak minuman keras di warung, protes keras dari warga, polisi yang datang dini hari, perampasan minuman keras ilegal yang dijual Bu Atun, dan pria-pria tersebut beserta Bu Atun yang diamankan polisi.

Namun, aku masih tak kapok untuk jadi anak nakal. Aku menindik telingaku beberapa bulan kemudian dari uang yang telah kutabung selama setahun ke belakang. Mulai saat itu, aku selalu menggerai rambutku untuk menutupinya entah di rumah maupun di sekolah.

[]

Aku nggak tau seminggu ini nulis apa, tapi daripada bolong ya nggak. Sayang udah minggu terakhir bolong. Jadi semoga aku bisa menyelesaikan DWC sampe terakhir tanpa bolong.

Btw buat yang lupa coba cek hari ke-4 buat penjelasan ini siapa aja. Ini setting sama tokoh-tokohnya sama. Dan abang-abang ini pengamennya.

Kamis, 22 Februari 2024

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro