Redup#4. Gadis Cantik Kenalan Papa

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tekan tombol bintang dulu sebelum baca. Anyway, happy reading :))


Berdiri di depan kafe milik Sena tepat pukul dua siang agaknya menjadi pilihan yang tepat. Bersyukur semangkuk soto sebagai menu tadi cukup mengganjal setidaknya sampai waktu makan malam. Lantaran harga-harga makanan yang berada di kafe milik Sena sedikit tidak bersahabat, khususnya untuk Ara pribadi.

"Mau aku tinggal?"

Ara menoleh, di sampingnya Juniar masih duduk di atas motor dengan mesin yang menyala, "Memangnya kalau aku nggak mau ditinggal, kamu mau temani aku?"

Juniar tampak berpikir sejenak, "Lama nggak kira-kira?"

"Kayaknya."

"Ya sudah, ku tinggal saja, deh. Nanti kalau ada apa-apa kabari saja. Kalau mau jemput juga tinggal telfon."

"Kamu mau kemana habis ini?"

"Tidur."

"Oke."

Selepas melambaikan tangan dan berpamitan, Ara akhirnya masuk. Bunyi lonceng terdengar dan sayup-sayup orang mengobrol langsung menyambutnya. Beberapa kebanyakan pekerja kantoran atau mahasiswa berdompet tebal yang memilih menongkrong sembari mengobrol di sana.

"Ara."

Setelah celingukan sana-sini dan hampir saja didatangi salah satu pelayan di sana. Ara melihat Sena memanggilnya dari balik meja kasir. Pria tersebut menyuruh salah satu bawahannya untuk menggantikan selagi dia mendatangi Ara.

"Jingga, sini, Nak."

Di sana atensi Ara sontak beralih ke satu sosok yang dipanggil Sena. Seorang anak kecil yang tengah bermain dengan salah satu pegawai wanita, berlari kecil dengan tas bergambar barbie di punggungnya dan tertawa riang dengan dua tangan terentang.

Sena tertawa kecil menampilkan lesung pipitnya. Pria tersebut berjongkok untuk menyambut pelukan anaknya dan membawa si kecil ke dalam gendongannya, "Duh, pintarnya anak Papa."

"Papa, tadi Jingga baru selesai menggambar sama tante Nala."

"Iya? Wah, gambar apa?"

"Gambar bunga. Tante Nala yang ajari." Jingga berbicara menggebu dengan senyum lebar memperlihatkan gusi merah muda dan dua gigi serinya yang tidak ada. Barangkali saja baru dicabut. Sedang Sena, selagi menanggapi cerita anaknya, memberikan tanda bagi Ara untuk mengikuti langkahnya.

"Nah, Jingga. Kenalkan, ini Mba Ara."

Ara mencoba memasang senyum semanis dan seramah mungkin. Perempuan tersebut melambaikan tangan ringan dan memberikan aura bersahabat. Kendati si kecil justru malu-malu dan bersembunyi di balik tubuh besar Sena dengan ujung baju pria tersebut yang ditarik-tarik.

"Jingga, jangan malu. Ayo, salim dulu sama Mba Ara. Kenalan. Karena Bibi sudah nggak bisa ngurus Jingga lagi, nanti Jingga sama Mba Ara dulu, ya."

Sena membujuk anaknya. Membawa si kecil untuk duduk di pangkuan lelaki tersebut sambil berbisik dan menenangkan Jingga yang barangkali saja tengah mencoba beradaptasi.

Ara masih mempertahankan patrian senyumnya. Lagipula, siapa yang tahan untuk tidak tersenyum saat dihadapkan gadis kecil super menggemaskan berpipi gembil dengan rona merah samar, rambut sepunggung dengan poni yang menutup dahi, serta senyum gusinya yang memperlihatkan lesung pipit seperti milik Sena di sana.

Tidak. Hanya orang bodoh dan tidak memiliki sisi sensitif saja yang barangkali bisa tahan untuk tidak tersenyum dan menahan diri saat dihadapkan buntalan gemas di hadapannya.

"Seminggu dulu ya, Jingga. Nanti kalau semisal Jingga nggak mau, kita bisa cari yang lain. Hm? Sayang, jangan begitu, dong. Anak Papa kan pintar. Jangan ngambek, oke? Kan sudah pamitan sama Bibi kemarin. Sudah janji juga lho sama Papa untuk tidak menangis."

"Jingga senang kok main sama tante Mika." Jingga berkata lirih dengan jemari yang saling bertautan dan bibir yang mencebik.

"Sayang," Sena mencoba sabar, meraih dua pipi kecil anaknya untuk dihadapkan langsung padanya, "Jingga tau sendiri kalau tante Mika sedang hamil. Tante Mika kan nggak boleh terlalu capek. Kalau Om Aksa juga lagi sibuk, nggak bisa terus ngawasin Jingga. Ingat, Jingga kan janji mau jadi kakak yang baik untuk dede bayinya tante Mika."

Jingga tampak curi-curi pandang pada Ara sebelum kembali memokuskan atensinya pada Sena. Lantas, tidak perlu pikir lama. Si kecil pada akhirnya mengangguk dan tersenyum tipis, membuat dua pipinya semakin membulat sempurna sampai mengundang tawa lirih Sena dan segera mencubit pipi anaknya.

"Anak pintar," puji Sena, mengusap puncak kepala anaknya, "Sekarang, ayo. Kenalan dulu sama Mba Ara. Seperti yang Papa ajarkan."

Jingga mengangguk dan menurut. Ara segera mengembalikan posisi semula dan lagi tersenyum manis saat gadis tersebut mengulurkan tangan padanya, "Halo, nama Jingga, Jingga," katanya polos.

Ara terkekeh gemas. Di balasnya uluran tangan yang jauh lebih kecil dari miliknya. Gadis tersebut mengangguk, "Iya, Jingga. Namaku Ara. Semoga kita bisa akrab, ya. Supaya kita bisa main-main bareng. Oke?"

Jingga mengangguk. Tersenyum malu-malu.

"Cantik."

Ara mengernyit bingung. Kendati di sana, Sena justru tertawa melihat tingkah malu-malu anaknya yang berucap sedemikian. Jarang sekali Jingga mengungkapkan perasaannya segamblang ini, apalagi di hadapan orang yang baru saja ia temui.

"Siapa yang cantik, Sayang?"

Jingga menunjuk kilat. Menutup mulutnya dengan terkikik pelan, dua bahunya yang bergoyang kiri-kanan, "Mba Ara, Pa. Cantik sekali. Apalagi matanya."

Ara mengernyit, kendati di sana dia masih menjadi pihak pasif yang memilih menjadi pendengar. Karena Sena masih betah berbicara dengan putrinya tersebut.

"Matanya? Matanya Mba Ara kenapa, Sayang?"

Ucapan Jingga setelahnya agaknya membuat suasana sedikit lebih canggung. Karena selepas itu, Ara bisa melihat bagaimana Sena tertawa sumbang dan menggaruk tengkuknya. Sementara di sana, Ara sudah macam perempuan tolol yang kehabisan stok ide untuk harus berbuat apa. Lantaran menanggapi ucapan Sena, Jingga justru berkata.

"Matanya cantik. Mirip seperti mata milik Mama."

***

Ara hanya bisa mengangguk sejak tadi mendengar penjelasan Sena. Satu per satu disampaikan tanpa ada yang terlewat. Gadis tersebut menunjukkan niat besarnya untuk tetap bekerja dengan menuliskan hal-hal penting yang ia dengar dalam notes kecil yang dibawanya sejak tadi.

"Jingga lebih suka makan es krim rasa cokelat."

"Jingga alergi susu strawberry. Belikan saja rasa vanila."

"Jingga nggak terlalu suka seafood."

"Kamu bisa datang selepas waktu dzuhur saja. Biasanya Jingga saya titip dulu di sini. Baru bisa kamu antar pulang. Jangan lupa ajak tidur siang, mandikan, dan makan malam."

"Stok makanan sudah ada di kulkas. Anak saya nggak pilih-pilih makanan. Masak saja sesuai kemampuanmu."

Dan masih banyak lagi.

Ara hanya bisa mengangguk mengerti. Poin pentingnya, Sena tidak meminta dia untuk turut membersihkan rumah.

Jelas saja, memangnya dia mengajukan diri untuk jadi asisten rumah tangga? Tapi hal yang mampu membuat Ara terperangah dan terus membuka mulutnya adalah, rumah sederhana milik Sena tampak luar biasa indah dan tentunya cukup rapi. Dengan halaman yang dipenuhi tanaman, barang-barang yang berada pada tempatnya, ruang kerja Sena yang berada di kamar pribadi pria tersebut (Ara sudah diwanti-wanti untuk tidak memasuki wilayah pribadi Sena), mainan-mainan milik Jingga yang tersimpan rapi di dalam box khusus, ataupun kamar milik putri semata wayangnya yang sangat tertata.

Kesimpulannya, Sena adalah tipe Papa-papa cinta kebersihan.

Kendati Ara sama sekali tidak melihat satu saja pajangan foto pernikahan milik lelaki tersebut, yang Ara tebak terletak di dalam kamar pribadinya.

"Saya biasa tutup kafe jam sebelas malam. Kalau pengurus yang dulu nggak masalah sebenarnya, karena rumahnya juga kebetulan nggak jauh dari sini dan dijemput suami. Tapi kalau kamu, apa ada masalah, Ara?"

Ara mengangguk tanpa pikir panjang, "Sebenarnya saya sih berharapnya paling nggak jam sepuluh sudah bisa pulang. Tapi kalau Mas Sena―"

"Oke, kalau begitu untuk percobaan ini saya tutup kafe sebelum jam itu."

"Eh?" Ara terkejut. Dia ingat sekali jenis kafe seperti milik Sena di luar sana tentunya buka dalam jangka waktu yang lebih panjang. Bahkan ada yang sampai dini hari, "Benar nggak apa-apa, Mas? Nanti rugi, lho."

Sena tersenyum hangat, "Jangan khawatir, saya masih punya pegangan lain."

Baiklah. Setidaknya Ara tidak terlalu merasa bersalah lantaran memotong penghasilan orang lain.

"Sampai di sini ada pertanyaan, Ara?"

Ara menggeleng. Di hadapannya, Sena tengah bersandar sembari mengelus rambut putrinya yang sedang berbaring di paha Papanya dan melihat video-video kartun Youtube.

"Hari ini, saya temani kamu saja. Biar kamu nggak terlalu canggung. Sekalian mungkin ada satu-dua hal yang saya nggak sengaja lewati tadi. Ngomong-ngomong sudah jam makan malam," Sena melirik jam dindingnya yang menunjukkan pukul delapan, "Kalau kita makan bareng saja, gimana?"

Ara spontan menggeleng, "Nggak usah, Mas. Saya bisa makan di rumah, kok. Nggak perlu repot-repot."

"Nggak apa-apa, Ara. Besok-besok juga kan kamu bakalan sering makan di sini. Memang kamu bisa ngurus anak saya tanpa makan sama sekali? Iya kan, Sayang." Sena beralih pada Jingga yang hanya dibalasi anggukan ringan dari si kecil.

"Tapi, Mas Sena―"

"Sudah. Ayo kita makan. Ayo, Jingga. Bangun dulu, gih. Main sama Mba Ara dulu. Papa mau siapkan makan malam."

"Papa, Jingga mau makan es krim, boleh?" Si kecil berkata dengan pandangan yang masih tertuju pada layar ponsel milik Sena.

"Boleh, tapi harus makan malam dulu. Makan es krimnya setelah makan." Sena menjawab dari arah dapur.

Ara buru-buru mengambil alih Jingga. Duduk di sampingnya untuk menemani bocah tersebut selagi dia mengirim pesan pada Juniar untuk segera menjemputnya dan mengirimkan alamat rumah Sena. Gadis itu mengeram kesal saat balasan yang ia dapat dari Juniar justru menarik rasa-rasa emosi Ara kembali berdatangan.

Juniar sialan.

Jangan lupa vote serta komentarnya yah. Sampai jumpa di hari kamis, Dear :))

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro