(Ayat II - Air)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

وَأَنْ لَوِ اسْتَقَامُوا عَلَى الطَّرِيقَةِ لَأَسْقَيْنَاهُمْ مَاءً غَدَقًا

Wa al lawistaqāmụ 'alaṭ-ṭarīqati la'asqaināhum mā'an gadaqā

Dan bahwasanya: jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezeki yang banyak) (QS - 72:16)

***

Mehdy Ibrahim

Lanjutan ...

Aku melirik jam dinding, sudah pukul sepuluh. "Aku harus pergi ke Emerald Park."

"Baik, aku tetap di sini sampai Tuan kembali," kata Irek, memberiku sebuah kunci.

Sekretaris berwajah datar ini mengamankan kereta besiku. "Sepertinya kamu akan duduk di kantorku dalam waktu yang lama," kataku, mulai menyukainya meski Irek tidak merespon itu dengan secuil kegembiraan. Aku menuju garasi, yang dulunya bekas ruang reparasi yang mampu memuat empat kereta besi, istilahku untuk menyebut mobil berotot yang dimodifikasi menjadi mobil tempur berlapis baja. Satu-satunya kendaraan di garasi adalah kepunyaanku, dua pintu pabrikan tahun 70an yang dimodifikasi ulang, tambahan mesin V8 sebagai tenaga pendorong. Cat aslinya bewarna hitam dengan dobel lis kuning melintang vertikal. Nurah, enamel nama menempel di sisi pintunya.

Tarikan piston disertai deruman mesin menggebu-gebu seperti guruh, aku membawa kemudi Nurah keluar dari garasi, memasuki jalanan. Sekilas di spion, aku melihat sosok Irek keluar garasi, menatapku pergi seraya melipat tangan di dada. Nurah menggilas retakan aspal, menebarkan debu di sepajang jalannya. Tidak ada lagi kemacetan perlu dihindari, rangka mobil-mobil hancur berserakan di pinggiran jalan, dibakar panasnya terik matahari, diembus angin berdebu menyesakkan. Kufiyah menutupi separuh wajah, melindungiku dari serangan alam, yang bisa menembus ke bagian kabin besi Norah. Kecepatan kereta besiku menerbangkan sampah-sampah di sekitar permukiman kumuh.

Mobil tangki sepuluh roda menjulang di tengah kerumunan massa yang meramaikan sebuah tempat yang dulunya ditumbuhi banyak tumbuhan hijau nan asri, Emerald Park. Menyerupai padang penghakiman, taman indah itu kini meninggalkan pepohonan mati yang dijadikan rumah, ditumbuhi banyak gubuk reyot yang terbuat dari beragam jenis rongsokan, mulai dari bangkai kendaraan hingga tumpukan peti kemas. Pemukiman kumuh itu tumbuh subur atas belas kasihan Children of Salvation. Mobil tangki sepuluh roda itu dilindungi orang-orang bersenjata, menahan kerumunan menyedihkan yang mengotong ember, galon, baskom, dan meneriakkan: "Air! Berikan!" untuk mendekat.

"Diam!" teriak seorang yang berdiri di atas mobil tangki, menembakkan pistol ke udara. Hal itu mengejutkan kerumunan, seketika menghentikan racauan dan melindungi kepala. "Dasar belatung tidak tahu berterima kasih dengan perlindungan benteng suci! Jangan biarkan air menjadikan kalian tidak terkendali!" Pistolnya diletuskan lagi dua kali, kerumunan semakin ketakutan. "Sebelum orang-orang dungu seperti kalian diberkahi, kalian harus memberi puja-puji pada Sang Pemberi."

Semenjak tiba di pertahanan Emerald Park, pasukan bersenjata menyambutku penuh hormat dan memberiku ruang untuk memarkirkan Nurah. Aku beranjak menuju sebuah bangku taman, sambil memandang kerumunan yang mengelilingi Ankabout. Nama itu kuberikan pada mobil tangki sepuluh roda itu, yang kemudian pengemudinya merangkak keluar melalui pintu di tingkapnya. Menjulang bak manusia suci, seluruh kerumunan tertegun, menyaksikan sosok bergamis dan niqab putih bersinar di puncak Ankabout. Orang-orang menyedihkan mengulurkan tangan dan mendongakkan wajah ke atas sembari menggumamkan kalimat-kalimat bernada pemujaan, mengharap permohonan.

"Sang Pemberi!" seruan didengungkan serupa litani harapan. "Deborah!" Namanya bagaikan kerinduan di tengah gurun. Sosok putih itu mengangkat tangan, meminta kerumunan senyap.

"Air, memberikan kalian kehidupan, dan air, dapat melahirkan keserakahan," kata sosok putih itu, mengubah atmosfer yang mengitarinya hening. "Orang-orang terdahulu musnah, yang disebabkan keburukan yang tumbuh mengalir di darah dan dagingnya. Bila keberuntungan menyelamatkan orang-orang seperti kalian dari panasnya neraka matahari, maka jangan kembali seperti mereka yang runtuh karena penyesalannya." Sosok putih bak malaikat penyelamat itu mengayunkan tangan yang ditutupi sarung tangan sepanjang lengan, laksana penuh buaian, mengilap dan bersinar, bak pemandu orkestra. "Jangan biarkan tubuh kalian dibudak nafsu. Berikanlah sedikit udara, air, dan sepotong roti, semata memohon keselamatan dari langit." Tak lama berselang, selang dari mobil tangki dikeluarkan pasukan bersenjata, lalu disemburkanlah isinya, menghujani kerumunan yang mulai berhamburan berebutan. "Sisakan penderitaan kalian untuk melayani-Nya, agar kalian sadar dunia ini tidaklah abadi."

Bukan keteraturan yang aku saksikan, sosok putih yang mengangkat kedua tangannya, dengan selang di sekelilingnya yang menyemburkan seluruh isi tangki, menciptakan kekacauan kerumunan. Air bersih, tawar dan murni, harta yang sangat berharga, yang nilainya melebihi dari dunia dan isinya. Orang-orang menyedihkan kebasahan, tanah menjadi genangan berlumpur, mengangkat wadah-wadah di setiap gendongan. Saling sikut menyikut, merebut milik orang lain, itu tidak terhindarkan terjadi. Pasukan bersenjata turun tangan sesaat kerumunan menggila, menghambur dan memanjati Ankabout. Laras senapan dihantamkan ke setiap kepala mereka yang beringas, memaksa mereka turun atau jatuh menimpa gerombolan di bawahnya. Bunyi letusan senjata pun sekejap mengendalikan situasi.

Sang Pemberi mengarahkan pasukan bersenjata melalui ayunan tangannya, memberi perintah mengambil sesuatu. Aku bisa melihat orang-orang menyedihkan itu menarik paksa anak-anak kecil, lalu mengangkat mereka agar diambil pasukan bersenjata sambil mendorongnya naik ke pelukan Sang Pemberi. Orang-orang menyedihkan itu menyeringai sewaktu dilemparkan jeriken penuh air dari atas, menjadi rebutan yang langsung dibawa pergi. Anak-anak kecil, terhitung tiga atau empat orang sudah berada di rangkulan Sang Pemberi, meskipun melepaskan tangisan kesedihan dan ketakutan.

Ankabout menyalakan derum mesinnya, menyingkirkan kerumunan berlumpur untuk mundur. Pasukan bersenjata menggiring mobil tangki sepuluh roda sampai meninggalkan Emerald Park, saat tempat berlumpur dan menyisakan genangan menjadi wahana perkelahian warga. Iring-iringan mobil itu menandakan waktuku sudah selesai di sini melakukan pengamatan. Sementara pasukan bersenjata yang berjaga di belakangku mempersilakan mengikuti iring-iringan Sang Pemberi. Ankabout dikawal pasukan Children of Salvation, menunggangi beragam kereta besi yang dipersenjatai, sehingga ruang gerak di sepanjang jalan dikuasainya. Gembel yang mendiami daerah pinggiran menjerit memanggil-manggil nama anak-anak penyelamat lalu dibalas Sang Pemberi yang melempar banyak roti.

Tentunya kalian bisa menebak apa yang terjadi setelah roti itu berlabuh di jalanan.

"Mehdy Ibrahim!" sorakan berulang-ulang digemakan anak-anak penyelamat dari kereta besi yang mereka kendarai, yang duduk di belakang kemudi, yang berdiri di bak persenjataan, berwajah tertutup beraneka topeng ataupun sekedar dibalut oleh kufiyeh. Mereka memandangku penuh hormat, penuh energi, berdaya, sesuatu yang menguatkan kegeraman dan keteguhan pada jiwa berapinya.

Konvoi memasuki gerbang keamanan tingkat tinggi menuju lingkaran dalam, lapisan benteng terkecil yang terletak di pusat. Tembok yang mengelilinginya lebih tinggi dibandingkan tembok yang mengelilingi lingkaran luar, tersusun atas rongsokan seperti peti kemas dan bekas rangka berbagai bangunan yang kembali diperkeras campuran semen. Setiap sudut ditempatkan ­anak-anak penyelamat bersenjata pada menara pengawas, termasuk di celah reruntuhan paling tinggi yang mengitari tembok telah ditempatkan pasukan bersenapan runduk, dan pengguna mortir pra-perang. Tidak ada massa dari Emerald Park atau penghuni dari lingkaran luar yang mendekati wilayah ini, atau peluru bersarang di dalam batok kepala keringnya. Lingkaran dalam hanya diperuntukkan Children of Salvation.

"Sang Bendahara," sambut sosok putih Sang Pemberi melenggang turun dari Ankabout. Tidak ada satupun tangan anak-anak penyelamat yang diberi kesempatan menyentuhnya, sosok dibalik jubah putih ini terlarang untuk disentuh siapapun seujung kuku. Saat beranjak turun dari Nurah, aku melangkah tangguh dengan pengawalan di samping kiri dan kananku, mendatangi si sosok putih. Di sekelilingnya, anak-anak yang diambilnya dari Emerald Park meringkuk menampakkan ngeri dan berpenampilan urakan. "Lihatlah, aku sudah menepati janji sesuai arahanmu. Meredamkan massa juga memperhatikan penderitaannya yang tak berarti," suara feminimnya meluncur sehalus sutra.

"Aku menyaksikan, memang itu perlu semata mempertahankan kekuasaanmu," kataku.

"Kekuasaan milik Bambang Solomon, bukan aku," katanya, seraya memalingkan wajah.

"Sekalipun menutupi wajah dengan niqab, tidak perlu merasa naif, atau tersipu," kataku.

"Anggaplah aku masih berhati suci, Mehdy. Sehingga tidak perlu menggantung lehermu."

Sebenarnya aku ingin melepaskan tawa yang dibuat-buat di hadapannya, tapi wanita di balik niqab putih ini punya selera humor yang buruk. Tidak segan-segan menggantung atau melumpuhkan siapapun yang mendapat murkanya, itu semudah membalik telapak tangannya. Sudut matanya yang tersaput celak hitam menajamkamnya, seakan tersemat belati penuh racun di kedua sisinya.

"Bawalah anak-anak ini membersihkan tubuh dekilnya," perintah Deborah, adalah nama yang tersemat pada Sang Pemberi. Para pelayan, perempuan-perempuan berkerudung yang mendengarkan perintah lekas menuntun anak-anak malang itu menuju permandian. Mataku menangkap tatapan mata tak berdosa yang dilayangkan anak perempuan yang menoleh, berdiri di belakang. "Berikan mereka pakaian bersih dan wewangian. Sungguh, aku tidak tahan mencium aroma busuk dari anak-anak ini." Deborah mengibaskan tangan di hadapan wajah, serentak pelayannya mengangguk mengerti.

"Perhatian yang begitu mulia darimu," kataku. "Banyak tambahan anak pungut lagi."

"Tempat bermain merekabukan di luar sana," balas Deborah, beranjak memasuki koridor Al Qasar yang teramat luas, gedung pencakar langit yang dulunya merupakan sentral bisnis Majepahit. Selain menjadi griya tawang pribadinya, dijaga oleh anak-anak penyelamat bersenjata, gedung ini digubahnya sebagai istananya di Benteng Salvation. "Anak-anak itu mendapatkan fasilitas hidup yang lebih baik. Kesehatannya diperbaiki termasuk pemenuhan gizinya. Pendidikannya dijamin, memberi guru-guru terbaik mengajari mereka. Setelah itu ...." Deborah membalik badan, menghadap kearahku, ujung gamisnya berputar bak mengibas, gerakan yang memukau. "Mereka memiliki Ibunya."

Bersambung ...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro