cabang

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

When you love someone, just be brave to say, that you want him to be with you. When you hold your love, don't ever let it go. Or you will lose your chance, to make your dreams come true.

•Endah n Rhesa - When You Love Someone•
.
.
.

Satu hari yang tak pernah Nara Cantika lupakan dalam hidupnya adalah bagaimana ketika ia menyadari dirinya jatuh kepada pesona orang yang begitu sulit ia gapai. Ketika sejak kelas sepuluh diam-diam ia memperhatikan lelaki itu lewat kaca jendela dari bangku tempat duduknya. Entah untuk memarkir motor, berolahraga di lapangan, atau sekadar lewat. Nara bersyukur jendela belakang kelasnya menghadap ke arah tempat parkir sekolah dan lapangan rumput hijau yang luas sehingga ia bisa memandangi lelaki itu sesuka hati.

Satu hari yang juga tak bisa Nara lupakan adalah ketika untuk pertama kalinya lelaki itu membuatnya terkesan. Senyum manis yang selama ini selalu Nara simpan dalam hatinya diam-diam. Nara ingat saat itu dalam acara karnaval HUT RI, dirinya berada di salah satu barisan berseragam putih abu-abu. Di tangannya, ia memegang sebuah kardus yang dipotong membentuk bulan sabit bertuliskan "KEEP SMILE" berwarna merah dengan latar belakang biru.

Dari ekstrakurikuler English club, hanya 15 anak yang diikutkan dan semuanya anak kelas sepuluh. Nara yang menjadi salah satunya meskipun awalnya menolak ikut. Hanya saja, atas desakan dan rayuan Sandra, ia pada akhirnya bisa berdiri di lapangan luas, menunggu giliran rombongan dari sekolahnya berjalan dan melakukan pawai.

Tidak ada yang senang dengan panas matahari yang menyengat dari pagi hingga menjelang siang. Stok persediaan makanan yang hanya dijadwalkan untuk siang hari membuat anak-anak itu lebih memilih membeli jajanan di sekitar terlebih dahulu. Memilih irit, Nara mengambil sebungkus roti yang ia bawa dari rumah sembari menunggu kapan ia mendapat giliran berjalan.

Meskipun berkumpul pukul delapan pagi, tetapi pukul satu siang, barulah rombongan SMA Tunas Pradipta memulai gerakan. Dari barisan pertama secara khas dipimpin anak-anak paskibra, organisasi-organisasi, marching band, seni tari, paduan suara, hingga keunikan-keunikan daerah nusantara yang ikut ditampilkan. Ekstrakurikuler-ekstrakurikuler berada di barisan menuju akhir, termasuk barisan Nara. Untungnya bukan English club yang menjadi penghujung.

Belum lama berjalan, barisan-barisan itu macet kembali. Nara berdecak kesal. Bibir dan tenggorokannya kering sementara air minum yang ia bawa bahkan sudah hampir habis. Ia sudah menduga akan seperti ini. Nara bukan makhluk xerofit yang tahan kering dan bisa pingsan jika tidak cepat-cepat diberi air minum. Ini terlihat lebay, namun memang benar adanya begitu.

Sampai akhirnya, seorang lelaki berkaus biru dan bertopi hitam, dengan mengendarai sepeda sambil menenteng kantong plastik berisi bergelas-gelas air mineral menghampiri barisan di depan barisan Nara. Dengan berkalungkan kamera di lehernya, lelaki itu sibuk memotret dan memberikan air mineral itu kepada siapa saja yang haus.

Ketika mengedarkan pandangan, matanya tak sengaja melihat kondisi Nara. Lelaki itu berhenti memotret dan menghampiri gadis berwajah pucat itu. "Lo mau ke mobil kesehatan aja?" tanyanya khawatir.

Nara tersentak. Ia tahu laki-laki ini seangkatan dengannya. Punya peran sebagai perwakilan siswa saat penerimaan siswa baru. Sadar karena belum menjawab pertanyaan, Nara menggeleng pelan. "Kayaknya gue cuma butuh minum."

"Yakin? Lo pucet banget tau. Kalau mau ke mobil kesehatan ntar gue anterin," kata lelaki itu sambil memberikan segelas air mineral dan sebuah sedotan kepada Nara.

Nara menggeleng sambil berujar, "Makasih."

Lelaki itu tersenyum sebelum akhirnya melajukan sepedanya lebih jauh lagi. Mencari-cari objek yang bagus untuk bisa dipotret. Dari nama yang tertera di kaus lelaki itu, Nara diam-diam membacanya. Ia yakin lelaki itu bukan anak palang merah remaja. Namun, sikapnya membuat Nara tak akan bisa melupakan sosok bernama Roni itu.

Sejak saat itu, diam-diam Nara memperhatikan Roni untuk membuang sisa-sisa hati yang ia miliki.

🐻

Nara menyukai Deeka sejak ia duduk di bangku kelas dua sekolah menengah pertama. Deeka bukan satu sekolah dengannya, bukan juga teman masa kecil yang punya janji-janji manis dan memori lama yang mengesankan. Nara bertemu Deeka di perlombaan menulis. Berawal dari lelaki itu meminjam penghapus, berbincang bersama saat jam makan siang, berdampingan saat menerima piala kejuaraan, sampai akhirnya Nara dan Deeka memutuskan bertukar nomor ponsel dan akun media sosial.

Dari situ, Nara dan Deeka mulai menjadi teman karib. Mereka bahkan sering menjadi tempat sampah dari segala curhatan masing-masing. Sesekali Nara dan Deeka bertemu ketika ada acara seminar atau tryout ujian nasional ketika kelas tiga. Sengaja, sebagai bahan mereka untuk melepas rindu.

Mengetahui pada akhirnya mereka diterima di sekolah yang sama, Nara girang bukan main. Apalagi ditambah mereka juga satu kelas saat kelas sepuluh. Intensitas bertemu yang lebih besar membuat mereka lebih dekat. Saat kenaikan kelas, Nara lebih dikejutkan lagi karena ada nama Deeka Maharendra di daftar nama anak-anak yang satu kelas dengannya.

"Beruang, liat PR dong!" suara menggelegar yang sangat Nara hafal itu membuatnya menghela napas.

Seperti dugaannya, Deeka segera memosisikan diri di samping Nara, mengambil tempat duduk permanen Sandra. Tangannya menengadah, meminta Nara menyerahkan bukunya. Dengan cengiran yang khas, Deeka tahu Nara tidak akan menolak memberikan buku itu.

"Kenapa harus nyontek ke gue sih?"

"Karena lo rajin."

Nara tersenyum dalam hati. Deeka selalu tahu bagaimana menjaga perasaannya. Nara memang lebih senang dikatakan rajin daripada pintar. "Banyak yang lebih rajin dari gue, kok. Tuh Siska rajin juga. Kenapa nggak nyontek dia?"

Deeka tersenyum manis. "Jrojay!"

"Ha?"

"Grogi, Ra. Canggung gitu."

Nara mencibir. Sudah ia duga Deeka akan menjawab seperti itu. Ia tahu, sejak awal mereka di kelas sebelas, Deeka senang mengerjai Siska. Siska juga dengan senang menyambutnya. Menurut gosip yang beredar hangat di kalangan kelasnya, Siska dan Deeka memang saling suka. Bahkan yang ia dengar, Siska dan Deeka sering video call setiap malam.

"Kenapa mesti grogi, coba? Sekalian pedekate sana!"

"Ah, berisik lo. Ganggu konsentrasi gue."

Nara berdecak kesal. Pada akhirnya, ia harus menahan detak jantungnya yang tetap menggila ketika berada di dekat Deeka. Ia tidak tahu apakah ini respon hatinya apabila didekati semua lelaki? Sepertinya tidak. Jantung Nara berdetak cepat seperti ini hanya untuk Deeka dan Roni.

🐻

Nara dikejutkan oleh cengkeraman tangan Sandra di tangannya. Ia menoleh, memandang Sandra dengan tatapan bingung. Wajah teman sebangkunya itu menunjukkan sebuah kejutan besar yang belum Nara tahu bagaimana wujudnya.

"Apa?"

Sandra meletakkan telunjuk di bibirnya sendiri, mengisyaratkan Nara supaya diam. Tanpa Nara tanya, ia memang akan bercerita. "Tadi gue ketemu Roni. Dia minta nomor hape lo."

"Roni siapa?"

Sandra memejamkan mata gemas. Roni siapa yang akan ia ceritakan kalau kepada Nara? Tentu saja Roni yang membuat Sandra harus menegur Nara setiap pelajaran Biologi pada Rabu pagi karena anak itu terus memperhatikan ke luar jendela.

"Hah? Yang itu? Yang gue pernah cerita?" tanya Nara memastikan.

Sandra menangguk tegas. "Iya. Siapa lagi?"

"Hah? Kok bisa? Terus lo kasih?"

"Iya lah. Baik kan gue?"

"Gila, Sandra! Gue gemeteran cuma gara-gara denger ini!"

Sandra tersenyum senang. Ia melirik Deeka yang juga sedang melirik ke arahnya. Agaknya menguping pembicaraan mereka. Menoleh kembali, Sandra tersenyum miring. Laki-laki itu tidak penting. Bukan hal yang harus Nara perjuangkan. Ia lebih setuju Nara bersama Roni daripada melihat sahabatnya setiap hari menahan perih melihat Deeka dan Siska yang semakin dekat.

Setidaknya kalau bersama Roni Nara pasti akan lebih bahagia, pikirnya.

Karena ulah Sandra, Nara harus mengakui tubuhnya kembali gemetaran saat mendapat sebuah pesan dari nomor tak dikenal. Pesan itu hanya pesan singkat dan straight to point. Pengirimnya benar-benar tahu bagaimana cara berkirim pesan kepada Nara, sebab perempuan itu memang tidak suka basa-basi.

+628129847xxxx

Hai, Nara! Salam kenal. Gue Roni, anak jurnalistik, XI MIPA 1. Lo bisa jadi narasumber gue, nggak?

Nara menahan napas membaca pesan itu. Benar-benar sebuah keajaiban yang sangat mustahil ia pikirkan. Nara bahkan tak pernah berharap akan mengobrol lagi dengan lelaki itu. Cukup memandangnya, melihatnya dari jauh. Cukup itu.

Setelah menyimpan kontak Roni, Nara mengetikkan balasan.

Nara

Hai. Narasumber buat apa, nih?

Roni

Siswa berprestasi. Lo kan multitalent. Selain akademik, lo juga punya prestasi lain di bidang lainnya.

Nara

Nggak salah orang nih?

Roni

Enggak. Lo Nara Cantika, XI MIPA 5, peringkat 1 paralel, ikut ekstrakurikuler english club. Masih kurang meyakinkan kalo gue nggak salah orang?

Nara tersentak. Oke, itu bisa jadi merupakan informasi umum. Siapapun tahu kalau Nara anak paralel satu dan ikut English club. Dan setelah mengecek, tidak ada sosok bernama Nara Cantika yang seperti itu selain dirinya. Roni memang tidak salah orang.

Nara

Kapan bisa wawancara?

Roni

Besok, pulang sekolah kita ketemu di perpustakaan. Bisa?

Nara

Bisa.

Sepulang sekolah, Nara memang benar-benar menemui Roni di perpustakaan. Lelaki itu sudah siap dengan buku catatan, ponsel untuk merekam, serta kamera untuk memotret. Siap-siap saja wajah Nara muncul di majalah sekolah edisi bulan depan.

Awalnya terasa agak canggung. Nara harus mengontrol detak jantungnya yang menggila. Roni bahkan berkali-kali memperingatkannya agar tidak gugup. Untungnya, lelaki itu mengira Nara gugup karena baru merasakan diwawancara. Padahal sebenarnya perempuan itu gugup karena Roni, bukan lainnya.

Sesi wawancara itu berlangsung sebentar. Roni memang hanya menanyakan sedikit pertanyaan. Nara juga tidak bisa menjawab panjang-panjang untuk berbasa-basi. Di penghujung wawancara, Roni meminta izin mengambil gambar Nara dan diperbolehkan. Pada akhirnya, kedua tangan mereka saling berjabat diiringi ucapan terima kasih.

"Gue harap, ini bukan sebatas wawancara, ya. Kita bisa berteman akrab selanjutnya," kata Roni dengan ramah.

Nara tersenyum sambil mengangguk senang. "Permisi."

🐻

Perkiraan Nara, ucapan Roni waktu itu hanyalah sebatas formalitas semata. Namun, seiring berjalannya waktu, Roni rajin mengirim pesan maupun chat. Dari yang mulanya hanya membahas pelajaran, guru di sekolah, atau tukar menukar pekerjaan rumah, hingga pada pembahasan pribadi yang membuat jantung Nara lebih menggila berdetaknya.

Sandra yang berperan mendengarkan cerita-cerita Nara juga mendukung penuh kisah asmara temannya itu. Ditambah kini semakin dekatnya hubungan Deeka dan Siska. Sandra tahu ini salah. Tetapi, ketika Nara sudah jatuh cinta pada Roni, apa yang akan disalahkan?

"Beruang," panggil Deeka pada suatu hari.

"Ya?"

"Lo ngerasa kita sekarang kayak berjarak nggak?"

Nara memutar bola matanya. "Ya emang berjarak, Dee. Kalo nempel, bukan muhrim!"

Deeka tersenyum manis. Lagi-lagi hati Nara menghangat melihat senyum itu. Ia tidak tahu kenapa rasa itu masih muncul di saat Nara yakin ia jatuh cinta kepada Roni. Adakah yang memang seperti ini? Ketika mencintai dua orang sekaligus dan tak ingin melepaskan salah satu di antaranya?

Sejak Deeka menanyakan hal itu, Nara memang merasa kalau mereka benar-benar berjarak.

Dua bulan sejak Roni mengajak Nara wawancara, lelaki itu menyatakan perasaannya. Tak berselang lama setelah itu, Siska dikabarkan menjalin hubungan dengan Deeka. Terlalu tiba-tiba. Terlalu kebetulan untuk Nara percaya. Dua sisi hatinya mengalami dua perasaan yang saling bertolak belakang. Sama-sama tak kunjung selesai.

"San. Udah lama gue mau nanya ini. Ada nggak sih orang yang bisa mencintai dua orang sekaligus dalam satu waktu?" Nara memutuskan bertanya pada Sandra.

"Lo liat orang selingkuh aja, Ra."

"Hih. Itu tuh yang dicintai pasti cuma satu. Kalo enggak ya malah nggak ada sekalian."

Sandra tersenyum. Ia memang berniat membuat Nara menjawab pertanyaannya sendiri. "Itulah, Ra. Lo tahu jawabannya. Gue cuma mau nambahin, ada. Dan kadarnya bukan dalam kadar yang sama. Pertimbangin lebih besar kepada siapa cinta itu diberikan."

"Menurut lo siapa, San? Lo yang paling ngerti gue."

"Kalau boleh gue ngasih saran, Ra, Roni cocok buat lo. Maksud gue, kalian sama-sama punya kepribadian yang bikin orang-orang seneng ngelihatnya. Lo juga suka Roni udah lama, kan? Tambahan, Ra. Dia masih jomlo dan udah nembak lo. Kalo lo ngarepin orang lain di saat yang pasti aja udah ada, kenapa? Itu sih kalo dipikir dari sisi realistis."

"Gitu, ya?"

"Lagipula, kalau gue lihat lo sayang Deeka sebagai temen aja. Karena lo merasa udah kenal dia sejak lama. Satu lagi, lo juga sempet naksir dia. Itu yang jadi sugesti kalau lo masih suka dia sampe sekarang."

Sandra bisa saja bijak menasihati. Namun, satu hal yang dia lupakan adalah, cinta itu lebih dominan pada perkara hati, bukan otak. Oleh karenanya cinta kadang memang irasional. Sayangnya, Nara percaya Sandra sepenuhnya.

Nara memotong ranting bercabang itu. Biar hanya satu jalur saja. Ia harus membuang yang satunya. Anggap saja yang dibuang itu Deeka. Dan, memang benar, Deeka yang ia singkirkan. Bukan lagi sekat yang membatasi mereka, tapi jurang berbahaya untuk dilewati.

🐻

Setengah bulan setelah Nara resmi berpacaran dengan Roni, Deeka mulai menghilangkan jejak-jejak bagi siapapun yang ingin tahu kabarnya. Deeka tak masuk sekolah, tanpa izin yang jelas dan tidak diketahui teman-temannya sekalipun. Guru-guru pun sampai bosan mengabsen nama Deeka. Lelaki itu hilang kabar dan Nara merasa amat kehilangan.

Saat bertanya pada teman-teman lelakinya di kelas, Nara justru yang ditanya balik karena Deeka lebih dekat dengan perempuan daripada laki-laki. Ketika bertanya pada Siska, perempuan itu hanya menekuk wajahnya bersedih. Siska memeluk Nara, sehabis itu menangis sesenggukan. Entah kenapa Nara yakin perempuan itu tahu semuanya.

"Lo yang Deeka sayang, bukan gue. Segigih apapun gue mencoba, Ra."

Ucapan Sandra membuat Nara lemas. Bagaimana bisa? Tentu saja tidak mungkin. Deeka menjalin hubungan dengan Siska. Kalau tidak ada perasaan sayang, untuk apa ikatan itu ada? Ini pasti hanya akal-akalan Deeka karena sebentar lagi adalah hari ulang tahun Nara. Ia yakin.

"Deeka pindah. Orang tuanya juga pindah. Kemungkinan nggak akan balik lagi, soalnya dia juga udah keluar dari sekolah ini."

"Ke mana?"

"Palembang."

"Udah, Sis?"

Siska mengangguk sambil menghapus air matanya. "Sejak dia nggak masuk sekolah."

Ini menyesakkan. Nara tidak bisa mengeluarkan air matanya dengan mudah, namun dadanya begitu sesak. Ia butuh banyak pasukan oksigen. Deeka pindah? Kenapa tak pernah bilang?

"Dia nitip pesen. Lo suruh cek e-mail."

"Makasih, Sis."

🐻

From: deemaharr@gmail.com

Hai, Nara Cantik(²)a. Gila sih kek orang penting banget gue pake e-mail segala. Tugas buat guru aja kirimnya lewat line padahal. Hehe garing banget ya gue. Tapi aslinya ini gue ngetik sambil nangis lho, asal lo tahu. Satu-satunya alesan gue pake e-mail daripada nulis surat manual di kertas selain memanfaatkan kecanggihan teknologi ya karena gue nggak mau berkali-kali nyobek kertas gara-gara basah dulu kena air mata gue.

Lemah, ya?

Iya, gue kan lemah kalau gara-gara lo.

Nara, dengan adanya surel ini, gue cuma mau pamit. Maaf gue nggak bisa pamit secara langsung. Gue terlalu pengecut, Ra. Sekalinya gue berani, lo lagi sama Roni. Jadinya gue takut ganggu. (Eh by the way, gue belum ngasih selamat dan minta pajak jadian lho!)

Saking pengecutnya, Ra, gue lebih milih ngaku di sini. Itu pun di saat lo udah punya pacar. Gue sayang lo, dari dulu. Dari sebelum kita masuk SMA. Tapi, denger lo suka sana anak jurnalistik yang sering bawa kamera itu, nyali gue jadi ciut. Kalo gue ngaku, gue takut ditolak. Kalo gue ngaku, gue takut bakal bikin lo nggak nyaman. Gue takut kita bakalan renggang. Nanti siapa yang gue contekin PR-nya lagi kalau bukan elo?

Siska?

Dia temen yang enak diajak ngobrol. Gue tahu dia ada rasa, cuma gue kan nggak ada, gimana dong? Tapi waktu itu dia nembak gue. Karena gue kasihan, ya gue terima. Kadang ngerasa bersalah juga udah ngasih harapan lebih ke dia. Siska emang cewek baik, tapi kalo gue sayangnya elo, gue bisa apa?

Nara, my bear. Maafin gue ya? Iya, gue emang bego. Gue nggak bakal peka kalau aja gue nggak denger pembicaraan lo sama Sandra. Dia bener, kok. Roni cocok sama lo. Lo juga sayang dia. Lo pasti bahagia bisa dapetin apa yang lo mau.

Kepindahan gue ini bukan karena tiba-tiba. Gue nggak sedepresi itu denger lo pacaran terus pindah. Enggak, kok. Gue pindah karena emang orang tua gue juga pindah. Kakek-nenek gue udah nggak ada dan sebagai putra tertua, Papa disuruh nempatin rumah itu. Akhirnya kita sekeluarga pindah, kecuali Bang Andra yang harus lanjut kuliah di sana. Itulah sebabnya gue agak ngasih jarak. Biar nanti lo terbiasa kehilangan gue wkwkwk. Gue yakin guru-guru di sekolah punya bakat akting yang bagus karena mereka pura-pura nggak tahu kenapa gue nggak masuk sekolah.

Terakhir, kemungkinan gue bakal enyah dari hidup kalian semua. Maksudnya, nomor HP gue ganti. Akun media sosial mungkin beberapa bakal gue nonaktifin. Ini bukan buat ngehindarin lo, cuma gue risih kalo ada yang nanya-nanya. Kalau mau komunikasi, lewat e-mail ini aja, ya.

Sekian e-mail dari gue. Bisa tolong lampirannya di-download? Cuma sebentar sih gue yakin, kecuali kalo sinyal lo parah kebangetan.

Dah, Nara!
Semoga bahagia!

Air mata Nara turun setelah membaca surat elektronik dari Deeka. Segera, Nara mengunduh lampiran itu. Lampiran berupa audio yang ukurannya tidak seberapa. Setelah terunduh sempurna, Nara menekan tombol play. Seketika suara Deeka memenuhi seluruh rongga pendengarannya. Hanya butuh beberapa detik dan Nara terguncang. Audio itu adalah pernyataan rasa Deeka kepadanya yang tak bisa diungkapkan secara langsung.

"I love you, my bear."

Tiba-tiba ia merasa bodoh. Betapa dirinya merasa sangat menyesal mengingat Deeka lah yang ia singkirkan sementara perasaannya untuk lelaki itu masih menetap sempurna. Mendominasi seluruh relung hatinya. Bukan Roni atau siapapun, tetapi Deeka. Masih dan selalu dia.

Selesai.

_

2770 words aku akhiri sampai di sini. Takut keblabasan lebih dari 3000 huhuhu.

Cerita ini aku buat khususnya buat pembaca Regretful dan Kak Cipa Asyifashi sendiri. Maaf ya, Kak kalo mereka jadi se-absurd ini :(

Thanks for your time, all!

Luvs,
Phillou

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro