Kisah Seorang Perantau di Keasingan - Bagian 01

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku sudah mengingatkan bahwa aku tidak begitu pandai dalam bercerita. Jadi jangan kaget kalau-kalau ini biasa saja. Toh, ini hanya sekadar ingatan yang terkenang tanpa kesengajaan. Juga untuk mengetahui jawabanku atas pertanyaan mengenai eksistensiku di antara Gistra dan empat orang yang lain.

Nama lengkapku Adika Krismon Hidawangsa. Lahir di Bandung ketika krisis moneter merajalela, membuat orang tuaku memuat kata 'Krismon' di tengah-tengah identitasku. Namun, aku tidak keberatan dengan itu semua. Sebuah kata tidak dapat membuatku membenci dua orang yang menghadirkan kehidupanku di dunia ini.

Beberapa tahun setelah lulus dari jurusan Arsitektur di salah satu universitas yang ada di Jogja, aku akhirnya mendapatkam pekerjaan tetap di Jakarta. Lagi-lagi harus merantau. Karena aku adalah anak tunggal, ayah dan ibu jadi harus hidup berdua saja. Di kota romantis untuk sepasang kasih yang sangat harmonis.

Aku ingat, siang itu jabatanku naik menjadi Site Operational Manager. Padahal belum juga genap dua tahun aku bekerja, tapi pemimpin perusahaan mengapresiasi niat dan caraku bekerja—yang katanya memiliki porsi seimbang. Tentu saja itu mengundang sorak-sorai kegembiraan dari lingkup sekitar, juga dari dalam pribadi.

Beranjak malam, Bumi seketika bersedih. Jakarta diguyur air mata semesta yang terus merintihkan petirnya. Aku yang enggan menghamburkan uang untuk membeli kendaraan pribadi dan memilih kendaraan umum untuk transportasi, harus terjebak dalam duka yang kian menggelap.

“Adika, belom balik lo?”

Waktu itu aku kaget karena seseorang menepuk pundakku tiba-tiba. Saat menoleh, kudapati teman satu proyek yang sedang merogoh-rogoh saku jaketnya.

Aku menggeleng dan menjawab, “Belom, ini kayaknya gue bakal kejebak lumayan lama di sini.”

Namun, siapa sangka, temanku yang bernama Hirya itu justru menawarkan tumpangan. “Iya, sih. Deres banget, masih lama berhenti kayaknya. Lo mending balik bareng gue aja, gimana?”

Saat itu, kalau tidak salah aku sempat meragu. Kami tidak sebegitu dekatnya di kantor. Ia adalah General Supervisor-ku, sebelum tadi siang jabatanku diangkat tanpa pemberitahuan menjadi atasannya tiba-tiba. Jadi obrolan kami hanya sebatas pekerjaan saja, tidak lebih dari itu.

“Ah, kita bukannya beda arah, ya, Ya? Lo ke Bintaro, gue ke Kemayoran. Itu agak jauh.”

Memang pada awalnya aku menolak, tapi Hirya bersikeras ingin mengantarkanku. Lelaki itu ingin berbincang-bincang supaya kami dapat menjadi akrab. “Sekarang, kan, lo udah jadi atasan gue, nih. Nah, bisa kali kasih gue tips gimana biar cepet naik jabatan?” katanya sambil tertawa di tengah kendali kemudi.

Sebenarnya, aku juga tidak tahu. Kujawab saja pertanyaan tadi dengan kalimat jujur akan ketidaktahuan dan tersenyum mengakhiri kalimat. Setelahnya, kami dipeluk keheningan yang begitu berisik. Rintik air mata sang awan masih membasahi permukaan Bumi.

“Gue kagum banget sama lo, Dik. Belum juga dua tahun kerja, tapi udah diangkat jadi SOM aja. Lah gue yang udah tiga tahun mendekam di sana, masih aja jadi GS. Gak berubah-berubah.”

Nada bicara Hirya saat itu berubah menjadi datar. Ketika kulirik, pandangannya masih berusaha fokus memperhatikan jalanan yang masih dibasahi rintik. Sedetik kemudian, mobil Hirya berhenti tiba-tiba. Aku sontak menoleh ke segala arah dan mencari kesalahan yang terjadi. Namun, tidak ada apa-apa di jalanan yang lengang itu.

“Ya, kenapa?”

Hirya menoleh.

“Kenapa lo ngerem mendadak gini?”

Ekspresi wajahnya tidak dapat kupahami. Entah senang, ragu, takut, bingung, atau apa pun itu, aku tidak tahu mana yang mendominasi.

“Kecil kemungkinan kalau lo bisa naik jabatan sebegitu tingginya tanpa bantuan khusus. Lo nyogok siapa?” Hirya akhirnya bersuara. “Gue gak akan bongkar rahasia ini, lo tenang aja,” katanya.

Tentu saja kumenggeleng. Gila sekali dia? Perantau sepertiku yang tidak memiliki keistimewaan dalam mencipta relasi, mana mungkin bisa melakukan sogok begitu saja. Jelas-jelas aku mampu berdiri di posisiku saat ini karena kedua kakiku sendiri.

Aku tahu Hirya sedang merasa iri.

“Ya, dengerin gue. Mendingan kita pergi dulu ke tempat ramai, jangan kelamaan di tempat sepi kayak begini. Gerimis juga belum muncul. Bisa bahata,” ucapku.

“Lo jawab dulu pertanyaan gue!”

Bentakkan Hirya mengerjapkanku. Kupandangi wajahnya yang sudah bernapas gebu. Namun, apabila ditelisik lebih lanjut, ada beberapa orang yang sedang berjalan sempoyongan mendekati sisi mobil.

“Ya, pergi sekarang!” kataku. “Cepetan!”

“Apa, sih?!”

“Liat itu di belakang lo!” Perkataanku seakan memutar kepala Hirya untuk berpaling. “Cepet kita harus pergi!” teriakku, lagi, ketika mendapati satu di antara mereka memegang pisau.

Saat itu aku benar-benar panik. Begitu pula dengan Hirya yang tidak dapat menyalakan mesin mobil. Bayang-bayang hitam itu kemudian berubah menjadi empat orang pria berbadan besar. Mereka mengelilingi setiap sisi mobil, dengan sesekali mengetuk kacanya.

Kejadian itu menjadi remang setelahnya. Aku tidak mengingat apa-apa lagi, selain keberingasan mereka yang berusaha memaksa masuk ke dalam mobil.

Ketika terbangun, aku mendapati Hirya sedang terbaring terikat. Kami berada di sebuah gubuk yang sedang ditangisi oleh Bumi. Hirya terlihat menangis dan meronta-ronta berteriak. Akan tetapi, suaranya kalah telak oleh gelegar petir yang membuat siapa saja merasa getir. Aku berusaha memanggil namanya, tapi ia tidak juga memberi respons.

Tubuhku tidak terikat apa-apa, mampu bergerak bebas. Namun, aku tidak mungkin menghampiri Hirya terang-terangan. Bisa saja nanti malah berakhir sama sepertinya. Jadi kuputuskan untuk mengendap pergi mencari bantuan.

Ketika melenggang ke luar, aku mendengar Hirya berteriak lemas, “Lepaskan dia! Dia sudah kelelahan!” Yang langsung disahuti oleh gemuruh kilatan besar.

Butuh banyak sekali waktu bagiku untuk keluar dari lingkungan yang gelap mengerikan itu. Sekitar tiga jam lamanya aku dibasahi tanpa henti, sampai akhirnya bertemu dengan empat sosok yang sedang berjalan tenang di bawah lindungan atap. “Tolong ...,” kataku. Mereka berempat tidak menjawab. Menoleh pun tidak. Aku berusaha menarik baju mereka, tapi juga tak cukup untuk mengundang perhatian. Sebenarnya ini Jakarta sebelah mana, sih? Sepi sekali.

Alhasil, mau tidak mau aku harus mengikuti ke manakah langkah mereka akan berakhir. Aku harus cepat membantu Hirya yang sedang ditawan. Bisa-bisa ia dibunuh oleh para penjahat itu.

Ketika bertemu sebuah pintu, keempatnya masuk tanpa mengetuk. Tentu saja aku mengekori dari belakang. Mereka langsung duduk melingkar yang di tengahnya terdapat meja bundar--yang satu sisinya sudah ditempati oleh entah siapa. Aku ikut duduk. Banyak sekali pertanyaan yang hinggap di kepalaku, tapi yang lebih jelas aku harus mengetahui letak keberadaanku saat ini.

Sosok di hadapanku yang sudah duduk sebelum kami datang, mulai membuka pembicaraan. Ia memperkenalkan dirinya sebagai Gistra.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro