20 - Vision

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Pada akhirnya, keluarga yang sehat bisa mulai dibangun dengan komunikasi yang sehat. Cobalah sesekali jujur-jujuran sama keluarga tentang apa yang kita rasakan, bagaimana pandangan kita terhadap mereka, dan belajar saling memahami tanpa menghakimi. Dengan komunikasi, kita bisa mengklarifikasi dan meluruskan pandangan-pandangan yang mungkin keliru terhadap masing-masing anggota keluarga. Hal ini pun tidak bisa dilakukan jika hanya satu orang yang terlibat dan menginisiasi. Sendiri itu berat, bareng-bareng tentu lebih ringan. Iya, nggak?" tanya Jen di dalam ruang seminar peringatan Hari Saka Bakti Husada.

Beberapa ada yang menjawab, ada yang hanya mengangguk-angguk, ada yang terdiam serius menunggu kalimat selanjutnya dari pembicara di depan.

"Kita bertanggung jawab atas perasaan dan pikiran kita. Sebagai manusia, wajar jika sesekali muncul penilaian negatif pada orang lain, termasuk pada keluarga. Tapi, bukan berarti kita berhenti di situ saja, ya. Perbaiki pola komunikasi dalam keluarga, insyaa Allah, kita semua bisa membangun keluarga yang sehat dan terhindar dari toxic relationship. Jadi, yuk bareng-bareng, dimulai dari kita, untuk membangun keluarga sehat fisik dan mental!"

Ajakan itu menutup sesi seminar yang dihadiri dua ratus anggota pramuka Penegak dan Pendega, juga beberapa jajaran Kementerian Kesehatan. Tentunya, dihadiri pula oleh dua lelaki yang sangat Jen sayangi—Jun dan Gatot. Ke arah dua lelaki pula mata Jen menatap saat mengucapkan kalimat terakhirnya.

Semoga kita pun bisa menjaga komunikasi yang baik, ya. Dan semoga kalian berdua tidak lagi saling berasumsi masing-masing, tetapi bisa berterus terang satu sama lain, batinnya sambil tersenyum. Ia lantas mengedarkan pandangan pada hadirin dan mengalihkan komando pada moderator seminar untuk mulai membuka sesi tanya jawab.

Usai seminar, halaman Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta masih penuh dengan para anggota pramuka yang foto bersama dan beramah-tamah. Jen berpamitan dengan pengurus Dinkes dan mengucap terima kasih atas undangan yang diberikan. Saat akan menyusul adik dan ayahnya di tempat parkir mobil, ia terhenti.

"Selamat, ya, Jen! Dan makasih, lho, udah mau gantiin aku." Rasti yang tiba-tiba muncul di belakang panggung cukup mengentakkan Jen.

"Lho, kamu dateng tho, Mbak? Udah selesai agendanya?" tanya Jen sambil membuka ponsel dan mengetik pesan secara cepat untuk memberitahu Jun bahwa ia akan sedikit lama menyusul ke mobil.

"Iya. Tadi nyampe pas kamu udah closing. Tuh, sama Rayen juga."

Rayen datang dari arah belakang Jen sambil membawa dua es teh. "Hei, Jen!"

"Wah, calon manten. Bahagia banget, ya, keliatannya habis fitting baju," ledek Jen sambil tertawa.

Rasti dan Rayen pun ikut tertawa dan menceritakan beberapa perkembangan menjelang hari pernikahan mereka. Tak hanya itu, keduanya juga turut menanyakan kabar adik dan ayah Jen.

"Alhamdulillah, Jun udah mulai belajar untuk lebih inisiatif ke Bapak. Kalau Bapak udah semangat pantang menyerah kayaknya demi Jun. Apalagi setiap habis konsul sama Mas Rayen, Bapak pasti nyamperin aku. Udah kayak mau atur strategi perang aja, padahal diskusiin cara deketin Jun." Jen terkekeh. Ponselnya bergetar dan ia membaca sekilas pesan yang muncul di layar.

From: Jun

Bapak duluan mbak. Masih ada meeting lagi.

Ah, iya. Tadi Bapak bawa mobil sendiri langsung dari kantor, batin Jen.

"Alhamdulillah kalo gitu. Berarti saya nggak perlu nyiapin sesi konseling bertiga dong, ya?" Rayen mengingatkan Jen akan tawarannya beberapa waktu lalu terkait rencana sesi konseling keluarga.

Perempuan bermata cokelat itu bergumam dan melirikkan pupilnya ke atas hingga alisnya ikut terangkat. Jarinya menekan tombol pengunci ponsel. "Kayaknya nggak perlu, Mas. Makasih, lho, tawarannya. Udah, Mas Rayen sama Mbak Rasti fokus nyiapin nikahan aja. Insyaa Allah, kami akan berusaha mandiri dulu."

Rasti memeluk Jen, "Semangat ya, Jen sayang!"

Jen lantas berpamitan terlebih dulu karena adik dan ayahnya sudah menunggu di mobil. Dalam hatinya ia sangat bersyukur dikelilingi orang-orang hebat yang begitu peka dan peduli. Hal ini kembali menyadarkannya bahwa ia tidak pernah sendiri.

Kayaknya, habis ini makan es krim enak, batinnya sambil berjalan cepat ke arah tempat parkir mobil.

***

Suara piring dan mangkok yang beradu dengan meja makan sedikit bergema di dapur. Dua kakak beradik ini bekerja sama menata meja makan setelah sebelumnya memasak makan malam bersama.

"Mbak," panggil Jun yang sedang meletakkan mangkok kaca besar berisi nasi di atas meja. "Andaikan aku masih belum sepenuhnya nyaman dengan Bapak, menurut Mbak, aku perlu bilang juga nggak ke Bapak?"

"Keluarga yang sehat, dimulai dari komunikasi yang sehat," tanggap Jen mengulang materi seminarnya tadi siang. "So, menurutmu gimana?" Alih-alih menjawab pertanyaan sang adik, ia malah balik bertanya.

Jun mengangguk-angguk. Tugasnya sudah selesai dan kini ia bersandar di meja makan dengan kepala yang agak menunduk. Kedua tangannya terlipat di depan dada dan suara klakson mobil memecah lamunannya.

"Pas banget semuanya udah siap. Aku atau kamu yang mau nyambut Bapak?" tanya Jen sambil membuka apron cokelat yang dipakainya setiap memasak.

Jun menggeleng.

Sesuai dugaan, Jen hanya tersenyum pada adiknya dan bergegas turun untuk menyambut ayahnya. Obrolan mereka terdengar hingga ruang makan, termasuk pilihan sang ayah untuk mandi dulu sebelum makan malam.

Sekitar lima belas menit kemudian, keluarga Narendra sudah siap di depan meja makan untuk menyantap hidangan. Namun, entah apa yang membuat suasana begitu canggung, tidak ada satu pun tangan yang bergerak untuk mengambil nasi beserta lauk-pauk. Tangan Jun yang mulai bergerak dari bawah meja ditahan oleh kakaknya lengkap dengan gelengan pelan.

"Tunggu Bapak," bisik Jen.

Gatot berdeham dan membuat dua pasang mata di depannya terfokus. Ia tersenyum, "Tadi selama perjalanan, Bapak mikirin sesuatu dan ingin menyampaikannya pada kalian."

Kedua anaknya hanya terdiam, menyimak.

"Bapak mau bilang ... terima kasih, ya, Nak. Kalian masih mau menerima Bapak. Bapak minta maaf atas semua kesalahan Bapak dan sekarang akan sangat terbuka dengan segala keluh kesah kalian. Jadi ...." Gatot menjeda kalimatnya untuk menatap mata anak-anaknya secara bergiliran, "Jadi, jangan sungkan kalau mau cerita atau mau ngingetin Bapak, ya."

"Habis ketemu Mas Rayen, ya, Pak?" selidik Jen dengan senyum nakal.

Gatot tertawa, "Tau aja kamu, Jen."

"Tau dong! Nah, Jun, ada yang mau kamu sampein ke Bapak?"

Kalimat kakaknya itu membuat Jun terkesiap. Ia menatap sang kakak dengan mata melotot dan bibir terkulum. Pandangannya beralih ke ayahnya yang menanti kata-kata keluar dari lisannya.

Jen hanya tersenyum dan menaikkan bahu.

Setelah menegakkan posisi duduknya, Jun menarik napas dalam, "Pak, maaf kalau Jun belum bisa sepenuhnya nyaman dan dekat dengan Bapak seperti dulu. Tapi, Jun akan berusaha dan kita sama-sama berusaha ya, Pak," ucapnya dalam satu tarikan napas.

Gatot tertawa kecil.

Berbeda dengan Jen yang tergelak sampai menepuk-nepuk pundak adiknya itu, "Ya ampun. Kamu kayak orang akad nikah aja ngomongnya satu tarikan napas gitu."

"Ih, apaan sih, Mbak!" Jun yang geli sendiri dengan kalimatnya langsung mengambil nasi tanpa memedulikan tata krama. Ia butuh pengalihan agar bisa sembunyi dari rasa malunya.

Jen tidak lagi melarang. Ia hanya melirik ke sang ayah dan memberi acungan jempol kanannya yang dibalas senyum hangat dari sang ayah hingga kerut di sekitar mata Gatot terlihat jelas. Dalam hati mereka saling berbisik tanpa diketahui satu sama lain.

Ya, pelan-pelan dan semua akan baik-baik saja, batin Jen sambil meletakkan sepotong ayam goreng di piring Jun.

Semoga aku bisa nerima Bapak lagi sepenuhnya. Jun sesekali mencuri pandang ke ayahnya sambil mengumpulkan keberanian untuk memulai percakapan lagi.

Kuharap keluarga kecil kita selalu bahagia. Meski ragamu tidak ada, aku yakin kamu selalu ada di hati kami, Ningsih. Netra Gatot menangkap bayangan istrinya yang duduk di kursi makan samping kiri. Meski hanya berupa memori, ia sangat berharap istrinya hadir di sini. Merasakan kehangatan ruang makan yang mulai terisi tawa dan obrolan. Menyaksikan keluarga Narendra yang mulai bersama kembali untuk menerima dan mengikhlaskan masa lalu.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro