JONES di Tepi Jalan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Author. : verbacrania

****

Udah gue bilang, kalo lelaki lebih baik nggak usah jatuh cinta. Maksud gue gini: kalaupun lo jatuh cinta terus lo kejar, kalau nggak dapet juga, brenti. Sederhana 'kan? Nggak usah buang-buang waktu untuk mengejar cinta gadis yang nggak mau nerima cinta lo.

Dan ... itu cuma teori. Gue sendiri babak belur dihajar kenyataan.

Dua tahun lalu, entah apa yang bokap dia dan bokap gue pikirkan. Mereka mengirim veteran hati gue itu buat menuntut ilmu di tempat yang sama kayak gue. Gue sampai bersorak dan berjoget bodoh di ruang tamu apartemen, kemudian bernazar untuk berfoto norak di depan patung Merlion, pura-pura menenggak airnya. Sebagai perlambang gue siap meneguk cinta yang dia kucurkan. Njai ... bahasa gue kesambet Bang Rhoma.

Kedatangan dia buat kuliah di sini—menurut versi dia untuk menimba ilmu di Singapura, sementara buat gue kehadiran dia jelas pertanda semesta berkonspirasi—otomatis mengikis kelakuan bejat gue selama jauh dari orangtua. Gue dengan berat hati melepaskan cekalan Rania, Sandra, Kylie dan entah siapa lagi namanya, yang masih asyik menggelayut manja di lengan gue, cuma untuk satu gadis yang dari dulu memenjarakan hati gue, Wenna.

Gibran Bachtiar, 24 tahun, laki-laki paling jantan se-Singapura, ditambah Jakarta dan Bandung tentu saja—dan gue nggak perlu bragging, silakan tanya ke barisan cewek yang tubuhnya pernah berserah pasrah ke gue. Anjis! Bahasa gue dangdut banget. Itu makanya gue bilang, lelaki sebaiknya nggak usah jatuh cinta—selama dua tahun terakhir ini sudah menjadi tuna asmara karena seorang gadis yang cuma membiarkan gue menggenggam tangannya ketika takut menyeberang jalan raya.

Sound's pathetic, huh?

Dari dulu, gue terbiasa menjadi pihak dominan. Gue yang memutuskan kapan gue harus menyentuh seorang perempuan dan di mana gue menyentuhnya. That's the rule. Sekadar tautan tangan disertai tatapan hangat, atau kaki gue melingkar di betisnya sementara tangan gue aktif mencari tempat terbaik untuk parkir dan mereguk indahnya dunia.

Tapi, dengan perempuan bernama Wenna ini, gue kudu mikir seribu kali buat nyentuh dia tanpa ditepis dan dihardik kasar: "Nggak usah nyari kesempatan megang-megang gue deh."

Ajian tatapan maut gue, deheman seksi, sampai elusan berputar di jemari gadis-gadis yang gue genggam—yang biasanya cukup gue keluarkan enam puluh persen dari segenap kemampuan gue—benar-benar tak mempan diterapkan di depan Wenna. Malah dia hanya mengangkat alis dan berkata,"Come on, Bachtiar, lo nggak mikir kalo gue semurah itu 'kan? Jangan meremehkan otak pintar gue dengan usaha penaklukan lo yang cuma segitu aja."

Sementara dia bangkit dan berlalu, gue menertawakan kebodohan gue dengan gaung kering seraya menyapu harga diri gue yang berceceran di lantai. Itulah yang dilakukan perempuan tega bernama Wenna. Dia nggak bisa gue sentuh, tapi lirikannya tetap bisa menghentikan mata gue yang siap kelayapan piknik di gunung-gunung membusung para gadis yang berpapasan dengan kami ketika gue kudu nemenin dia pergi ke tempat yang belum dia kenal.

Oke, gue bisa bertahan menjadi tour guide-nya Wenna selama ini. Dan gue benar-benar menghargai ketika Tuhan menciptakan otak perempuan, entah kenapa kemampuan para wanita di sekeliling gue cukup parah dalam mengingat arah dan tempat. Dengan kata lain, ngasi gue kesempatan buat jadi pengawal ganteng slash supir slash kacung kampret tukang bawa belanjaan Wenna.

Gue adalah PRIANYA dalam perjalanan.

Bencana mulai menimpa ketika Abang Sepupu gue yang diciptakan terlalu sempurna—gue enggan mengakui, sebenarnya—memutuskan buat tinggal sementara di apartemen gue, meredakan hatinya dari kegalauan dan kekalutan akibat bingung memilih pasangan. Gila ... bahasa gue gini banget.

Wenna yang seumur-umur nggak pernah mau gue ajak masuk ke apartemen gue, tiba-tiba memanggul sekarung buku dan tugas kuliahnya pas tahu Abang gue lagi di Singapura. Abang durjana yang bernama Reval itu memang otaknya terlalu kampret untuk dibilang pas-pasan. Albert Einstein masa kini yang membuat Wenna kelojotan. Mendengarkan dengan mata berbinar takjub atas penjelasan Bang Reval yang entah ngomongin apa, yang jelas Wenna mengangguk-angguk dan sering kali bertanya. Giliran gue nyeletuk, gue diancam pake popor senapan.

"Krisis ekonomi global, zaman sekarang bukan cuma televisi, Wen, supir taksi aja ikut membahas seolah tahu definisinya. Yang mereka pahami, cuma harga-harga merangkak naik, tapi nggak diikuti sama daya beli. That's that. Tapi, di dunia dengan sistem ekonomi saling bertaut, tidak ada batas pasar modal dan pasar uang, krisis seperti ini jauh lebih menakutkan ketimbang teroris."

Gue memutar bola mata—gue yakin, jika dihitung sudah 23 kali gue memutar bola mata, kalau dia nggak bisa balik ke rongganya, gue tau ini salah siapa—ketika Wenna dengan kecepatan tangan seribu mencatat segala macam kata yang keluar dari mulut Abang gue. Seolah-olah apa yang Bang Reval ucapkan adalah sabda. Gue sampai bisa membayangkan partikel otak beterbangan di antara mereka, mentransfer dan memproses informasi.

Berbanding terbalik ketika saraf otak gue mendengarkan pembicaraan mereka, dia mengkeret dan masuk kembali, menggigil di bawah selimut fantasi gue tentang Wenna.

Apa yang dia kenakan di balik bajunya?

Wenna lebih doyan pake celana dalam berenda atau polos?

Salah satu kelebihan gue yang cukup fantastis adalah bisa memperkirakan ukuran beha perempuan saat tangan gue mulai mendaki dan 'menyayangi' mereka. Mungkin gue harus mempersiapkan diri, jika suatu saat harus membeli bra untuk dia kenakan. Gimana gue bisa tahu ukurannya, kalau gue sendiri belum pernah menangkup untuk kemudian mengira-ngira?

"Gibran!" bentakan Wenna membuat gue tersentak.

"Eh?"

Kepala gue dipukul pakai gulungan buku tebal yang membuat gue tak bisa menahan lolongan. Dua kali.

"Lo belajar kurang ajar dari  mana, heh?" Gue mengerjap, seumur-umur belum pernah gue dibentak sama Abang gue ini. "Jahanam banget kelakuan!"

Gue ngikutin mata Abang gue yang tertuju ke tangan gue yang sedang ... eung ... ini tangan gue ngapain dari tadi menekuk dan muter-muter di depan dada Wenna?

Buset ... pantas aja gue dimaki dan dihina dina.

-oo0oo-

Wenna nangis. Sesenggukan.

Gue benar-benar disuguhi adegan ala ftv berupa pasangan yang tengah tenggelam dalam duka akibat perpisahan. Di bandara pula, udah mirip sama film yang Teteh gue tonton sampai keluar bola mata saking seringnya. Gue sampai hafal dialognya: "Rangga, apa yang kamu lakukan ke saya itu ... jahat." Fiuh.

Hari ini, setelah jadi manusia goa selama dua bulan setengah ngegangguin hidup gue, akhirnya Bang Reval memutuskan pulang ke rumahnya. Entah dia udah dapet penyelesaian atau nggak dari masalah yang menerpa. Gue pikir, dibanding Bang Reval yang tiga perempat dewa masih mending gue ke mana-mana. Dia masih bingung menentukan pilihan hatinya, sementara gue? Gue udah tau 'rumah' gue yang mana. Wenna, cuma dia.

Begitu punggung Bang Reval yang kata Wenna sender-able itu menghilang di balik garbarata, gue ngajak Wenna balik. Sepanjang perjalanan, gue kudu nyediain kuping gue buat dengerin repetan Wenna. Akhir-akhir ini, nilai Wenna naik drastis akibat campur tangan Bang Reval, dan setelah ini dia nggak tau mau cari tutor di mana. Ketika gue angkat bahu, gue malah ditabok dengan alasan kurang peduli sama dia, nggak acuh sama nilai dia.

Well, apa dia nggak ngerasa kalo gue peduli dia dalam bentuk lain?

Dalam kapasitas yang gue bisa. Seperti saat ini, gue otomatis menggenggam tangannya ketika kami menyeberangi zebra cross. Tak sedikit pun Wenna menyentak tangannya dari gue, karena mungkin ini satu-satunya kondisi di mana gue diizinkan buat menyentuh dia. Padahal, seluruh jiwa raga gue, udah gue jual murah buat menjaga dia. Sampai gue mati.

Tapi, untuk saat ini, cukuplah dulu begini saja.
Setidaknya gue cuma jones di tepi jalan. Di tengah perjalanan, gue PRIANYA.

*******

Baca yuk, Cyin......

Hayoo..... Baper dehhh.... Jangan donk..

Tyaswuri JuliaRosyad9 brynamahestri SerAyue summerlove_12 NyayuSilviaArnaz Intanrsvln EnggarMawarni HeraUzuchii YuiKoyuri holladollam veaaprilia sicuteaabis Bae-nih MethaSaja RaihanaKSnowflake Keizia09 umenosekai Vielnade28 Nurr_Salma xxgyuu opicepaka destiianaa AnjaniAjha aizawa_yuki666 FairyGodmother3 somenaa umenosekai Vielnade28 chocodelette demimoy rachmahwahyu glbyvyn rachmahwahyu TriyaRin AndiAR22 beingacid nurul_cahaya NisaAtfiatmico c2_anin Reia_ariadne TiaraWales iamtrhnf Nona_Vannie umaya_afs WindaZizty meoowii megaoktaviasd 0nly_Reader bettaderogers spoudyoo deanakhmad realAmeilyaM chocodelette CantikaYukavers Icha_cutex JuliaRosyad9 fffttmh fiazhara andriyani21 Riaa_Raiye irmaharyuni whiteghostwriter

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro