23

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Manik pekat Aldis menekuri bibir gelas besar yang sudah kosong. Jemarinya mengetuki meja kantin yang penuh dengan coretan kreatif pada siswa. Kedua bibirnya pun sama sekali belum berucap sepeninggalnya dari hadapan Juna sampai menit-menit berlalu di sudut Moonlight.

Kegelisahan beradu dengan rasa bingung atas sikap yang sudah ia lakukan. Ia hanya pergi sesaat untuk membawa Rara ke tempat latihan, tetapi kenapa Juna semarah itu? Helaan napas kembali lolos dari rongga bibirnya. Sesulit inikah mencinta?

Kepala Aldis mendongak bertepatan Rai sedang melintas di depan kantin dan menangkap keberadaannya. Lelaki itu menghampiri dengan kerutan di dahi.

"Hai, Bro? Ngapain lo nongkrong di sini? Mau bantuin gue beres-beres?" Rai mengambil tempat di hadapan Aldis sembari mengibaskan map yang ia bawa di depan wajah. Sang kapten basket tersebut juga mengenakan seragam Pramuka seperti yang lain, ditambah dengan kalung identitas yang menunjukkan bahwa ia merupakan salah satu panitia.

Aldis menengok ke kiri dan ke kanan. "Iya, ya. Ngapain juga gue di sini, ya?" monolognya diiringi kekehan.

"Gue nanya, Bego! Ngapain lo nanya balik." Tangan Rai bergerak untuk memukul kepala dengan map, tetapi lelaki di hadapannya lebih cepat menggeser tubuhnya untuk menghindar.

Tubuh Aldis terkulai di kursi, lirikan tajam tertuju pada Rai. Tak ada lagi suara tawa samar yang terdengar sebelumnya. "Gue diusir sama Juna."

"Maksud lo diusir? Lo dikeluarin dari Ganador? Kok bisa?" Rai pun ikut memicingkan mata. Kedua sikunya bertumpu di atas meja tanpa melepas tatapan dari Aldis.

"Dia nggak bilang kalau gue harus keluar, cuma dia kasih gue pilihan, Ganador atau Rara." Aldis menghela napas karena mendapat kebingungan dari jawabannya.

Lelaki itu sedikit bercerita tentang kedatangannya ke sekolah beberapa jam lalu untuk menjemput Rara di pertengahan latihan, lalu saat kembali ke tempat berlatih, seketika Juna mengabaikannya dan memberi pilihan.

"Lo juga ngapain bawa Rara yang lagi ngurusin acara rame kayak gini ke tempat latihan? Emang kangen lo nggak bisa ditahan sampai nanti malam, Al? Astaga, segitu cintanya lo sama dia?" Rai berdecak sembari menggeleng.

"Dia tadi sama Ragil, anjir!" seru Aldis yang membuat Rai menatap sekitar, memastikan jika lokasi mereka saat ini sepi. "Gimana gue nggak emosi waktu pacar gue dekat-dekat sama cowok lain?" lanjutnya masih dengan suara lantang.

"Sabar dulu, Bang. Coba cerita pelan-pelan." Rai mengusap lengan Aldis.

Lelaki bermata elang menyugar rambut ke belakang. "Nggak tau lagi, Rai. Gue yakin kalau Rara emang sengaja cari kesempatan buat dekat sama wakil ketos itu. Liat aja tadi pas dia main sama Ragil, keliatan seneng banget tau, Rai!"

Rai menghela napas panjang. "Bener banget Pak Juna kasih lo pilihan. Kalau cara ini masih lo terusin ke Rara, gue yakin lo nggak cuma kehilangan basket, tapi Rara juga akan ninggalin lo. Secintanya lo sama sesuatu atau sama orang, jangan terlalu berlebihan saat menjaganya kalau nggak mau kesakitan saat kehilangan. Cukup sewajarnya."

"Tapi kalau dikasih kebebasan jadinya bakal makin parah, Rai. Misal, anak Astroid kita bebasin buat datang sesuka hati pas latihan, apa lo bisa jamin mereka bisa datang tepat waktu?" Aldis masih tidak bisa terima dengan pembelaan Rai.

"Semua pilihan ada di setiap diri masing-masing, Al. Gue nangkepnya wajar Rara bersikap kayak gitu, karena dia nerima lo bukan dari jawabannya sendiri, tetapi karena keputusan yang lo ambil sepihak." Rai memainkan map dengan menggulungnya. "Gue udah banyak ngomong masalah ini, ya. Buat keputusannya, lo harus pikirin mateng-mateng. Tapi kalau gue kayaknya lebih utamain Ganador daripada pacar. Cita dulu, baru cinta. Gue balik nugas dulu." Lelaki itu tersenyum sebelum berlalu dari kantin.

Aldis kembali seorang diri. Pertanyaan demi pertanyaan baru datang saat kalimat lama belum sempat terlontar dan mendapat jawaban. Rahang lelaki itu menegang. Ganador dan Rara adalah pilihan yang sulit, bagaimana dia harus memilih salah satu?

Getaran meja yang berasal dari ponsel milik Aldis berhasil mengalihkan ketegangan dari kedua manik pekatnya. Nama Eza muncul di layar pop-up, disusul sebaris kalimat yang menanyakan keberadaannya. Tidak ada pergerakan tangan untuk mengambil dan membalas pesan singkat itu. Namun, kedua kakinya bergerak untuk berdiri, lalu berlalu dari kantin.

****

Pancaran cahaya oranye keemasan dengan gradasi ungu violet yang unik menghiasi langit sore ini. Keberadaan Aldis di Moonlight kali ini tidak terlalu menarik perhatian. Sebagian dari mereka lebih mengabaikan karena tindakan yang dilakukan lelaki itu tadi pagi.

Aldis duduk di salah satu gazebo yang berbaris di depan kantin. Ia sengaja bersembunyi untuk bisa mengawasi Rara dan memikirkan pilihan yang tepat. Hari ini berlalu maka jawaban pun harus ia dapatkan.

Rara terus melewati hari ini dengan tawa di balik semua kecemasan pada Aldis. Ingin sekali ia ada di samping lelaki itu, tapi kewajibannya sebagai panitia belum bisa ditinggal sampai acara ini benar-benar selesai.

Gadis itu tersentak saat Difa menarik lengan untuk berfoto bersama semua panitia, termasuk dewan guru yang masih tinggal. Berbagai aroma yang menguar dari tubuh tak mereka pedulikan lagi, hanya ucap syukur karena acara tahun ini berjalan dengan lancar dan aman.

"Lo dijemput, Ra?" Difa bertanya pada Rara saat keduanya berjalan menuju ruang tempat di mana mereka mengistirahatkan tubuh untuk mengambil barang bawaan.

"Iya, tadi papa udah tanya pulang jam berapa, gue jawab belum pasti karena takut panitia punya acara dadakan," jawab Rara. "Lo dijemput juga?"

"Gue bareng Rai, tapi dia nyuruh gue nunggu bentar."

"Ya, udah. Kita ngobrol sambil temenin gue nunggu papa di depan aja."

Difa menyetujui ucapan Rara. Mereka kembali melangkah keluar dengan menggendong ransel masing-masing. Rara baru saja menghubungi Danil agar segera menjemput di sekolah. Tubuh gadis itu terkesiap mendengar dehaman dari sebelah kiri.

"Aldis? Lo belum pulang?" Rara terkejut karena melihat pakaian yang Aldis kenakan masih sama dengan terakhir pertemuan tadi.

"Bisa ngomong empat mata?" Mengabaikan pertanyaan Rara, Aldis ingin segera menyudahi kegelisahan hari ini.

Rara menoleh pada Difa yang langsung mendapat persetujuan. Gadis itu kembali menatap Aldis dan mengajaknya berjalan ke gerbang depan.

"Kenapa lo nggak pulang dan istirahat di rumah?" Rara bingung rangkaian kalimat yang mana untuk diucapkan.

"Nggak tahu, gue juga bingung, Ra. Gue takut salah pilih. Harusnya gue nggak perlu takut kayak gini waktu tahu lo dekat sama cowok lain. Karena jelas cinta gue cuma sepihak. Tapi buat lepasin lo gitu aja, gue belum bisa." Aldis berucap lirih, tetapi mampu mengoyak hati gadis di sampingnya.

"Turuti kata hati lo aja. Perjuangin apa yang harusnya lo bisa dapetin. Lagian gue juga bukan barang berharga yang pantes diperjuangkan." Rara menggigit bibir bawahnya setelah mengatakannya. Matanya memanas dan sengaja menahan agar pertahanannya tidak runtuh di depan banyak orang.

"Ra?" Aldis memanggil Rara agar bisa saling berhadapan. "Maaf, kalau selama ini gue udah bikin hari lo nggak nyaman." Aldis menatap dalam manik cokelat di hadapannya. Tak tahu lagi harus berkata apa.

Suara klakson motor memutuskan pandangan antara keduanya. Mereka menoleh dan mendapati lelaki paruh baya di depan gerbang. Kemudian, melangkah mendekat dengan langkah gontai.

"Sore, Om," sapa Aldis ramah seperti biasanya.

"Hai, Aldis. Akhirnya kita ketemu lagi, kapan main ke rumah lagi, nih? Om udah nungguin, lho." Danil membalas senyuman Aldis.

"Nanti, Om."

Danil mengangguk. "Datang, ya? Mamanya Rara juga pingin kenalan sama kamu. Tapi sekarang, Om pamit bawa Rara pulang dulu."

"Siap, Om!" seru Aldis tak seperti hatinya yang melebur.

Keindahan senja berubah menjadi gelap, bersamaan keputusan Aldis yang kian menyiksa setelah melihat senyum tipis Rara, senyum penuh luka.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro