Recurred

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Napasku tercekat, memburu dengan berat. Netraku yang terpejam membuka perlahan, tertuju pada lengan kananku yang dipegang erat oleh tangan dingin pemuda itu, langkah kami berlari lebar dan cepat. Mulut dan hidungku meraup oksigen dengan rakus, mengambil kesempatan setiap helaan napas.

Keringat terus bercucuran di saat kakiku mulai melemas. Aku menengok ke belakang, dapat mendengar bagaimana suara auman yang melolong mengisi setiap sudut lorong. Aku ditariknya ke sebuah ruang dan ia membawa tubuhku merunduk ke kolong meja. Napasku menarik dan mengembuskan napas berat, aku berjongkok memeluk lutut. 

Ia membekap mulutku dengan telapak tangannya yang terasa dingin, meminimalisir suara dari napasku. Kepalanya sedikit melongok melihat situasi dan tidak lama ia kembali meposisikan diri di sisiku berjongkok melepas tangannya.

"Aman," ucapnya.

Aku menghembuskan napas lega, dadaku yang terasa sesak mulai kembali memulih. Susah payah aku menelan saliva, tenggorokku kering tiada tara. Tubuhku turun untuk duduk bersila dan pemuda itu melakukan hal yang sama. 

"Aku haus," ucapku sambil berbisik-bisik nyaris tanpa suara. "Boleh aku minum?" 

Ia mengangguk, lalu aku menarik tas yang kugemblong ke depan dan menyimpannya di paha. Mataku membelalak, melihat resleting tas terbuka lebar dengan isi tas kosong. Dugaanku tas tersangkut dengan sesuatu, membuatnya terbuka dan isinya terpencar keluar ketika aku berlari. 

"Kenapa?" 

Aku menarik napas menahan rasa sebal. "Sepertinya kamera dan semua barangku berjatuhan ketika berlari tadi," jawabku sambil menunjukkan isi tas yang kosong dengan wajah merenggut. 

"Aku akan mencarinya," celetuk pemuda itu setelah beberapa detik menatap isi tasku. "Kau tunggulah, tetap bersembunyi," lanjutnya lagi lalu sedikit bangkit untuk berjongkok.

Netraku tidak lepas dari gerak-geriknya dan memegang lengannya erat. "Kalau kau tidak kembali--"

"Aku akan kembali," potongnya, meski tatapan itu kosong dan lurus dia terlihat yakin. Haechan bergerak dan bangkit dari jongkoknya, kepalaku ikut mendangak untuk melihat wajahnya. "Apapun yang terjadi, jangan keluar, diam di sini."

Aku mengangguk patuh dan dia mulai melangkah pergi, kepalaku melongok dari bibir meja. "Haechan," panggilku dan pemuda itu berhenti di ambang pintu. "Kalau kau tidak menemukannya, langsung kembali saja ya."

Tanpa mengatakan apapun, bahkan menengok sekalipun pemuda itu melanjutkan lagi langkahnya. Bibirku mengerucut, lalu kembali duduk bersila di bawah meja memeluk tas.

Kalau saja aku tidak terlalu dibutakan dengan konten dan membahayakan diri sendiri, mungkin aku tidak akan terjebak di sini. Semuanya dimulai, kala aku mengirim postingan yang bermaksud meminta tantangan dari pengikutku di Instagram. Rencananya aku akan membuat konten untuk tantangan paling ekstrem dari mereka dan diupload ke kanal YouTube. Tantangan yang kupilih adalah melakukan jurik malam di gedung paling angker di kotaku. Sebuah bangunan tua, yang katanya bekas rumah sakit jiwa di tengah hutan belantara. 

Belum ada content creator yang berhasil masuk ke dalam sini, di antaranya hanya mampu sampai lobi dan memilih kembali. Beberapa creator ada yang menyanggupi untuk menelusuri gedung ini, tapi katanya mereka tidak pernah kembali. Aku pikir, semua itu hanya omong kosong belaka. Sifatku yang congkak, membawa diriku sendiri ke dalam sebuah petaka.

Sekarang, aku sudah di sini dan aku hanya ingin pulang. Bangunan ini menyeramkan, bukan hanya setan tapi juga monster yang siap memakanmu, hidup di sini juga.

Krek!

Pundakku berjingkat naik, refleks aku menahan napas begitu terdengar suara engsel pintu yang sudah karatan. Aku menutup mata rapat, suara langkah sepatu yang berat mendekat. Erat-erat aku memeluk lutut. 

Ketukan sepatu itu tak terdengar lagi. Aku tidak berani membuka mata, akan tetapi aku harus memastikannya. Kelopak mataku terangkat, melihat pada lantai yang terdapat sepasang sepatu hitam menghadap ke arahku. Menelan saliva dengan keringat dingin mengucur di punggung. Perlahan kepalaku mendangak, untuk menemukan sosok pria tinggi dengan kemeja dan ... wajahnya yang rata.

Aku bergerak mundur, kala sosok itu memunculkan banyak tangan menyerupai tentakel dari balik tubuhnya. Aliran napasku tercekat, aku ingin berteriak tetapi mulutku tergagu. Kepala itu lantas mendekat, ia tidak membungkukkan badannya melainkan memanjangkan lehernya. 

Wajahku beralih ke samping, memejamkan mata dengan erat dan mulut ini mulai terbuka ingin berteriak. Akan tetapi, gauman yang menggema hingga memenuhi gendang telinga membuatku kembali merapatkan bibir. Mataku terbuka, makhluk itu sudah tersungkur ke tembok di belakangnya. 

Suara kaki yang berlari menghampiri, aku mengalihkan pandangan ke samping. Haechan sudah ada di sini, wajah pucatnya tercetak khawatir. Tanpa bicara ia menarikku keluar dari ruangan ini. 

"Haechan." Aku menyeimbangkan napas. "Suara gauman siapa tadi?" tanyaku penasaran, setelah bangkit dari meja aku tidak melihat monster lainnya--tunggu. Apa anak ini adalah monster itu? Bagaimana bisa? Aku tidak menemukan sesuatu yang aneh darinya selain kulit pucat dan dingin. 

Kami berlari menaiki anak tangga, meski lututku sudah lemas untuk digerakkan aku menahan sebisa mungkin hingga kami sampai di sebuah pintu di ujung anak tangga. "Tunggu," mulutku menarik oksigen banyak, menunduk memegang lutut nyeri. Haechan dengan paksa kembali menarikku memasuki pintu yang menghubungkan langsung dengan atap bangunan. 

"Ayo loncat!" serunya ketika kami sudah berada di sisi pembatas bangunan.

Mataku melebar mendengar perintahnya. Dia sudah gila? Ini lantai lima! Bagaimana bisa ia memerintahku untuk mengakhiri hidup? Aku bahkan belum bertemu dengan Doyoung NCT! 

"Tidak mau!" tolakku dengan lantang.

"Katanya kau ingin pulang!" Pemuda itu mengeratkan rahangnya, cekalannya di lenganku mengerat. 

"Aku ingin pulang ke rumah! Bukan ke sisi Tuhan!"

Haechan memejamkan matanya, helaan napasnya melemah. Ia lalu membuka mata kembali dan menatapku. "Percayalah padaku, loncat dan kau akan pulang." Ada sirat yang meyakinkan di balik mata gelap kosongnya. Aku terdiam cukup lama.

"Haechan!"

Dari pintu kami datang, pria tinggi itu muncul. Ia bisa bicara namun, mulutnya tidak ada. 

"Maafkan aku, Rei Lee."

Detik berikutnya, dari pembatas atap yang hanya setinggi lutut itu. Tubuhku terasa melayang, bayangan Haechan yang perlahan tubuhnya berubah menjadi sosok besar berbulu dengan mata memerah menjadi bayangan terakhir sebelum tubuhku sampai di tanah. 

"Rei Lee!"

Aku membuka mata ketika namaku dipanggil. Tembok putih menjadi objek pertama yang kulihat. Tubuhku terasa lengket karena keringat. Kepalaku menengok ke sebelah kiri mendapati seorang wanita menatapku terlihat khawatir.

"Mimpi lagi?" tanya Mama, tangannya terulur mengusap rambutku. 

Tidak merespon, aku menatap kosong ke arah lain mengingat bagaimana mimpi itu terasa begitu nyata. Setelah aku ditemukan pingsan di belakang gedung terbengkalai dengan banyak luka, ketika sadar sudah berada di ruang dengan bau obat menyengat. 

Sekarang aku tau, mereka yang pergi ke dalam sana untuk membuktikan. Bukan tidak kembali karena menghilang, tetapi karena selalu dihantui mimpi yang terulang di setiap tidurnya hingga menjadi gila. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro