4 : live wild

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Buatlah cerita dengan tema apocalypse

[]

Sejak dulu orang tuaku selalu mengajarkanku untuk bekerja keras dan menabung. Kata mereka, meski kedua orang tuaku bekerja, tidak ada yang tahu kapan Tuhan akan merenggut nyawa mereka sehingga aku harus menyiapkan untuk hidup mandiri. Mereka bilang, tidak ada manusia yang hidupnya seratus persen terjamin, kau harus memiliki kaki yang kokoh untuk menopang hidupmu sendiri.

Maka dari itu, saat SMP aku pernah mengutarakan niatku untuk kerja part time pada Mama. Mama malah menolak ide itu mentah-mentah. Katanya tidak ada pekerjaan part time yang menerima anak SMP. Jika aku ingin menghasilkan uang sendiri, lebih baik membuat sesuatu untuk dijual.

Aku tak merasa memiliki minat di bidang kewirausahaan, pun aku tak akan tinggal diam dan berpasrah diri. Akhirnya suatu hari di saat liburan sekolah ketika aku merasa bosan aku berkunjung ke sebuah warung kopi yang jaraknya sekitar satu kilometer dari rumah dan dengan nekat menanyakan pada wanita paruh baya yang menjaganya, "Bu, saya boleh bantu-bantu di sini nggak. Di bayar berapa pun saya mau."

Awalnya sang wanita hanya menatapku lamat-lamat. Sebelum ia buka mulut, aku kembali memohon padanya. Dengan melalui diskusi yang cukup alot, akhirnya aku diterima bekerja di situ dengan alasan bahwa ia cukup kewalahan mengurus warung kopi ini sendirian.

Warung kopi ini bisa dibilang ramai meski lingkungan sekitarnya tidak terlalu banyak orang berlalu lalang dan terletak di dekat pemukiman warga. Tiap hari berbagai macam golongan orang datang menyambangi. Namun, ada satu golongan yang selalu menghuni warung ini saat petang hingga pagi. Di waktu tersebut warung kopi kecil ini seolah dipesan khusus untuk mereka.

Awalnya ketika satu per satu mereka mulai datang, mereka akan melaporkan hasil uang mengamen mereka dan menceritakan hal-hal menarik yang mereka alami di jalanan. Lalu, mereka mulai memesan kopi, mi instan, dan mengambil minuman-minuman yang ada di kulkas. Setelah makanan dan minuman mereka habis, mereka akan menyulut rokok lalu melanjutkan pembicaraan mereka yang tak akan pernah habis. Topiknya sangat bervariasi, mulai dari membahas teman-teman mereka yang beda tongkrongan, seks, politik, masuk ke teori konspirasi alam semesta, mempertanyakan arti kehidupan, kisah-kisah nabi, dan semua hal yang kurasa aku masih terlalu dini untuk mendengarnya. Namun, tak jarang celotehan mereka membuatku tertawa.

Sesekali akan ada salah satu dari mereka yang mulai memetik gitar, bernyanyi sepatah dua patah lirik, lalu disambar oleh seluruh anggota tongkrongan. Aku takjub ketika mendengar mereka bisa mencapai nada-nada tinggi layaknya penyanyi rock sungguhan. Yah, dari penampilannya saja mereka sudah layaknya bintang rock lawas dengan rambut gondrong, kemeja yang kancingnya dibuka sehingga menampakkan kulit mereka, sepatu boots, beserta aksesoris lainnya seperti topi atau kacamata hitam.

Ketika hari sudah mulai mencapai dini hari, Bu Atun mulai mengeluarkan beberapa botol minuman keras. Ketika pertama kali melihatnya, tentu saja aku syok. Di siang hari, warung ini tampak seperti warkop biasa yang jual kopi, mi instan, dan gorengan. Namun, ketika malam rupanya botol-botol minuman keras itu baru dikeluarkan dan disuguhkan langsung tanpa dipesan.

Setelah menenggaknya, mereka akan mulai melantur dan beberapa akan tepar. Acara minum-minum tersebut akan berlanjut hingga pagi saat tiba waktunya bagi mereka untuk mencari nafkah lagi.

Aku hanya akan bertemu mereka ketika aku datang ke sini sore atau malam—sesuai dengan shift kerja Mama pada hari itu. Suatu hari mereka mulai bertanya padaku tentang apakah aku adalah anak dari Bu Atun dan beberapa hal lainnya. Sejak itu aku mulai sering ikut dalam obrolan mereka. Bahkan suatu hari aku minta diajarkan cara bermain gitar oleh mereka. Mereka benar-benar mengajariku cara bermain gitar meski kadang suka marah-marah karena aku lemot.

Orang-orang seperti mereka ini memang akan selalu dianggap menyimpang dari masyarakat pada umumnya. Meski begitu, mereka bukan disingkirkan dari masyarakat karena tak berpendidikan atau tak berbakat. Mereka memilih untuk menjalani hidup seperti saat ini. Hidup dengan berusaha meraih kebebasan, hidup berkoloni di mana koloni tersebut berkumpul karena gaya hidup yang sama, dan membangun solidaritas di antara kaum mereka. Mereka pergi dari rumah dengan beragam alasan, ada yang memang keluarganya berantakan, ada juga yang keluar dari rumah untuk mencari nafkah dan tiap bulannya masih menyisihkan uang untuk keluarganya.

Hari demi hari berlalu, aku semakin akrab dengan mereka. Aku sering terkagum ketika mereka melontarkan kata-kata nasihat yang bahkan aku belum pernah mendengarnya dari orang tuaku. Di sini aku tak pernah merasa diremehkan karena aku masih kecil. Omonganku selalu ditanggapi dengan serius oleh mereka. Pun aku tak pernah merasa dilecehkan oleh mereka meski aku perempuan sendiri.

Hingga suatu hari, seseorang yang dipanggil Cipeng oleh teman-temannya tak pernah hadir selama beberapa hari berturut-turut. Salah satu dari mereka berkata bahwa Bang Cipeng sedang sakit sehingga esok harinya mereka berniat mengulurkan bantuan berupa uang agar Bang Cipeng bisa dirujuk ke rumah sakit. Beberapa hari kemudian Bang Cipeng sembuh dan mulai datang lagi ke warung.

Ketika memasuki dini hari, seperti biasa Bu Atun mengeluarkan botol-botol minuman keras. Sambil terus menenggak miras dan berceloteh ngalor-ngidul, mereka tetap asyik memindahkan bidak-bidak catur mereka. Di saat itu aku menangkap pergerakan aneh dari Bang Cipeng. Tubuhnya bergetar dan matanya hanya terlihat bagian putihnya saja. Aku memelotot, aku ketakutan. Meski begitu, aku tak tahu apakah ini normal terjadi saat orang sedang mabuk berat atau tidak.

Kini mulutnya mulai berbusa. Selanjutnya tubuhnya makin lemah hingga jatuh. Aku yang kini tubuhnya gemetaran dan tenggorokannya tercekat hanya bisa berteriak, "BANG CIPENG!!"

Tubuh Bang Cipeng jatuh menyusruk ke lantai. Teman-temannya mulai mencoba membangunkannya. Beberapa teriak-teriak kepanikan. Bu Atun yang sadar bahwa kegaduhan yang terjadi lebih hebat dari biasanya pun keluar dari balik pintu.

"Astaghfirullah hal adzim!" Kepanikan nyata terlihat di wajahnya. Ia berlari mendekati tubuh Bang Cipeng yang masih menunjukkan pergerakan kejang-kejang. Para pria mabuk tersebut kalang kabut. Ada yang terus menampar wajah Bang Cipeng, ada yang menangis sambil teriak-teriak, ada pula yang berjalan menjauh dari sini.

Beberapa lama kemudian Bu Atun berhasil memanggil ambulans. Namun, kegaduhan yang berlangsung sudah telanjur mengundang atensi beberapa warga. Aku yang dalam hal ini merupakan anak di bawah umur segera bersembunyi di balik pintu, tak ingin terlibat lebih jauh.

Di balik bangunan ini, aku dapat mendengar pembicaraan warga. Banyak dari mereka yang menginterogasi Bu Atun atas apa yang terjadi, lalu bertanya bagaimana bisa Bu Atun membiarkan orang mabuk di tempatnya. Lama-lama orang-orang mencurigai bahwa Bu Atun lah yang menjual minuman keras.

Aku yang semakin panik dan merasa terjebak lantas menangis tersedu-sedu.

Keesokan harinya saat Mama pulang dari shift malamnya ia menceritakan ada seorang preman yang dilarikan ke rumah sakit tempatnya bekerja dan meninggal karena overdosis. Aku hanya merespons seadanya terhadap cerita tersebut.

Aku berhasil lari dari TKP saat semua orang mengerubungi warung Bu Atun dan cuci tangan setelahnya. Kabar ini merembet ke kompleks-kompleks sekitarnya termasuk kompleks tempatku tinggal sehingga aku mendengar kabar dari ibu-ibu setempat bahwa setelah itu para warga memanggil polisi. Polisi datang untuk mengamankan pria-pria tersebut sekaligus menggeledah warung Bu Atun dan mendapati bahwa Bu Atun telah menjual minuman keras secara ilegal. Botol-botol tersebut dirampas dan Bu Atun pun ikut diamankan.

Ibu-ibu tersebut berkata bahwa keberadaan kelompok mereka sudah mengganggu warga sejak dulu karena mereka berbicara keras-keras ketika tengah malam. Mereka memang sering terdengar sedang mabuk-mabukan dan tergeletak di mana-mana ketika pagi. Salah seorang ibu menambahkan bahwa ini semua adalah tanda-tanda akhir zaman. Semakin maraknya minuman keras yang diperjualbelikan dengan sangat mudah, perilaku menyimpang yang merajalela, dan manusia yang berlomba-lomba mengejar kesenangan duniawi.

Ibu-ibu memang selalu mengaitkan semuanya dengan akhir zaman, tetapi dengan posisiku yang baru saja seolah melihat seseorang diazab membuatku mendadak ingin taubat. Aku ingin bersimpuh di hadapan Tuhan dan berdoa agar menjauhkanku dari semua kebebasan fana yang ditawarkan dunia.

Para pria itu direhabilitasi oleh warga setempat dengan menjadikan mereka pemuda masjid. Mereka diminta bersih-bersih masjid, salat lima waktu di masjid, belajar mengaji, dan mendengar ceramah. Para warga juga membantu mereka dengan memberikan pekerjaan kecil-kecilan seperti diminta membetulkan motor mereka, jadi tukang kebun, hingga menyuruh mereka membantu angkat-angkat barang.

Sesekali aku mengunjungi masjid tersebut untuk memberikan makanan-makanan yang kubuat sendiri. Aku pernah bertanya, "Gimana, Bang, hidup lu sekarang?"

Ia menjawab, "Ya nggak gimana-gimana, aman-aman aja. Jelas berubah drastis, tapi gue belom ngerasa lebih enak atau malah sebaliknya. Yah, doain aja deh gua sama temen-temen gua istiqomah."

Kudoakan mereka semua kembali ke jalan yang benar dan menemukan jati dirinya yang lebih baik dari sebelumnya. Mereka layak dibeei kesempatan kedua dalam kehidupan karena menurutku mereka bukanlah orang-orang yang perbuatannya tercela dan berniat jahat. Jika mereka pria-pria brengsek sudah habis harga diriku dikeroyok. Mereka juga bukan orang yang buta akan ilmu agama. Mereka hanya perlu disadarkan terkait esensi dari menyembah Tuhan.

[]

CERITA INI TEMBUS 1K+!!!

Btw ini nggak nyambung dari cerita sebelumnya tapi masih dari POV-nya Nayla kok.

Terus kayaknya ini lebih warung daripada yang sebelumnya .-.

Minggu, 4 Februari 2024

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro