#Redup32. Semesta Indah Milik Jingga

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bab ini mengandung 2800+ kata. Diharap jangan bosan-bosan dan aku naruh beberapa klue untuk chapter-chapter selanjutnya. 

Jangan jadi silent reader ya. Jangan lupa vote dulu sebelum baca. 

Selamat bersemesta !!



            Memanggil kembali sepenggal kenangan yang akan tetap abadi, atau mungkin memang pada dasarnya setiap hal yang berkaitan dengan Narajengga adalah hal-hal penting yang senantiasa Sena simpan baik dalam kepalanya. Tidak ingin satu detik pun terlewat dan dilupakannya begitu saja. Eksistensi si bungsu yang sudah membersamainya selama puluhan tahun ini cukup membuat Sena sadar bahwa mereka tidak memiliki siapapun selain satu sama lain.

Hawa dingin yang sejak pagi terasa tentunya membuat dua pria yang tengah duduk di beranda merapatkan pakaiannya. Kendati baskara sudah memberikan kehangatan secara cuma-cuma, namun agaknya pergantian musim kali ini cukup membuat Narajengga sedikit kerepotan. Dia bahkan baru bisa tertidur nyenyak setelah tiga hari berturut-turut harus mengorbankan waktu tidurnya demi mengurus si semata wayang yang baru saja sembuh dari demam.

Namun melihat adiknya terlihat cukup mengenaskan. Dengan kantung mata yang terlihat jelas pun kerutan-kerutan halus yang kini hadir di sekitar mata. Sena menyadari bahwa usia mereka sudah tidak lagi muda. Siapa sangka anak kecil yang dulunya merengek karena dinakali teman-temannya itu kini sudah pandai mengurus anak?

"Mas?"

"Hm?" Sena menyahut seraya menyeruput kopi hitamnya. Melirik singkat Narajengga yang kini tengah bersidekap dengan jaket abu lusuh yang bahkan sudah memudar warnanya.

"Tadi," Jengga menjeda sejenak ucapannya, tampak ragu sesaat sebelum pada akhirnya dia tetap melanjut, "aku ketemu sama salah satu keluarga Kaluna."

"Siapa?" nada bicara Sena tampak tidak senang. Dingin. Dan Jengga total paham kenapa kakaknya bersikap demikian. Apapun hal yang berkaitan dengan Kaluna selalu mengundang emosi Sena.

"Adiknya," jawab Narajengga pelan. Namun tidak mau semakin membuat Sena khawatir, dia melanjut cepat, "Tapi bukan apa-apa. Maksudku bilang begitu ... aku cuma mau bilang, tolong jaga Jingga dengan baik."

Dahi Sena mengerut dengan alisnya yang menukik tajam. Dilihatnya Narajengga dengan tatapan tidak biasa mengundang tanda tanya besar, "Kenapa tiba-tiba ngomong begitu? Kamu memangnya mau kemana?"

Jengga tersenyum lembut, "Nggak kemana-mana," jawabnya tenang, "hanya saja ... barangkali suatu saat nanti," menghela napas pelan dengan tatapan menerawang. Di sana Narajengga melanjut dengan sesaknya dada dan napasnya yang mendadak tertahan berat, "Suatu saat nanti ... dia pasti akan kembali. Entah dengan semua penyesalan yang dia bawa, ataupun dengan alasan ingin memperbaiki semua kesalahan yang dia perbuat."

Sena spontan mengeluarkan tawa remehnya. Ia memandang jenaka Jengga dengan satu tarikan dari sudut bibirnya. Menggeleng tidak percaya sebelum berkata ringan, "Perempuan seperti itu mana bisa kembali. Dia bahkan sudah membuang Jingga sebelum kasih nama anaknya sendiri. Padahal tindakan kalian mau sama mau. Tidak ada paksaan. Sekarang bertingkah seolah dia itu korban pemerkosaan." Sena menatap Jengga yang tengah menunduk dalam, "Jangan berharap banyak sama dia, Jengga. Jangan semakin menyakiti dirimu sendiri."

Narajengga tentu tahu bahwa Sena bukanlah orang yang bisa menjaga kalimatnya dengan baik saat orang terdekatnya dilukai begitu saja. Semua ketenangan dan sikap dewasa yang selalu dibawanya, raib begitu saja. Bagi si sulung, mata dibalas dengan mata. Hal yang sejak dulu selalu ditanamkan dalam benaknya. Realistis saja, Sena bukanlah manusia suci dengan seluruh kebaikan dan kebesaran hatinya. Tidak. Sena bukan seseorang yang seperti itu. Untuk apa berbuat baik pada seseorang yang sebelumnya menyakiti kita? Untuk apa peduli pada seseorang yang bahkan tidak pernah peduli dengan kita?

Namun Narajengga tentunya manusia dengan tingkat keras kepala yang sangat tinggi. Tidak satu-dua kali Sena melontarkan banyaknya kalimat yang sedikit kasar tentang Kaluna padanya. Seolah mengingatkan kembali setiap sakit yang menyebabkan luka di dada si adik. Tidak membiarkan Jengga lupa bahkan hanya satu detik. Menegaskan bahwa Kaluna Maharani adalah perempuan tidak tahu diri yang sudah menyakiti Narajengga teramat dalam. Kendati tentu saja, meskipun banyaknya kalimat yang dilontarkan, Jengga tetap berpegang pada perasaannya. Afeksi yang dia berikan pada Kaluna teramat besar. Bahkan dengan segala perlakuan gadis tersebut, Jengga belum lelah untuk tetap memberikan satu hatinya pada si Maharani.

Dan Sena total muak dengan itu semua.

"Dia barangkali akan kembali. Entah kapan." Jengga kembali menggumam. Masih dengan nada teramat tenang tanpa pancingan emosi yang menggelegak dalam diri kepada kakaknya. Menjadi orang tua tunggal dan melewati semua hal ini, agaknya Jengga sudah lebih dewasa dalam bersikap. Lantas, bagaimana mungkin dia tega memberikan perasaan marah dan tidak terima kepada seseorang yang sudah menjadi rumahnya sejak lama?

Sena masih defensif, kendati di sana dia memasang pendengarannya baik-baik.

"Dan saat itu tiba, aku mau Mas membantu untuk tetap mempertahankan Jingga. Jangan biarkan dia jatuh ke tangan keluarga Kaluna. Biarkan saja Jingga hidup seperti ini. Sekalipun kita bukanlah orang kaya seperti mereka. Namun bagiku itu sudah cukup. Menjadi biasa-biasa saja bukan sebuah dosa, Mas," katanya masih kelewat tenang. Memasang sebuah senyum yang tentu saja terlihat seperti senyum paksaan, Jengga kembali melanjut.

"Adik Kaluna," Jengga tersenyum getir mengingat rupa menyedihkan pemuda yang dia temui beberapa hari yang lalu, "tidak jauh berbeda dengan Kaluna dulu. Tertekan. Tumbuh untuk memenuhi hasrat orang tuanya agar menjadi seseorang yang sempurna. Hidup dengan ambisi yang kelewat besar itu menyakitkan sekali, Mas. Dan aku nggak mau Jingga tinggal dalam lingkungan yang seperti itu."

Masih dengan sorot teduhnya, seulas senyum getir Jengga perlihatkan sembari memandang kosong halaman Sena yang baru saja diisi berbagai jenis tanaman di sana, "Biarkan Jingga tumbuh menjadi anak normal seperti anak-anak lain di luar sana. Melakukan kesalahan satu-dua kali bukanlah sesuatu hal yang besar. Mendapat nilai jelek, tidak mendapatkan peringkat tinggi di kelas, tidak diterima di universitas impian. Hal-hal semacam itu, seandainya anakku mengalaminya, itu bukanlah sebuah perkara besar. Kegagalan dalam hidup pasti akan selalu ada, biarkan Jingga tumbuh dewasa di atas kegagalan yang dia terima dan mengambil pelajaran atas itu semua."

Sena mendapati Narajengga yang kini tengah beralih menatapnya. Tersenyum sampai mendapati garis-garis halus di sekitar mata pria tersebut, sebelum ia berucap dengan suara madunya, "Aku tidak akan menekan dan memaksa Jingga tumbuh menjadi seseorang yang sempurna. Biarkan dia bermain, tertawa, dan bahagia hanya karena hal-hal sederhana di sekitarnya." Jengga lekas menaikkan kedua bahunya sebelum melanjut, "Tidak menjadi seseorang yang sempurna bukanlah kesalahan. Itu manusiawi. Lagipula, Jingga tetap menjadi anakku yang paling cantik dan manis yang akan selalu aku banggakan."

Mengenyahkan sepenggal memori di dinginnya bulan Juli beberapa tahun silam. Si Jumantara masih berdiri dengan napas yang tertahan. Melihat perkembangan Jingga yang sudah cukup signifikan sampai detik ini. Pun melihat bagaimana gaun berwarna hijau cerah yang baru saja dibelikannya akhir tahun lalu mendadak tampak lebih pendek dari terakhir kali Sena memakaikannya.

Setelah membiarkan anaknya berbicara dengan Ara, kini giliran Sena yang berjongkok menyamakan posisinya dengan Jingga. Tersenyum hangat dengan tangan lebarnya yang kini membenarkan topi bulat berwarna senada dengan gaun putrinya. Pun membenarkan tatanan kepangan yang kini menjuntai di dua sisi tubuh mungil Jingga.

"Papa jangan begitu," si kecil mendadak merengut dan menunduk, sukses mengundang atensi Sena di sana.

"Kenapa, Sayang?"

"Papa kenapa kelihatannya seperti mau menangis? Kalau begini, Jingga ditinggal di rumah sendiri nggak apa-apa, kok. Benar, deh. Jingga sudah besar, kan?"

Menahan napasnya dan memasang senyum sedikit kepayahan. Sena merutuk pertahanan dirinya yang tidak ia pasang dengan baik. Ia lantas menggeleng pelan sebelum berkata lirih, "Papa hanya nggak nyangka anak Papa sudah tumbuh besar seperti ini. Cantik sekali anak Papa hari ini," si Jumantara melihat ujung gaun anaknya seraya melanjut, "nanti kita beli baju baru lagi untuk Jingga, ya? Yang ini sudah kekecilan."

"Beli yang warna pink ya, Pa?"

Sena tertawa ringan melihat kepolosan Jingga dan memberi dua anggunkan pelan di sana. Menarik tubuh anaknya untuk didekap dan membaui aroma bedak bayi bercampur minyak kayu putih yang senantiasa ada dalam diri si kecil, mendadak Sena merasa berat hati melepas anaknya begitu saja, "Baik-baik sama Tante Kaluna. Jangan nakal, ya? Nanti Papa jemput sama Mama."

"Papa sungguhan nggak bisa ikut? Mama juga?" Jingga kembali membujuk tak rela.

Ara turut memosisikan diri agar tingginya setara dengan Jingga, lantas membalas lembut, "Ada urusan yang harus Mama dan Papa selesaikan. Tante Mika sama Om Aksa juga nggak ada di rumah. Jingga sama Tante Luna saja dulu. Nanti kalau sudah selesai, Mama dan Papa jemput. Ya, anak baik? Jingga anak pintar, kan?"

Lantas Jingga mengangguk. Menurut seperti biasanya. Ia berakhir membubuhkan kecupan masing-masing di pipi Ara dan Sena. Pun mencium punggung tangan mereka.

"Hati-hati nanti. Ingat, jangan nakal."

Jingga mengangguk dan menampilkan senyum lebar seperti biasa. Memperlihatkan deretan giginya yang belum rapi sempurna. Lantas setelah itu melangkah dengan tungkai mungilnya menghampiri Kaluna. Membalas uluran tangan wanita tersebut dan memasang wajah ramah kelewat manis.

"Aku titip Jingga," kata Sena, "jangan melakukan hal-hal yang aneh."

Kaluna masih dengan wajah datarnya. Memasang senyum tipis dan mengangguk perlahan, "Jangan khawatir. Aku antar Jingga nanti siang sesuai kesepakatan awal," katanya.

Itu adalah pembicaraan terakhir mereka. Setelah Jingga melambai riang dengan gaun hijaunya yang turut melambai terbawa angin. Masuk ke dalam mobil bersama dengan Kaluna dan suaminya.

Sena merasakan usapan lembut di lengannya. Ada Ara di sana yang tengah mematri senyum hangat dan memandangnya teduh. Mengangguk sekali sebelum berkata, "Kamu sudah melakukan hal yang benar, Mas."

Sena tersenyum tipis. Kembali melihat mobil yang tadi dibawa suami Kaluna mengecil dan hilang dari pandangannya. Ia lantas berkata lirih, "Aku hanya memberikan kesempatan terakhir yang selalu disimpan Jengga untuk Kaluna. Tidak lebih," sebelum disana, si Jumantara melepas satu tawa remeh dengan senyum mirisnya, "anak bodoh itu, bahkan sampai dia pergi pun masih saja jadi budak cinta."

***

Dulu sekali, Kaluna ingat bagaimana Narajengga menatapnya dengan sorot lembut penuh afeksi. Memberikan seluruh perasaannya secara cuma-cuma tanpa ada satupun keterpaksaan di sana. Memperlakukan Kaluna dengan teramat lembut seolah gadisnya adalah porselen indah yang bisa rusak hanya karena satu sentilan pelan.

Mendadak, seolah waktu kembali terulang dan dia dibawa kembali ke beberapa tahun silam. Saat perasaan itu masih begitu kuat, Kaluna menikmati setiap kegetiran yang sejak tadi pagi dirasakannya. Mengingat bagaimana mata bulat rusa yang sejak tadi menatapnya polos dengan seluruh pendar bahagia yang terpancar jelas di sana.

Jengga, anak kita sudah besar. Dia tumbuh menjadi gadis yang baik, pintar, dan sopan. Dia benar-benar mirip kamu.

Selain senyum dan lesung pipi milik Jingga, bisa dibilang nyaris setiap sudut wajahnya, Jingga benar-benar menuruni ayahnya. Belum lagi bagaimana mata bulat itu mengerjap lucu.

"Tante?" Kaluna mengerjap saat tiba-tiba saja Jingga menarik ujung pakaiannya. Gadis kecil itu menatap dengan sorot keingintahuan besar di sana. Seolah mencoba menilik apa isi kepala Kaluna yang sejak tadi tak hentinya menatapnya, "Ada yang aneh sama mukanya Jingga, ya?"

Kaluna tersenyum hangat. Satu tangannya diangkat guna mengelus rambut lurus sepinggang Jingga yang dikepang rapi, "Kamu cantik," pujinya.

Jingga mendadak tersenyum malu-malu. Rona di pipinya tampak jelas bak tomat masak. Ia lekas menyahut lirih, "Terimakasih."

"Jingga suka es krim rasa apa?"

Jingga menoleh pada Juna yang menghampiri mereka setelah kembali dari toilet. Si kecil menjawab cepat, "Apa saja asalkan bukan stroberi."

Mendadak Kaluna menahan napas. Dan belum selesai keterkejutannya di sana, Juna bertanya heran, "Kenapa jangan stroberi?"

"Karena Jingga alergi sama stroberi."

"Karena aku alergi stroberi, Luna."

Dua kalimat itu bermain di telinganya. Baik yang baru saja terlontar dari belah bibir Jingga, pun kalimat yang sama diucapkan Jengga saat awal-awal mereka berpacaran. Yang dengan seenaknya menghampiri Kaluna dan seolah kembali menyampaikan hal yang sama pada wanita tersebut.

Kaluna melihat anaknya. Masih dengan sisa-sisa keterkejutan dan teror atas perasaan bersalah yang sejak dulu menghantui. Namun Juna yang tidak terlalu memerhatikan justru tersenyum hangat. Meminta mereka menunggu sebentar sebelum pria tersebut berbalik dan membeli es krim untuk ketiganya.

"Tante?"

"Y-ya?" Mengerjap kaget dan baru saja disadarkan. Kaluna lagi-lagi mendapati ekspresi Jingga yang tengah menatapnya sedikit aneh.

Namun, seolah tidak mau mengganggu dan tidak ingin dicap sebagai anak nakal. Jingga memilih abai dan kembali memandang sekitar. Kakinya yang mungil terayun dan dia bersenandung lirih. Melepas kebosanan sebelum Papa dan Mama Ara menjemput.

"Kenapa, Sayang?" Kaluna bertanya hangat.

"Nggak jadi. Tadi Tante kelihatan kaget sekali. Nggak ada apa-apa juga, sih sebenarnya. Hehe, maaf ya sudah ngagetin Tante." Jingga tersenyum lucu.

Kaluna mengelus pipi gembil Jingga dengan ibu jarinya, "Nggak apa-apa. Tante kepikiran sesuatu saja tadi. Maaf ya sudah nggak dengar kamu."

"Oh, iya," Jingga berkata tiba-tiba, "Makasih ya, Tante sudah ajak Jingga jalan-jalan. Jingga senang sekali bisa main di mall kayak tadi. Sudah lamaaaa banget nggak ke sini lagi."

"Oh, ya? Selama ini Papa nggak ajak Jingga jalan-jalan ke sini?"

Jingga mengangguk, "Papa sibuk sekali. Kalau mau jalan-jalan biasanya lebih sering ke taman untuk piknik, atau pantai. Katanya biar nggak capek. Kalau ke mall begini, katanya tunggu Jingga liburan sekolah saja," menjeda sesaat ucapannya, Jingga kembali melanjut, "dulu, Jingga lebih sering ke sini sama Ayah."

Kaluna sekali lagi tercekat. Tanpa sepengetahuan Jingga, genggamannya pada tas jinjing yang dibawanya mengetat sempurna. Buku-buku jari yang memutih sempurna. Dada yang seolah ditimpa gada. Pernapasan yang tersendat. Namun, toh sebuah tanya lirih itu sialnya sampai ke pendengaran Jingga, "A-ayah?"

Si kecil menoleh dan tersenyum. Sebuah senyum polos khas anak kecil. Jingga tidak sekalipun merasa tersinggung atas pertanyaan yang baru saja terlontar dari bibir merah Kaluna.

"Bingung, ya? Maaf ya, Tante. Sebenarnya Papa itu paman Jingga, kakakknya Ayah. Dan Ayahnya Jingga sudah meninggal. Tapi nggak apa-apa. Tante nggak perlu khawatir. Jingga baik-baik saja."

Oh, Tuhan. Kaluna tidak bisa untuk menahan seluruh rasa bersalah yang bertahun-tahun ini menghantuinya. Belum lagi dengan seluruh pernyataan yang diucapkan oleh anaknya. Gadis kecil itu bahkan menjawabnya dengan ringan. Seolah kehilangan yang dia alami bukanlah perkara besar. Jingga bahkan masih bisa menampilkan lesung pipinya yang menawan dengan pipi terangkat naik menggemaskan. Kaki yang berayun ringan dan senandung yang tidak luput dari pendengaran.

Menyadari betapa besar anak seusianya memikul beban, pun atas seluruh tindakan yang sudah Kaluna perbuat. Meninggalkan Jingga begitu saja dan membiarkan anaknya melalui semua sendiri, Kaluna tidak bisa menahan diri. Tepat ketika satu tetes air mata itu lolos bersama dengan sebuah isakan yang sejak tadi ditahannya. Ditariknya Jingga sampai gadis tersebut masuk ke dalam rengkuhannya. Bersamaan dengan itu, si Maharani menyahut lirih nan pilu.

"Maaf, maaf, maaf." Maafkan Bunda sudah meninggalkan Jingga. Maafkan Bunda sudah membiarkan Jingga melalui semua ini sendiri. Maafkan Bunda sudah melukai Jingga dan Ayah. Maafkan Bunda karena dulunya pernah membenci Jingga. Dan maafkan Bunda karena sudah pernah mencoba menghilangkan eksistensi Jingga di dunia ini. Untuk semua itu, Bunda minta maaf.

Namun, toh itu semua tetap tertahan di balik bibirnya. Tidak ada yang bisa Kaluna perbuat. Bahkan kata maaf pun tidak akan pernah bisa merubah semuanya.

Kendati begitu, si kecil agaknya sudah mulai tumbuh dewasa melebihi anak-anak seusianya. Melihat bagaimana Kaluna menangis sembari memeluknya dan merapalkan kata maaf, Jingga melepas pelukan tersebut sepihak. Mengambil saputangan yang senantiasa dibekali Ara dari dalam tas selempangnya, lalu mengusap air mata Kaluna teramat lembut.

"Nggak perlu minta maaf, Tante," katanya pelan, "Jingga nggak marah, kok."

Menyadari payahnya dia, Kaluna lantas membubuhkan sebuah kecupan di dahi Jingga. Cukup lama untuknya menikmati detik-detik sebelum hari pertemuan mereka berakhir dan dia harus mengembalikan Jingga pada Sena. Lalu buru-buru memastikan jejak-jejak tangisannya hilang.

"Lagipula," si kecil mendadak berkata kembali. Setelah memastikan Kaluna sudah lebih baik dan tidak lagi menangis. Ia tersenyum, "Jingga masih punya Papa. Dan bonusnya, sekarang Jingga akan punya Mama!" katanya girang.

Hati Kaluna berdenyut nyeri. Perasaan iri seketika merasuki dalam hati. Kendati itu semua memang harus ditepis. Ini adalah bayaran atas kesalahanmu dulu, Kaluna. Dulu kamu tidak menginginkan Jingga, sekarang keadaan berbalik. Karma. Dan ini sepadan.

"Jingga senang mau punya Mama?"

"Umm," Jingga mengangguk yakin, kakinya yang pendek masih terayun, "Mama Ara cantik sekali. Baik hati, sering kasih Jingga makan cokelat diam-diam. Karena Papa suka marah kalau Jingga makan cokelat banyak-banyak. Sstt, Tante jangan kasih tau Papa juga, ya. Ini rahasia kita," Jingga berbisik di kalimat terakhirnya dengan telunjuk di depan bibir.

Kaluna tersenyum dan memberikan satu anggukan di sana. Berharap pembicaraan usai, sayangnya Jingga kembali melanjut.

"Mama juga pintar masak. Semua makanannya enak-enak. Lalu pintar! Mama ajarkan Jingga semuaaaa pelajaran di sekolah," Jingga membuat pola lingkaran dengan merentangkan tangan mungilnya. Lantas melanjut antusias, "Mama juga sering mendongengkan Jingga sampai tidur. Ah, Jingga jadi nggak sabar Mama tinggal di rumah. Mau cepat-cepat bisa tidur sama Mama Ara."

Hati Kaluna berdenyut nyeri. Namun di sana dia tetap mematri seulas senyum dengan tangan mengelus puncak kepala Jingga. Benar, kamu sudah melewatkan banyak hal, Kaluna. Bahkan wanita tersebut tersenyum miris. Bukan dia perempuan yang dipanggil Jingga dengan sebutan 'Mama', bukan dia yang diceritakan Jingga dengan seantusias itu, bukan dia yang dicintai Jingga sebesar itu, bukan dia yang dibanggakan Jingga seperti itu. Semua hal-hal yang sudah dilewatkan Kaluna, agaknya menjadi beban tersendiri dan mengundang rasa cemburu hadir dalam dirinya.

Ini adalah bayaran atas kesalahanmu, Kaluna.

Dan di detik yang sama, percakapannya dua hari yang lalu bersama Sena dan Ara memutar dalam kepalanya.

"Nanti, saat tiba waktunya. Saat Jingga sudah lebih dewasa dan mengerti semuanya. Sampai saat itu tiba, baru kita bisa memberitahunya kalau kamu ibu kandungnya, Kaluna."

"Jingga masih terlalu kecil. Belum saatnya dia mengetahui ini. Hidupnya baru saja mulai membaik. Dan kami harap kamu untuk tidak dulu mengusik itu semua. Biarkan dia nikmati saja masa-masanya dan tumbuh seperti anak lain di luar sana."

Benar. Kaluna membenarkan apa yang Ara dan Sena ucapkan padanya tempo lalu. Lantas, dengan lembut Kaluna meraih bahu Jingga untuk dirangkulnya dan diberikan usapan hangat di bahu si kecil. Membubuhkan kecupan pada wajah Jingga untuk sekian kali seraya tersenyum hangat. Wanita tersebut turut mengudarakan gelegak tawa saat Jingga bertepuk tangan antusias ketika Juna datang dengan tiga cone es krim di tangannya.

"Maaf lama. Tadi antriannya panjang."

"Wah! Terimakasih Om Juna!"

Benar, Jingga baru saja kembali mencecap bahagia atas semua hal yang sudah dia alami. Melihat pendar penuh harapan dan mimpi serta tawa renyah yang sejak tadi mengudara di sekitar mereka. Kaluna bersyukur masih memiliki waktu dan kesempatan lain seperti ini.

Tidak apa-apa. Bunda akan menunggu sampai waktunya tiba, Jingga. Bunda janji tidak akan menghancurkan lagi semesta indah milik Harsana Jingga Ayudisa, putri kesayangan Bunda.

Kaluna lagi dalam fase damai sama Ara

TERIMAKASIH PEMBACA REDUP!

Aku mau bilang makasihh banyak untuk kalian. Beberapa minggu yang lalu Redup sempat menduduki peringkat 2 di #diksi dan peringkat 8 di tagar #puitis bersanding bersama ribuan cerita lainnya. Untukku itu merupakan pencapaian tertinggi yang berhasil ku raih sejauh ini. Dan itu semua nggak akan pernah tercapai tanpa bantuan kalian.

Terimakasih! Karena kalian aku jadi nggak bosan-bosan nulis dan semangat untuk lanjutin ceritaku. Dan mohon maaf juga karena aku nggak bisa menepati janji untuk menamatkan cerita ini bulan kemarin. Beberapa hal harus kuselesaikan, tapi aku usahakan REDUP akan tamat dua minggu ini. Jangan bosan-bosan untuk tetap dukung kapal kalian, Sena dan Ara. Juga anak kesayangan kita si Jingga.

Selesai REDUP, akan ada cerita-cerita lainnya yang lahir. Jangan lupa nantikan ceritaku selanjutnya. 

Sekali lagi terimakasihh banyakk

Love

Bintang

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro