5 - Cross Over

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Minggu pagi yang cerah membangkitkan semangat Jen untuk kembali mengerahkan tenaganya merapikan rumah. Memang, rumah bertingkat dua yang telah ia tempati sejak lahir menjadi terasa sangat luas ketika saat ini ia hanya tinggal bersama ayahnya. Jun—adiknya—memilih untuk melanjutkan jenjang SMA di Bogor dan hidup sendiri. Belajar hidup mandiri adalah alasan yang saat itu Jun sampaikan demi mendapat persetujuan ayahnya. Walaupun sebenarnya Jen mengetahui bahwa itu bukanlah alasan Jun yang sebenarnya, ia diam saja dan membiarkan Jun dengan keputusannya. Jen juga enggan untuk memperkerjakan asisten rumah tangga karena ia merasa hal itu bukanlah prioritas utama karena ia masih bisa melakukannya—meski tertatih.

Baru saja Jen ingin mengambil sapu dan peralatan bersih-bersih lainnya, perutnya berbunyi. Tampaknya, ia perlu menunda aktivitasnya untuk mengurus rumah dan pergi ke dapur terlebih dulu—memasak sarapan untuknya dan sang ayah, Gatot Narendra.

Mengingat ini hari Minggu dan biasanya ayahnya akan tetap berdiam diri di rumah untuk istirahat, Jen terpikir untuk memasak makanan kesukaan Gatot. Nasi goreng ayam dengan kacang polong. Dulu, ibunya selalu memasak makanan itu di hari ulang tahun pernikahan atau hari ulang tahun ayahnya. Tersungging senyum kecil dari bibir Jen, namun matanya turut berkaca-kaca saat itu mengarahkan tubuhnya berjalan menaiki tangga menuju dapur.

"Yah, harus belanja dulu kalo begini," lirih Jen saat ia menemukan bahwa di kulkas hanya tersisa tempe dan beberapa butir telur.

Jen menutup pintu kulkas dan bergegas menuju kamarnya, yang ada di seberang dapur, untuk berganti pakaian. Saat ia turun dan sampai pada anak tangga terakhir, terlihat sang ayah, yang sudah berpakaian rapi dan membawa tas jinjing, menutup pintu kamarnya.

"Bapak mau ke kantor?" tanya Jen.

"Iya."

"Hari Minggu ada kerjaan apa lagi?"

"Ada. Pabrik lagi kejar target produksi. Bapak harus kontrol semuanya dari kantor," jawab Gatot dengan terburu-buru. "Bapak pergi ya. Hati-hati jaga rumah."

Belum sempat Jen menimpali, ia sudah ditinggal pergi.

"Hah... Lagi-lagi, target produksi. Yaudahlah, aku makan telur aja, biar cepet beberes," gumam Jen pada dirinya sendiri sembari menarik napas panjang setelahnya. Ia pun kembali naik menuju dapur dan mengambil telur yang ada di kulkas. Telur ceplok adalah solusi tercepat saat ini untuk mengisi perutnya yang sudah bernyanyi sedari tadi.

*****

Tiga puluh menit kemudian, Jen sudah siap dengan peralatan bersih-bersih andalannya—sapu, lap yang direndam dalam air sabun di baskom kecil, dan kemoceng. Tidak banyak sebenarnya yang perlu ia bersihkan. Meski rumah bertingkat, di dalamnya tidak banyak barang-barang terpajang.

Di lantai satu dekat pintu masuk ada satu sofa panjang dan dua sofa lain mengelilingi sebuah meja persegi yang biasa digunakan untuk menyambut dan menyuguhi tamu yang datang dengan suguhan yang ada. Di pojok ruangan, terdapat rak buku bertingkat 4 yang bersandar ke dinding dekat tangga. Hanya ada satu kamar utama—yang digunakan oleh orang tuanya—dan satu kamar mandi di sana.

Lantai dua adalah daerah kekuasaan Jen karena di sanalah kamarnya—yang bersebelahan dengan kamar Jun—berada. Tangga menjadi pembatas antara kamar dan ruang makan, serta dapur yang tadi dipakainya untuk memasak. Lantai dua pun tidak banyak yang perlu dibersihkan. Mungkin memang sedikit melelahkan jika harus menyapu setiap bagian dari rumah bertingkat yang minimalis itu.

Tak banyak membuang waktu, Jen memulai dari ruang tamu. Tentu saja, karena ruang itulah yang akan menjadi impresi pertama bagi setiap manusia yang datang ke rumahnya. Lap basah dan kemoceng mulai bermain di atas meja kayu dan rak buku yang ada di ruangan itu. Selesai membersihkan benda-benda di sana, barulah Jen menyapu ruangan sembari menyalakan koleksi musik instrumental piano yang ada di ponselnya. Ia merasa ditemani dan tidak terlampau sepi di rumah sebesar itu sendiri jika musik instrumental favoritnya mengiringi aktivitas yang dilakukan.

Selesai dengan ruang tamu, ia berpindah ke kamar orang tuanya—yang kini hanya ditempati oleh sang ayah, Gatot. Agaknya, langkah Jen terasa berat sesaat setelah membuka pintu kamar itu. Tepat di depan pintu ada meja kerja milik Gatot yang memiliki banyak foto-foto terpajang. Ia meletakkan peralatan bersih-bersihnya di samping pintu dan berjalan menuju meja kerja itu.

Foto-foto berbingkai itu kembali membuat matanya buram karena kelenjar air matanya mulai penuh dan membludak. Ia mengambil salah satu foto yang terpajang indah dengan lapisan kaca dan bingkai kayu berwarna hitam dan terduduk di depan meja. Tampak dirinya, Jun, ibu, dan ayahnya yang saling berangkulan tersenyum bahagia di sebuah studio foto dalam bingkai kaca itu. Ia ingat, foto yang dipegangnya diambil setelah acara perpisahan Jun yang lulus tingkat sekolah dasar dan dirinya masih berkuliah semester 3. Hal yang tak disangka, foto itu menjadi foto terakhir mereka berempat, tersenyum dan tertawa dengan lebar seolah tiada hal yang dapat merenggut kebahagiaan itu. Takdir memang tidak bisa ditebak.

Air mata mulai membasahi pipi tanpa Jen menyadarinya. Ingatannya kembali ke saat ini di mana ia harus melanjutkan kegiatan bersih-bersih rumah. Jen mengusap air matanya dan meletakkan kembali foto itu di meja.

"Ah, berantakan sekali..." ujarnya yang baru menyadari bahwa meja kerja sang ayah penuh dengan beberapa dokumen dan map yang berserakan.

Tangannya ingin sekali segera merapikan meja yang kini tak tampak seperti meja kerja karena sangat berantakan. Hanya foto-foto mereka yang terpajang rapi di sudut-sudut meja. Namun Jen tahu, jika ia tetap merapikan meja yang berantakan itu, ia mungkin akan membuat ayahnya kesulitan mencari dokumen. Siapa tahu memang ayahnya sengaja meninggalkan meja kerjanya seperti ini—terlihat berantakan, namun sebenarnya memiliki aturan dan urutan yang hanya diketahui oleh ayahnya.

Jen pun beranjak dari kursi dan memilih untuk menyapu ruangan, serta mengelap jendela kamar saja. Akan tetapi, langkahnya terhenti ketika ia melihat sebuah botol tergeletak di tempat sampah, yang sudah penuh dengan sampah kertas. Terlihat menonjol karena botol itu membumbung ke atas dengan label putih bergaris-garis merah yang mencolok di antara seluruh sampah kertas berwarna putih.

Jen berjongkok di depan tempat sampah dan mengambil botol itu dengan tangan kanan, lalu membaca tulisan yang tertulis di label. Alisnya terangkat, matanya menatap ke atas lalu terpejam, seolah sedang mengingat sesuatu. Tak lama, matanya terbuka dan ia memindahkan botol itu ke tangan kirinya karena harus mengambil ponsel yang tadi sempat ia letakkan di meja kerja saat bernostalgia dengan foto-foto terpajang.

Jemarinya mengetik sesuatu dan ia pun terdiam menunggu sebuah hasil pencarian muncul di layar ponsel pintarnya.

Jempolnya naik turun di atas layar ponsel. Sesekali berhenti saat Jen menemukan sesuatu dan ia membacanya beberapa kali. Bola matanya membesar seolah tak percaya dengan apa yang dibacanya.

"Antidepresan?"

*****

Jen tidak bisa menghubungi ayahnya sepanjang hari. Berbagai asumsi berputar di benaknya. Beberapa kali ia membuka buku-buku kuliahnya dan menjelajahi internet dengan hati yang tidak tenang. Agenda bersih-bersih di hari Minggu berakhir begitu saja dan kini Jen tertidur di ruang tamu dengan laptop yang masih terbuka di atas meja—namun layarnya sudah gelap karena terlalu lama dibiarkan menyala.

Pukul 23.00 WIB.

Ceklek!

Terdengar suara pintu terbuka. Ayahnya pulang, namun Jen tak terusik sedikit pun.

"Jen, bangun, Nak," suara rendah Gatot yang terdengar lembut di telinga ditambah tepukan pelan di pundak, berhasil membuat Jen menggerakkan kepala dan membuka mata perlahan.

"Hm? Eh, Bapak," Jen segera duduk ketika menyadari ayahnya sudah pulang.

"Kok kamu tidur di sini?"

"Jen nungguin Bapak, habisnya Bapak nggak bisa ditelepon seharian."

"Maaf ya, tadi Bapak ada rapat dan banyak hal yang harus diurus di kantor, jadi nggak bisa telepon balik."

"Iya, nggak apa, Pak. Bapak mau minum apa? Biar Jen buatin."

"Air putih aja, Nak."

Jen mengangguk dan segera mengambil segelas air putih di dapur, lalu kembali ke ruang tamu dan menyerahkan minuman itu ke ayahnya.

"Pak, sebenernya, Jen mau tanya sesuatu makanya tadi nelpon Bapak terus," ucap Jen perlahan sambil menunggu ayahnya selesai minum.

"Tanya apa, Nak?"

Jen beranjak ke dalam kamar ayahnya dan mengambil sesuatu. "Ini. Bapak minum ini?" tanyanya setelah kembali dari kamar, mengambil botol yang ia temukan siang tadi di tempat sampah yang ada di kamar ayahnya.

"Eh, kok kamu bisa dapet itu? Dari mana?" mata Gatot membelalak dan ucapannya mulai terbata.

"Di tempat sampah samping meja kerja Bapak waktu bersih-bersih tadi."

"Itu..."

"Bapak kenapa?" tanya Jen dengan suara tertahan, menahan lonjakan hatinya yang tak karuan karena rasa khawatir, takut, dan sedikit rasa bersalah bercampur menjadi satu.

Gatot mengembuskan napas panjang, "Iya, Bapak minum itu, sesuai resep dokter. Jen nggak usah khawatir," ujar Gatot yang tak mau menatap Jen dan hanya memandangi gelas di atas meja.

"Bapak... kenapa? Sejak kapan?"

Kini Gatot memutar tubuhnya menghadap Jen. Kedua tangannya meraih bahu Jen dan memegangnya erat, "Bapak nggak apa-apa. Cuma susah tidur karena banyak pikiran," Gatot tersenyum.

"Tapi..."

"Sudah malam, Nak. Bapak mau istirahat. Kamu juga tidur gih," ujar Gatot sambil beranjak masuk ke kamarnya.

Jen masih terdiam di tempat. Tidak ada kata yang tepat untuk mendeskripsikan perasaannya saat ini.

"Ya Allah, Bapak kenapa..."

Hanya ucapan lirih itu yang bisa diucapkannya sambil menutup wajah dengan kedua tangan. Tak lama ia pun berdiri dan naik menuju kamarnya.

*****

Pukul 02.00 WIB.

Matanya masih tidak mau terpejam. Pikiran Jen melayang ke mana-mana. Sesekali pikiran-pikiran yang menyalahkan dirinya sendiri ikut hadir menemaninya dalam malam.

Ia tidak tahan.

Tangannya meraih ponsel yang ia letakkan di meja lampu samping tempat tidurnya. Jemarinya menekan angka panggilan cepat dan nada sambung pun terdengar.

"Hm... Halo..." terdengar suara parau yang berat diujung telepon.

"Dek..." suara Jen lirih dan tertahan di kerongkongan.

"Eh, assalamu'alaykum, Mbak Jen. Jam segini kenapa deh nelpon?"

Hening.

"Halo, Mbak?" suara Jun di seberang sana tidak berbalas selama beberapa detik. "Mbak, ada apa?" suara itu melembut.

Lembut dan melelehkan air mata Jen, "Dek... Mbak harus gimana?"

Tak terbendung lagi air mata yang ia tahan sejak siang. Tak ada kata yang bisa ia keluarkan dan hanya tangisan pelan tengah malam yang tersampaikan melalui panggilan jarak jauh itu.

"Mbak Jen..."

"Jun, Mbak harus gimana, Jun..."

Hanya itu yang bisa keluar di tengah isak tangis Jen. Bayangan akan ibunya yang terkulai lemas di akhir hidupnya, bayangan akan ayahnya, dan adiknya yang sangat ia sayangi, bergantian melintas di benaknya. Dadanya begitu sesak. Rasa bersalah semakin mendominasi dalam hatinya dan kian memuncak. Tangisnya pun semakin kencang dengan air mata yang tak berhenti jatuh membasahi wajahnya.

Di seberang sana, Jun pun tidak lagi menanggapi. Ia hanya mendengarkan dan menemani kakak satu-satunya itu menangis. Entah apa yang terjadi, Jun tidak tahu. Tapi ia perlu tahu. Malam itu ia hanya bisa bertanya-tanya. Kiranya apa yang membuat kakaknya menangis dengan suara yang begitu mengiris?

*****

#30DaysWritingChallenge #30DWCJilid22 #Day 12

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro