7 - Explosion

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

 Alana menuruni eskalator sambil membaca artikel di ponselnya: Cara mengendalikan emosi. Di situ tertulis latihan pernapasan, maka kini ia menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya di atas eskalator. Berhasil. Bendungan air mata yang nyaris jebol di depan Satria berhasil dikendalikan. Jempol Alana mengusap layar ponselnya lagi. Nomor tiga: makan makanan kesukaan agar mood kita membaik.

Makanan kesukaan. Mata Alana menyusuri restoran di sepanjang koridor mal yang berada di bawah kantornya itu. Sudah lama ia tidak makan sesuatu yang benar dan menyenangkan. Sushi boleh juga, pikir Alana. Tanpa pikir panjang, Alana pun bergabung ke antrian waiting list kedai sushi yang selalu ramai itu. Seperti semua orang lainnya, Alana berdiri di antrian sambil memandangi ponselnya. Ia bisa merasakan di belakangnya sudah ada orang lain yang mengantre. Terdengar seperti pasangan, karena Alana bisa mendengar jelas pembicaraan mereka.

"Kamu udah telepon orang wedding organizer-nya? Jadi siapa yang ketemu kita nanti?"

Ada sedikit jeda sebelum si laki-laki menjawab dengan suara yang familiar. "Ya, nanti Mbak Tessa yang datang."

Terlalu familiar. Sebelum ia menyadarinya, Alana sudah menoleh ke arah pasangan di belakangnya, hanya untuk menemukan wajah dan suara yang sudah sangat ia kenal selama tujuh tahun. Ekspresi kaget di wajah si laki-laki tak bisa disembunyikan, begitu juga dengan Alana.

"Radhika?"

Nada suaranya tak percaya bercampur getir dan sedikit bahagia. Bagaimanapun, ia sudah mencari orang ini selama setahun. Dan jawabannya terpampang jelas di hadapannya. Perempuan cantik yang sepertinya tidak sadar situasi apa yang ada di depannya. Rambutnya pendek. Cantik. Terlihat lumayan pintar.

Ujung bibir Alana terangkat, membuat seringai aneh di sana. Radhika kabur dari rencana pernikahannya dengan Alana, dan hanya butuh setahun baginya untuk nekat menikahi perempuan lain. Sementara setahun bagi Alana mengingatkannya akan lirik lagu The Scripts – I got time while he got freedom.

Setahun ia berkubang duka dan mencari penyembuhan dalam pekerjaan, sementara si brengsek itu sudah asik-asikan mendekati perempuan lain. Ingin rasanya Alana berkata kasar.

"Temenmu, Mas?" tanya perempuan itu lugu.

Alana memutar bola matanya. Aduh, Mbak, andai saja kamu tahu. Tapi Alana memutuskan untuk diam, menunggu reaksi Radhika. Apa yang akan dia lakukan?

Wajah Radhika terlihat sedikit pias, tapi ia berhasil mengendalikan ekspresinya. Alana meliriknya. Setahun tak bertemu, ia sedikit berubah. Terlihat lebih rapi, tambah ganteng. Membuat Alana tambah sebal.

"Oh, ya. Ini Alana, teman kuliahku," ujar Radhika tenang, lalu mengalihkan pandangannya ke perempuan di sampingnya. "Ini Melissa."

"Calon istri," tambahnya girang sambil menjabat tangan Alana dengan antusias. Pernyataan "teman kuliah" Radhika sukses membuka luka hati Alana yang belum sembuh, dan kegirangan Melissa yang tak tahu apa-apa mantap menjadi taburan garam dan tetesan jeruk nipis di atas luka itu.

Alana berusaha tersenyum, yang akhirnya hanya terlihat seperti ringisan menahan nyeri.

"Calon istri... jadi kapan rencananya?" Alana dengan bodohnya semakin mengorek koreng di hatinya itu. Matanya melirik Radhika yang berdiri di samping Melissa, gelisah. Apakah si calon istri itu menyadarinya?

"Kalau lancar, sih, tiga bulan lagi. Mbak Alana nanti datang, ya!"

Pada titik ini, Alana tidak tahu Melissa itu memang bodoh atau terlalu lugu. Lagi-lagi Alana meringis lebar. "Oh, aku diundang?"

Melissa lantas menyikut Radhika. "Diundang kan, Mas? Kan dia teman kuliah kamu."

Alana masih terheran-heran dengan ketidakmampuan Melissa membaca situasi. Yang ditanya hanya menggaruk hidungnya sambil cengengesan. Lalu yang hadir di antara mereka adalah keheningan yang super canggung. Insting Alana menyuruhnya untuk segera kabur dari sana, sebelum ia menyesali apa yang akan ia lakukan berikutnya. Lantas ia pun merogoh ponselnya di saku dan pura-pura memeriksa pesan di sana. "Ngomong-ngomong, aku kayaknya harus cabut duluan, deh. Masih ada urusan kantor yang harus dikerjain ternyata."

Wajah Melissa terlihat murung, sementara Radhika terlihat lega. Sambil keluar dari antrian, Alana menepuk bahu Melissa, tak tahan untuk mengeluarkan unek-uneknya yang dibungkus seolah bercanda, "Semoga lancar, ya. Jagain tuh masnya, jangan sampai kabur pas kawinan."

Melissa hanya tertawa pelan. "Bisa aja, ih, Mbak Alana."

Reaksi Melissa yang begitu polos malah membuat Alana meradang. Ia merutuki dirinya sendiri dalam hati. Ngapain sih, Al, cari gara-gara? Hasilnya, sekarang perasaannya makin tak keruan. Matanya mulai panas. Ia yakin, disenggol sedikit lagi, ia pasti banjir air mata.

"Duluan, ya." Alana masih berusaha sopan dan melambaikan tangannya, lalu berjalan cepat, menjauh dari jangkauan pandang Radhika dan Melissa. Ia akhirnya berhenti di balik sebuah pilar besar, dan tanpa bisa dihentikan, air matanya membanjir keluar. Entah berapa menit yang ia habiskan untuk menangis tanpa suara. Tiba-tiba saja ia menyadari sudah ada seseorang di sampingnya yang menawarkan sapu tangan.

Sapu tangan?

Refleks, Alana menoleh ke sosok yang ternyata sudah berdiri di sampingnya. Satria. Mengulurkan sapu tangannya kepada Alana dengan wajah cemas.

Alana melongo, tak menghiraukan wajahnya yang penuh ingus dan air mata. "Ngapain Mas Satria di sini?"

Satria terlihat salah tingkah, lalu menyisiri rambutnya ke belakang dengan tangan kirinya sambil meringis. Sementara tangan kanannya masih menyodorkan sapu tangan. "Ambil. Lap dulu itu air matanya."

Alana tak menyentuh sapu tangan Satria, raut wajahnya tak suka. "Mas Satria ngikutin saya dari tadi?"

"Panjang ceritanya," elak Satria. "Kamu kenapa?"

Alana menghela napas panjang. Tentu saja tidak. Jelas-jelas dia sedang banjir air mata. Gengsi, Alana mengelap matanya dengan ujung lengan bajunya. "Nggak apa-apa."

"Nggak kelihatan begitu." Satria akhirnya menjejalkan paksa sapu tangannya ke tangan Alana.

Kekesalan Alana pada sikap Satria sebelumnya, belum lagi ditambah dengan pertemuannya dengan Radhika, akhirnya membuat emosinya meledak. "Apa sih maksa-maksa!"

"Kamu ingusan. Sayang baju kamu kalau dipakai buat ngelap ingus," jawab Satria lempeng.

Membelalak dan sedikit malu, akhirnya Alana menyerah dan mengelap air mata dan ingusnya dengan sapu tangan Satria. Sialnya, air matanya tak mau diajak kompromi. Tangisnya makin deras, bahkan ia sampai sesengukan di sambil menutupi wajahnya dengan sapu tangan Satria. Satria yang menunggui Alana jadi makin salah tingkah. Beberapa orang yang lewat mulai melambat sambil berbisik-bisik. Bahkan beberapa anak SMA terang-terangan menonton adegan itu dari seberang koridor. Seorang petugas keamanan berseragam hitam akhirnya mendekati Satria.

"Mas, maaf nih, kalau berantem sama pacarnya jangan di sini. Nggak enak dilihat orang-orang," bisik si satpam.

Satria melengos sambil melayangkan pandangannya ke kerumunan orang yang melirik mereka. Sekarang semua orang mengira ini adegan drama pasangan yang sedang bertengkar. Tidak mungkin ia meninggalkan Alana sendirian di sini. Apa boleh buat. Satria harus bertindak. Akhirnya ia menyentuh bahu Alana pelan, mengajaknya berjalan mengikutinya.

"Cabut, Al. Nggak malu dilihatin orang-orang?"

Tak punya pilihan lain, akhirnya Alana pergi dari sana, mengekori Satria.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro