#Redup16. Inginnya Hati

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jangan lupa tekan tombol bintang sebelum membaca.

Selamat membaca dan selamat bersemesta 💜

Pada dua bab ini kalian akan diajak untuk mengenal Navarendra lebih dalam. Dan akan ada beberapa flash back tentang masa lalu Ara dan Nava

Disarankan untuk menonton videonya (boleh sebelum atau setelah membaca bab ini)





            Seharusnya di akhir pekan ini Ara bisa tidur dan menikmati harinya dengan tenang. Paling tidak membaca koleksi bukunya atau sekadar menonton drama Korea favoritnya. Namun manakala pagi tadi Senarai mendadak menghubungi bahwa Jingga merengek mengajak jalan-jalan yang sekalian berbelanja bahan bulanan sampai malam datang, Ara tidak bisa untuk tidak melepas lelah di atas ranjangnya. Belum lagi mengingat apa yang Sena katakan padanya.

Astaga. Ara jadi malu sendiri.

Saking malasnya mengingat kejadian itu, Ara sampai melupakan eksistensi Juniar yang menjemputnya dan mengantarnya sampai rumah. Lalu mengabaikan sapaan hangat teman-teman satu kontrakannya yang mengajak makan rujak ramai-ramai. Sumpah, tenaga Ara benar-benar habis dan ia tidak tahu harus bagaimana.

Ini semua terlalu tiba-tiba dan sejujurnya saja Ara belum sepenuhnya siap. Hidupnya masih cukup kacau dan dia baru saja membenahi perlahan bersama dengan Juniar. Butuh waktu yang cukup lama dan ketika semuanya akan kembali normal, sebuah drama baru kembali hadir untuknya.

Tuhan, sebenarnya apa yang terjadi pada semesta milik Araya ini?

"Kenapa harus bingung sih, Ra? Kalau kamu punya kesempatan untuk menjadi seseorang yang bisa memegang prinsip 'jalani saja dulu' dalam hidupnya, ya jalani saja. Percaya, deh. Di luar sana banyak sekali orang-orang yang ingin punya kesempatan seperti itu." Sebuah kenangan lama menghampiri Ara dan di detik yang sama, ia tersenyum getir. Wajah Navarendra dalam benaknya tergambar jelas. Sorot mata yang tampak menyedihkan itu memaksakan sebuah senyum terpahat hanya untuk menunjukkan bahwa keadaannya tengah baik-baik saja.

"Tapi bukannya orang-orang yang punya prinsip begitu mereka tergolong orang yang pasrah, ya? Menerima saja keadaan tanpa pikir panjang, tanpa ada pikiran mereka pantas nggak dapatin hal itu? Atau barangkali saja itu sesuatu yang mereka mau apa nggak?" Ara balik bertanya, ia menoleh menatap Nava dengan dua kaki yang diluruskan dan tangan yang dijadikan tumpuan.

Di sisi kirinya, Nava tersenyum hangat. Ia menyeruput sejenak es jeruk miliknya sebelum berucap, "Di dunia ini, memangnya pantas buat kita untuk dapat semua yang kita mau, Ra? Kalau begitu, darimana manusia bisa belajar untuk menjadi lebih dewasa?"

Sekali lagi. Seperti biasa. Ucapan Navarendra tidak bisa untuk tidak membuat Araya bungkam. Lelaki itu begitu pandai membalikkan keadaan dan membuat Ara merasa menjadi orang paling bodoh dengan pemikirannya yang sedikit kekanakan.

Atau barangkali saja ... Navarendra yang sudah lebih dulu dewasa sebelum waktunya.

Si gadis tersenyum lebar. Menampakkan lesung pipi yang hanya terletak di pipi kanannya saja. Ia tampak puas menatap pahatan Tuhan yang begitu indah di sampingnya. Navarendra Dirgantara itu, selain tampan dan rupawan. Perilakunya yang sangat santun, pintar dan berwawasan luas, serta sikapnya yang dewasa. Dari semua yang ada dalam dirinya, Ara sadar bahwa dia semakin jatuh ke dalam pesona yang dibawa Nava.

"Duh, pintar sekali sih pacarku." Ara berkata gemas sebelum mendaratkan satu cubitan di pipi Nava.

Si pemuda merengut kesal tak suka. Namun urung memarahi manakala cengiran tak bersalah Ara yang kini berada di hadapannya. Lantas ia hanya menyingkir seraya mendorong pelan Ara agar menjauh darinya.

"By the way ya, Nav," Ara memanggil, yang dibalas dehaman singkat oleh Nava, "kenapa sih kamu mau pacaran sama cewek kayak aku?"

Nava yang tengah menikmati semilir angin dan memandangi teman-temannya yang bermain basket di lapangan pun menoleh, "Memangnya kamu kenapa?"

"Ya nggak kenapa-kenapa. Cuma penasaran saja," Ara mengedikkan bahunya, "Di sini kan banyak cewek cantik-cantik. Terus pintar dan jago di pelajaran masing-masing. Aku di kelas saja cuma dapat ranking sembilan. Kenapa mau sama cewek biasa-biasa saja kayak aku?"

Nava kembali menatap lurus ke depan. Melihat betapa serunya temannya saling mengoper bola oranye tersebut dan memasukkannya ke dalam ring. Si Dirgantara mengedikkan bahu yang semakin mengundang rasa penasaran Ara.

"Mungkin karena kamu yang paling sederhana kali," jawabnya tenang.

"Ha?" Ara semakin mengernyit tak paham.

"Cowok ribet kayak aku," Nava menjeda untuk kembali menatap dan memokuskan atensi pada sang kekasih di samping, "butuhnya cewek yang sederhana kayak kamu."

"Memangnya aku gimana?"

Nava menghela napasnya. Terkadang heran kenapa seseorang seperti Ara sesekali tidak bisa menangkap ucapannya. Namun, toh, dia tetap berkata sabar.

"Jawaban singkatnya, aku ngerasa nyaman. Kamu nggak kayak cewek lain yang cerewetnya nggak ketulungan cuma untuk narik perhatianku. Sombongin ini dan itu supaya mereka kelihatan superior. Sementara kamu beda, Ra. Kamu memang biasa-biasa saja, tapi dengan kamu yang nggak banyak omong kayak mereka, justru itu yang buat kamu menarik di mataku. Dan entah kenapa, aku ngerasa lebih cerewet aja kalau sama kamu. Kayaknya aku harus bilang makasih sama Juniar karena sudah kenalin kita."

Wajah Ara sudah tidak bisa terkontrol lagi. Memerah total. Ia bersemu kendati sebuah cengiran puas akan jawaban Nava tercetak jelas dari ekspresinya. Ia bahagia sekali dan Navarendra jelas tahu akan hal itu. Pemuda tersebut, kendati tampak dingin dan seolah tidak paham apapun, dia cukup memerhatikan detail kecil dan bukan hal yang sulit menilai perasaan Ara dari ekspresi yang terlihat jelas di wajahnya.

Terkekeh gemas dengan senyum kotaknya. Satu tangan Nava terangkat untuk mengusak puncak kepala Ara. Dan Ara tampak menikmati itu semua dengan senyuman yang semakin memenuhi wajahnya membalas tatapan tulus Navarendra padanya. Mengabaikan sejenak eksistensi orang-orang di sekitar mereka yang menatap iri, seolah hanya keduanya saja yang berada di tempat umum tersebut.

"Makasih, ya," Nava berkata tulus dengan senyum hangatnya yang hanya ia perlihatkan hanya di hadapan Ara, "Makasih sudah mau jadi tempatku untuk pulang."

Sebenarnya suasananya sedikit serius dan Ara tidak menampik dia gugup setengah mati. Belum lagi melihat betapa tampannya pesona Navarendra di hadapannya. Sedangkan Ara mengangguk singkat dengan seulas senyum yang masih terpatri di wajah. Menikmati elusan lembut Nava di puncak kepalanya sebelum menyahut jahil.

"Nav, jangan minta putus dari aku ya nanti. Habisnya nyari cowok ala-ala wattpad macam kamu ini susah lho."

"Nggak kok," Nava berucap kelewat yakin. Membuat Araya semakin memerah di sana, "Maunya sama kamu, nanti sampai sukses sama-sama."

"Dih, gombal nih ceritanya? Cheesy banget kamu, Nav."

Navarendra terkekeh. Suara tawa renyahnya yang dalam terdengar merdu di telinga Ara, "Tapi gini-gini kamu senang kan digombalin sama aku?"

Tanpa pikir panjang, Ara mengangguk yakin, "Iya, habisnya rasanya kayak di sayang."

"Di sayang sama?"

"Sama Nava."

"Pintar."

Selepas itu mereka tertawa bersama. Sebelum bel masuk berbunyi dan keduanya bangkit. Membersihkan debu di seragam abu-abu masing-masing dan bersama melangkah memasuki kelas untuk kembali belajar seperti murid lain kebanyakan.

Tanpa disadari Ara, entah sudah sejak kapan air mata tersebut berlinang membasahi sprei kasurnya. Menatap kosong ke langit-langit kamar dengan posisi terlentang. Semakin lama semakin berdatangan pula memori usang nan indah di benaknya. Cukup untuk membuat si gadis terisak sampai menangis sesenggukan. Ia bahkan beringsut dan mengubah posisi tidur. Tengkurap dan menenggelamkan wajah di bantal untuk meredam suara tangis yang semakin mengeras.

Semakin lama dan Ara semakin kehilangan kontrol atas dirinya sendiri.

"Kita memang nggak akan pernah tau bagaimana hidup kita ke depannya, Ra. Tapi asal kamu tau saja, aku bahagia banget bisa bawa kamu ke dalam semestaku."

Seharusnya itu menjadi sebuah perbincangan yang serius dibumbui hal-hal romansa seperti biasanya. Navarendra dengan setumpuk kalimat ala-ala orang dewasa yang selalu bisa membuat Ara luluh dan terkesima di saat yang sama.

Namun kali ini nyatanya berbeda. Tak ada lagi senyum kotak yang Ara sukai, tak ada usapan hangat di puncak kepalanya, tidak ada sorot hangat penuh ketulusan yang hanya diberikan Navarendra untuk Ara.

Manik cokelat itu menatap kosong Ara di hadapannya. Di sisa-sisa asa terakhir yang ia simpan untuk dirinya sendiri, Navarendra masih sempat mengeluarkan seulas senyum yang tampak luar biasa getir di sana. Ara tak bisa untuk tidak menahan tetes air mata yang mulai membasahi wajahnya. Kepalan tangannya semakin erat di saat Nava kembali melanjutkan ucapannya.

"Ara, aku lelah sekali."

Ara mengangguk kendati mencoba seribu kali pun, ia tidak akan pernah paham bagaimana perasaan sang terkasih. Bagaimana selama ini Navarendra bertahan dengan luka-luka yang ia tahan seorang diri. Bagaimana selama ini kekasihnya menyimpan semuanya. Perasaan-perasaan itu. Marah, kecewa, sedih, lelah, muak. Ara tidak akan pernah mengerti karena sejatinya dia bukanlah seseorang yang paham akan masalah pelik yang ditahan Nava seorang dirinya.

"Nava," Ara memanggil lirih. Ia menahan tangisnya. Dua tangannya terulur untuk menempatkan kepala Nava di pundaknya. Membiarkan lelaki tersebut berdiam sejenak dan hanya menuruti apa yang Ara lakukan padanya.

Ara mengelus kepala Nava dengan lembut. Ia berusaha menahan tangis agar sang terkasih tidak semakin merasa telah membebani dirinya.

"Ada aku, Nava," katanya lirih, ia menepuk punggung pemuda tersebut kembali meyakinkan Nava di pelukannya, "Ada aku. Kamu nggak sendiri."

Di kamarnya, Ara semakin terisak dan menangis. Tangan gadis itu meremas kaosnya bertepatan di depan dada. Sesak sekali sampai ia harus menepuk dadanya beberapa kali. Mencoba membuatnya sedikit lebih baik kendati itu semua sia-sia.

Ara sadar, kendati hatinya sudah perlahan melepaskan sosok sang kekasih yang telah lama pergi, perasaan itu akan selalu ada. Perasaan yang barangkali akan abadi sepanjang Ara masih sanggup bernapas di bumi ini. Hatinya masih menginginkan Nava dengan teramat sangat. Merindukannya di beberapa kesempatan dan mencoba meyakinkan kembali dirinya bahwa mengharapkan Nava kembali adalah sesuatu yang mustahil.

"Ara, barangkali memang aku yang terlalu takut untuk melibatkan kamu masuk ke dalam semestaku. Maaf karena aku yang nggak percaya dan membuat kamu mengerti selama ini. Tapi Ara, kekasih mana yang tega untuk membuat kekasihnya hidup tidak bahagia? Semestaku nggak seindah yang kamu kira. Nggak se-simpel kisah romansa antara anak-anak SMA seperti yang kamu baca. Cukup aku yang rusak, kamu jangan."

"Tapi aku sudah terlanjur rusak sekarang, Nava." Ara menggumam lirih dengan wajah yang masih menempel pada bantalnya. Gadis tersebut masih menangis lirih sampai bunyi dering ponselnya meraih fokus gadis tersebut.

Setelah melihat si pemanggil, Ara lekas mengangkat. Membiarkan isakannya terdengar lebih dahulu karena sungguh, Ara lelah jika harus berpura-pura baik saat kondisi hatinya tidak merasakan hal serupa. Ia bukan anak bodoh seperti halnya Navarendra yang kerap melempar senyum saat dalam dirinya tak ada satu pun hal yang bisa membuatnya bahagia.

Mendadak Ara meringis pilu. Apa dia pernah menjadi alasan Navarendra bahagia selama ini?

Beberapa menit berselang. Sampai tangisannya mereda, sebuah suara di ujung sana terdengar.

"Sudah selesai nangisnya?"

Masih dengan sisa-sisa sesenggukannya. Ara berkata dengan suara patah-patah, "Dia jahat sekali, Juniar. Dia jahat! Nggak seharusnya dia pergi! Kalau dia sayang dan peduli sama aku, seharusnya dia nggak ninggalin aku sendirian! Seharusnya dia nggak bikin aku semakin sakit begini. Dia nggak mau bikin aku rusak, tapi dia yang buat hidupku hancur!"

Di ujung sana, Juniar menghela napasnya. Ia berusaha sabar manakala Ara mengumpat beberapa kali melempar seluruh amarahnya pada Juniar. Keputusannya menelepon ternyata benar. Setelah melihat Ara yang cenderung diam selepas dijemputnya dari rumah Sena, pemuda tersebut tahu ada sesuatu yang tidak beres terjadi.

Lantas manakala Ara sudah lebih tenang, Juniar bertanya dengan nada tegasnya.

"Jujur sama aku, apa si Sena-Sena itu ngaku kalau dia suka sama kamu?"

Sebelum pergi, jangan lupa tinggalkan feedback berupa komentar, vote, dan share cerita ini juga ke teman-teman kalian untuk bisa diajak bersemesta bersama. Follow juga instagramku @bintangsarla untuk konten-konten menarik lainnya💜

Anyway, aku harap, cerita ini juga bisa menjadi sebuah rumah untuk kalian. Tempat dimana satu-dua perasaan kalian bisa terwakilkan dan membawa banyak pesan moral yang bisa kalian ambil di sini 💜💜

Love
—Bintang

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro