13 - What's Not To Like?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

[Author's Note]

Hai, terima kasih sudah membaca Redefining Alana :) Berhubung aku mau mudik, aku nggak bisa update cerita ini pada Rabu, 18 Januari 2023.

Sebagai gantinya, aku akan upload cerita ini pada tanggal 8 Januari (hari ini) dan Rabu 11 Januari.

Thank you dan selamat membacaa~

-----------------------------

 Hidup normal ternyata rasanya tidak buruk-buruk amat.

Hari-hari berikutnya, Alana menjalani hidupnya dengan pola baru. Pagi sampai sore bekerja, selepas maghrib ia berlatih Muay Thai bersama Anita. Pada hari-hari ia tidak berlatih Muay Thai, akhirnya ia mencoba treadmill sebagai mainan barunya, dan tidak menduga bisa menikmati ritual lari di tempat selama setengah jam. Hari Sabtunya ia gunakan untuk bermain dengan Anita dan teman-teman barunya yang ia temui di Star Gym, kadang ada Satria juga di sana. Hari Minggunya ia habiskan dengan membaca buku atau memperbaharui portofolio desainnya. Tanpa terasa, sudah dua bulan ia menjalani hidup seperti itu, dan ia merasa baik-baik saja.

Ia tidak merasakan urgensi untuk melarikan diri dari perasaannya lagi. Sepertinya sisa-sisa amarahnya kepada Radhika sudah habis ia lampiaskan ke samsak. Benar kata Satria, olahraga adalah resep bahagia yang ampuh dan murah meriah. Bonusnya, ia merasa lebih bersemangat menjalani hari-harinya. Tidak seperti dulu, setiap hari rasanya seperti ada awan mendung yang menggelayuti kepalanya.

Suasana kantin siang hari itu ramai seperti biasanya. Alana celingukan mencari kedua temannya yang sudah sampai lebih dulu, dan menemukan Pandu dan rambut jabriknya yang mencolok sedang melambaikan tangan dari meja di bawah pohon. Spot favorit yang jarang-jarang mereka dapatkan. Sepertinya mereka agak niat dengan datang ke kantin lebih awal. Hari itu Pandu terlihat ceria.

Alana berjalan ke arah mereka sambil melambaikan tangan. Terpaan angin membuatnya merapatkan jaket yang ia kenakan. Semalam, ia kehujanan saat pulang ke kos-kosannya. Mungkin mau flu, pikirnya. Sepertinya nanti ia akan memesan makanan yang hangat dan berkuah.

"Sini, Al. Mau makan apa? Biar Sultan Pandu yang beliin," Pandu duduk santai sambil mengipas wajahnya dengan beberapa lembar seratus ribuan.

Alana tertawa lepas, lalu menoleh ke arah Mas Ben yang terlihat malu dengan orang di sampingnya itu. "Mas Ben, kenapa ini anak? Kok jadi aneh gini?"

"Lagi seneng, dia," jawab Ben sambil ikut nyengir. Alana mengangkat alisnya, penasaran.

"Tanya gue dong, Al," pancing Pandu.

"Iya, iya. Kenapa lo seneng banget?"

Pandu mengeluarkan ponsel dan memperlihatkan sesuatu di galerinya. Dahi Alana berkerut. Foto monokrom dengan gambar segitiga samar-samar dengan lingkaran hitam putih di dalamnya. "Apaan nih?"

"Gue bilang juga apa, Alana mana ngerti," kata Ben sambil menahan tawa.

Pandu menepuk jidatnya. "Ini namanya teknologi USG, Dek Alana.... Nih, yang segitiga itu rahim. Yang bulet-bulet ini calon bayi," Pandu tersenyum semringah. "Istri gue hamiiiillll! Akhirnya gue bebas dari nyinyiran emak bapak om tante semuanya yang ribet banget nanya kapan gue punya anak. Sial banget gue sampe dituduh mandul. Yang kawin siapa, yang ribet siapa."

"Yang bener? Selamat!" Alana ikut tersenyum semringah. "Kenapa nggak kasih liat foto test pack dua garis aja sih? Ribet deh lo."

"Bodo amat," Pandu masih senyum-senyum semringah. "Buruan, pesen apaan?"

"Jangan nyesel ya nraktir gue," gumam Alana sambil memindai cepat daftar menu di meja. "Takoyaki, sop buntut, tahu, sama minumnya teh manis hangat."

"Tumben amat lo makan banyak?" Pandu mengerenyit heran. "Teh hangat? Tumben?"

"Gue agak meriang nih, takut jadi flu. Katanya kalau mau sakit makan harus banyak, kan?"

Pandu hanya manggut-manggut lalu pergi membelikan pesanan Alana.

"Al, cobain, nih," Ben kemudian menyodorkan kotak makan yang sudah setengah terbuka. Bau manis cokelat menguar dari dalamnya.

"Ini apa? Muffin?" Alana mencomot sepotong muffin cokelat dan melahapnya, merasakan sensasi adonan yang lembut dan cokelat cair yang pecah di dalam mulutnya. "Enak!"

"Anak gue lho yang bikin," ucap Ben bangga.

"Wow," Alana mengambil sepotong lagi tanpa sungkan. "Gimana anak Mas Ben? Masih suka berantem di sekolah? Kayaknya gue liat di story IG Mas Ben kalau malam main terus sama anak."

"Jauh lebih baik," Ben terkekeh. Dulu ia memang suka bercerita kepada Alana dan Pandu kalau anaknya sering bermasalah di sekolah. "Gue dapat laporan dari gurunya kalau sekarang dia jadi jauh lebih kooperatif. Gila ya, anak tuh bener-bener bisa se-random itu kalau caper."

Alana manggut-manggut sambil mengunyah muffin cokelatnya, ikut senang dengan kabar baik dari Ben. Hebat juga si Satria, dalam dua bulan bisa bikin hidup orang berubah total seperti ini.

Tapi hidupnya sendiri, bagaimana?

Pandu datang membawa nampan berisi pesanan Alana. Tanpa basa basi, Alana langsung menyerang piring berisi takoyaki dan memasukkan bola-bola berisi gurita itu ke dalam mulutnya. Pandu menatapnya heran.

"Perasaan yang hamil istri gue, kenapa yang makannya banyak lo ya?"

Alana mengangkat bahu, mulutnya penuh, fokus mengunyah takoyaki. "Laper."

"Eh tapi, ya, Alana kelihatannya segeran, lho. Lebih berisi. Ya nggak sih?" komentar Ben.

"Ha? Maksud lo, gue gemukan?" tanya Alana sambil mengerutkan dahi.

Ben menggaruk dagunya, baru sadar kalau urusan bentuk tubuh itu sensitif untuk perempuan. "Eh, dalam konteks positif, ya. Maksud gue, gue selalu ngerasa dulu itu lo agak terlalu kurus, kayak lidi. Nah, sekarang pas, banget. Kelihatan lebih sehat."

Alana menggaruk pipinya. Dipikir-pikir, perkataan Ben ada benarnya. Sejak rajin berolahraga, selera makannya jadi lebih besar dan tidurnya jadi lebih mudah. Mungkin ini efek positifnya. "Mungkin, ya. Gue emang lagi lumayan rajin olahraga, sih."

"Pantesan. Serius deh, gue kemaren-kemaren sempet nguping anak timnya Riza ngomentarin lo gitu kok Al. Katanya kayaknya lo tambah cakep deh."

Tawa Alana pecah. "Coba lo garis bawahi kata KAYAKNYA. Salah lihat, kali."

Pandu memicingkan matanya, mengamati Alana. "Tuh, bener deh. Lo berubah."

"Ya, kan kata lo gue gendutan."

Pandu mengibaskan tangannya tak sabaran. "Bukan. Lo tuh sekarang sering ketawa. Nggak pelit senyum. Biasanya kan default muka lo resting bitch face."

"Ngomong juga nggak irit-irit banget," timpal Ben sepakat. "Sekarang kayaknya lebih cerewet, suka ngobrol."

"Masa?" Alana heran. Ia tidak merasa ada yang berubah dari sifatnya, kecuali memang suasana hatinya yang selalu gembira beberapa minggu belakangan ini.

"Iya, apalagi sama si Bos," sambar Pandu sambil mengangkat-angkat alisnya jahil. "Kayaknya dulu lo benci banget sama dia, sampai ngomong aja dipirit-pirit. Kok gue perhatiin akhir-akhir ini lo berdua santuy aja kalau ngobrol, kayak ikrib bingit gitu. Emang udah nggak dendam lagi, Al?"

Alana mengerjapkan matanya. Seringnya Alana menghabiskan waktu bersama Satria di luar kantor tentu saja membuat mereka semakin akrab. Lalu Alana teringat yang Pandu maksud adalah kasus pencurian mi instannya. "Oh. Soal itu sih dia akhirnya udah minta maaf, kok."

Tapi tidak ada yang perlu tahu detailnya yang super memalukan. Alana buru-buru menengak minumannya.

"Lo lagi deket sama Bos ya?" tanya Ben, to the point.

Alana mengerutkan dahinya. "Ya deket, lah. Orang ngerjain proyek bareng."

"Lo tau kan maksud gue bukan itu." Ben melipat tangannya di depan dadanya, matanya menatap Alana serius.

Alana menggaruk pelipisnya, berpikir. Apa dia dan Satria dekat lebih dari sekedar teman? Mereka hanya bertemu di kantor dan sesekali di gym. Tapi memang mereka rutin makan bersama setelah meeting atau setelah gym, dan makan setelah gym pun juga seringkali berempat dengan Bang Andre dan Anita. Satria jarang mengirimkan pesan di luar jam kerja, itu memang karena mereka juga sering bertemu di luar jam kerja. Walaupun tidak mengobrol di jalur komunikasi pribadi, setiap mereka makan bersama, pasti makan waktu berjam-jam untuk membicarakan hal-hal yang mereka suka di luar pekerjaan.

Berdasarkan pengalaman cinta Alana yang sangat minim akibat tujuh tahun stuck dengan oknum yang sama, Alana tidak merasa Satria memberikan tanda-tanda khusus. Semua masih serba abu-abu. Bagi Alana, lebih aman menganggapnya hubungan pertemanan yang baik di luar kantor saja.

"Kayaknya nggak gitu, deh?" jawab Alana ragu.

"Masa sih? Gue yakin banget dia tuh naksir lo," kata Pandu penuh percaya diri.

"Sotoy banget. Gue aja nggak ngerasa, kok lo ngerasa?"

"Dih, gue bocorin juga, nih."

"Bocorin apa?" tanya Alana penasaran.

"Lo inget nggak waktu lo dateng telat ke kantor gara-gara sakit?"

Sehari setelah kejadian memalukan itu. Tentu saja Alana ingat. "Iya. Terus?"

"Siangnya gue sama dia jalan ke bawah, ke apotek. Gue beli obat tetes mata soalnya mata gue gatel banget. Kebetulan dia bayar di depan gue, gue lihat dia beli cokelat sama parasetamol. Gue nggak nyangka, dong, dia penggemar cokelat. Dia cuma bilang 'buat cadangan aja'," cerita Pandu berapi-api. "Eh, taunya cokelatnya sampe di lo. Itu kode keras, Al!"

Alana melongo, tidak tahu harus berkata apa. Pantas saja Pandu saat itu menolak tawaran cokelatnya. Tapi apa itu memang benar kode keras dari Satria? Satria kan baru mengenalnya beberapa hari saat itu. Lagipula alasannya jelas: hadiah perdamaian.

"Biasa aja, bukan? Kayak lo nggak pernah beliin gue Chitato aja."

"Beda, Al." Pandu ngotot.

"Apanya yang beda?"

"Ya pokoknya beda."

Alana memutar bola matanya, capek dengan debat kusir Pandu. "Terserah lo ajalah. Mungkin emang orangnya baik aja ke semua orang."

"Tapi bener sih, dia ternyata baik banget ya. Gue ngerasa berutang budi banget sih, sama si Bos," ucap Ben. "Gue bener-bener nggak nyangka kehidupan kantor gue yang parah itu bisa jadi normal gini."

"Bukannya dulu yang bilang kalau dia horor banget waktu di kantornya yang dulu itu lo?" tanya Alana. "Emang dia ngapain sih?"

"Lo tanya aja langsung ke dia, waktu di kantornya dulu dia kayak gimana." Ben meringis. "Tapi namanya orang bisa berubah, ya. Gue sih nggak keberatan kalau sekarang dia kayak gini."

Pandu mengangguk setuju. "Sepakat gue. Kayaknya punya team leader kayak si Bos itu hal terbaik yang ada di hidup gue. Dia membebaskan kita dari perbudakan."

Mereka berdua tertawa. Alana hanya senyum-senyum sambil menyimak Pandu dan Ben yang sibuk memuji-muji team leader mereka. Alana bisa paham, karena ia juga berhutang budi pada Satria yang memperkenalkan dirinya kepada kehidupan normal.

Menghabiskan takoyakinya, Alana fokus ke sop buntut yang ada di hadapannya.

"... lo gimana, Al? Menurut lo Bos gimana?" Pertanyaan Ben memecah konsentrasi Alana yang sedang sibuk memisahkan daging dari tulangnya.

"Gimana apanya?" tanya Alana setengah bengong.

"Menurut lo, Bos gimana?" tanya Pandu sambil tersenyum jail. "Lo suka nggak sama Bos kita? Kita sih suka banget."

Alana mendengus. Pertanyaan jebakan. Tapi kalau dipikir-pikir, seharusnya pertanyaannya dibalik. Apa yang tidak disukai dari diri seorang Satria? Cerdas, tegas, baik, dan peduli kepada semua anggota timnya. Secara fisik, tubuhnya tinggi dan terlihat fit, rambut gondrongnya, alih-alih berantakan, justru menambah pesonanya di mata orang-orang. Rahangnya yang tegas mengingatkannya akan garis wajah aktor-aktor asal Inggris, mungkin hanya wajahnya...

Alana tertegun. Sebulan mengenalnya, wajah rubah licik itu kini terlihat bersahabat dan menyenangkan.

"What's not to like?" jawab Alana diplomatis. "Di luar kasus yang waktu itu, emang kayaknya sampai sekarang gue belum ketemu kekurangannya, sih..."

Pandu dan Ben tersenyum penuh arti, yang diabaikan oleh Alana.

"Lo gimana sama mantan lo yang itu?" tanya Pandu kepo.

"Biasa aja. Kayaknya sebentar lagi nikah tuh orangnya," jawab Alana setengah ragu. Apakah dia benar-benar sudah baik-baik saja? Tapi nyatanya dua bulan terakhir ini ia bisa bertahan hidup normal tanpa memikirkan Radhika...

... berkat Satria.

Sial, batinnya. Apa kata-kata Ben dan Pandu ada benarnya, ya?

"Lo kenapa nggak sama Satria aja, sih?" tanya Pandu. "Menurut gue kalian cocok, lho."

"Lah, kayak orangnya mau sama gue aja," jawab Alana sok cool. "Lagian siapa tau orangnya udah punya pacar."

Ada nggak ya? Alana jadi bertanya-tanya dan penasaran sendiri.

"Yah, muter-muter deh ini anak," kata Pandu yang siap nyerocos dengan aneka teori konspirasinya, tapi tiba-tiba ia berhenti. "Eh, Mas Satria."

"Sori telat, tadi Pak Wisnu manggil ke ruangan," Satria menenteng sebotol minuman vitamin C dan menyodorkannya ke Alana. Alana mendongak ke Satria, menerimanya dengan heran.

"Apa nih?"

"Katanya tadi pagi rada flu? Nih minum biar nggak jadi flunya," kata Satria sambil menggaruk telinga kirinya.

Alana bisa merasakan tatapan penuh prasangka dari Ben dan Pandu, ditambah dengan cengiran Pandu yang bisa berkali-kali lebih lebar kalau Satria tidak ada di sana. Alana bisa merasakan wajahnya berubah semerah kepiting rebus, dan memutuskan untuk segera meminum minuman vitamin C pemberian Satria untuk menggelontorkan rasa malunya ke dalam kerongkongannya.

Saat Satria fokus membaca menu makanan yang ada di hadapannya, Pandu melirik Alana dan membuat gerak bibir yang jelas terbaca oleh Alana:

"Gue bilang juga apa."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro