6 : forgive me

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Buatlah cerita dari trope romance berikut sesuai dengan bulan kelahiranmu.
1. Fluffy
2. Angst
3. Love Triangle💘
4. Friends to lovers
5. Contract Relationship
6. Office Romance
7. Ex to Lovers
8.  Second Choice
9. Amnesia
10. Comedy
11. Drama
12. Soulmates

[]


Mataku beberapa kali melirik ke arah cowok yang berada di ujung meja. Ia lebih banyak diam seharian ini dan jelas-jelas menghindariku. Sorot matanya saja enggan mengarah kepadaku, apalagi menyahut ucapanku.

Seharian ini ia menguasai speaker kelas—yang sebenarnya speaker milik Bagas
—dan terus memutar lagu-lagu galau dari playlist-nya. Saat teman-temannya berkomentar tentang hal tersebut, ia tak menanggapi.

Seharian ini pula aku terus bertanya-tanya, apakah aku menyakiti hatinya dengan penolakanku? Apa pemilihan kataku kurang tepat? Atau seperti kata Dhanti, dia tak mungkin dendam padaku dan dia hanya ingin meluapkan rasa sakit hatinya sejenak.

Meski Dhanti sudah mencoba mengatakan berbagai kata-kata penyemangat, adegan demi adegan tersebut masih saja terus-terusan terputar di otakku.

Aku bilang, "Selama ini gue belom pernah pacaran, gue juga belom pernah ngerasa bener-bener suka sama orang, jadi ...–"

"Maaf ya gue belom bisa terima," lanjutku setelahnya.

Harusnya aku sadar akan hal ini sejak awal. Kami memang sering dikelompokkan berdasarkan absen. Sejak saat itu aku dan Reihan sering bertukar pesan. Intensitas chat kami makin bertambah hari demi hari. Ia sungguh baik denganku. Ia sering berbagi jawaban tugas yang terkadang ia dapatkan dari teman-temannya di kelas lain. Setiap sekelompok dengannya, ia selalu mengambil inisiatif untuk beberapa bagian dan banyak membantuku. Saat teman-temannya pergi ke air terjun hari Sabtu lalu, ia ikut bersama kami ke Dufan.

Sejak awal kawan-kawanku memperingatkanku agar peka. Kebaikan cowok itu memiliki kadar yang melewati batas "teman" antara cewek dan cowok. Ia jelas menyimpan sesuatu.

Aku rasa aku terlalu naif. Selama ini aku hanya merasa berteman dekat dengannya. Bahkan, rasanya aku telah memanfaatkannya. Aku mengandalkannya ketika menanyakan informasi-informasi yang ia dapatkan dari kelas lain. Sementara aku, ketika ia bertanya sesuatu aku paling hanya mendapat informasi dari teman-teman sekelas atau beberapa temanku di luar kelas yang tak banyak.

Aku merasa ... setidaknya ia harus mendapatkan penolakan yang lebih baik dariku.

Setelah terlarut dalam lamunanku, aku kembali tersadar bahwa aku berada di tengah-tengah diskusi kelompok.

"Hari Sabtu ya, jadinya mau di mana?" Mey bertanya.

Beberapa anak merekomendasikan beberapa tempat. Lalu, untuk menebus kesalahanku karena dari tadi tidak ngapa-ngapain aku berkata, "Di rumahku aja."

"Oh, boleh ... boleh." Sira mengangguk-angguk. Ia sudah pernah ke rumahku sebelumnya.

"Di mana, Shaf?" tanya Mey lagi.

"Bentar ya aku coba shareloc." Aku mengeluarkan ponselku, mencari alamatku, lalu mengirimnya ke grup kami.

"Ada yang kejauhan nggak?" tanyaku.

Mereka masih sibuk memperhatikan ponsel masing-masing.

"Nggak kok," jawab Mey.

"Aman sih," kata Sean.

Karena teman-temanku akan datang hari ini, Mama memasak lebih banyak dari biasanya. Dari tadi juga ia sudah ribut mencarikan suguhan untuk teman-temanku. Aku sudah bilang mereka tidak akan lama-lama di sini. Namun, Mama tak menghiraukan omonganku tersebut.

"Kak, itu temenmu kayaknya ada yang dateng tuh," seru Mama yang sedang mengintip dari jendela.

Aku yang sejak tadi sudah rapih di ruang tamu pun ikut mengintip. Karena terhalang pagar, sosok tersebut hanya dapat kulihat samar-samar dari celah-celah pagar. Namun, aku cukup yakin dia adalah laki-laki. Entah Reihan maupun Sean, keduanya tak lebih baik.

Atas peristiwa yang terjadi sebelumnya, Reihan tak mungkin datang seawal ini. Lagipula, tampaknya bayangan itu lebih tinggi dari Reihan.

"Kak, temenmu bukan?" tanya Mama lagi.

"I- iya kali."

Dengan langkah berat aku berjalan ke pintu, membukanya, lalu berjalan ke luar. Kupikir salah satu kesalahan yang aku perbuat minggu ini adalah mengundang kelompokku yang salah dua di antaranya adalah laki-laki. Ayah dan Mama tidak akan marah. Namun, uhh ... apa ya. Mereka malah cenderung kepo dengan teman-teman cowokku.

Ketika aku membuka pagar, kudapati lelaki bertubuh menjulang tersebut sedang fokus menatap ke satu titik di pagarku. Penasaran apa yang membuat fokusnya begitu terpusat hingga tak menyadari aku yang telah membuka pagar, aku menengok ke arah tersebut.

Stiker sedot WC?! Astaga!

Aku menahan cengiranku kala menatap wajahnya yang begitu serius. "Sean ...," panggilku.

"Oh, Shafira." Ia tampak cukup kaget melihatku.

"Naik apa ke sini?" tanyaku basa-basi.

"Naik motor sendiri," jawabnya sembari menunjuk ke arah motor yang terparkir di depan rumahku.

Eh, dia nggak nyasar?

"Ayo masuk," ajakku. Ia tampak mengikuti.

Aku awalnya hendak mengajaknya duduk di kursi teras. Namun, Mama membuka pintu dan berkata, "Eh, ayo masuk!" Sean segera menghampiri Mama dan meraih tangannya untuk salim.

Saat kami berdua duduk di sofa, Mama kemudian bertanya dengan antusias, "Kamu yang murid baru itu ya?"

Sean tersenyum lalu menjawab, "Iya, Tante."

"Dari Inggris 'kan?" Mataku melebar ketika mendengar pertanyaan tersebut.

"Iya," jawabnya lagi.

"Namanya siapa?" Mama terus berusaha menggali informasi darinya.

"Sean, Tante."

"Ohhh ...." Mama mengangguk-angguk. "Ya udah, Tante mau ngambil laundry dulu."

"Iya, Tante," balasnya sopan sambil mengangguk.

Tak lama kemudian Ayah turun dari lantai dua, memamerkan senyum lebar saat lewat, lalu keluar. Eh, kenapa ambil laundry harus berdua?

Akhirnya kami ditinggal berdua di ruang tamu. Aku mengambil handphone-ku, mengecek Whatsapp, lalu mendapat kabar bahwa Sira dan Mey izin telat. 

"Kamu cerita tentang aku ke mamamu?" tanya pemuda itu secara tiba-tiba. Gerakan jariku yang sedang mengetik langsung terhenti.

Lalu aku berusaha melanjutkan kegiatanku dan menjawab tak minat, "Iya, aku ceritain semua yang ada di sekolah ke keluargaku."

Maksudku ..., normal 'kan bercerita  bahwa ada seorang bule yang menjadi murid baru di kelasku?

"Kamu mau minum apa? Air putih atau sirup?" tawarku.

"Air putih aja."

Aku segera berjalan ke belakang untuk mengambil botol dua liter berisi air putih beserta gelas untuk lima orang. Setelah menaruh botol dan gelas tersebut aku kembali ke belakang untuk mengambil satu lagi botol dua liter yang isinya sirup.

"Sean," panggilku.

"Hm." Gerakan tangannya yang tengah mengambil gelas pun terhenti.

"Eh, minum aja dulu nggak apa-apa." Ia segera menuangkan air tersebut dan meneguknya.

"Kamu itu lahir di Indonesia atau di Inggris?" Aku melanjutkan pertanyaanku.

"Di indonesia," jawabnya.

"Oh, berarti bahasa pertamamu bahasa Indonesia?" tanyaku lagi.

"Bahasa daerah, sih."

"Eh? Oh gitu ...."

Saat itu juga aku mendengar suara orang menuruni tangga. Saat kami berdua menengok, adikku berhenti melangkah. Gerakannya terlihat kikuk. Lantas, ia kembali ke atas.

"Itu adikmu?" Ia bertanya.

Aku mengangguk.

"Kamu berapa bersaudara?"

"Lima, aku sulung."

Ketika itu terdengar suara orang mengetuk pagar.

"Eh, itu kayaknya Mey."

Aku segera keluar membukakan pagar untuknya. Aku bernapas lega. Akhirnya ada yang bisa menyelamatkanku dari kecanggungan.

Berselang sekitar sepuluh menit setelahnya datanglah Reihan. Hari ini dia masih banyak diam meskipun beberapa kali Sean atau Mey mencoba berbicara padanya. Kemudian yang paling telat adalah Sira.

Saat semua anggota sudah berkumpul, kami baru sadar tidak ada dari kami yang membawa lem. Aku sudah tanya adik-adikku soal apakah mereka mempunyai lem dan tidak ada yang punya.

"Ya udah gue aja yang beli," ujar Reihan berinisiatif.

"Lu tau tukang fotocopy di sini?" tanya Sira.

"Tau."

"Gue ikut dong," ucapku yang sukses membuat cowok itu mematung di tempatnya. Ia tak berekspresi apa pun. Entah senang, marah, atau sedih.

"Adek gue nitip es krim," lanjutku lagi, yang sebetulnya adalah dusta.

"Ayo," ucapnya pelan.

Kemudian kami berdua berangkat naik motor yang berbeda menuju fotokopi terdekat yang berada tepat di sebelah minimarket. Kami berpisah dengan tujuan yang berbeda. Reihan akan membeli lem, dan aku membeli es krim. Adikku akan tetap senang menerima es krim ini meski sebetulnya tak ada dari mereka yang meminta. Setelah itu kami kembali bertemu di parkiran.

Aku menghela napas, lalu memberanikan diri untuk berkata, "Rei, maaf ya ...."

Reihan masih tak berekspresi, tetapi ia menanggapi, "Gue nggak apa-apa."

Aku tetap melanjutkan ucapanku yang kata-katanya sudah kususun sejak kemarin-kemarin. "Selama ini gue belom pernah pacaran dan bener-bener jatuh cinta sama orang." Aku mengulang kata-kata yang aku ucapkan tempo hari lalu.

"Jadi, gue mungkin nggak bener-bener paham perasaan lu. Gue selama ini nggak sadar kalo lu suka sama gue. Gue juga mungkin nggak sadar udah ngelukain perasaan lu kemaren."

Ia masih terdiam sambil menatapku.

"Gue minta maaf kalo misalnya penolakan gue bikin lo sakit hati."

"Gue nggak bisa bales perasaan lo bukan karena menurut gue lo orang yang buruk, tapi ... rasa itu belom ada di gue."

"Menurut gue lo itu baik, asik, enak diajak ngobrol, cakep juga ...—"

Ia tampak mengalihkan pandangannya. "Fir, stop. Gue mau move on," ucapnya sambil tersenyum tipis.

"It would take time buat gue bisa sembuh dari patah hati gue, tapi gue nggak akan pernah benci ke lo, Fir." Senyumnya melebar.

"Tapi boleh nggak gue nanya satu lagi?" Ia bertanya.

"Apa?"

"Lo suka sama Sean ya?"

"Hah?" Aku jelas kaget bukan main saat ia berkata demikian. Atas dasar apa?

"Lo tau ... berdasarkan apa?"

Aduh, aku malah kikuk nggak jelas lagi.

Ia terkekeh kecil. "Gue kayaknya sering denger lu ngomongin dia. Di kelas, terus di Dufan kemaren."

"Eh, itu mah semua cewek nggak sih?" balasku tak terima.

"Oh, nggak tau ya, soalnya kemaren-kemaren gue merhatiin lo doang."

Sean itu cakep, bule, sekilas terlihat cool, tinggi, badannya atletis, jago olahraga, bisa main gitar, dan suaranya lumayan bagus. Tentu saja dengan spek semacam itu dia langsung menggaet perhatian dari cewek satu sekolah meski kesan pertamanya di sekolah ini buruk. Bule linglung, nyasar pas upacara, kebingungan cari kelas.

Jangankan cewek-cewek di kelas, cewek luar kelas, bahkan kakak kelas saja kerap membicarakan keberadaannya. Aku yakin beberapa bulan ia di sini dia sudah diincar banyak cewek. Kurasa banyak cewek yang tak segan-segan mendekatinya lebih dulu.

[]

Wih nyambung

Anyway, ayo kenalan sama karakter yang baru muncul, Shafira! Sebenernya waktu itu aku ada niatan bikin ini sebagai work senang-senang aja biar ada yang ditulis. Intinya tetep kumpulan cerpen tentang keseharian kelas XI IPS 4. Dan waktu itu, rencananya fokus utamanya di Shafira. Tapi, aku bingung karena terlalu nggak terarah. Jadi, aku bikinin buat work DWC aja

Waktu liat tema aku langsung kepikiran gambar di atas. Jadi ... apa khodam kalian?

Selasa, 6 Februari 2024



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro