17 - Fastbreak

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pulang.

Sebuah kata yang sudah lama terpikir, tetapi urung dilakukan. Ketakutannya begitu mengekang. Bahkan keinginan untuk menemani kakaknya pun belum cukup kuat untuk membuat kakinya melangkah pulang. Hingga tiba hari berharga bagi sang kakak untuk mendapat gelar profesi yang begitu diimpikan, juga mimpi yang terus menghantui, membuat Jun menginjakkan kaki pertama kalinya di Yogyakarta setelah 3 tahun berlalu.

Kini kali kedua, dan mungkin untuk seterusnya, Jun akan berdampingan dengan suasana Yogyakarta yang tak pernah berubah. Warganya tetap ramah, tradisi Jawa yang begitu kental, hanya memang tanah kelahirannya itu tampak lebih ramai. Semakin banyak pendatang sepertinya dan ia kembali pulang.

Jun berdiri di belakang para penumpang pesawat yang menunggu conveyor belt berjalan membawa antrian bagasi. Ia tak terburu-buru sehingga mendapat giliran akhir pun tak masalah. Ibu jarinya sibuk mengusap layar ponsel pintar yang baru saja dinyalakan dan memunculkan banyak notifikasi pesan masuk dari grup basket dan dua orang sahabatnya.

From: Johanisme
Yo, Bro! Kalo landing kabarin

From: Dee
Tiati ya, kabari kalo udah sampe

Jun tersenyum. Rindu sudah menyapanya padahal baru dua jam lalu ia berpamitan pada kedua sahabatnya itu. Tiga tahun bersama mereka, tiga tahun keberuntungan hadir dalam hidup Jun.

Ya, memiliki sahabat yang satu hobi, satu ekstrakurikuler, bahkan mereka hadir di saat-saat terburuknya dulu. Merantau ke Bogor, tak pernah terpikir di benak Jun ia mampu bertahan hingga sekarang. Dan semua itu tak lain karena Tuhan mengirimkan sahabat terbaik untuknya.

Getar ponsel menyadarkan lamunan Jun. Seringai kecil tampak di wajahnya sesaat sebelum mengangkat panggilan tersebut.

"Assalamu'alaykum, udah turun, Dek?" Suara lembut seorang perempuan memenuhi gendang telinga Jun.

"Wa'alaykumussalam, udah, Mbak. Baru aja nyalain hape. Lagi ngantri ambil bagasi," jawab Jun sambil sesekali melirik ke arah conveyor belt yang belum menampakkan koper miliknya.

"Lho, katanya udah dikirim semua barang-barangnya. Kok masih nunggu bagasi?"

Jun tertawa kecil, "Yha, Mbak, masa koperku ditinggal di Bogor? Ya, kuisi baranglah biar sekalian dibawa."

"Yaudah, buruan. Aku laper." Panggilan pun terputus.

"Ah, emang dasar, doyannya makan," gumam Jun menurunkan ponsel dari telinganya dan memasukkan benda segiempat itu ke dalam kantong jaket. "Masih lama nggak ya?"

Sayang, pergerakan conveyor belt baru saja terlihat. Satu per satu bagasi penumpang muncul dari balik tirai plastik yang terhubung dengan lapangan lepas landas. Jun tidak tahu kopernya ada di tumpukan atas atau justru tenggelam paling bawah ketika diangkut dari pesawat. Ia perlu menunggu sedikit lebih lama untuk bertemu kopernya dan menyapa kakak perempuan yang menunggu dengan kelaparan di terminal kedatangan.

Kini kakinya telah menapak di rumah yang ia tinggalkan hampir 4 tahun lamanya. Ada debaran aneh di dada ketika ia memasuki rumah, terlebih ketika matanya terpaku pada sebuah pintu kamar yang ada di seberang ruang tamu.

"Bapak ... udah pulang, Mbak?" tanya Jun sedikit ragu pada kakaknya yang baru saja menutup pintu.

Tubuh Jen tak lantas berbalik. Ia menarik napas panjang dan menarik kedua ujung bibirnya perlahan membentuk senyum. "Besok. Besok insyaa Allah Bapak pulang," jawabnya.

Alis Jun terangkat. Sebuah pertanyaan ingin ia utarakan, tetapi urung. "Oh, oke. Aku mandi dulu ya, Mbak."

"Langsung istirahat aja. Kamarmu udah diberesin, jadi tinggal ditempatin. Mbak juga mau tidur. Udah mau jam sebelas," tanggap Jen yang diikuti dengan anggukan adiknya itu.

Jun menaiki tangga lebih dulu, menuju ke kamarnya, sedangkan Jen masih harus mengecek pintu-pintu lain dan mematikan beberapa lampu. Suasana ini agak asing bagi Jun, meski biasanya ia tinggal sendiri di apartemen. Dadanya sering kali berdegup cepat jika dalam benaknya terlintas segala kemungkinan kondisi pertemuan dengan sang ayah.

Apakah akan baik-baik saja?

Pertanyaan itu selalu berulang karena Jun tidak tahu apakah reaksi tubuhnya akan tetap sama—berkeringat dingin, berdebar-debar, dan gemetar—atau ketenangan mampu hadir menemaninya. Inilah salah satu alasan mengapa ia memilih penerbangan malam untuk pulang ke Yogyakarta. Selain agar bisa lebih lama bersama teman-temannya sebelum berpisah, ia menghindari pertemuan dengan sang ayah.

Jun belum sesiap itu.

Beruntung, malam ini ayahnya tidak pulang. Apa pun alasannya, Jun tidak peduli, untuk saat ini. Ia hanya bersyukur karena tidak harus bertemu sang ayah di hari pertama kepulangannya ke tanah kelahiran.

***

Jen terduduk lemas di kasur. Pikirannya kembali memutar percakapannya dengan sang ayah pagi tadi, saat sarapan sebelum keduanya berangkat kerja.

"Nak, Jun pulang hari ini?" tanya Gatot setelah menyelesaikan sarapannya.

"Iya, Pak. Bapak mau ikut jemput? Pesawat dari Jakarta jam 8 malam, mungkin sampai Jogja sekitar jam 9 lewat."

"Bapak nggak pulang ya, Nak. Nanti nginep di kantor dulu aja." Ia tersenyum, tetapi dibalas dengan tatapan penuh tanya dari putrinya. "Biarin Jun istirahat. Kalo ada Bapak, nanti dia malah nggak nyaman."

"Pak ...," desis Jen.

"Nggak apa-apa, Nak. Nanti kabarin Bapak kalau Jun udah bisa ketemu sama Bapak. Udah, ya. Bapak berangkat duluan."

Ada rasa bersalah yang hadir. Jen sudah mengantisipasi kondisi seperti ini, menjadi penengah antara adik dan ayahnya. Namun entah mengapa, masih begitu berat baginya untuk bersikap netral dan menampakkan diri seolah semua baik-baik saja.

Jen tidak baik-baik saja.

***

Sepi.

Jun membuka pintu kamarnya dan tidak mendapati ada kehidupan lain di rumah. Pintu kamar kakaknya terbuka. Ia menengok ke dalam, tetapi tak melihat sosok perempuan setinggi bahunya itu. Ketika turun dan melihat pintu kamar ayahnya tertutup, ia sedikit menerka-nerka. Apakah ayahnya sudah pulang? Siapkah ia bertemu dengan ayahnya lagi?

"Jun, udah bangun?" Pintu kamar terbuka, menampakkan perempuan berkerudung krem dengan jaket abu-abu dan rok hitamnya menenteng tas belanja.

"Bapak udah pulang, Mbak?" tanya Jun untuk memastikan terkaannya.

Jen tersenyum dan melewati adiknya itu, bergegas naik ke ruang makan yang ada di lantai dua. "Bentar lagi nyampe. Kita sarapan bareng, ya!" teriak Jen. Sosoknya sudah menghilang dari tangga teratas.

Tubuh Jun mulai bereaksi. Mendadak ia berkeringat dan tangannya terasa dingin.

Oke, mau nggak mau emang harus ketemu. Toh, aku yang milih pulang. Jangan sampai bikin Mbak Jen susah sendiri ngurusin aku sama Bapak.

Denting sendok yang beradu dengan piring memenuhi ruang makan, seolah menjadi musik pengiring keheningan sarapan keluarga Narendra. Jen sesekali melirik ke arah dua lelaki berharga dalam hidupnya yang kini duduk di depannya dan di samping kanan. Keduanya menunduk, terlalu fokus pada piring masing-masing.

"Gudegnya enak ya?" Akhirnya Jen angkat suara. "Gimana Jun? Kamu udah lama pasti nggak makan gudeg."

Demi menghargai usaha kakaknya untuk mencairkan suasana, Jun akhirnya menegakkan kepalanya. Sekilas menatap sang ayah yang masih fokus pada makanan di hadapannya, lalu berpaling ke arah Jen. "Iya, Mbak. Kayaknya ini bukan gudeg restoran ya? Gudeg pinggir jalan?"

Pukulan melayang ke lengan Jun, "Hush! Iya, emang bukan gudeg restoran. Ini langganan aku di daerah Karangwuni. Deket kampus. Terkenal di kalangan anak kosan."

"Lah, kok Mbak tau? Emang situ ngekos?" ledek Jun.

"Kok kamu nyebelin," desis Jen menghentikan pergerakan sendok di atas piring.

Tawa muncul dari mulut adiknya, "Canda, elah. Pantes, sih. Ini dibungkusnya pakai daun sama kertas. Biasanya yang restoran itu kan pakai kotak ala-ala katering."

Abai dengan kalimat adiknya, Jen beralih. "Gimana, Pak? Enak? Nggak kalah kan sama yang suka Bapak beli di restoran hits Jogja?"

Gatot meletakkan alat makan dan meneguk air minum di sebelahnya. "Iya, enak kok. Ini Bapak tambah kreceknya nggak apa-apa ya?" jawabnya dengan senyum tipis lalu menambah krecek untuk menghabiskan sisa nasi di piringnya.

Hening.

Duh, susah banget sih bikin Bapak sama Jun ngobrol. Jen memutar otak dengan sedikit kesal.

"Jun ...."

"Pak ...."

Jen tertegun, "Cie, barengan! Kayak sinetron aja," nyinyirnya dengan tawa kecil.

Gatot dan Jun yang sempat bertukar pandang sesaat setelah saling memanggil, kembali menundukkan pandangan ke makanan lezat di depan.

"Kok nggak dilanjut? Ayo siapa duluan yang mau ngomong?" Kini Jen menyangga dagunya dengan kedua telapak tangan yang terbuka membentuk huruf V.

"Bapak dulu aja," lirih Jun.

"Nggak apa-apa, kamu ngomong dulu aja, Nak," timpal Gatot.

Jun menghela napas. "Apa ada yang mau Bapak omongin ke Jun?" tegasnya tanpa melihat ke arah sang ayah.

Giliran Gatot yang menghela napas cukup panjang. "Iya, ada yang mau Bapak omongin. Kalau kamu nggak ada agenda, Bapak mau ngajak kamu sama mbakmu jalan-jalan."

"Bertiga?"

"Kenapa? Kamu mau berdua aja sama Bapak juga nggak apa-apa, lho," Jen menengahi.

"Oke, bertiga. Sama Mbak Jen," tukas Jun. Ia lantas berdiri dan mengambil piring kakaknya dan berjalan ke arah Gatot. "Sini, Pak, piringnya. Jun udah selesai. Biar Jun yang beresin."

Gatot pun menyerahkan piringnya yang menyisakan beberapa cabai merah besar di pinggir piring. Ia menatap Jun—yang tidak balas menatapnya—lalu melirikkan mata ke arah Jen.

Jen hanya mengangguk dan tersenyum. Sabar ya, Pak. Pelan-pelan, batinnya meski ia tahu ayahnya tidak mendengar. Ia hanya bisa berharap kehangatan kembali muncul. Tidak hanya di antara dirinya dengan Jun atau ayahnya, tetapi juga di antara mereka bertiga. Bersama, sebagai keluarga.

***

Jalan setapak yang kanan dan kirinya terdapat bukit hijau berundak-undak menyambut keluarga Narendra. Taman Gardu Pandang Kaliurang menjadi tujuan Gatot untuk mengajak anak-anaknya menghabiskan waktu bersama. Terlebih lagi, malam nanti akan ada pertunjukan air mancur menari yang dinantikan banyak wisatawan maupun warga Yogyakarta.

Jun berjalan mendahului kakak dan ayahnya dengan kedua tangan berada di saku celana. Meski selama perjalanan ayahnya berusaha mencairkan suasana, ia hanya bisa tersenyum tipis dan membiarkan kakaknya yang meladeni sang ayah. Entah memang hatinya yang sedang terasa dingin atau langit berawan di dekat kawasan Merapi menjadi penyebab udara yang dingin, Jun mengalihkan kedua tangannya ke kantong jaket.

"Dingin ya, Nak?" Suara parau itu terdengar di sebelahnya.

Mata Jun melirik sekilas dan hanya menjawab dengan senyum yang sedikit dipaksa. Ujung bibirnya gemetar.

"Temenin Bapak naik ke sana mau?" ujar Gatot seraya menunjuk menara pandang di sebelah kanan mereka.

"Mbak Jen ke mana?" Mata Jun mengitari sekeliling.

"Kakakmu beli camilan sama minum anget. Tadi kita kan belum bawa apa-apa," terang Gatot sambil melangkah ke arah menara pandang.

Jun mengangguk pelan dan mengikuti langkah sang ayah.

Beberapa tangga mereka naiki untuk sampai di puncak menara pandang setinggi 3 tingkat itu. Terlihat beberapa orang yang sedang mengambil foto dengan latar Gunung Merapi. Terlihat begitu jelas meski langit sedikit berawan dan memang inilah daya tarik kawasan wisata Merapi.

Gatot tak menampakkan napasnya yang terengah. Ia sampai lebih dulu karena Jun memang ingin mengikuti dari belakang. Kini Gatot meletakkan kedua tangannya di atas pagar menara sembari menatap lurus ke arah Merapi.

"Udah lama Bapak nggak liat pemandangan seperti ini." Gatot memulai pembicaraan saat anak lelakinya tiba dan menyandarkan punggung tak jauh dari tempat Gatot.

Laki-laki berjaket biru itu masih diam, enggan membalas kalimat sang ayah dan hanya memandang ke arah berlawanan.

"Jun ...." Mata tua itu kini menatap penuh harap untuk dibalas. "Bapak minta maaf—"

"Kalo Bapak cuma mau minta maaf, biar Jun panggil Mbak Jen buat nemenin Bapak di sini," potong Jun tegas, tetapi suaranya sedikit tertahan agar tidak membentak lelaki yang sudah bekerja menghidupinya selama bertahun-tahun itu.

Gatot terdiam sejenak dan memilih kembali menatap Merapi. "Oke. Bapak nggak minta maaf lagi. Bapak cuma ingin bisa dekat sama kamu lagi," yarikan napas singkat menjeda kalimatnya. "... seperti dulu. Waktu kamu kecil."

Lelaki bersepatu putih itu mengalah. Ia menegakkan tubuhnya dan menatap sang ayah. "Pak, maaf," lirihnya. "Jun nggak tau apa kita bisa seperti dulu lagi."

Gatot sudah mempersiapkan diri untuk mendapat jawaban semacan itu. Namun jauh dalam lubuk hati, ia masih sulit menerima. Seolah ada batu besar menindih dadanya. Sesak. Ia terlalu fokus pada rasa sesak itu hingga tak menyadari bahwa putranya sudah berdiri di sisi kanan dengan posisi yang sama—kedua tangan bersandar di pagar menara.

"Jun masih takut. Mungkin Bapak juga udah denger dari Mbak Jen. Berdiri kayak gini, sebelahan sama Bapak aja, butuh persiapan bertahun-tahun. Berlebihan mungkin. Tapi ... Jun harap Bapak bisa nerima." Embusan angin menyambut kalimat terakhir Jun, membuat matanya terpejam karena menikmati semilirnya.

Tangan kanan Gatot bergerak, menggenggam tangan putranya yang mulai mendingin. "Nggak apa-apa, Nak. Bapak nggak bisa maksa kamu untuk maafin Bapak. Perbuatan Bapak ke ibu kamu emang keterlaluan. Bapak sadar ... dan ingin menebus semuanya," ujarnya sedikit tergagap.

"Bapak cuma ingin kamu tau kalo Bapak udah janji, ke diri Bapak, kalau mulai detik ini kebahagiaan anak-anak adalah yang utama. Pekerjaan, proyek, investor, segala hal itu bisa dicari lagi kalo hilang. Tapi keluarga ... nggak ada yang bisa menggantikan kehadirannya. Kamu dan kakakmu."

Bibir Jun gemetar, karena dingin dan menahan dentuman dalam hati. Matanya tak berkedip. Membiarkan bulir air yang mulai menggenang di pelupuk mata kering karena embusan angin gunung. Sejenak ia teringat pertanyaan Johan.

"... kalo elu nggak mau berdamai sama bokap, nggak kasian apa sama Mbak Jen yang kudu jadi penengah terus-terusan?"

Berdamai.
Memaafkan.
Menerima.

Tiga kata yang membuat hati dan pikiran Jun terus bekerja mencari langkah terbaik untuk berhadapan dengan kenyataan—bahkan dalam tidurnya. Ia tidak tahu kata apa yang tepat untuk merespons pengakuan sang ayah, meski ia pun sudah mempersiapkannya sejak lama. Kalimat demi kalimat hanya terucap dalam batin, seolah ada penghalang untuk mengeluarkannya secara lisan.

Maafin Jun, Pak. Jun tau Bapak benar-benar mau berubah. Tapi Jun butuh waktu ... untuk menerima semuanya. Menerima perbuatan Bapak di masa lalu. Menerima bahwa Ibu pergi karena takdir Allah, bukan karena kesalahan Bapak. Menerima bahwa menyalahkan siapa pun nggak akan berarti lagi sekarang. Menerima bahwa hidup harus terus berjalan dan masa lalu nggak bisa lagi diubah.

Helaan napas panjang keluar dari mulut Jun. "Semoga Bapak juga bisa sabar sama Jun."

Satu kalimat yang menutup obrolan sore hari di menara pandang Merapi. Lelaki bermata cokelat itu enggan membalas tatapan sepasang mata dengan warna sama—mata ayahnya. Namun, tangannya tidak menolak kehangatan yang mengalir dari genggaman telapak tangan sang ayah.

Kehangatan yang telah lama ia rindukan. Kehangatan yang sempat hilang, tertelan rasa takut untuk pulang. Sesekali ia terpejam lama, bertanya dalam doa.

Apa kehangatan ini akan terus ada?

***

"Jun, udah tidur?"

Jun tersadar dari lamunannya ketika suara kakaknya terdengar dari balik pintu kamar. Sudah hampir satu jam ia tenggelam dalam lamunan tanpa memejamkan mata—jam menunjukkan pukul sebelas kurang tujuh menit. Ingatan masa kecil dan perkataan sang ayah sore tadi terus berputar dalam benaknya dan membuat ia tak kunjung memejamkan mata. Badannya yang telentang di kasur beranjak untuk membuka pintu.

"Belum, Mbak."

Jen mengamati wajah adiknya yang terlihat begitu lelah. Mata cokelat itu tidak fokus dan hanya memandang lurus dengan tatapan kosong. "Boleh masuk sebentar?" tanyanya berbalut rasa khawatir.

Jun mengangguk dan membiarkan kakaknya masuk.

"Mau cerita?" pancing Jen tanpa basa-basi setelah duduk di kursi belajar adiknya. Lampu kamar sudah mati dan hanya menyisakan lampu kuning di samping kasur membuat kamar menjadi remang-remang.

Jun tahu bahwa kakaknya akan menanyakan kondisinya sepulang dari Taman Gardu Pandang. Ia pun sudah mempersiapkan jawaban atas pertanyaan itu, tetapi matanya hanya menatap dalam netra kakak perempuannya—meminta pertanyaan lanjutan agar ia hanya menjawab singkat, seperlunya.

"Gimana hasil ngobrol sama Bapak? Bapak udah minta maaf ke kamu?" Jen mengerti kalau adiknya ini ingin mengeluarkan banyak hal, tetapi enggan berbicara banyak.

Anggukan kepala lelaki di depannya menjadi jawaban.

"Terus gimana perasaanmu sekarang?" lanjut Jen.

Adiknya menggeleng dan merebahkan diri di atas kasur, "Entah. Aneh. Nggak tau, Mbak."

Jen melangkah mendekati Jun dan duduk di sampingnya. "Yaudah, mungkin kamu masih bingung sama perasaanmu sekarang. Maaf ya tadi aku sengaja ninggalin kamu sama Bapak. Soalnya ... ya, Bapak pengen coba ngobrol sama kamu."

"Iya. Aku tau."

"Boleh aku bilang sesuatu?" tanya Jen hati-hati sambil menggenggam tangan kiri adiknya.

Tangan Jun menggenggam balik. Erat.

"Aku tau, pasti berat banget buat kamu nerima semua ini. Nerima Bapak dengan segala kejadian waktu dulu, apalagi kamu ngeliat banyak hal yang bahkan aku sendiri mungkin nggak akan tahu kalo kamu nggak cerita. Pasti berat dan selama ini kamu sendirian di Bogor nyimpen itu semua. Tapi, Jun ...." Perempuan bersuara lembut itu menjeda kalimatnya dengan satu embusan napas. "Sekarang kamu nggak sendiri. Di sini, ada aku yang bisa bantu kamu. Kamu bebas cerita kapan pun kamu mau dan kita nggak terpisah jarak lagi. Nggak perlu ribet pakai telepon segala. Jadi kuharap, kamu nggak mendem semuanya sendiri lagi."

Jun menaikkan kakinya ke atas kasur dan duduk bersila. Kepalanya masih menunduk tanpa melepas genggaman hangat dari sang kakak.

"Dan ... kita bisa pelan-pelan menerima semuanya. Pelan-pelan nerima Bapak yang udah janji mau berubah. Tidak ada kata terlambat untuk memulai lagi dan memberi Bapak kesempatan kedua. Aku yakin, Ibu pun pasti akan seneng kalo liat kita akur lagi kayak dulu." Jen tersenyum dan menepuk tangan adiknya.

"Nggak bisa secepat itu, Mbak," lirih Jun.

"Nggak ada yang nyuruh kamu cepet-cepet, lho. Tadi kubilang apa? Pelan-pelan. Take your time, Jun," bisik Jen begitu lembut. "Semua orang punya waktunya masing-masing untuk akhirnya menerima masa lalu dan mulai melangkah untuk menjemput bahagia di masa depan."

Hening.

Jen membiarkan keheningan menenangkan hati adik satu-satunya ini. Tidak ada yang mudah bagi mereka setelah kepergian sang Ibu. Tidak ada yang mudah bagi mereka untuk kembali menghangatkan hubungan yang sempat mendingin bertahun-tahun lamanya. Namun, Jen yakin bahwa waktu akan menjawab usahanya untuk menghadirkan lagi kehangatan dalam keluarganya.

Ia tidak sendiri.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro