#Redup12. Ruang Temu Rasa

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pastikan sudah tekan vote sebelum membaca.

Jangan lupa follow instagramku @bintangsarla untuk konten-konten menarik dan update-an cerita-ceritaku di sana.





Bagaimana sebenarnya cara mengartikan sebuah kata 'istimewa'? Tolong beritahu Ara apa sebenarnya arti sebuah kata tersebut setidaknya agar ia bisa berpikir sedikit lebih jernih. Atau paling tidak menemukan sebuah jalan keluar dari sebuah pertanyaan yang sejak tadi bercongkol di kepalanya.

Sebenarnya apa maksud Senarai melakukan ini semua padanya?

Ara bukanlah remaja naif yang tidak paham perilaku Senarai selama ini. Perhatian yang sedikit berlebihan dan belum lagi kalimat-kalimat pria tersebut yang dilayangkan untuknya. Maksudnya, apa benar lelaki tersebut tertarik padanya? Karena jujur saja, Ara tidak mau terlalu percaya diri atas semua perhatian yang ditujukan untuknya.

Karena ... bisa saja bukan hanya dia yang mendapati perlakuan semacam ini, bukan?

Belum lagi sejak lima belas menit yang lalu, Ara tidak berani untuk sekadar membalas tatapan Sena atau untuk melirik lelaki tersebut. Dia hanya bisa berdiam diri dengan Jingga di pangkuannya. Membiarkan musik dari radio berbunyi lirih guna melepas kecanggungan. Buntalan di depannya juga tidak banyak protes dan mengedarkan pandangan ke sekeliling melihat gedung-gedung tinggi dan ramainya Yogyakarta malam minggu itu.

Tolong ingatkan Ara untuk tidak lagi-lagi keluar di malam yang penuh dan ramai seperti ini. Pada nyatanya, Yogyakarta memang selalu ramai seolah setiap sudut kotanya terdapat banyak sekali tempat-tempat bagus untuk dikunjungi. Entah itu yang bertajuk modern atau tetap mempertahankan budaya jawa yang tradisional. Setiap orang pergi menuju selera mereka masing-masing. Dan Ara di sini hanya berlaku sebagai seorang gadis penurut. Ia tidak berani untuk sekadar membuka mulut melayangkan protes kemana pun Sena membawanya.

Pria tersebut menolak Ara untuk memasak makan malam dan mengajak anak serta pengasuhnya untuk makan di luar. Hitung-hitung sebagai hiburan, katanya.

Karena memang ia tidak akan berani meskipun hanya berucap satu kata.

Mobil Sena berhenti di depan sebuah tempat makan. Dan dari dalam mobil, Ara bisa melihat rumah makan dengan banyak macam menu yang ditempel besar-besar di salah satu dindingnya. Kesannya cukup sederhana, seperti rumah makan kebanyakan. Meja-meja yang ditata rapi dengan kursi-kursi plastik sebagai pendamping dan beberapa gambar menu makanan yang terpajang di dinding.

Setelah melepas sabuk pengamannya, Ara belum sempat keluar saat tiba-tiba Sena sudah lebih dulu membukakan pintunya.

"Ayo, Jingga. Turun."

Ah, tentu saja. Tolong berhenti besar kepala, Ara!

Namun manakala gadis tersebut menggelengkan pelan kepalanya untuk menyadarkan diri. Sebuah tangan tiba-tiba terjulur di hadapannya. Dan ketika mendongak, Ara bisa melihat netra Sena yang menyipit dengan lesung pipinya yang terlihat jelas.

"Ayo, Ara. Kamu juga turun." Sena berujar saat Ara yang mendadak diam.

Cepat-cepat sadar. Ara menerima uluran tangan Sena sebelum keluar dari mobil yang ditutup pintunya oleh Sena terlebih dahulu. Baiklah, hadirnya Sena yang kini tengah menggandeng Jingga tampak menarik perhatian. Belum lagi saat pengunjung tempat makan ini didominasi oleh anak-anak muda yang tentu saja ada beberapa gadis yang curi pandang seraya terkikik dan saling berbisik.

Ara tidak bodoh untuk tidak menyadari bahwa Sena 'si papa muda super tampan' itu tengah menjadi hot topic di sana. Tidak peduli dia tengah menggandeng bocah dan hadirnya presensi Ara sama sekali tidak membantu.

Setidaknya Ara bisa bersyukur Sena tidak menggunakan pakaian mencolok. Hanya sebuah celana selutut dan kaos putih dengan sandal khusus berpergian yang dikenakannya. Style yang Ara gunakan tidak benar-benar terbanting.

"Kenapa nggak makan di tempat Mas Sena saja? Atau saya malah mikirnya Mas bakalan ajak ke tempat-tempat yang sedikit lebih mahal."

Sena terkekeh sejenak manakala mereka sudah menempati tempat duduk. Ia memandang sekitar untuk sesaat sebelum menyahut santai, "Memangnya tempat kayak gini bukan level dan selera kamu, ya?" ledeknya.

"Eh? Nggak, kok. Nggak," Ara cepat-cepat menggeleng, "Cuma nggak nyangka saja. Mas kan saya lihat protect banget sama kesehatannya Jingga. Terutama sama makanan yang dia konsumsi. Agak kaget saja kita datang ke tempat yang sederhana gini."

"Jingga nggak suka kalau ujung-ujungnya makan di kafe saya. Katanya justru malah kayak makan di rumah sendiri," pria tersebut tertawa kecil seraya mengusap puncak kepala anaknya, "Jingga juga nggak saya kekang untuk masalah makanan. Selagi itu bersih dan layak dimakan ya nggak apa-apa. Asalkan nggak berlebihan dan keseringan."

Ara mengangguk paham. Benar juga, sih. Karena dia juga sudah sesekali melihat Jingga berbelanja jajanan pinggiran di depan sekolah saat dia menjemputnya. Dan Sena tampak tidak memarahinya. Lagipula, Jingga cukup penurut.

"Skripsimu sudah sampai mana, Ara?" tanya Sena membangun topik pembicaraan.

"Sejauh ini lagi mau persiapan untuk sempro sih, Mas. Syukurnya lancar. Tinggal nunggu jadwal keluar ujian saja."

"Dosen pembimbingmu enak-enak, kan? Nggak nyusahin?"

"Syukurnya nggak. Ya, meskipun harus sabar juga karena banyak banget revisian waktu itu. Tapi dosen pembimbing satu dan dua saya masih sejalan. Nggak kayak beberapa teman yang justru saling bertolak belakang."

Sena yang kali ini mengangguk. Ia tentu tahu rasanya berada di posisi Ara karena secara pribadi pun ia pernah berada di posisi yang sama.

"Tapi kamu hebat, lho," Sena menjeda sesaat lantaran makanan mereka baru saja tiba. Lalapan bebek untuknya, lalapan ikan untuk Jingga, dan ayam geprek untuk Ara. Di susul es jeruk milik si kecil dan es teh untuk Sena dan Ara, "Kamu bisa-bisanya kerja sambil nyusun. Apalagi kamu pulang kerja saja malam-malam." Sena melanjut manakala mengatur makanan untuk mereka masing-masing.

Ara hanya bisa tersenyum, "Mau nggak mau harus bisa, Mas. Demi hidup enak dan punya uang," ucapnya ringan, sembari memisahkan daging ikan dari duri-durinya agar mudah dimakan oleh Jingga.

Sena membiarkan bagaimana Ara mengurus anaknya telaten. Ia tersenyum simpul sesaat, sebelum dua mata cokelatnya melirik risih pada kacamata milik Ara. Lantas ia menarik satu lembar tisu yang tak jauh darinya.

"Ara, permisi. Boleh saya ambil kacamatamu?"

"Hm?" Ara mematung bingung, kegiatannya yang tengah memisahkan ikan milik Jingga terhenti sejenak. Namun, ia tetap mengangguk. Berniat mengambil kacamata yang tengah bertengger di wajah dengan punggung tangan karena jemarinya sudah kotor.

"Biar saya saja," Sena menyela tindakan Ara dan mengambil kacamata milik gadis itu hati-hati. Dan setelahnya, membersihkan lensa kacamata milik Ara.

Lalu setelahnya, ia memasangkannya kembali di wajah Ara dengan hati-hati. Tersenyum puas saat melihat hasil kerjanya, "Nah, sudah bersih sekarang."

Ara total memantung.

Astaga, tolong berhentilah berdebar sudah macam orang yang tidak pernah bernapas sebelumnya. Sedang Ara tidak habis pikir, bagaimana bisa Senarai tampak luar biasa santai setelah melakukan itu semua pada Ara. Tersenyum tipis dan cukup hangat di hadapannya. Setelah mencuci tangannya, ia menikmati makan malam dengan tenang. Tanpa bertanggung jawab sedikit pun atas perasaan Ara yang justru berbanding terbalik saat ini.

"Ma-makasih lho, Mas."

Senarai mengangguk ringan. Seolah hal yang ia lakukan bukanlah hal besar yang patut dipikirkan. Ara kembali melanjutkan tugasnya. Susah payah menghindari tatapan mata Sena demi kebaikan detakan jantungnya.

Di sisi lain, Sena tersenyum puas. Puas sekali melihat wajah Ara yang bersemu merah dengan tingkah canggungnya itu. Netra si pria mendadak mengintari setiap sudut ruangan di tempat makan yang sedang mereka kunjungi. Tidak terlalu besar memang, tapi menu yang sedang ia santap cukup untuk terbilang enak. Suasana ramai lantaran malam minggu dengan beberapa pasangan, keluarga, dan anak-anak muda yang memenuhi tempat.

Di ruang yang cukup ramai tersebut dengan hiruk pikuk setiap manusia di dalamnya. Semua itu seolah tak ada gunanya manakala titik fokus Sena hanyalah seorang gadis berjaket navy di hadapannya. Senarai memandang Ara dalam saat gadis tersebut tengah disibukkan mengurus anaknya dengan telaten. Dan di saat yang sama pula, seiring dengan detakan abnormal dari jantungnya, Sena tahu sebuah perasaan asing apa yang hadir di benaknya. Perasaan yang akhir-akhir ini terus mengusiknya.

Perasaan ... yang sudah sangat lama tidak ia rasakan. Dan kali ini, ia merasakannya lagi.

***

Jika harus bertanya pada dirinya sendiri, sudah berapa lama ia tidak merasakan debaran penuh arti ini. Sena barangkali akan menjawab; "Sudah teramat lama."

Ia tidak tahu pasti kapan rasa yang hilang pada akhirnya kembali terasa saat presensi gadis muda di sampingnya itu hadir. Apakah saat Ara yang nekat masuk ketika restorannya tutup? Apakah saat ia pertama kali mengajak Ara ke rumahnya? Atau, apakah saat ia melihat kedekatan Ara dengan anaknya.

Sebuah kalimat mengenai waktu yang menyembuhkan luka agaknya bisa dibenarkan oleh Sena. Tidak semua orang merasakannya, tetapi sebagai pribadi yang mengalami itu semua tentu saja Sena bisa menyimpulkan bahwa itu bukanlah sesuatu yang buruk. Meskipun―ya, butuh teramat lama untuknya bisa berdamai dengan kenyataan.

Menelisik kembali beberapa tahun yang lalu saat ia sedang dalam fase pertama kali merasakan jatuh cinta pada seseorang yang teramat cantik dan menarik perhatiannya. Seseorang dengan senyum cerahnya dan pendar dari kedua mata bulatnya.

"Kak Sena, makasih ya sudah antar Luna pulang." Si gadis berucap malu-malu dengan kepala tertunduk.

Sedang pemuda yang kala itu terduduk di atas motor maticnya hanya mengangguk dan tersenyum ramah, "Sama-sama, Kaluna. Besok-besok hati-hati, ya. Hapenya jangan sampai low-bat biar bisa hubungi orang lain."

"Iya, Kak. Syukur banget ada kakak lewat di depan tadi. Kalau nggak, bisa-bisa saya jalan kaki," candanya.

"Hehe, iya," Sena tertawa kecil, "Ya sudah. Aku duluan ya, Luna. Sampai jumpa besok."

Sebenarnya, dia hanyalah gadis biasa. Teramat biasa. Perempuan penyuka tontonan drama korea, mengidolakan boyband yang sedang tenar pada zaman itu, tertawa riang saat sedang bersenda gurau dengan yang lain, menggosipkan lelaki-lelaki tampan di sekolah mereka. Singkatnya, ia seperti gadis kebanyakan yang begitu menikmati masa-masa mudanya.

Namun dengan segala kesederhanaan itu, Kaluna Maharani berhasil menarik perhatian Senarai Jumantara hanya karena sebuah alasan sederhana. Ia tampak begitu cantik dan bahagia saat sedang tertawa.

Meskipun, sayangnya. Perasaan cinta yang merekah itu hanya bisa Sena simpan dalam hatinya untuk jangka waktu yang cukup lama. Membiarkannya begitu saja, menikmati setiap sakitnya, setiap senangnya, setiap lukanya. Sampai ia sendiri tidak ingat kapan ia mulai terbiasa dengan keadaan dan kesendiriannya.

"Papa? Mau es krim rasa apa?"

Suara si kecil menyentak Sena dari lamunannya sejak tadi. Ia menunduk saat dilihatnya Jingga yang tengah menarik ujung kaosnya. Di sampingnya, Ara mengernyit keheranan lantaran Sena yang tampak asyik dengan dunianya.

Berdeham untuk melepas kecanggungan, Sena menjawab asal, "Cokelat saja, deh."

"Nggak mau pakai toping, Pa?"

"Nggak usah."

Jadi setelah memesan dan berakhir dengan Sena yang membayar seluruh belanjaan mereka, ketiganya sepakat untuk mengambil tempat di sudut ruangan. Menghabiskan es krim bersama seperti orang lain kebanyakan di tempat itu. Jingga mengambil posisi di samping Ara, agaknya Ara yang tidak membiarkan Jingga pergi dari sisinya untuk tetap mengurus anak tersebut. Pun mengingat kebiasaan Jingga makan es krim yang sedikit berantakan, ia memilih tetap mengurusnya.

"Makasih lho, Mas. Sudah repot-repot jajanin aku segala."

"Nggak perlu makasih," Sena menjawab ringan, "lagian ini masih terhitung jam kerjamu. Saya kan sudah bilang kalau makanmu bareng kita saja. Pengasuh yang dulu juga begitu."

"Termasuk di ajak jalan-jalan begini?"

"Oh," Sena menjeda sejenak, "kalau itu sih nggak. Soalnya dulu pengasuhnya Jingga sudah punya suami. Ibu-ibu. Nggak enak sama suaminya kalau saya suruh ajak keluar. Sekalipun Jingga juga kalau di luar anaknya nurut dan nggak suka lari-lari. Kasihan saya."

"Terus sama saya nggak kasihan?" Ara bertanya dengan nada canda.

"Nggak. Kamu masih muda. Hitung-hitung biar sehat. Olahraga," namun detik setelahnya ia meralat cepat, "Eh, bukan olahraga juga sih hitungannya. Dari tadi kamu makan saja kerjanya."

Ara hanya menggeleng sembari membersihkan ujung bibir Jingga. Lantas tak mau asal dihiraukan begitu saja, Sena menyondongkan badannya dengan kerlingan jahil, "Kalau mau hitung-hitungannya olahraga, gimana kalau kita jalan saja? Ke mall barangkali?"

"Itu sih Mas saja yang modus," sahut Ara galak, "saya sibuk lho. Persiapan sempro. Kan sudah saya bilang tadi."

"Justru itu. Refreshing, Ra."

"Bukan refreshing namanya, Mas. Mana tenang jalan-jalan kalau masih ada beban."

"Ya sudah, kalau begitu setelah sempro saja. Sebelum kamu penelitian."

"Nggak bisa juga," Ara buru-buru memutar otak. Mencari satu celah dan alasan lain agar tidak harus menerima ajakan Sena. Seolah alarm bawah sadar tanda bahaya berdering keras dalam dirinya. Dan Ara sama sekali tidak mau menanggung resiko apapun, "Saya sibuk nyiapin penelitian. Lagi pula, kapan mau keluar? Pagi sampai siang saya ngurus skripsi, sekalian bimbingan sama dospem. Siang sampai malam urus Jingga. Malam ngurus revisian. Nggak pernah sempat, Mas."

Sudah sampai di sana. Sena mengangguk mengalah. Barangkali bukan saat ini. Lagipula mereka baru bersama satu bulan ini. Itu pun tidak melalui pertemuan-pertemuan intensif mengingat kesibukan Sena. Wajar bagi Araya menjaga jarak mengingat mereka belum sedekat itu dan Ara yang tampak jauh lebih dingin dari yang terlihat. Jadi, Senarai tak mau lagi memaksa gadis tersebut.

Di sisi lain, Araya sadar diri bahwa hal-hal semacam tadi tidak sepantasnya terjadi di antara mereka. Mengingat bahwasanya Sena menyandang status duda, yang pasti sebelum itu ada seorang wanita yang sudah lebih dulu menempati hatinya. Untuk seseorang yang sudah beranjak dewasa, Ara sadar bahwa mencintai seorang lelaki yang sudah lebih dulu menempatkan gadis lain di hatinya tentu saja hal yang sangat ia hindari. Meminimalisir patah hati yang mana Ara tidak mau repot-repot berurusan dengan itu lagi. Setidaknya untuk saat ini.

Bagaimana pun, patah hatinya yang lalu karena Navarendra saja butuh bertahun-tahun untuknya kembali menata hati. Ia hanya tidak mau melangkah terlalu cepat.

"Papa, pulang. Ngantuk." Jingga yang baru saja menghabiskan satu gelas berukuran sedang berisi dua cup es krim mulai menguap. Ia sejak tadi berceloteh riang menceritakan hal-hal menarik di sekolahnya. Dua kaki yang menggantung itu bergerak maju mundur seiring dengan kehebohan ceritanya. Maka tak heran bahwa kini ia sudah kelelahan begitu.

Sena tersenyum gemas dengan hidungnya yang mengkerut, "Kalau gitu ayo kita pulang, princess. Tapi sebelum itu, kita antar Mba Ara pulang, ya?"

Jingga mengangguk menurut.

Namun agaknya malam itu tidak berakhir cepat untuk ketiganya. Atau lebih tepatnya untuk si pria Jumantara. Tepat manakala ia bangkit dan menggandeng tangan kiri putrinya, di susul Ara yang juga tengah menggandeng tangan kanan Jingga, bunyi lonceng kedai es krim tersebut terdengar dan sepasang kekasih masuk ke dalamnya.

Jika seseorang tersebut adalah orang asing, tentunya Sena tidak akan melakukan tindakan bodoh seperti ini. Berhenti tiba-tiba dan mengamati presensi dua orang di hadapannya. Melihat mereka berdua secara bergantian.

Sedang seseorang yang dikenal Sena, di hadapan mereka melakukan hal serupa. Menghentikan langkah secara tiba-tiba dan tampak menampilkan mimik luar biasa terkejut dengan mata yang membola sempurna. Wanita tersebut melihat Sena, sebelum arah matanya berganti pada satu buntalan kecil yang tengah digandeng si Jumantara di susul Ara yang juga dilihat dengan ekspresi serupa.

Sena menarik satu sudut bibirnya. Astaga, sudah berapa lama waktu berlalu? Usia Jingga kali ini baru saja menginjak tujuh tahun. Jadi, kurang lebihnya sudah 8 tahun Sena tidak berjumpa sapa dengan wanita di hadapannya.

Dia masih terlihat sama seperti dulu. Dengan poni berspasi yang kini sedikit memanjang di dua sisi wajahnya, rambut berwarna kecokelatan yang dibiarkan terlerai sampai pinggang, mata bulat khasnya. Terkecuali ... sebuah cincin yang kini terlingkar di jari manisnya dan tangan wanita tersebut yang melingkar di lengan pria di sampingnya.

"K-kak ... Sena?" ia bertanya setengah tercekat. Melihat Sena yang tengah menatapnya datar dan tatapan dinginnya. Sangat berbeda dari Senarai yang ia kenal 8 tahun silam. Sorot si wanita beralih pada seorang anak yang mengerjap menatapnya polos. Ia mengamati wajah wanita tersebut dengan alis yang bertautan. Seolah kantuk yang sejak tadi dirasanya hilang entah kemana.

"Bunda? Ini benar Bunda, kan?"

Seolah disiram dengan air super dingin secara tiba-tiba. Ara tidak tahu harus berbuat apa saat mendadak seluruh keadaan yang ia lihat tampak jelas di hadapannya. Belum lagi dengan pertanyaan Jingga yang baru saja terlontar cukup jelas tanpa basa-basi. Ara tidak membutuhkan waktu untuk berpikir lebih lama.

Mendadak ia merasa sedang menonton adegan selayaknya sinetron-sinetron tontonan favorit Mamanya di rumah.

Satu sudut bibir Senarai terangkat. Ia menyeringai dan menatap tajam wanita yang mati kutu di hadapannya dan diam seribu bahasa. Dalam hatinya bersorak akan sikap Jingga yang benar-benar frontal seperti tadi. Ia bisa menjamin ucapan tersebut menohok hati sang wanita di hadapannya.

"Halo, Kaluna. Lama tidak bertemu."


Anyway, yuk komennya juga biar aku semakin semangat updatenyaa. Mulai sekarang aku usahain update tiap hari biar cerita ini cepat kelar hihii

Bonus dari Juniar dan Ara biar nggak tegang-tegang banget

Anyway, fake chat macam gini sering aku update di ig. Jangan lupa follow igku juga @bintangsarla 💜💜

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro