Tak Selamanya Jones itu Nista

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


*****

.
.
.
.

Sore ini awan menggelayut mendung, semendung hati gue. Masa iya gue jones lagi. Ya kali, gue kalah lagi sama ketua OSIS yang sombongnya tingkat nasional itu. Hampir tiap kelas dia punya mantan, bahkan adik kelas pun diembat. Dari ratusan siswi mulai dari yang cantik, manis, biasa aja, bahkan sampai yang sangat biasa aja. Satu pun enggak ada yang berhasil gue gaet.

Ah, sial! Memang muka gue sejelek apa, sih? Sampai-sampai semua cewek yang gue deketin nolak gue? Apa salah Bunda mengandung?

Hush, Romeo! Bunda jangan dibawa-bawa. Kualat baru tahu rasa. Gue mohon ampun segera, semoga Tuhan enggak menyuruh malaikat pencatat amal buruk, menggoreskan tintanya di buku catatan buruk gue. Amin.

Tapi seriusan, deh. Gue heran aja, ini udah kali kesepuluhnya gue ditolak. Kan, gila! Coba sekali-kali kalian mampir ke sekolah gue, SMA Sayap Nusantara. Kalian cari cowok kelas tiga IPS dua bernama Romeo Ramdhana Esa. Pasti kenal semua, iris kuping gue kalau bohong.

Ganteng? Jelas, dunia mengakui.

Keren? Dipastikan itu.

Body macho? Bolehlah diadu.

Jago main basket? Iyalah, ketua team basket kan gue.

Seksi? Definisi seksi yang bagaimana dulu, nih? Kalau suara seksi gue punya. Serak-serak ember, eh, seksi maksudnya.

Tapi ... Jones!

Nista seketika hidup gue.

Oke, gue ceritakan kenapa gue mengalami nasib tragis untuk kesekian kalinya ini. Bolehlah kalian sambil seduh kopi dan beli kacang kulit, atau susu berikut roti isi, teh hijau dengan camilan mahal juga boleh. Terserah kalianlah, suka-suka. Gue enggak melarang, tapi bolehlah gue dibawain satu. Bersantai bersama sembari mendengar kisah mengenaskan ini.

Kalau enggak mau dengar juga enggak papa, kok. Gue pendam dalam hati perasaan nista ini. Tapi gue tetap melanjutkan cerita ini. Seenggaknya biar gue selalu ingat kisah menyedihkan semasa gue SMA. Orang lain semasa SMAnya berbunga-bunga. Lah, gue? Nista luar biasa, jadi tuna asmara sepanjang masa remaja.

Miris hati.

Lelah jiwa.

Astaga, Romeo! Lo lebay banget! Oke, fix! Balik ke topik utama, cerita mengenaskan ala Romeo. Jadi begini kisahnya.

Suatu hari....

Romeo, serius!

Oke....

Sekarang serius.

Sudah sebulan ini gue pendekatan sama cewek, Nayla namanya. Istilah kerennya, pedekate. Pendekatan, nyari gebetan, modusin anak gadis orang, terserahlah. Intinya gue deketin cewek berambut panjang sebahu itu. Si Manis anak kelas dua IPA tiga. Selain manis dan berambut panjang, dia juga punya smile killer.

Bro, kalau lo lihat senyum si Nayla terus lo enggak naksir, kejantanan lo harus dipertanyakan. Gila! Manis banget sumpah! Gue bener-bener terbius pesona senyumnya, Men! Pokoknya Nayla enggak boleh dideketin siapapun. Nayla milik gue. Titik! Enggak pakai koma.

Pedekate sebulan ini lancar jaya luar biasa. Di Bbm langsung di bales, di Line langsung di respon, di Whatsapps juga sama. Malah kalau gue ajakin video call dia seneng-seneng aja.

Gue sering anter jemput dia. Antar dia ke toko buku, jalan-jalan di Mall, nonton bioskop, atau sekedar makan kwetiau pedas manis kesukaannya. Pokoknya masa pedekate itu indah banget, deh. Kebayang, kan ... pedekate aja rasanya indah, bagaimana jika berpacaran?

Wajar, dong ... kalau gue ambil kesimpulan dia juga naksir gue? Hei, gue bukan kepedean. Buktinya banyak. Sembilan kali ditolak, membuat gue hapal tipe cewek yang beneran naksir atau pura-pura naksir.

Tepat sebulan gue pedekate, gue memberanikan diri untuk menyatakan rasa suka gue. Harus jadi moment yang spesial untuk akhir kejombloan gue. Mendapatkan cewek manis yang siap melunturkan predikat jones terganteng di sekolah.

Gue enggak akan menghina pahatan Tuhan yang sudah diukir dalam diri gue. Hasil pahatannya maha sempurna, kok. Lihat aja gue, udah gue jelasin gue seperti apa, ya. Jadi enggak perlu gue ulang lagi.

Dan satu lagi, Tuhan enggak salah dengan kejonesan gue. Yang salah itu para cewek yang nolak gue, mereka terlalu munafik punya pacar ganteng. Katanya, pacar ganteng bisanya nyakitin. Lah, gue gimana mau nyakitin? Pacar satu aja enggak punya. Gitu, tuh! Pikiran cewek isinya negative thinking.

Tapi itu enggak berlaku untuk Nayla. Dia cewek tersweet yang pernah gue kenal. Dia selalu positive thingking, optimis menghadapi apa pun. Selain senyumnya, tingkahnya juga kelewat manis. Malu-malu kucing, gitu. Rasanya pengen gue cubit manja pipinya kalau lagi merona.

Ah, gue enggak sabar banget menunggu hari ini. Memberi stempel khusus untuk cewek bergigi gingsul itu, bahwa dia milik gue pacar maksudnya. Nayla masih milik mama papanya, kok. Siapa tahu jodoh, dia bisa jadi istri gue. Halah sekolah dulu yang bener, Romeo! Lulus kuliah, kerja yang giat baru mikirin istri. Kata Bunda begitu. Tapi bolehkan, ya, nyari calon dulu. Ibaratnya, ya ... sambil menyelam minum air.

Gue bilang sama sohib gue di team basket. Kalau nanti pas jam makan siang, gue mau nembak cewek. Eh, maksudnya menyatakan perasaan. Gue sih, niat ingin ikut acara yang di TV itu. Apa nama acaranya? Nyatakan Cinta? Ya, itulah. Tapi sayang acaranya sudah enggak tayang lagi.

Lagian, sekarang lebih canggih. Rekam aja semuanya. Upload di instagram, Path, Facebook sama apalagi? Banyaklah akun medsos merajai ponsel canggih zaman ini. Gue bukan cowok yang antimedsos. Tapi juga bukan cowok yang suka posting hal-hal berbau galau.

Untuk hari spesial ini, gue sengaja meminta khusus sama temen gue yang doyan foto-foto. Hasil jepretannya keren gila. Banyak karyanya nempel di mading sekolah. Biar ada kenang-kenangan indah antara gue dan Nayla. Hasil fotonya bakalan gue tempel sebagai penghias meja belajar gue. Agar gue tambah semangat belajar gitu.

Pokoknya hari ini harus gue abadikan. Dapat cewek spesial seperti Nayla dan mahkota jones ganteng di sekolah segera lengser dari kepala gue. Gue yakin itu. Perasaan gue deg-degan, sih. Gugup pastinya, tapi rasa percaya diri gue berada di level tertinggi.

Gue sengaja nabung untuk membeli sekuntum mawar merah. Lambang cinta gue untuk Nayla. Juga cokelat yang sengaja gue pesen khusus, biar lebih romantis katanya. Sekalian boneka little pony kesukaan Nayla. Dia koleksi banget little pony yang warnanya putih. Siapa ya namanya? Ehm ... Ah, iya! Rarity namanya.

Yakin banget bakalan diterima? Iyalah! Keep positive and be brave. Itu prinsip gue.

Jam istirahat pertama.

"Nay, aku pengen ngomong sama kamu." Gue mendekat, saat si Manis pujaan hati ini sedang menyantap soto ayam kegemarannya. Nayla tersenyum menanggapi.

Ya, Tuhan! Gue meleleh. Somebody help me!

"Ngomong apa?"

"Ehm...." Anjrit, gue gugup.

"Kamu udah makan?"

Tuh, kan! Duh, makin cinta deh sama Nayla. Perhatian banget, 'kan? Sebagai balasan pertanyaannya, gue pun menggeleng.

"Kamu mau ngomong apa?"

Oke Romeo, ini saatnya! Selangkah lagi Nayla jadi milik lo. Doain anak gantengmu ini, Bunda. Biar enggak dinistakan lagi dengan kejonesannya.

"Sebelumnya, ini untuk kamu." Gue menyodorkan sekuntum mawar yang sedari tadi gue sembunyikan di belakang punggung gue.

"Untuk aku?" Nayla mengerutkan kening heran. Alisnya yang tebal membuat dia tambah imut dengan kerutan di keningnya itu.

Gue menanggapi dengan senyuman kecil.

"Kamu tahu arti mawar merah?"

Tuh, lihat! Dia tersipu malu, Bro! Dan dia hanya tanggapi dengan gelengan malu atas pertanyaan gue.

"Artinya lambang cinta. Simbol sebagian perasaan diri ini. Mungkin buat kamu aku lagi ngegombal. Tapi enggak ini serius. Ini hanya lambang cinta aku untuk kamu, selebihnya biar kamu rasakan sendiri bagaimana cinta ini bekerja."

"Maksudnya?"

Suara lembutnya bikin gue tambah gugup. Duh, Nay! Abang enggak kuat.

"Tunggu, ada lagi yang lain." Gue berbalik, mengambil bingkisan cokelat yang sudah gue persiapkan sebelumnya.

"Ini."

Nayla mengerjapkan mata berkali-kali. Gue rasa dia suka sama kejutan dari gue. Seulas senyuman dia hadirkan untuk gue! Astaga kadal! Senyumnya ... senyumnya bagai surga buat gue! Surga kedua setelah senyuman Bunda.

"I like chocolatte." Tangan lembut Nayla dengan semangat menerima uluran kotak pink berisi cokelat berbentuk love dari tangan gue.

"Aku tahu kamu enggak akan nolak cokelat. Rasanya pasti manis, semanis senyum kamu tadi. Aku jatuh sama pesona senyum kamu. Kepeleset sampai enggak bisa bangun lagi. Dan aku mau, kamu juga tergelincir sama manisnya rasa sayang aku untuk kamu."

Dia kembali mengerjapkan mata berulang kali. Tangan satunya merapikan rambutnya yang sebagian menutupi pipi, lalu menyelipkannya di antara telinga. Gerakannya anggun banget. Bunda, calon pacar Romeo kenapa manis banget, sih!

"Romeo, aku enggak tau dari tadi maksud kamu apa, sih?"

"Maksudnya--"

"Nay, kamu dari tadi aku bbm enggak dibalas?" sela suara lantang dari arah kanan. Membuat gue dan Nayla menoleh seketika.

"Aku enggak bawa handphone. Maaf, Honey." Nayla berdiri, menyambut suara yang berjalan mendekatinya dengan pasti.

Ini namanya menganggu. Sebentar lagi klimaks juga acara gue! Padahal sedikit lagi gue mau jadiin si Manis ini pacar gue. Ada aja gangguannya. Tunggu, tadi Nayla manggil cowok itu siapa? Honey....

Maksudnya, apa?

"Romeo, kenalin. Ini pacar Nayla."

Watdefak???

Anjir!!! Dia punya pacar? Sejak kapan? Enggak, Enggak ... ini cuma mimpi. Gue yakin banget! Nayla enggak pernah singgung soal pacar atau lagi dekat dengan cowok lain jika di Bbm atau chat. Seriusan, deh!

"Hai, Romeo. Kenalin gue pacar Nayla." Cowok kutil itu mengulurkan tangan ke arah gue. Matanya mendadak menajam. Dasar kutil biang! Berani-beraninya bilang Nayla pacarnya! Bangke banget! Anjrit! Sialan! Sue! Babi! Kotoran singa! Air comberan! Jahanam!

"Yang duluan lo ke manain?" sahut gue dingin, sarkas begitu. Biar Nayla tahu berhubungan dengan cowok tipe buaya buntung model apa.

"Ada. Gue putusin. Kali ini gue serius sama Nayla. Dia segalanya buat gue."

Cuih! Sok romantis, Bangke! Rasanya ingin sekali gue ludahi mukanya itu.

"Mulai ngereceh?" Nayla berdiri berjajar sama si Muka Kutil. Menggamit mesra lengannya. Sialan banget!

"Aku serius, kok! Kamu segalanya untuk aku. Makasih, ya. Udah buat aku sadar untuk enggak jadi playboy lagi. Aku sayang kamu, Nayla."

Lho! Ngapain mereka jadi ngedrama di depan gue? Pakai bermesraan gitu lagi! Sialan banget! Gue lebih baik ditolak sembilan kali seperti kemarin. Daripada gue melihat hal ini di depan mata gue sendiri, sakitnya sampai bikin gue enggak bisa napas.

"Nay, dia kan playboy." Gue enggak rela Nayla pacaran sama kadal bin kurap itu. Gue bakal mengibarkan bendera perang kalau Nayla tetap jadi pacarnya.

"Dia janji sama aku enggak playboy lagi. Lagian aku sayang dia, kok."

Gue pun bungkam.

Nayla manisku, kamu dikasih racun apa, sih? Yang membuat kamu percaya ucapan busuk si kutil biang? Mata gue enggak bisa lepas menatap kedua iris mata terindah yang Tuhan ciptakan. Walau di sampingnya berdiri makhluk Tuhan paling sialan yang pernah gue tahu.

"Tadi kamu mau ngomong apa, Romeo?"

Ah, ya! Seketika niat gue amblas ditelan bumi. Menguap terbawa udara sekeliling. Tergerus jutaan harapan kosong. Kenyataan di depan mata lebih berat menimpa. Seraya di bahu gue ada jutaan ton sak semen bergelayut manja. Semen yang siap membuat dan mencetak tulisan besar 'Jones Abadi'.

"Enggak. Aku cuma mau bilang, makasih udah jadi temen yang baik. Bunga dan cokelat itu hadiah untuk kamu, Nay." Gue tersenyum. Padahal hati miris, jantung teriris, dan kalbu menangis.

"Oh, gitu. Makasih, ya. Aku suka hadiahnya."

Dan dia pun berlalu.

Bersama pacar yang gue sebut brengsek itu. Meninggalkan aroma tubuh Nayla  yang gue suka. Menguar di udara sekitar tubuh gue, sialnya  menambah sesak di dalam dada. Gue selalu menandai Nayla dari aroma parfum vanilla miliknya. Tapi sekarang aroma itu enggak akan bisa gue tandai lagi. Nayla sudah pergi dengan yang lain.

Rasanya semua yang gue lakukan sia-sia, enggak ada hasilnya. Enggak ada yang gue dapat selain kata merana. Hitungan gue genap di angka sepuluh. Sepuluh kali gue di tolak para cewek cantik di sekolah.

Sampai detik ini, penolakan gue itu masih misteri. Kebanyakan alasannya klise. Gue ganteng, ketua team basket pula. Lah, biasanya orang ganteng bin terkenal cepat dapat pacar. Kok, hal ini enggak berlaku untuk gue, ya?

Penolakan terakhir ini benar-benar membuat mahkota 'jones' melekat di kepala gue. Enggak hilang dan enggak gampang luntur. Apa gue terima nasib aja, ya? Gue menghela napas panjang. Gue nyesek, ngenes, baper, apalagi sebutannya? Gue tahu kalau gue jones, tapi enggak gini juga kali!

***

"Romeo!" teriak seorang perempuan bawel nomor dua setelah Bunda. Bunda bawel, tapi enggak pernah teriak-teriak begini. Astaga! Cewek setengah cowok ini luar biasa banget dalam hal teriak.

Gue berbalik malas. Setelah meninggalkan drama menyakitkan hati yang menyayat jantung serta mengiris kalbu, gue kembali ke kelas. Mengikuti pelajaran dengan malas, dan setelah jam pelajaran usai, gue beranjak pulang. Berjalan gontai ke arah parkiran di sudut sekolah.

Ibarat kaca, hati gue sekarang retak luar biasa. Rasanya mendingan ditolak langsung daripada gue tahu ternyata cinta gue, udah punya pacar. Rasa sakitnya berlipat ganda waktu tahu pacar barunya malah si Playboy kelas teri itu. Sialan! Pakai pelet jenis apa, sih? Bisa-bisanya ngegaet cewek-cewek cantik di sekolah.

Gue masih enggak terima. Naylaku yang manis, imut, cute, kenapa kau tega lakukan ini padaku? Aku sungguh kecewa. Rasanya ingin mati saja. Astaga! Apa yang gue pikirin, sih! Gue menggelengkan kepala dengan keras. Mengenyahkan pikiran bodoh yang ada di kepala gue.

"Gimana acara nembak lo? Diterima?"

Rasanya pengen gue sumpel mulut tuh bocah pakai kaos kaki. Dasar cewek kehabisan bahan omongan. Gue ini mau move on, malah diingetin lagi. Tambah sakit hati ini, tahu! Tiba-tiba timbul keingingan gue untuk terjun ke rawa-rawa. Ngadem, lho! Enggak ngapa-ngapain, gue masih sayang nyawa, kok.

"Ngeliat tampang lo kayak orang linglung, gue tebak, lo ditolak?" Si Bawel sudah bersejajar sama gue. Merangkul gue dengan paksa. Biasanya gue selalu menghalau rangkulannya. Tapi kali ini enggak. Biarlah si cewek jejadian ini bertingkah apa aja, gue enggak peduli. Yang gue pedulikan hanyalah langkah gue menuju motor kesayangan. Ingin segera sampai ke rumah dan mengurung diri di kamar.

Merasa diabaikan, si Bawel menepuk bahu gue. Gue cuma mengangguk menanggapi ocehannya tadi.

"Lagi?"

Lagi-lagi gue mengangguk. Sebelum dia mulai merepet hal lainnya, gue melanjutkan, "Lebih parah, ternyata dia udah punya pacar."

Detik berikutnya, tawa si Bawel membahana, tergelak sempurna, menistakan gue yang merana. Sayang aja gue enggak punya daya, padahal gue pengen banget nutup mulutnya pakai kaos kaki. Sahabat model apa dia ini, ya!

"Siapa pacarnya Nayla? Jangan bilang si Arnoldi?"

Gue cuma mengangguk lemah. Membenarkan tebakannya. Kurang ajar banget memang. Arnoldi sialan! Ketua OSIS terbangke yang pernah gue tau.

"Arnoldi emang ganteng, sih. Wajar kalau Nayla mau sama dia."

"Gue emang, kurang ganteng?" tegas gue, langkah gue pun berhenti. Gue enggak terima sama omongan sohib gue ini, lalu rangkulannya gue lepas  secara paksa.

"Denger, ya, Beo sahabat baik Juliet. Buat gue lo tuh ganteng. Ganteng banget malah," katanya.  Sohib gue ini lalu  berdiri di depan gue. Memegang bahu gue dengan kedua tangannya. Tinggi badannya persis di batas dagu gue. Mata cokelatnya bisa gue lihat dengan sempurna.

"Tapi enggak tahu kenapa sahabat gue ini selalu dirudung malang. Dengan jones tiada berkesudahan," ujarnya tanpa dosa. Ketika kata-kata itu gue cerna di kepala gue, dia udah kabur duluan. Lari kencang meninggalkan gue. Sialan!

"Ju ... Ju ... Sialan banget, lo! Macem lo enggak jones, aja!" Gue akhirnya ikut berlari. Mengejar cewek yang larinya lumayan bakal bikin gue terengah-engah. Dari dulu Juliet paling pinter yang namanya lari. Sialnya gue selalu kalah.

"Ju ...!" panggil gue yang masih mencoba mengejar.

"Eh, Beo! Nama gue bukan pejuh. Tapi Juliet! Jangan panggil gue dengan kata 'Ju'!" Dia berhenti. Memutar badannya otomatis sembari berkacak pinggang, mendelik marah. Ya Tuhan! Mulutnya enggak ada saringannya, ya? Seenaknya banget ngucap kata 'pejuh'. Macam dia tahu aja artinya.

"Mulut lo, ya!" Gue juga enggak mau kalah. Gue mendelik balik ke arah Juliet.

"Jangan panggil gue dengan sebutan itu!"

"Jangan sebut kata tadi lagi! Dan jangan panggil gue dengan sebutan 'Beo'!"

"Oke! Deal!"

"Deal!"

Hening sesaat.

"Ayo, pulang. Gue laper. Numpang makan, ya. Bunda pasti masak enak, 'kan." Juliet mengerjapkan mata, memohon mirip anak kucing. Dasar, Juliet! Bisa-bisanya intonasi suara galak mirip anjing marah berubah mendadak jika berkaitan dengan makanan.

"Ayo." Gue pun mengalah,  lalu merogoh saku celana mengeluarkan kunci motor. Mana bisa gue melanjutkan acara marah jika sudah seperti gini. Kami pun berjalan ke parkiran dengan napas masih terengah-engah. Lumayan juga mengejar cewek petakilan itu.

Di sebelah gue, Juliet dengan riang langkahnya mengikuti. Kalau soal numpang makan, Juliet akan menjadi cewek penurut nomor satu. Segala jenis masakan Bunda dia doyan. Apa aja dia mau. Dasar tukang makan!

Saat gue menyalakan mesin motor,  lagi-lagi Juliet bersuara dengan suara nyaring, mengalahkan suara mesin motor gue.

"Romeo, lo enggak usah sedih. Nikmatin aja jonesnya lo. Lagian kita masih sekolah apalagi sebentar lagi ujian. Mending siapin diri untuk ujian, lulus dengan nilai bagus. Buat Bunda bangga sama hasil kelulusan lo. Katanya lo mau kuliah di UI, ngejar mimpi lo jadi dokter. Enggak usah mikirin hal lain dulu. Perempuan yang baik itu untuk lelaki yang baik pula. Kalau lo jadi cowok baik, bakalan dapet cewek yang baik. Percaya, deh."

Gue menoleh seketika mendengar omongan anak ini. Juliet tersenyum menampilkan deretan gigi putih bersih miliknya.

"Tumben lo waras." Gue masih enggak percaya Juliet berkata seperti itu.

"Gue cuma mengutip kata-kata Bunda untuk lo. Lagian, enggak selamanya jones itu nista. Jones itu bahagia dengan caranya. Kayak gue, bahagia dengan makanan. Lo apa?"

Dasar tukang makan! Gue yakin banget isi otaknya cuma makanan, makanan, dan makanan. Gue menggelengkan kepala.

"Tetep aja rasanya nyesek, Juliet."

"Lo baper banget, ish!" Juliet memukul punggung gue seenaknya. Sialan memang Juliet, disangka enggak sakit kali, ya. Enggak sadar apa kalau tenaganya sudah seperti kuli.

Malas berdebat, gue pun kembali menyalakan mesin motor, lalu mengendarainya keluar parkiran. Sialannya, di belakang boncengan gue, Juliet malah bersenandung senang....

Kita joppy, jones yang happy-happy.

Punya pacar itu tak musti.

Kita joppy, jones yang happy-happy.

Asal ada sahabat menemani.

-END-

******

Yawlaaa... Merana banget nasib lo, Romeo.

Tyaswuri JuliaRosyad9 brynamahestri SerAyue summerlove_12 NyayuSilviaArnaz Intanrsvln EnggarMawarni Bae-nih MethaSaja HeraUzuchii YuiKoyuri holladollam veaaprilia sicuteaabis RaihanaKSnowflake Keizia09 xxgyuu Nurr_Salma opicepaka AnjaniAjha destiianaa aizawa_yuki666 FairyGodmother3 Vielnade28 Reia_ariadne umenosekai chocodelette demimoy somenaa rachmahwahyu glbyvyn TriyaRin AndiAR22 beingacid spoudyoo Icha_cutex nurul_cahaya TiaraWales iamtrhnf Riaa_Raiye WindaZizty realAmeilyaM meoowii Nona_Vannie whiteghostwriter deanakhmad megaoktaviasd umaya_afs irmaharyuni c2_anin NisaAtfiatmico CantikaYukavers fffttmh

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro