Terlanjur Jones.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Author megaoktaviasd

***

Gue nggak tau kenapa semua orang jadi nyebelin kalo udah malem minggu.

Mulai dari asisten rumah tangga gue, ketika gue sedang anteng nonton kabhi kushi kabhi gham di ruang tengah, doi malah nyeletuk sambil ngepel.

"Mas Ranu nggak siap-siap?"

Gue melirik malas. "Siap-siap kemana emang, Mbak Min?"

Mbak gue yang tergolong mbak-mbak eksis dan genit di komplek menatap gue nggak percaya, sampai-sampai dia menghempaskan begitu saja gagang pel yang dipegangnya dari tadi.

"Mas Ranu, please deh! Ini malem minggu, Mas. Malam minggu!" katanya penuh penekanan, diiringi matanya yang terlanjur melotot. Dia menatap gue seolah gue ini makhluk purba yang nggak ngerti bahasa Indonesia sama sekali.

Gue menghela napas sebal lalu berangsut menuju kamar gue. Ngambek sama mbak Min yang udah-udahannya malah ngetawain gue di kejauhan.

Emangnya kenapa kalo nggak malam mingguan? Kegantengan gue yang udah dia anugeragi oleh Tuhan ini akan terhapus sedikit demi sedikit kalo nggak menghabiskan waktu di luar?

Tentu saja, tidak. Karena seorang Ranu Mahesa selalu ganteng, apapun yang terjadi.

Gue membenamkan diri gue di kasur. Perkataan mbak Min terus berputar-putar di otak gue. Kalo dipikir-pikir, emang gue hampir nggak pernah keluar setiap malem minggu. Kalau keluar pun, paling gak penting tujuannya. Kayak disuruh beli sabun cuci piring bareng mbak Min yang nyebelin itu, karena dia selalu beralasan keseleo ketika disuruh jalan kaki, atau karena temen gue ngajakin gue nongkrong ketika kebetulan cewek-ceweknya sedang sleepover ala-ala gitu deh.

Ah bodo amat deh! Ngapain banget gue mikirin hal nggak penting kayak gitu? Toh, gue selama ini fine-fine aja dengan kesendirian gue.

Bosan, akhirnya gue memutuskan untuk kembali menjamah komik Doraemon yang mulai berdebu. Baru beberapa halaman gue baca, gue langsung menghempaskan begitu aja.

Sejak kapan Nobita dan Shizuka seakrab itu? Mereka belajar bareng, mereka bersenang-senang bareng. Uh, ini komik atau apa sih?

Gue kemudian hanya bisa menghela napas dengan gantengnya. Efek terlalu jones kini semakin gue rasakan. Bahkan ngeliat Nobita bersama Shizuka aja gue jealous abis.

Oke, gue lebih baik dengerin musik aja. Di kamar yang dingin, dan penerangan yang kurang, kayaknya enak dengerin lagu deh. Gue gak mau kalah dengan anemo masyarakat pada umumnya, bahwa malam minggu harus keluar rumah. Gue akan bikin malam minggu versi gue, Ranu Mahesa.

Gue langsung nge-play playlist lagu di ponsel gue. Lagunya Kings of Convenience yang Cayman Island mulai bergema. Membuat gue bergulat nyaman di balik selimut beludru biru milik gue.

Setelah sekitar dua menit tiga puluh detik, lagu tersebut menuju ending, ditandai dengan iringan musik yang semakin melemah. Gue mulai memejamkan mata gue, tapi gagal ketika indra pendengaran gue dinodai dengan lirik di playlist lagu selanjutnya.

Sudah terlalu lama sendiri, sudah terlalu lama aku asik sendiri. Lama tak ada yang menemani, rasanya...

Gue buru-buru mem-pause playlist gue dan membanting ponsel gue di kasur. Ya, walaupun gue emosi, gue masih mikir untuk tidak merusak ponsel gue dikarenakan status gue masih Mahasiswa Jones. Ralat. Maksud gue, Mahasiswa Tingkat Akhir. Uh!

Gue nggak bisa diginiin! Bahkan lagu si mas Kunto Aji itu terdengar seperti meledek gue yang masih jomblo ini. Akhirnya, gue memutuskan untuk mandi, biar tingkat kegantengan gue semakin bertambah setidaknya 25%.

"Ciyeeee ... akhirnya mas Ranu malem mingguan juga," celetuk mbak Min yang udah pake lipstik merah merona. Dia masih menaruh piring serta lauk pauk di meja makan, membantu nyokap gue.

"Kamu udah rapi, emang mau kemana, Ran?" Ujar Mama menatap gue bingung. Ya, tentu aja. Menurut jadwal rutin malam minggu gue, seharusnya gue mandi sekitar jam delapan malam sebelum gue nonton berjubel film yang udah gue siapin.

"Ganteng kan, Ma?" Gue menyisir rambut gue yang udah poles pake pomade, mengabaikan pertanyaan mama. Karena sebenernya gue juga gak tau mau ke mana dandan serapi ini.

"Biasa, Ma. Malem mingguan." Gue melirik ke mbak Min yang cekikikan menatap gue, kayaknya dia nggak percaya gue mau malem mingguan.

"Tumben kamu malem mingguan, biasanya kamu nonton sampe malem, nggak mandi-mandi lagi." Mama terlihat bangga menatap gue yang terlihat 'normal'.

"Begitu dong, Nu. Malem minggu keluar, rapi. Jadi anak lelaki beneran. Kalo kamu di rumah mama berasa lagi ngurusin orang gila deh, Nu," lanjut mama sambil menatap gue serius.

"Ya gak kayak orang gila juga kali, ma," cibir gue kesal. Masa Ranu Mahesa yang tingkat kegantengannya sama dengan jejeran artis lokal maupun interlokal disamain dengan orang gila sih?

"Anak mama yang ganteng ini tidak bisa disamakan dengan orang gila. Minimal, mama harusnya nyamain Ranu kayak Bradd Pitt," lanjut gue lagi, yang membuat nyokap dan mbak Min terbahak-bahak.

"Bradd Pitt kan keren, rapi, wangi. Kamu apa? Bau, kumel, gak mandi-mandi. Pantes kan mama bilang kayak orang gila?" Ujar nyokap disela-sela tawanya. Duh mama, tega banget sih sama anaknya sendiri!

"Ya udah gih sana, kamu jadi anak gaul. Nggak usah makan di rumah, nih mama kasih duit jajan," kata mama setelah melihat wajah gue cemberut aja.

Mama menyelipkan selembaran uang seratus ribuan di kantong gue. Tanpa disuruh lagi, gue memakai sepatu dan keluar.

~

Ranu Mahesa menjalankan mobil yang dia kendarai dengan perlahan. Mobil siapa? Tentu aja mobil bokap doi, secara masih Mahasiswa jones, belom kerja pula, ya udeh pas banget deh penderitaannya.

Ranu masih belum tahu ingin ke mana. Dipikir-pikir, kalau ke mall sendiri, dia akan terlihat dua kali lebih mengenaskan. Akhirnya dia memutuskan untuk putar balik, dia memilih untuk makan indomi dan ngopi di tempat nongkrong anak-anak kompleknya.

Sampai tiba-tiba sebuah motor matic biru menabraknya.

Ranu otomatis mengklakson mobilnya kesal, dia kemudian turun dari mobil untuk mengecek keadaan orang yang –lebih tepat dikatakan- menabraknya.

"Mas, nggak apa-apa?" Ranu deg-degan setengah mati. Seumur-umur dia mengendarai mobil, baru kali ini dia harus berurusan dengan pengendara motor.

Si korban melenguh parau, kesakitan sambil buka kaca helm full face-nya dengan kesal.

"Mas pala lo peang! Gue cewek tulen gini lo bilang Mas!" Kesal cewek itu yang anehnya masih sempat-sempatnya ngomel dan menyajikan muka judes khas tukang kredit keliling.

Ranu kemudian berjongkok, menyamakan tingginya dengan cewek itu. Dia menatap cewek itu dengan sungguh-sungguh lalu pandangan mereka bertemu.

~

Anjir. Apa ini?

Apa ini yang dinamakan cinta pada pandangan pertama?

Wajahnya yang sedang meringis kesakitan tetap terlihat cantik di mata gue. Anehnya, kedua alisnya yang bertaut tidak membuat cantik di wajahnya menghilang. 

Dia masih memegang pergelangan kakinya sambil sesekali melirik gue.
"Mbak, nggak apa-apa?"

Cewek di depan gue melirik kesal.  "Sakit lah! Nggak liat nih dari tadi gue sibuk sama kaki gue?" balasnya datar, tidak nge-gas seperti sebelumnya. Dalem hati gue tertawa. Mungkin dia menyadari kalau gue cukup tampan untuk dijadikan gebetan atau bahkan ehem, pacarnya.

"Mau saya antar ke klinik, Mbak? Saya minta maaf ya," kata gue masih menatap matanya.

Cewek tanpa nama itu kelihatannya agak salah tingkah karena gue masih terus menatapnya.

"Nggak apa-apa kok, Mas. Lagian, salah saya sendiri main jalan gitu aja." Dia tersipu menatap gue, apalagi setelah gue melemparkan senyum ala Lee Minho ke dia. Duh, dia pasti diabetes mendadak!

"Beneran nggak apa-apa?" Gue meyakinkannya. "Yakin nggak mau saya anter ke klinik? Nanti kalo saya pergi, saya nggak bisa nganterin Mbaknya, loh." Gue mulai masuk ke jurus rayuan maut ala Lee Jongsuk yang baru gue pelajarin beberapa hari yang lalu.

"Ada gue kok, suaminya yang bakalan nganterin dia." Sebuah suara bariton terdengar di belakang gue. Gue sedikit membelalak awalnya, tapi karena gengsi, gue berusaha memasang wajah baik gue. Ya, walaupun wajah baik-baik gue ini sering disalahartikan karena dikiranya gue lagi nahan boker.

"Oh iya, Mas. Maaf ya. Saya gak sengaja nyenggol istri Mas."

Pria dengan suara bariton itu menatap gue tajam, rasanya sebentar lagi mungkin gue akan merelakan muka ganteng gue terkena bogem mentah dari suaminya sebelum akhirnya cewek didepan gue –yang merupakan istrinya– menahannya.

"Aku yang salah, Mas," ujarnya, sambil mencoba berdiri, "kamu gak usah numpahin kekesalan kamu ke orang lain."

Pandangan pria bersuara bariton itu melunak, mulai terlihat senyum-senyum samar di wajah kerasnya. Dia lalu menghampiri istrinya dan membantunya untuk berdiri.

"Maafin aku, ya." Pria bersuara bariton itu tersenyum tulus, sehingga gadis didepannya memeluknya dengan mata berkaca. Gue gak tau pertengkaran apa yang terjadi di antara mereka.

Yang jelas, pemandangan ini amat sangat canggung untuk ditonton oleh pemuda yang terlanjur jones semacam gue.

"Kalau begitu, saya pergi dulu gak apa-apa, kan?" kata gue memecah suasana romantis di antara mereka gue.

Mbak-mbak tadi tersenyum. "Nggak apa-apa, Mas. Makasih ya sudah niat nolong saya."

"Sama-sama Mbak. Yuk mari!"

Gue buru-buru masuk ke dalam mobil gue, menyalakan mesin lalu pergi. Dewi fortuna rasanya nggak mau ngasih keberuntungan di gue, karena gue udah merasa jatuh cinta sama mbak-mbak itu. Namun, semua itu hancur ketika suaminya datang.

Ya, ini lebih buruk dari kenyataan bahwa si Komo tidak pernah sekalipun bikin macet.

Gue menghela napas pasrah. Tentu aja masih terlihat ganteng. Mumpung tingkat kegantengan gue masih diatas rata-rata, lebih baik gue pergi ke tempat nongkrong sekarang, siapa tau aja gue nemu cewek kece yang nasibnya sama kayak gue, terlanjur jones.

Tak berapa lama, gue sampai di tempat nongkrong khas anak komplek gue. Sebenarnya hanya tempat makan biasa, menunya sekitaran olahan mi instan dengan cara masak dan varian yang berbeda. Ada beberapa permainan untuk memecah kebosanan saat menunggu pesanan datang. Cukup cozy juga karena sudah dilengkapi air conditioner dan dinding yang di cat dengan gambar-gambar yang lucu, bikin cewek-cewek suka banget foto di dinding tersebut.

"Selamat malam, Mas. Untuk berdua atau sendiri?" Mbak-mbak waiter menghampiri gue dengan senyum lebar dan suara lantangnya. Elah si mbak ini, makan apa sih dia suaranya sampe kenceng kayak abis nelen toa mesjid gini? Gue lantas menatap sekeliling, saat ini gue akan terlihat menyedihkan kalo gue bilang gue akan menghabiskan malam minggu sendiri disini.

"Berdua lah, Mbak. Masa sendiri sih?" Gue tertawa dengan kaku. Si mbak-mbak waiter akhirnya menggiring gue ke tempat duduk yang tempatnya menjorok kedalam.

"Silahkan, Mas, ini menunya." Mbak-mbak waiter menaruh menu di meja gue, "pesan sekarang atau nanti saja?" lanjut waiter bertanya kepada gue dengan ramah.

"Nanti aja, Mbak," balas gue sambil tersenyum. Mbak-mbak waiter kemudian meninggalkan gue untuk melayani pelanggan yang lain.

Gue menatap sekitar. Berpasang-pasang insan manusia larut dalam obrolan dan gurauan yang membuat gue menghela napas dengan kesal. Ada yang sedang duduk berhadapan dengan laptop masing-masing, sepertinya mereka pasangan gamers karena daritadi mereka sibuk meracau nggak jelas tentang permainan yang sedang mereka mainkan.

Mata gue yang sedang menyapu pemandangan cafe, menatap seorang cewek kemudian membelalak, sang cewek pun juga. Sialan! Gue baru aja mau bangkit dari duduk gue ketika sebuah suara teriakan membuat gue terpaku.

"Mas Ranu! Mas! Mau ke mana?" Suara cempreng mbak Min rasanya bikin gue migrain mendadak. Gue lalu menatap sebal ke arahnya yang tersenyum geli menatap gue.

"Mas Ranu ngapain ke sini?" Mbak Min bertanya dengan songongnya.

Gue menjawab dengan pede-nya, "Tentu aja gue mau malam mingguan. Lo ngapain?"

"Aku mah pacaran Mas. Pacaran!" katanya penuh penekanan, sambil tersenyum geli. "Emang Mas Ranu punya pacar? Kan Mas Ranu jomblo. Hahaha."

Asem! Si Mbak Min belom pernah gue sodorin ketek hasil gue gak mandi selama 2 hari 22 jam. Tanpa nengok ke belakang dan mengabaikan panggilan mbak-mbak waiter, gue langsung ke mobil dan mengendarainya.

~

Malam minggu yang buruk, malem minggu versi Ranu Mahesa yang dibuat-buat malah terlihat semakin mengenaskan.

"Kampret!" teriak Ranu kesal didalam mobilnya. Untung saja, tidak ada yang bisa mendengar raung frustasinya. Saat dia ingin tampil seperti orang-orang pada umumnya, dia malahan ketiban sial.

Dia memutuskan untuk mendengarkan radio di mobilnya. Otaknya kembali berpikir, bahwa apa yang dirasakannya ini bukanlah hal yang memalukan.

Apa yang salah ketika belum punya pacar? Sepertinya perihal seperti itu tergantung waktu, doa dan usaha. Yang terpenting, dia harus menjadi dirinya sendiri. Dan Ranu mungkin akan kembali kepada kebiasaan di malam minggunya, nonton di rumah dan tidur. Dia nyaman menjadi pemuda yang mendapat predikat terlanjur jones.

"Nggak apa-apalah, asal gue tetep ganteng," gumam Ranu pada dirinya sendiri.

Mengingat itu semua, perasaan Ranu menjadi lebih baik. Dia kemudian melajukan mobilnya menuju rumah, masih banyak film yang ingin ditontonnya.

Terpaksa aku sendiri, sementara saja kini. Bersabar kan datang hari, meskipun ku lelah...

Samar-samar lagu Geisha terdengar dari alunan suara radio mobil Ranu Mahesa, menemani pemuda itu membelah jalanan komplek yang semakin ramai.

~

End

AndiAR22 whiteghostwriter glbyvyn NisaAtfiatmico irmaharyuni c2_anin deanakhmad Nona_Vannie megaoktaviasd umaya_afs meoowii Icha_cutex rachmahwahyu WindaZizty 0nly_Reader summerlove_12 bettaderogers Vielnade28

iamtrhnf spoudyoo TriyaRin Reia_ariadne TiaraWales beingacid nurul_cahaya somenaa realAmeilyaM FairyGodmother3 destiianaa opicepaka RaihanaKSnowflake umenosekai aizawa_yuki666

veaaprilia MethaSaja sicuteaabis brynamahestri EnggarMawarni NyayuSilviaArnaz xxgyuu SerAyue Bae-nih Nurr_Salma Intanrsvln YuiKoyuri HeraUzuchii holladollam JuliaRosyad9 fffttmh AnjaniAjha

demimoy Riaa_Raiye

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro