#Redup30. Pesan Kaluna

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Selamat bersemestaa!!
Jangan lupa vote dan komentarnya yoww


            Sebut saja Sena adalah lelaki yang kini tengah kehilangan keobyektifannya. Mutlak, tanpa ada tapi atau kecuali. Ia sendiri pun heran, apa penyebabnya rela bangun lebih awal. Menyiapkan sarapan terlebih dulu sebelum si kecil belum sempat terbangun. Bahkan repot-repot menuliskan sebuah note di meja makan lengkap dengan segelas susu dan beberapa potong roti panggang isi selai cokelat kesukaan anaknya di sana. Sedangkan ia sendiri meraih jaket yang tergantung di balik pintu pun kunci mobil. Melaju membelah jalanan yang masih sepi hanya demi membeli serabi yang katanya cukup ramai karena keenakan rasanya.

Sejujurnya, Sena sudah pernah pergi ke sana. Menuju tempat penjual serabi hangat di pinggir jalan dan hendak membeli dua bungkus untuknya santap bersama dengan Ara. Namun, yang didapati justru ekspresi menyesal ibu-ibu penjual lengkap dengan kotak-kotak kosong yang tengah disusun dan bungkus daun pisang yang sudah menipis. Kesimpulannya, Sena terlambat.

Jadi, tidak mau menyia-nyiakan kesempatannya, si Jumantara beralih bangun lebih pagi. Menyiapkan kejutan kecil untuk si kekasih agar lebih bersemangat menjalani hari. Sesuatu yang baik tentunya akan lebih baik pula jika dimulai dengan hal-hal yang manis, bukan?

Bersyukurnya, Sena datang tepat waktu. Hanya ada lima orang yang tengah mengantri. Enam ditambah Sena yang kini sudah menyebutkan pesanan. Sehingga kala gilirannya tiba, ia menahan saliva di balik mulut ketika menangkap gula merah tengah dibaluri di atas serabi yang masih mengepul panas.

Pesanan siap. Saatnya mengantarkan ke kediaman tuan putri.

"Halo?"

"Halo, Cantik. Lagi di mana?" Sena mengapit ponselnya di bahu. Seraya menaruh plastik makanannya di bangku samping seraya menyalakan mesin mobilnya.

"Mau bimbingan. Ada apa?"

"Sabtu gini mau pergi bimbingan?"

Terdengar decakan ringan di ujung sana, pun piring yang saling bersahutan, "Iya, soalnya dosen duaku mau keluar kota seminggu. Jadinya ngejar hari ini."

Sena mengangguk paham kendati gadisnya tak melihat, "Nggak usah buru-buru. Kita sarapan bareng aja. Aku lagi jalan ke kontrakanmu."

"Eh? Pagi banget? Jam segini pula."

"Nggak apa-apa. Aku datang, ya."

"Oke, hati-hati, Mas."

"Sayang," Sena mengoreksi dengan nada setengah menggoda. Pun menahan tawanya.

"Iya," Ara justru menyahut. Mengira panggilan itu ditujukan untuknya, yang mana semakin membuat Sena melepas tawanya begitu saja.

"Bukan, Araya," katanya lembut, seraya memerhatikan jalanan yang masih cukup sepi pun ponsel yang di aktifkan loudspeaker-nya, "maksudku, kamu ganti kata 'Mas' jadi kata 'Sayang'. Masa sama pacar sendiri nggak mau gitu."

"Ih, apaan, sih!" Ara menyentak protes tidak terima. Sena bahkan bisa membayangkan wajah malu kekasihnya yang bersemu semerah tomat.

"Iya, iya. Galak sekali pagi-pagi. Aku lagi jalan nih. See you."

***

Mereka memutuskan untuk segera keluar saja. Tidak mau menunggu terlalu lama karena Ara sudah merengek kelaparan. Dia bahkan sudah menunggu di beranda sembari memainkan game di ponsel. Dengan kemeja bermotif bunga-bunga dan rok span serta rambut yang diikat kuda, tambahan kacamata yang bertengger di wajahnya. Sena bisa melihat sisi manis kekasihnya itu.

Selepas buru-buru mempersilahkan Ara masuk ke dalam mobilnya, kekasihnya itu sempat-sempatnya berceloteh panjang lebar. Kesal karena Sena yang tiba-tiba saja datang tanpa aba-aba sebelumnya, Ara bahkan harus menelepon Juniar untuk membatalkan sahabatnya itu berangkat bersama. Yang tentu saja menyulut emosi si Jumantara.

"Kan sudah aku bilang nggak usah kemana-mana sama si Jun. Sama aku aja kenapa, sih?"

"Ya habisnya kita mumpung dapat konsulnya bareng. Dulu-dulu Juniar juga jadi sopir pribadiku. Kenapa baru protesnya sekarang."

Masih fokus dengan jalanannya, Sena tidak mau kalah, "Ya habisnya kamu dari dulu di tembak, nggak terima. Kalau dari dulu kita pacaran, ya dari dulu aku marah-marah."

Menengok kepada pacarnya yang tengah fokus menyetir. Ara mengulum bibir, menahan tawa gemas. Diperhatikannya penampilan casual Sena di sampingnya dengan bibir bawah yang dimajukan dan alis yang menukik. Ara bisa menjamin Sena menyimpan kekesalannya di sana.

"Ya terus kalau Mas sibuk, aku pergi sama siapa, dong?"

"Kan motormu ada," balas Sena singkat. Teramat singkat sampai Ara pun mencoba mengangguk paham.

"Iya, deh," namun Ara masih menyempatkan diri mengomel pelan seraya memojok menatap jalanan di luar sana, "padahal waktu sama Juniar nggak perlu repot-repot kena macet."

"Aku dengar, Araya Nayanika."

Mendengar Sena sampai memanggil nama panjangnya, mau tidak mau Ara berdecak kesal. Memincing menatap Sena, namun toh ia tetap menyahut, "Iya, iya. Maaf."

Mereka sampai dan memutuskan memakan soto sebagai sarapan. Diselingi pembahasan-pembahasan tidak penting dan berakhir Ara yang memeking girang manakala serabi hangat (yang sebenarnya sudah tidak benar-benar hangat) dibuka bungkusnya oleh Sena untuk mereka santap bersama. Sena bahkan menyempatkan diri untuk menceritakan pengorbanannya mendapatkan serabi yang katanya benar-benar laris itu. Tidak ada alasan khusus, hanya ingin mendengar bagaimana Ara memujinya dan mengakui kerja kerasnya.

Itu sudah cukup membuatnya puas dengan semburat rona merah menghiasi wajahnya. Jangan lupakan senyum malu-malu dengan mata menyipit sempurna membentuk garis lengkung khasnya di sana.

Sebenarnya, siapa yang umurnya lebih kecil di sini?

Ara hanya bisa geleng-geleng kepala. Tingkah kekasihnya yang terkadang kekanakan itu sebenarnya cukup menjadi hal baru untuknya. Namun, toh Ara tetap menerima itu lapang dada. Selagi selama ini Sena menerima dan mendengarkan baik seluruh ceritanya, mengingat Ara adalah orang yang cerewet dengan banyaknya kisah-kisah tak penting yang ia sampaikan.

"Ngomong-ngomong, aku minta maaf, ya."

Ara menoleh heran. Sena masih fokus menatap jalanan di hadapannya, "Maaf untuk apa?"

Melirik sekilas kekasihnya yang tengah menghabiskan satu kotak susu, Sena menghela napas sejenak sebelum melanjut, "Belum bisa bawa kamu kenal sama keluargaku."

Sena menunjuk jalan lain sebelah kanan mereka di perempatan lampu merah, "Kalau belok ke sana, rumahku," menjeda sesaat untuk melanjukan mobilnya. Sena memilih mengambil napas dalam-dalam. Entah untuk apa. Namun merasakan sekelumit perasaan sesak yang senantiasa hadir setiap kali dia melewati jalanan ini, agaknya membuat si Jumantara harus menghela napas panjang-panjang, "dulunya pernah jadi rumahku."

Dulunya. Satu kata itu tentu digaris bawahi oleh Ara. Ia tentu tidak buta melihat ekspresi Sena yang awalnya baik-baik saja kini terlihat berbeda. Seolah senyum dan bahagia yang tadi dibawanya mengambil jeda untuk rehat. Sorot teduh yang selalu memandangnya jenaka, kini berganti sendu. Arti dari pandang Sena yang ditahu baik oleh Ara dan menjadi sebuah ketakutan tersendiri untuk si gadis. Makna yang dulunya seringkali menjadi penghuni tetap si Jumantara sebelum Ara benar-benar hadir dalam hidupnya.

"Jangan melihat begitu lagi." Alih-alih menjawab dan menanggapi ucapan Sena barusan. Ara justru berkata lain.

Sena melirik sekilas dengan kernyitan dahinya, "Melihat bagaimana maksudmu?"

Melalui sisi matanya, Sena bisa melihat Ara yang menunjuknya, "Matanya, Mas. Jangan melihat dengan tatapan seperti itu lagi. Sudah ada aku. Nggak perlu begitu."

Sena total tidak paham, "Ara, aku benar-benar nggak ngerti lho ini."

Mengambil satu tangan Sena yang bebas, sedangkan si Jumantara menyetir dengan satu tangan lainnya, "Aku dan Mas," kata Ara, "kita masing-masing punya luka yang nggak kalah menyakitkan. Bahkan mungkin luka adalah alasan terbesar kenapa kita bisa bersama. Kita sama-sama tau bagaimana rasanya kehilangan. Meskipun ... kehilangan yang aku rasakan nggak seberapa sama apa yang kamu rasa."

Masih fokus dengan jalanan di hadapannya, Sena bisa merasakan genggaman tangan Ara mengerat dengan usapan yang selalu bisa membuat Sena merasa lebih tenang di punggung tangannya, "Jangan buru-buru. Pelan-pelan saja, ya. Aku bisa nunggu, kok. Masih banyak hal yang harus diselesaikan. Iya, kan?"

Sena menyempatkan diri untuk melirik kekasihnya yang tengah memandang dengan senyum hangatnya. Senyum manis Ara yang selalu membuat Sena merasa lebih baik hanya dengan melihatnya. Membalas genggaman tangan Ara tidak kalah erat, berakhir dengan membubuhkan kecupan di punggung tangan gadisnya.

"Makasih, ya. Janji sama aku kita lewati ini semua sama-sama."

Tersenyum dengan penuh ketulusan. Ara tidak membutuhkan waktu lama sebelum menjawab, "Iya. Aku janji."

Pembahasan mereka selesai ketika gerbang fakultas tempat Ara menimba ilmu sudah terlihat dan mobil Sena berhenti tepat di depannya. Berpamitan sejenak dan sempat memberikan tepukan lembut di puncak kepala gadisnya, Sena membalas lambaian tangan Ara dan senyum cerianya tepat setelah gadis itu keluar dari mobil.

Namun sesaat di sana, tepat ketika punggung kecil Ara menghilang dari pandangan matanya memasuki kawasan fakultas, senyum yang sejak tadi hadir pun hilang. Berganti dengan desahan napas kasar disusul sebuah pesan singkat yang sejak tadi belum dibukanya. Spontan membuat Sena memutar kemudi. Membelah jalanan dengan kecepatan sinting hanya untuk memastikan seseorang yang dia tinggal sendiri di rumah baik-baik saja.

08xx-xxx-xxxxx

Kak Sena, maaf ganggu waktunya. Kalau sedang tidak sibuk, bisa kita ketemu? Ada beberapa hal yang mau aku bicarakan.

―Kaluna

Jadi, kita mulai menuju konflik utama ya gess. Be readyy. Aku juga harus kejar tayang supaya REDUP bisa selesai akhir bulan ini hehe.

Anywayy Komen disini kalau kalian mau double update selanjutnyaa

Dan setelah REDUP selesai. Aku mau spill projek novel baru yang namanya "Seri Semesta". Ada empat novel yg akan hadir. Nantikan versi novel wattpadnya yaa.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro