7

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

-∆∆-

Bersandar pada malam
Berteman kesunyian di tengah kebisingan
Hanya ada keinginan tanpa bisa terlepas dari belenggu

-∆∆-

Hallo, Readers
Selamat datang dan selamat membaca 😘😘

*****

Seharian ini, Aldis menjadi penjaga kelas bersama Rara. Mereka tidak beranjak sedikit pun dari sana. Hal itu membuat cowok bermanik hitam mengantuk karena tidak meregangkan otot sama sekali.

Ia meletakkan kepala di atas meja, menggunakan lengan sebagai bantalan. Atensinya terpaku pada sosok yang kembali terlelap saat jam istirahat kedua. Gadis itu sama sekali tidak bermain game, menyentuh ponselnya saja tidak ia lakukan. Mungkin jika orang lain yang sakit, mereka tidak akan masuk sekolah seperti Rara. Namun, kenapa gadis di depannya ini masih saja memaksakan diri untuk berada di sekolah?

"Ra, pacaran, yuk?" Tangan Aldis memainkan surai kecokelatan milik Rara seraya berkata lirih, tidak ingin mengganggu tidurnya.

Cowok itu terkekeh, harapan menjadikan Rara sebagai kekasih agar ia menerkam gadis lain yang mendekatinya. Bukan malah membiarkan Aldis dirayu bebas oleh siapa saja. Sempat menyesal karena memilih gadis yang salah, tetapi akal sehatnya masih ingin tahu kenapa seorang Rara tidak tergoda pada pesona Aldis.

"Udah sebulan lo jadi cewek gue, tapi kayaknya lo belum jatuh cinta sama gue, ya? Gue jadi penasaran sampai kapan lo akan terus dingin sama gue, Ra."

Aldis menatap lekat wajah pucat dengan kelopak yang tak tertutup rapat, tampak jelas bagian manik kecokelatan bergerak. Cantik. Kedua sudutnya tak bisa menahan senyum lagi, senang sekaligus merasa tak enak karena sudah membuat Rara sakit. Senang lantaran puas melihat gadis game tertidur meski sebagian wajah tertutup masker.

Suara ketukan keras dari pintu membuat Aldis segera mengusap punggung Rara yang sempat terkejut. Lalu, ia menoleh tajam pada pelaku di daun pintu.

"Waktunya salat, jangan pacaran mulu. Buruan ke musala!"

Aldis menggeram. "Lo ngapain, sih?"

Rara mencoba duduk sembari memijat pelipis. Rasanya sangat pusing dengan detak jantung bertempo cepat ketika bangun secara tiba-tiba. "Gue izin nggak jamaah, Kak," ucapnya tanpa melihat siapa yang ia hadapi.

Langkah kaki cowok dengan pakaian-selalu rapi-mendekat ke bangku Aldis. "Lo sakit, Ra? Mending istirahat aja di UKS. Keenakan Aldis kalau lo tidur di sini." Rai duduk di bangku tepat di hadapan mereka.

"Udah gue tawarin pulang juga nggak mau, Rai," sahut Aldis.

"Nggak perlu, gue udah mendingan. Cuma tinggal lemesnya aja."

"Mau minum lagi?" Aldis bertanya pada Rara karena mengeluarkan suara serak. Gadis itu menggeleng, lalu mengusap keringat dingin yang bermunculan di wajah.

"Gue juga haus, Al. Baru keliling kelas nyari anak yang bebel kayak lo!"

"Gue nawarin Rara, bukan lo! Terus lo ngapain malah duduk di sini? Sono, lanjutin tugas lo!"

"Dilarang berduaan di tempat sepi, jadi gue memutuskan buat jaga kalian. Biar nggak ada setan lewat," jawab Rai tenang.

"Lo setannya, Dodol! Salat sono!" Aldis mendorong kaki kursi yang diduduki Rai dari belakang, sedangkan cowok di depannya hanya mengedikan bahu.

"Mending kalian ke musala aja daripada berisik di sini." Teguran dari Rara tak dibalas kata-kata lagi oleh kedua cowok pencinta basket.

Rai mengambil asal buku paket di kolong meja, sedangkan Aldis mengedarkan pandangan pada seisi kelas karena tak bisa lagi menikmati wajah Rara.

"Ini bangkunya Difa, Ra?" tanya Rai seraya menengok ke belakang.

"Iya, kenapa emang?" Aldis yang menjawab dan bertanya dengan nada sengit. Rai paham jika cowok itu terusik dengan kehadirannya, tetapi ia juga punya urusan lain.

*****

Aldis terus melempar bola oranye secara mendatar pada teman di hadapannya yang berjarak tujuh meter dan diulangi secara bergantian.

Petang ini Ganador Bandung berlatih berbagai macam lemparan bola. Meski sudah memahami teknik dasar permainan basket tersebut, tetapi Juna ingin mereka selalu fokus pada bola yang bergerak lincah di lapangan.

"Semangat, semangat. Jangan cuma asal lempar, di tangan kalian harus ada kekuatan. Percuma punya otot kalau lembek! Ayo, Eza. Jangan lemes aja." Juna berkeliling di belakang para anak didiknya, mengamati keseriusan mereka dalam berlatih. "Cinta sama basket berarti kalian sudah memutuskan untuk berkomitmen dan buktikan kalau ucapan itu benar."

"Kayak cinta sama pacar, ya, Pak?"

"Bisa jadi kayak gitu, Al. Tapi jangan buat kata cinta itu cuma di bibir aja, buktikan kalau cinta itu tulus dari hati. Berani berucap, juga harus berani bertanggung jawab."

Senyum lebar di wajah Aldis memudar perlahan, ucapan Juna bagai tamparan buat hatinya. Selama ini ia berhasil menjaga bibir untuk tidak mengeluarkan kata yang akan sulit dibuktikan tadi. Namun, entah mengapa hatinya mengatakan kalau dia harus bertanggungjawab akan sesuatu.

Cowok beralis tebal itu mengaduh kala papan kayu di tangan Juna mengenai lengan kekarnya. "Disuruh fokus malah ngelamun. Doi nggak ada di sini. Buat semuanya, anggap aja bola basket itu pacar atau orang yang harus kamu jaga dan perjuangkan. Jangan biarkan dia sampai jatuh ke tangan lawan. Paham?"

"Paham, Pak," jawab semua anggota Ganador bersamaan.

Kemudian, Juna membagi lima belas anggota Ganador menjadi tiga kelompok untuk latihan bertanding di lapangan kompleks. Lelaki itu menyamaratakan di setiap kelompok antara senior dan junior agar mereka bisa semakin memahami yang dimiliki masing-masing pemain.

"Lo nggak minat gabung sama kayak Aldis gitu, Rai? Kalau ikut seleksi, gue yakin lo bisa," ujar seseorang yang tengah duduk di depan mobil Nissan New Xtrail bersama pemilik mobil.

"Nggak, gue cukup fokus yang di sekolah aja udah pusing, Tar." Rai menjawab pertanyaan Tara santai. Beban wakil ketua OSIS dan kapten basket saja sudah membuat Rai selalu menguras tenaga dan pikiran, jadi tidak ada niatan lagi untuk menambah tanggungan lain.

"Iya, sih. Tapi enak bisa nambah pengalaman, Rai. Gue salut sama Aldis, udah sibuk sama Ganador, tapi masih aja datang waktu anak Astroid latihan. Kapan dia jalan sama Rara, ya?"

"Lo ngapain jadi bawa-bawa Rara, deh? Udah tahu Aldis cuma pacaran asal-asalan, masih aja dibahas," tutur Rai yang sejak tadi fokus sama ponsel pintarnya.

Tara mendesah pelan, menengadah, lalu berujar, "Ngasal tapi dapetnya cantik, Rai. Gue yang serius nyari aja malah nggak dapet yang bening kayak Rara."

Rai tergelak mendengar pernyataan Tara, lalu melihat ke arah lapangan setelah mengucapkan selamat belajar untuk teman sekelas Aldis lewat barisan kata dan menyimpan ponselnya ke dalam saku celana.

Aldis baru saja mencetak three points dan kembali mengejar bola yang dikuasai anak lain. Rai sendiri tidak memungkiri jika semangat sahabatnya itu lumayan tinggi. Terbukti dari langkah demi langkah yang telah Aldis lalui.

"Yang anget, yang anget." Sakti datang membawa nampan berisi tiga mangkuk sekoteng jahe. Ia duduk di hadapan kedua sahabatnya dengan mata berbinar.

"Wih, mantep, nih. Tumben banget lo mau beliin kita makanan, habis menang togel, Sak?" Tara mengambil satu mangkuk, menghirup aroma jahe sebagai bahan campuran pembuatan kuah minuman khas Jawa Tengah begitu pas dengan cuaca berangin malam ini.

Sakti melirik Rai sambil mengunyah kacang. Wakil ketua OSIS itu juga tengah menikmati sekoteng sembari menunggunya menjawab pertanyaan Tara.

Senyum terbit di wajah si cungkring, lalu berujar, "Tenang ... belum gue bayar. Nanti biar dibayar Rai waktu ngembaliin nampan. Gue udah bilang sama abangnya."

"Semprul!"

Sebaliknya di tempat lain, seorang gadis mengerjakan deretan angka dan tulisan dalam rumus Ekonomi. Bolak-balik ia melihat halaman yang menunjukan rumus untuk memecahkan satu soal tersebut.

"Sering-sering latihan soal, ya. Biasanya nanti pas ujian cuma diganti angka-angkanya aja. Kalau kamu udah hafal rumusnya, pasti waktu ngerjainnya lancar."

Gadis itu tidak memiliki jawaban lain selain mengiyakan perkataan Bu Ida—guru privat—yang datang setiap petang. Tidak ada jeda untuk menenangkan pikiran, di sekolah maupun di rumah Rara selalu berkutat dengan pelajaran.

Sepintas bayangan Aldis muncul, bikin enjoy aja, kalau capek, ya istirahat. Masih teringat jelas bagaimana lelaki itu menjawab pertanyaannya dengan tenang, sedangkan dirinya tidak bisa seperti itu.

Gue capek, Al.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro