Kisah Si Pendengar - Bagian 02

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Perkataan yang dikatakan oleh Ayu terus-menerus berkeliling di kepalaku. Aku tidak begitu peduli kenapa ia tidak menyukaiku, tapi aku sangat terganggu dengan ucapannya yang menyebutku sebagai pembohong. Dasar seperti apa yang melandasi ucapannya itu, aku pun tidak paham.

“Aldo, melamun saja kamu.” Dokter Rafli melewatiku yang tengah bimbang di balik meja. “Sedang memikirkan apa?” serunya.

Aku tersenyum. “Entahlah, Rafli. Hanya saja, ada sesuatu yang mengganggu pemikiranku.”

“Apa itu?”

“Kemarin Ayu berbicara padaku untuk pertama kalinya. Namun, ia langsung mengatakan bahwa aku adalah pembohong dan ia tidak menyukaiku.”

“Lalu?” Rafli kian penasaran. “Mana yang membuat pikiranmu terganggu? Disebut pembohong ataukah karena tidak disukai olehnya?”

Senyum Rafli sedikit nakal. Aku tahu, Tuhan menciptakan Ayu dengan begitu sempurna. Ia cantik, seperti nama yang disandang. Para lelaki pasti menaruh ketertarikan padanya ketika melihat bagaimana anggunnya perempuan berdarah campuran itu. Termasuk aku, pada awal melihat kedatangannya kira-kira satu minggu yang lalu.

Aku sedikit paham bahwa naskah takdir yang digoreskan oleh Tuhan, menarikku mau tidak mau untuk bertemu dengan Ayu. Dunia ini hanyalah fiksi yang diciptakan oleh Sang Kuasa. Aku tidak bisa berbuat apa-apa, selain mengikuti bagaimana Tuhan mengatur jalannya cerita. Namun, kenapa pertemuan kami ini diawali oleh kebingungan yang menggelisahkan?

“Aku lebih penasaran kenapa ia menyebutku sebagai pembohong.” Pada akhirnya aku menjawab demikian. Rafli manggut-manggut. Ia sepertinya sudah memiliki tanggapan untuk itu, tapi asumsi tersebut dirahasiakan olehnya. “Menurutmu, kenapa aku disebut pembohong?”

Rafli menggedikkan bahu.

“Ah, aku benar-benar tidak paham. Kukira aku terlihat seperti pembohong bagi orang lain, makanya aku bertanya padamu. Tapi ternyata bukan karena itu.”

Percakapan kami senja itu masih berakhir dengan tanda tanya. Tidak ada jawaban yang bisa disimpulkan ketika mendiskusikan pemikiran orang lain. Terlalu banyak kemungkinan yang bisa terjadi. Justru hal ini semakin beban di kepalaku kian memberat. Seakan-akan menambahkan beberapa kilogram kegelisahan atas pemikiran yang melewati batas.

Bahkan aku tidak bisa tidur dengan tenang. Sunyinya malam semakin meramaikan argumen-argumen yang seharusnya tidak ada. Inilah yang membuatku benci menjadi seorang pemikir. Terbebani oleh mereka yang mulai melenyapkan kedamaian dalam diri.

Aku berbaring ke arah kanan, menghadap jendela yang memenjara bulan di dalam kotaknya. Untuk waktu yang cukup lama, aku enggan melepaskan tatapanku dari planet putih kecil yang bertugas mendampingi Bumi itu.

Ternyata, hidup di dalam fiksi Tuhan tidaklah begitu menyenangkan. Oh, atau aku merasa begini karena memang peranku bukanlah peran yang penting. Berarti aku hanya hidup sebagai figuran bagi cerita orang lain. Meskipun menjadi tokoh utama dalam perspektifku sendiri, tetap saja penulis takdirku hanya ingin menjadikanku sebagai figuran.

Ironis.

Aku terkekeh di balik gelapnya malam. Andai saja penghuni kamar yang lain tidak mendengar cekikikanku. Bisa-bisa aku diusir dari rumah bersama ini, dan kembali tidur di salah satu kamar kosong di rumah sakit. Aku tidak ingin kembali ke sana lagi. Walaupun mendapat bayaran yang tidak begitu banyak, aku rela menghabiskannya untuk membayar sewa sebagai biaya tinggal bersama. Terlebih lagi aku berhasil melewati tes kelayakan perawat, yang setidaknya menaikkan posisiku sedikit lebih tinggi dibandingkan pribumi lainnya.

Kini pemikiranku semakin bercabang. Segala hal yang singgah langsung ditelusuri teramat detail. Dan tanpa melupakan satu pun dari mereka. Kepalaku terlampau sakit.

Beberapa hari setelahnya, aku memberanikan diri untuk bertemu dengan Ayu dan bertanya mengenai ucapannya tempo hari. Gadis itu tertawa. Baru kali ini aku dapat melihat sinkronasi sempurna dari pasien pengidap PBA. Ia pasti tertawa karena melihat tampangku yang bodoh akibat terlalu larut dalam ucapannya.

“Kenapa kamu ingin tahu?” Ayu berhenti tertawa dalam sekejap. “Memangnya kamu tidak bisa memahami kekurangan yang ada di dirimu sendiri, sampai-sampai tidak sadar kalau sedang melakukan sebuah kebohongan?”

Tuhan, bukannya aku tidak bersyukur, tapi kenapa cerita yang diberikan padaku seperti ini? Aku sudah cukup tahan diberi peran pendukung. Tapi bisakah setidaknya membuat peran pendukung-Mu kni sebagai tokoh yang memahami jati dirinya sendiri?

“Tentu saja aku ingin tahu,” jawabku. “Kita tidak pernah berbicara, aku tidak pernah mendapat bagian untuk merawatmu. Tapi kemarin, di percakapan kita yang pertama, kamu langsung melabeliku dengan sebutan pembohong. Tentu saja aku terkejut. Dan kurasa, aku wajib mengetahui alasan di balik semua itu.”

Ayu menangis. Air matanya mengalir deras. Pasien, perawat, ataupun dokter yang jaraknya beberapa langkah dari kami, memandang ke arahku penuh curiga. Para perawat dan dokter tahu kalau Ayu adalah pengidap PBA, tapi kenapa mereka seolah-olah percaya kalau perasaan sedihnya itu disebabkan olehku?

“Maaf.”

Aku terpaksa mengatakannya. Setidaknya untuk menyudahi prasangka-prasangka negatif yang ditujukan kepadaku.

“Lihat, kamu berbohong,” cakap Ayu.

“Maksudmu?”

“Tadi. Itu yang bikin aku gak suka sama kamu.”

Lagi-lagi ia meninggalkanku. Kali ini pergi menuju arah taman. Dilihat dari sini, Ayu sepertinya sudah menemukan tempat duduk untuknya berjemur di bawah siraman mentari. Aku segera meminta perawat lain untuk menjaga meja sementara waktu dan langsung menghampiri Ayu.

“Hei,” kataku. Ayu menoleh dan menengadah, tapi tidak berkata apa-apa. Aku segera duduk di bangku panjang yang sama dengannya. “Aku benar-benar minta maaf. Aku tidak paham kenapa tadi sedikit kesal ketika berniat untuk menanyakannya baik-baik.”

“Jujur.”

Aku memicingkan kedua mata dan berkata, “Kamu ini manusia atau alat pendeteksi kebohongan?”

Mimik datar Ayu terus menatap wajahku. “Manusia,” jawabnya, “tapi bisa mendeteksi kebohonganmu.”

Kalimatnya membuatku kagum. Aku tidak henti-hentinya membicarakan hal yang berkaitan dengan kemampuannya mendeteksi kebohongan itu. Mungkin Ayu mendapatkannya karena memiliki darah bercampur antara penjajah dan dijajah. Benar-benar kemampuan yang luar biasa, yang semakin meyakinkanku bahwa aku hanyalah tokoh pendamping, atau bahkan tokoh sekedar lewat di dalam alur hidup sang tokoh utama, Ayu.

“Hei, Perawat.” Panggilan Ayu membuatku terdiam. “Aku bilang, kebohonganmu, bukan kebohongan semua orang.”

“Maksudmu?”

“Wajahmu yang berbicara. Kamu itu tipikal orang seperti itu. Ayah selalu diajarkan cara membaca ekspresi orang ketika masih di Netherlands, kemudian aku diajarkan olehnya. Satu hal terpenting yang perlu kamu ketahui, ialah sebuah senyuman asli dan palsu dapat dilihat melalui bagaimana mata mereka bereaksi. Ketika tersenyum, bibirmu memang menarik kedua sudutnya ke arah yang berjauhan. Tapi matamu tidak turut gembira dan malah menyiratkan tatapan sedih yang dipenuhi kebencian.”

Ayu berbicara panjang lebar mengenai penjelasannya perihal membaca ekspresi wajah. Aku pernah mendengar hal itu dari Rafli, tapi kami tidak begitu diajarkan mendetail karena hanya seorang perawat.

“Setiap kali kamu membantu pasien, pasti hanya ragamu yang tersenyum, sedangkan jiwamu tidak. Itu berarti jelas kamu sedang berbohong. Sebenarnya, itu semua pada awalnya hanya bersifat anggapanku semata. Tapi melihatmu gelisah karena ingin tahu, dan hanya terdiam ketika kujelaskan alasan di baliknya, kurasa aku tahu kalau aku tidak salah,” tutur Ayu yang kemudian tertawa. “Kamu jangan berbohong seperti itu di tempat ini. Beruntung para pasien tidak sepintar diriku, jadi mereka tidak sadar kalau mereka sedang ditipu.”

Tawa Ayu semakin mengudara. Tidak begitu keras terdengar karena suaranya itu segera dibawa berkelana oleh kumpulan angin yang berembus lintas.

Aku tidak sadar. Ternyata selama ini aku melakukan kebohongan. Bahkan aku tidak tahu kapan aku bisa tertawa karena benar-benar merasa bahagia? Sepertinya aku terlalu lama melakukan kebohongan, sampai-sampai membuat diriku tertipu sendiri karenanya.

Tuhan ... sampai kapan aku harus muncul di dalam kisahmu mengenai seorang Ayu? Ini terlalu berat untuk dipikul seorang figuran seperti diriku.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro