Kisah Setitik Peluh yang Mengeluh - Bagian 04

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Beberapa hari kemudian aku terbangun dengan kondisi tubuh yang lebih bugar. Tidak ada lagi masker oksigen atau jarum infus yang menempel di tubuhku. Benar-benar bebas daripada biasanya, hanya saja berat badanku sedikit naik, kurasa. Aku bangkit dari kasur dan menari kegirangan. Layaknya seseorang yang tidak memiliki beban untuk dipermasalahkan oleh akal.

Langkahku terhenti ketika melintasi sekotak cermin pada dinding. Hampir saja aku berteriak ketika melihat sosok yang ada di dalamnya. Pasalnya, apa yang kulihat bukanlah diriku yang kukenal, melainkan sesosok wanita bertelinga segitiga di atas kepala dengan kumis tipis panjang berjumlah tiga pada masing-masing sisi. Oh, dan sejak kapan aku memiliki ekor ini?

Aku menampar diriku berulang-ulang. Namun, semuanya terasa sakit. Ini bukan mimpi, melainkan kenyataan. Tapi kenapa begini?

Dengan ragu aku membuka pintu yang langsung mengarah ke lorong rumah sakit. Ternyata tidak hanya aku yang berubah menjadi hewan. Semuanya ikut berubah! Dua perawat berpenampilan seperti tupai sedang berjalan bersisian. Seorang dokter berawakan anjing sedang berbicara dengan seseorang lainnya yang memiliki paras beruang kurus.

Ini lucu.

“Mbak Melisa sudah sadar?” Salah satu perawat berawakan tupai itu menghampiriku yang membeku di balik pintu. “Mbak kenapa? Apa Mbak ngerasa sakit atau gimana lagi?”

Alih-alih menjawabnya. Aku justru tertawa. “Mbaknya kan tupai, kok bisa ngomong?” kataku, yang justru semakin memperkuat tawa karena menyadari kemampuan berbicara juga ada pada diriku.

“Ini Mbak Melisa, pengidap halusinasi akut. Lebih baik kita panggil dokter aja,” bisik tupai yang lain. “Bisa-bisa bahaya kalau kita salah bertindak.”

Aneh, mereka niatnya berbisik, tapi kenapa berisik sekali? Terdengar sampai sini, tahu.

Kupandangi kepergian dua tupai itu menuju anjing berpakaian dokter. Ketiganya langsung menghampiriku penuh ketergesaan. Sang anjing berkata, “Mbak Melisa, ayo masuk dulu. Kita cek kondisi Mbak untuk melihat perkembangan dan bisa berbicara di dalam.”

Aku mengangguk. “Baik, Dok.”

Kami segera masuk dan menuju ranjang pasien. Aku diminta berbaring di sana dan mereka melakukan serangkaian pengecekan mengenai kondisi tubuhku. Dokter anjing itu berulang kali menempelkan stetoskopnya ke dadaku. Aku masih berdetak, ia tahu itu.

“Mbak Melisa sudah lebih baik,” tuturnya. “Mungkin beberapa hari lagi, Mbak sudah diizinkan untuk pulang.”

Dokter itu mengatakannya dengan senyum lembut. Seperti ... bayangkan saja seekor anjing yang terlihat girang melihat kepulangan majikannya dari tempat kerja. Kira-kira seperti itu. Aku tidak begitu pandai mendeskripsikan, tapi aku sangat yakin kalau mereka sangatlah mirip.

“Ah, iya. Kalau tidak salah, tadi Mbak menyebut dua perawat ini sebagai tupai. Apa benar?” Aku mengangguk. “Kalau boleh tahu, kenapa?”

“Ya ... karena mereka berdua adalah tupai, bukan? Sama seperti beberapa orang yang tadi berlalu-lalang di koridor.”

Dokter itu menoleh ke arah dua perawat yang menggeleng pelan. Katanya, “Beberapa orang yang tadi berlalu-lalang di koridor?” Lagi, aku mengangguk. “Mbak menyebut mereka sebagai orang, tapi kenapa memanggilnya dengan tupai?”

Ah, iya juga. Bagaimana menjelaskannya, ya? Tubuh mereka memang seperti manusia, tapi mereka bukan manusia, melainkan hewan. Dua orang perawat itu seekor tupai; aku seekor kucing; dan dokter tersebut adalah seekor anjing.

“Kalau aku menjelaskan apa yang kulihat, kalian juga tidak akan percaya,” kataku. “nanti kalian hanya akan memandangku gila atau apalah itu.”

Dokter itu menarik sebuah bangku menuju dekat ranjang. Ia duduk di sana dan berkata, “Cobalah. Cobalah ceritakan dulu. Perihal percaya atau tidak, kita bisa mengetahuinya nanti. Bagaimana?”

Keraguan menyelimuti diri. Aku juga tidak begitu ingin bercerita, tapi ini terasa sangat nyata untuk disebut sebagai keanehan. Semuanya terjadi dengan penuh lompatan. Apa sebenarnya ada banyak hal yang tidak kuingat sebelum akhirnya bertemu kejadian-kejadian seperti ini? Entahlah, aku juga ragu akan hal itu.

“Jadi, Mbak melihat semua yang ada di sini itu sebagai hewan?” Sang dokter berusaha menegaskan inti ceritaku. “Dan ... perawat ini adalah tupai, Mbak adalah kucing, dan saya adalah anjing?”

“Iya, apa kalian tidak percaya?”

Dokter membisikkan sesuatu kepada dua perawat yang langsung pergi setelah itu. Kini hanya ada kami berdua di dalam ruangan sunyi berderajat rendah.

“Lalu ... apa Mbak ingin kembali jadi manusia?”

Aku terdiam. Pertanyaan yang terkesan mudah itu ternyata memiliki jawaban yang lebih rumit daripada perkiraanku. “Hm ... mungkin mau. Dan mungkin tidak?”

“Kenapa?”

“Karena aku tidak mau kembali menjadi manusia yang memiliki akal hanya untuk dipenuhi rasa cemas akan sesuatu yang tidak pasti. Aku takut kalau nanti kembali menjadi manusia, rasa senang yang sekarang kurasakan ini kian pudar akibat kegelisahan yang tidak memiliki ujung. Manusia memang makhkuk ciptaan Tuhan paling sempurna. Tapi justru kadang kata sempurna itulah yang menjadi beban.

“Kalau menjadi hewan, seperti sekarang ini, aku tidak perlu repot-repot memikirkan harus membuat rencana seperti apa. Aku tidak perlu merasa khawatir untuk bisa makan dengan apa. Aku tidak perlu ragu untuk melakukan hal yang sangat kuinginkan. Dan aku tidak perlu takut untuk bertemu dengan manusia lain yang tidak pernah bosan menjadi egois.”

Dokter mengulum bibirnya. Ia mengetuk-ngetuk jari telunjuknya ke lutut untuk beberapa saat. “Tapi tetap saja, Mbak. Kita dikodratkan sebagai manusia. Diberi kesempatan lebih untuk menjadi makhluk yang diberikan akal. Mbak butuh sedikit istirahat untuk menenangkan pikiran.” Dua perawat tupai tadi kembali masuk membawa sebuah meja dorong yang di atasnya dipenuhi beberapa kotak aluminium. “Mbak masih dalan proses pemulihan, jadi alangkah baiknya Mbak kembali beristirahat,” lanjutnya.

Setelah menyuntikkan sesuatu yang menghubungkanku dengan alat infus, rasa kantuk tiba-tiba menyerang begitu kasar. Aku menguap beberapa kali dan langsumg merebahkan tubuh di atas ranjang.

“Panggil teman Mbak Melisa yang kemarin datang.” Dokter itu menyuruh salah satu tupai perawat. “Ini sudah memasuki gejala skizofrenia,” katanya.

Aku yang menolak untuk tidur, terus saja mengucapkan sesuatu dari mulutku. “Aku tidak ingin jadi manusia ... aku tidak ingin hidup penuh kecemasan seperti itu ... aku tidak ingin ....”

Detik selanjutnya, kesadaranku berhasil dipukul telak oleh pengaruh obat. Lagi, aku kembali bersama sang gelap yang selalu menyapaku lebih dulu di dunia yang fana. Walaupun kesadaranku sirna, aku masih merasakan kalau ternyata mulutku masih saja meracau tanpa henti.

“Tidak ingin ... manusia ....”

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro