15 - Short Break

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Bu, kalo lagi berantem sama Bapak, rasanya gimana sih?" Pertanyaan Jen sore itu beradu dengan suara air mendidih dan pisau yang mengiris-iris kentang. Ia dan ibunya sedang menyiapkan makan malam dengan menu sop ayam.

Perempuan paruh baya yang ada di sebelahnya itu masih sibuk mengiris kentang. Namun, senyum terukir di wajahnya kala mendengar tanya dari sang anak. "Gimana ya? Menurut Mbak gimana?" tanyanya balik kepada Jen. "Mbak kan udah belajar psikologi tuh, coba dianalisis dong, calon psikolognya Ibu," imbuhnya dengan nada sedikit bercanda.

"Yah, malah balik ditanya." Jen mendengkus. Ia memasukkan tumisan bawang putih dan bumbu lainnya ke dalam air mendidih.

"Berantem itu biasa, Mbak, dalam rumah tangga," terang sang Ibu.

"Tapi, kalo sampai ada beban psikologis mah, nggak biasa, Ibu Ningrum," sela Jen dengan suara datar yang lirih lalu mencicipi kuah dari bakal calon sop di depannya.

Ningrum kini menghadapkan badannya ke arah Jen. Semua bahan untuk sop sudah siap dan tinggal dimasukkan setelah rasa kuahnya pas. Ia tinggal menunggu Jen selesai menambahkan garam dan lada agar kuah sop mencapai rasanya.

"Ibu jangan ngeliatin Jen gitu, ah. Jadi malu." Mata Jen melirik sekilas dan kembali fokus pada masakan di hadapannya. Ia mulai memasukan satu per satu bahan ke dalam air mendidih yang sudah terasa enak itu.

Tangan Ningrum meraih kepala Jen dan mengelusnya lembut, "Jen sayang, Ibu sama Bapak udah hidup bersama sejak nol sampai sekarang. Bapak kamu itu pekerja keras. Apa pun yang dilakukannya hanya untuk kebahagiaan keluarga dan anak-anaknya—"

"Tapi kenapa pekerjaan jadi prioritas, Bu? Jen, terutama Jun, juga butuh sosok bapak yang hadir nyata. Nggak melulu soal pekerjaan," potong Jen dengan suara yang sebisa mungkin tidak meninggi. Ia sedikit kesal dengan Bapaknya yang selalu memprioritaskan pekerjaan dibandingkan keluarga sejak usaha bola basketnya semakin besar.

Kini Ningrum mengambil alih panci berisi sop ayam yang hampir matang dan mencicipinya. Ia lalu mengecilkan api kompor dan mengajak Jen duduk di meja makan yang ada di belakang mereka.

"Bapak itu nggak gampang percaya sama orang, Mbak. Sejak usaha bola basket yang dirintis dari nol mulai besar, Bapak sebenarnya dilema juga. Mikirin perusahaan, mikirin anak-anaknya, mikirin Ibu juga yang kadang asmanya kambuh. Jadi, mungkin stres juga banyak pikiran." Ningrum menghela napas, lalu melanjutkan, "Yang pasti, Bapak selalu sayang sama kalian, sama Ibu, sama kita. Dari dulu nggak ada yang lebih utama dibanding kebahagiaan keluarga kita. Dan cara Bapak untuk membuat kita bahagia ya dengan bekerja keras, memberi nafkah, sampai Mbak dan Jun bisa sekolah tinggi dan sukses."

Jen hanya terdiam. Menatap mata ibunya yang terasa penuh cinta, juga senyum yang begitu hangat. Satu hal yang tidak ingin ia hadapi adalah perpecahan dalam keluarga karena sebuah pertengkaran karena beberapa kali ia mendengar orang tuanya adu argumen, hingga berujung pada sang ayah yang pergi dan baru pulang esok harinya.

***

Lamunan Jen di beranda apartemen Jun dipecahkan oleh suara pintu yang terbuka. Ia membalikkan badan dan mendapati adiknya, Jun, masuk dengan langkah perlahan.

"Udah makan, Dek?" tanyanya dengan senyuman.

Jun tidak menjawab. Ia melangkah menghampiri Jen di beranda dan meletakkan kedua lengan yang dilipat pada pagar beranda. "Bintangnya bagus ya, Mbak," ujarnya sambil menatap langit yang sebenarnya hanya tampak sedikit bintang. Maklum, daerah perkotaan sudah banyak polusi cahaya sehingga beribu bintang di langit pun sulit untuk terlihat oleh mata telanjang.

Tawa kecil menjadi sahutan Jen untuk pernyataan sang adik. Ia membalikkan badan ikut menatap langit. Sesaat, hening kembali bersahabat dengan sang malam. Hanya terdengar beberapa deru kendaraan yang berlalu lalang, juga embusan angin malam yang tak pernah absen.

"Maaf ya, Mbak," lirih Jun memecah keheningan.

Mata Jen melirik sekilas ke arah sang adik di sebelah kanannya, "Maaf untuk?"

"Untuk semuanya." Jun mengembuskan napas panjang tanpa mengalihkan pandangannya dari langit yang terpolusi cahaya kota.

"Tau nggak tadi aku lagi mikirin apa sebelum kamu dateng?" tanya perempuan berkerudung marun itu, menggeser badannya merapat ke arah sang adik.

"Hm?" gumam Jun mengisyaratkan kakaknya untuk melanjutkan kalimat.

"Aku keinget perkataan Ibu." Sesekali Jen melirik ke arah adiknya untuk memastikan reaksi yang timbul akibat kalimat yang ia lontarkan. Suara kendaraan semakin berkurang karena malam semakin larut. Suaranya yang pelan tak perlu lagi beradu dengan deru kendaraan.

"Kata Ibu, yang ada di pikiran Bapak itu cuma kebahagiaan keluarganya. Dan cara Bapak mewujudkan itu adalah dengan bekerja keras supaya kita bisa sekolah tinggi dan kita hidup dengan layak. Nggak seperti Bapak dan Ibu dulu waktu masih awal-awal nikah," kisah Jen panjang lebar pada adiknya.

"Kata Ibu, sebenernya bisa saja dari awal mereka hidup enak karena kakek juga pengusaha yang cukup sukses. Tapi Bapak menolak. Malu katanya kalo harus bergantung sama mertua," tawa kecil muncul di sela-sela kalimat Jen. "Hah ... dan ya, dari rasa malu itu, jadilah perusahaan produsen bola basket kece seantero Jawa. Kebayang nggak sih kamu bagaimana usaha Bapak dan Ibu dulu? Keren bangetlah mereka." Ada sedikit getaran pada suaranya.

"Tapi, Mbak, aneh nggak sih?" sela Jun memutarkan badannya menghadap sang kakak. Perbedaan tinggi mereka membuat Jun perlu sedikit menunduk untuk menangkap tatapan mata kakaknya dengan lurus.

"Apa? Bapak sampai mukul Ibu? Ninggalin Ibu yang lagi sakit?" Jen tahu arah pembicaraan ini.

Jun mengangguk dan mengalihkan tatapan matanya ke lantai.

Helaan napas Jen disambut oleh angin yang meniup kerudungnya. "Aneh memang, tapi itu karena Bapak banyak pikiran dan ada tekanan tersendiri. Bapak takut perusahaan kenapa-napa, takut juga Ibu kenapa-napa, nggak tahu mau melampiaskan ke siapa selain ke Ibu. Mungkin karena saking sayangnya Bapak sama anak-anaknya dan nggak mau kita melihat sisi jelek Bapak, jadinya ke Ibu yang sudah tahu dan dianggap bisa maklum dengan perilaku Bapak. Kata Ibu juga, Bapak memang mudah marah—temperamen sulit," ujar Jen masih dengan suara yang bergetar, entah karena kedinginan atau menahan gejolak di dadanya. "Tapi, Jun ... Bapak kemarin udah minta maaf—"

"Iya aku tau, Mbak," potong Jun. "Aku ... apa aku harus ketemu Bapak? Apa yang bakal terjadi kalo aku ketemu Bapak? Apa ... apa aku ...." Jun mengambil jeda. Ragu untuk melanjutkan karena ini adalah hal terburuk yang ia bayangkan. "Apa aku bakal jadi sasaran selanjutnya karena aku udah pernah liat sisi jelek Bapak?" tanya Jun pada akhirnya dengan penuh keraguan.

Percakapannya dengan Johan masih mengusik pikirannya. Ia butuh diyakinkan, bahwa pilihannya untuk menghadapi ayahnya bukanlah pilihan yang akan mencelakai dirinya ataupun sang kakak.

Jen tersenyum. Tangannya mendarat di pipi Jun dan mengelusnya lembut. "Nggak, Jun. Kamu nggak akan kenapa-napa. Insyaa Allah, percaya sama Mbak." Tegas, lugas, sinar mata Jen menyiratkan keyakinan yang dibutuhkan oleh Jun.

Sontak Jun memeluk kakaknya dengan erat. Bulir air mata yang ditahannya sedari tadi mulai memberontak untuk keluar. Tetesan itu hadir bersamaan dengan suaranya, "Ayo, Mbak. Kita hadapin bareng-bareng. Maaf ... maaf kalo selama ini aku kabur dan ninggalin Mbak sendirian. Maaf kalo aku belum bisa jadi adik yang baik ya, Mbak. Sekarang ... Mbak temenin aku, aku juga akan temenin Mbak Jen. Mbak Jen jangan sendirian lagi ya?" suara Jun merendah, badannya bergetar.

Jen mengangguk, "Insyaa Allah."

Tiada kata yang mampu terucap lagi oleh keduanya. Hanya air mata yang saling membasahi kerudung, juga kemeja masing-masing dalam hangatnya pelukan kedua kakak adik itu. Angin malam yang berembus, bintang yang tertutupi cahaya kota, temaramnya malam, menjadi saksi akan sebuah langkah besar yang akan diambil keduanya.

Menghadapi kenyataan menyakitkan untuk kebahagiaan yang tertunda.

***

"Jadi, lu bakal langsung cus ke Jogja? Nggak balik sini lagi?" tanya Johan pada Jun.

Siang itu, mereka—bersama Dee juga—berkumpul di kafe biru favorit mereka atas ajakan Jun. Dua gelas cappuccino, segelas coffe latte, dan sepiring chicken wings mozzarella menemani di atas meja. Kafe sedang ramai. Sepertinya banyak anak sekolah yang belajar bersama untuk persiapan ujian masuk perguruan tinggi.

"Kayaknya gitu," jawab Jun singkat sambil menyeruput cappuccino miliknya.

"Terus kamu UTBK di mana? Jogja langsung?" Dee ikut menginterogasi sahabatnya.

"Nah, itu. Masih galau nih. Takut nggak konsen juga kalo langsung di Jogja," tukas Jun menggaruk-garuk lengannya.

Johan menyandarkan punggung ke sandaran kursi dan meluruskan kakinya ke arah Jun yang berhadapan dengannya, "Gini, Bro! Mending lu kelarin semua urusan di Bogor. Sekalian ujian yang nanti di Bogor dulu. Kelar urusan, nyantai lu kalo balik ke Jogja," saran Johan sambil melipat kedua lengannya di depan dada.

Jun dan Dee menyimak dengan serius.

"Jadi, ntar kalo lu mau ikut ujian mandiri atau apalah itu, udah di Jogja aja. Kan lu juga mau kuliahnya di Jogja. Santailah, Bro!" lanjut Johan.

"Halah, bilang aja lu nggak mau pisah sama gua," ledek Jun yang dibalas dengan kedipan mata oleh Johan.

Dee memukul dua lelaki di kanan dan kirinya itu, "Duh, kalian ini. Nggak bisa memang serius bentaaar aja."

"Alah, Dee. Lu juga jadinya mau ke Jogja nyusul Jun kan? Deuh, gua ditinggal sendiri di Bogor," nyinyir Johan yang disambut dengan pukulan kedua dari Dee. "Njir! Sakit, Dee ...," keluhnya mengelus-elus lengan yang tersakiti.

"Oh, kamu mau kuliah Jogja juga, Dee?" Tampaknya Jun baru mengetahui informasi terbaru tentang Dee. Setahu Jun, Dee tidak ada rencana untuk kuliah jauh dari Jakarta atau Bogor.

"Ya ... gitu. Habis ngobrol sama Mbak Jen, jadi dapet banyak insight. Lagian hidup di Jogja kan murah," jawab Dee berusaha santai meski sedikit gelagapan.

"Deuh, calon kakak ipar." Johan masih belum menyerah meledek Dee.

Jun tertawa. Ia sudah biasa dengan ketidakjelasan yang keluar dari mulut Johan. "Terus elu mau kemana, Bro?" tanya Jun pada Johan.

Johan menegakkan badannya, menyatukan kedua telapak tangan di atas meja, dan menatap Jun serta Dee secara bergantian dengan serius. "Kalo gini ceritanya, kayaknya gua kudu ke Jogja juga. Bener kata Dee, hidup di Jogja murah. Lagian, ada tempat bagus buat gua belajar. Hmm ... Rugi lu semua jauh dari gua!" Tiba-tiba suaranya meninggi dan tangan kanannya menunjuk-nunjuk kedua sahabatnya itu. "Mending kita deketan aja, ye gak, sih?" Ia mengangkat kedua alisnya dan tersenyum lebar.

Sontak Jun dan Dee tertawa melihat perubahan sikap Johan yang semakin absurd bagi mereka. Johan juga ikut tertawa bersama.

Tampaknya, kedekatan tiga sahabat ini memang sudah tidak bisa ditawar lagi. Latar belakang ketiganya yang sudah terungkap, maupun yang mungkin masih tersimpan dalam rahasia, justru mendekatkan ketiganya untuk saling mendukung. Ada hal-hal yang dapat dijelaskan oleh kata-kata, ada pula hal-hal yang hanya dapat dirasa oleh jiwa. Ketiganya, sudah terhubung dalam ikatan jiwa. Tidak hanya sebagai sesama pebasket di tim sekolah, tetapi juga sebagai manusia yang terus akan berjuang menjemput bahagia.

"Mbak Jen kapan balik? Sini biar gua anter," sergah Johan di tengah tawa.

"Napa kamu? Mau ngincer Mbak Jen? Wah, parah-parah." Kini Dee mendapat kesempatan untuk membalas Johan.

"Ebuset, dah! Suuzan aja lu!" Johan menarik pelan bando di kepala Dee. Bando yang menghiasi rambut Dee itu pun terlepas dan membuat rambutnya sedikit berantakan. "Tapi kalo dapet restu sih, nggak masalah. Siapa nggak mau sama Mbak Jen," lirik Johan yang disambut Jun dengan decak malas.

Dee mendengus kesal dan merapikan rambutnya. Tak ketinggalan, ia memukul lengan Johan lagi hingga teriakan Johan membuat seisi lantai dua kafe menengok ke arah mereka.

"Besok sore, insyaa Allah. Untung lu nawarin sebelum gua minta," seloroh Jun. "Dateng aja besok sebelum asar ke apartemen. Ajak Dee juga sekalian. Request dari Mbak Jen katanya biar ada temen cewek."

"Woh! Mantep lu! Direstui jadi calon adek ipar!"

Keributan Dee dan Johan memang tidak akan pernah habis jika Jun tidak menjadi penengah mereka. Jun sendiri tidak menganggap serius segala ejekan Johan tentang dirinya dan Dee sejak kakaknya datang. Baginya, semua itu hanya pemanis hubungan persahabatan di antara mereka bertiga. Gelak tawa dan ejek-mengejek memang sudah jadi makanan sehari-hari jika mereka berkumpul. Di mana pun, kapan pun, jika tidak ada hal serius—yang benar-benar serius—untuk diselesaikan. Maka, panasnya Bogor siang itu tak lagi terasa karena hanya ada kehangatan di antara ketiganya.

Kehangatan ketiga sahabat yang ingin terus bahagia bersama ironi kehidupan.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro