Kehidupan 3

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Setelah Ibu dan Ayah menanyakan keadaanku saat gempa berlangsung dan kekhawatiran mereka juga sudah reda, Ayah benar-benar menceritakan sesuatu yang penting. Hal yang kuduga pasti suatu saat terjadi. Keuangan kami semakin memburuk, dan pekerjaan Ayah yang pemasukannya sering turun naik itu terancam tidak bisa membiayaiku. Kalau sebelum semester depan mulai aku belum bisa melunasi semua utangku, aku terancam DO.

"Ayah harap kamu mengerti, Re," pungkas Ayah.

"Iya, tentu saja. Kalau begitu, aku akan mencari pekerjaan sampingan mulai besok."

"Jangan, Re," timpal Ibu. "Kamu fokus saja kuliah, biar Ibu saja."

"Ibu, aku juga mau bantu. Lagi pula ini untuk biaya kuliah aku juga, kan?" kataku meyakinkan Ibu.

"Tapi, Re, kalau kamu kerja, nanti kuliahmu akan terganggu."

"Aku janji nggak bakal terjadi," kataku lagi sambil menggenggam tangan Ibu. Aku tersenyum pada mereka lalu pergi ke kamar saat semuanya dirasa sudah beres.

Kamarku yang nyaman. Cat dinding berwarna biru muda yang selalu membuatku tenang. Daftar keinginan dan cita-cita yang selalu ingin aku gapai terpasang di dinding samping kanan kasurku yang memepet langsung dengan tembok. Aku menghempaskan diri ke kasur kapuk dengan lelah. Hari yang berat.

Aku jadi memikirkan kejadian seharian ini. Tumben Arga tidak menelpon. Biasanya dia yang paling heboh. Aku mengecek ponselku. Ah, pantas saja. Ponselku mati. Sepertinya baterainya harus diganti. Ada banyak panggilan tak terjawab dan hampir semuanya dari Arga. Apa dia tidak pernah mengkhawatirkan orang lain? Atau hanya aku saja yang terlalu gede rasa?

"Aku baik-baik saja." Pesan terkirim. Tidak butuh waktu lama sampai balasan datang. Dia benar-benar khawatir. Aku tersenyum dengan tingkahnya yang selalu berlebihan itu. Dasar Arga.

Sebaiknya aku melanjutkan tugas yang belum selesai.

...

Arga benar-benar khawatir dengan keadaanku. Dia sepertinya tidak puas dengan pesan yang aku kirim semalam. Wajahnya terlihat gelisah saat aku ke luar rumah dan menghampirinya.

"Re ...," panggilnya lirih.

"Kamu berlebihan sekali—" komentarku sebelum Arga menarik tanganku dan merengkuh tubuhku dalam pelukannya. "Sesak, Ga!" protesku. Bisa-bisa tubuhku remuk bila dipeluk dengan erat seperti ini oleh tubuh penuh otot besarnya itu. Arga memang atletis, tubuhnya ideal dan tipe yang menyenangkan untuk dipeluk. Tapi tidak seperti ini! Aku bisa mati!

"Maaf," ujarnya. "Aku hanya terlalu khawatir. Kamu kemarin nggak bisa dihubungi." Sudah kubilang dia selalu berlebihan.

"Ga," panggilku setelah naik ke atas motor. "Aku ingin membicarakan hal kemarin."

"Hal apa?" Aku tidak langsung menjawab. Kubiarkan dulu Arga memacu motornya ke arah jalan agar suara obrolan kami teredam oleh bisingnya jalanan dan tidak ada yang bisa mendengar selain kami berdua. "Re?" tanyanya lirih.

"Ada yang mengawasiku—" Belum sempat aku membereskan kalimat, Arga sudah memotong

"Apa?! Kenapa nggak bilang?" tanyanya sangat, sangat khawatir dan panik di saat bersamaan.

"Ini aku bilang."

"Maksudku, kenapa nggak dari kemarin? Ini hal penting yang mau kamu bicarakan, kan?" tanya Arga penuh tuntutan.

"Aku mau bicara langsung. Kamu pasti tahu sesuatu, kan?" tuduhku.

"Maksudnya?" Arga terdengar bingung.

"Kemarin kamu terdengar seperti orang yang memperingatiku untuk hati-hati pada suatu hal. Kamu menyembunyikan sesuatu, kan?"

"Aku nggak mengerti apa yang kamu maksud." Suara Arga terdengar bergetar.

"Ga, tolonglah. Ini menyangkut keselamatanku."

"Hah ...." Arga mendesah. "Re, kamu ingat tentang cerita para Reinc?" tanya Arga dengan berat hati.

"Ga, tolong. Ini bukan waktu yang tepat untuk dongengmu itu." Aku menangkup wajah. Sudah bosan aku mendengar cerita-ceritanya bak dongeng sebelum tidur.

Motor Arga sudah memasuki area parkir. Keadaan masih sepi, tapi Arga memutuskan tetap mencari tempat yang aman untuk kami berdiskusi. Kami memilih gazebo dekat pohon rindang tak jauh dari gedung tempat kami belajar nanti. Suasananya sangat sepi karena masih pagi.

Setelah dirasa cukup aman, Arga memulai pembicaraannya. "Sebenarnya, aku dapat misi. Tadinya aku mau memberitahumu di saat yang tepat, tapi sepertinya keadaan berkata lain," katanya sambil memainkan jari-jarinya dengan gelisah.

"Ayolah, Ga. Jangan bertele-tele," potongku tak sabar.

"Orang yang kamu lihat, bisa saja bukan orang," kata Arga serius. Aku menatapnya bingung. Aku belum memberitahu cirinya, tetapi dia sudah bisa mengira-ngira apa yang terus mengawasiku. "Dari deskripsimu, tunggu, seperti apa dia?"

"Seperti seorang pria, memakai pakaian serba hitam bertudung dan selalu muncul secara tiba-tiba," jawabku sambil memegang dagu mengingat ciri-ciri orang yang kulihat tempo hari.

"Nah, aku takut kalau dia bukan orang." Arga menggeleng sambil memijat pelipisnya. "Kemungkinan ...." Arga menggantungkan kalimatnya.

"Kemungkinan?" tanyaku dengan nada yang yang ditarik. Sudah kuduga dia pasti tahu sesuatu.

Arga menelan ludah, ragu-ragu dengan kata-kata yang akan dia ucapkan. "Kemungkinan kalau dia adalah Kalangkang." Aku terdiam. Mencerna setiap kata-kata yang keluar dari bibir tipisnya.

Arga sudah sering menceritakan dongeng-dongeng tentang Reinc. Pasukan cahaya yang ditugaskan untuk menjaga segel makhluk kegelapan agar tidak menghancurkan dunia. Sementara Kalangkang adalah salah satu bawahan makhluk itu yang berbentuk seperti bayangan berwujud, bisa seperti manusia, hewan atau bentuk yang dikehendaki lainnya.

"Aku takut kalau mereka mengincarmu."

"Kenapa memangnya? Kenapa mereka repot-repot mengurusi orang sepertiku?" tuntutku meminta penjelasan. Aku akan mengikuti permainannya terlebih dulu, walaupun sangat bertentangan dengan apa yang aku pegang.

"Karena ... kamu adalah Reinc." Aku berdiri, bergegas ingin pergi dari hadapan Arga saat itu juga. "Re, percayalah!" teriak Arga sambil menahan tanganku.

"Lepas!" Aku menyentak tangannya. Ini sudah melampaui batas yang dapat ditolerir. Aku mungkin masih bisa tenang dengan dongeng-dongengnya, tapi kalau aku sampai diseret untuk percaya pada apa yang bertolak belakang dengan prinsipku, ini keterlaluan. "Sebentar lagi masuk kelas. Aku tidak mau terlambat." Aku melihat wajah Arga sekilas. Raut sedih jelas terpancar dari matanya yang beriris cokelat.

Kelas pagi akan segera dimulai. Arga menyusulku setelah diam mematungnya selesai. Wajahnya menampakkan kesedihan dan kekecewaan yang dalam. Mungkin dia kecewa dan sedih padaku yang tidak percaya padanya? Untuk yang satu ini aku tidak peduli. Arga terdiam tidak seperti biasanya yang cerewet dan banyak tingkah. Dia menunduk sambil memasukkan tangannya ke saku jaket, sesekali wajahnya mencuri-curi pandang ke arahku.

"Maaf ...," kata Arga membuyarakn keheningan di antara kami.

Aku menghela napas berat. "Terima kasih karena sudah sering mengkhawatirkanku," balasku yang tidak tega melihatnya terus murung.

Hening lagi. Hanya suara langkah kami yang terdengar menemani sampa ke kelas.

Kami duduk berjauhan. Sebenarnya aku yang ingin menghindar dulu. Sepanjang kelas berlangsung, Arga diam memperhatikan dosen dengan serius sampai teman di sebelahku bertanya apa dia Arga atau bukan. Teman di sebelahku yang lain bahkan bertanya apa kami sedang mengalami konflik rumah tangga atau tidak, saking dekatnya hubungan kami. Menggelikan.

Arga sesekali mencuri-curi pandang ke arahku. Saat mata kami bertemu, wajah Arga terlihat memelas seakan mengatakan 'Tolong maafkan aku'. Aku yang melihat tingkahnya hanya bisa membalas tatapannya dan menunujuk dengan dagu ke arah dosen seolah berkata 'Diamlah dan perhatikan ke depan'.

"Kalian sebenarnya kenapa, sih?" tanya Tania yang duduk di sebelah kananku. Merasa heran dengan tingkah kami berdua.

"Enggak kenapa-kenapa," jawabku sambil mengangkat bahu.

"Kalian aneh," komentarnya.

"Arga yang aneh," timpalku.

Aku keluar dengan tergesa sesaat setelah kelas berakhir untuk menghindari Arga untuk sementara waktu, tetapi ternyata, dia malah berhasil menyusulku. Aku meliriknya yang ragu-ragu saat akan bicara. Beberapa kali mulutnya membuka untuk mengatakan sesuatu kemudian menutup lagi.

"Pergilah," usirku ketus.

"Ma ... maaf, Re," ujarnya tulus. "Bagaimana kalau aku mentraktirmu makan siang sebagai permintaaf maaf?" Aku tidak langsung merespon. Akan kulihat sampai mana usahanya untuk meminta maaf dariku. "Re, ya? Bagaimana kalau pizza? Kamu ingin sekali yang kejunya meleleh itu, kan? Akan aku traktir, asal kamu memaafkanku," mohonnya dengan wajah yang dibuat sememelas mungkin sambil menyatukan kedua telapak tangannya. Air liurku seakan menetes saat mendengar kata pizza dengan keju meleleh. Untuk sesaat kekesalanku sirna dengan sogokan sebuah pizza.

Aku berhenti berjalan. "Baiklah—" belum sempat aku menyelesaikan kalimat Arga sudah memotongnya dengan pelukan. "Ga! Malu tahu!" kataku berbisik sambil melihat sekeliling. Kami masih berada di dalam gedung kampus. Para mahasiswa memperhatikan kami dengan berbagai tatapan. Ada yang hanya senyum-senyum melihat tingkah kami, ada juga yang melempar tatapan jijik dan risi melihat dua pria berpelukan. Arga yang memelukku sebenarnya, aku tidak membalasnya.

"Ga, lepas! Kalau kamu sepert ini aku nggak akan jadi memaafkanmu," ancamku. Mendengarku yang berkata seperti itu Arga melepas pelukannya dengan berat.

"Maaf." Hari ini dia banyak sekali meminta maaf.

Arga mentraktirku setelah kelas kedua selesai. Restoran pizza yang berjarak satu kilometer menjadi tujuan kami. Aku memesan pizza porsi ukuran biasa. Meskipun aku sedang kesal begini, aku tetap tidak tega kalau harus memesan porsi yang mahal-mahal. Kasihan dompet Arga. Kami makan di dekat jendela. Awalnya Arga tidak mau ikut makan denganku meskipun aku sudah menawarinya, tetapi setelah beberapa menit dia hanya melihatku makan pizza dengan keju mozarella yang meleleh, akhirnya perutnya memprotes agar diisi.

...

"Kamu bisa pulang duluan, Ga," kataku di tempat parkir.

"Loh, kenapa nggak bareng? Masih marah ... ya?" tanya Arga yang kembali beraut sedih. Aku yakin dia hanya berpura-pura.

"Aku ada urusan."

"Mau kutemani?"

"Nggak perlu. Aku akan baik-baik saja." Arga terlihat akan membuka mulutnya. Aku memberinya tatapan mengancam sebelum dia dapat berkata-kata lagi.

"Baik ... baik, aku paham. Berhati-hatilah." Arga melajukan motornya meninggalkanku di parkiran seorang diri. Baguslah, aku tidak perlu melihatnya lagi selama sisa hari ini. Jujur, aku masih kesal dengan sikapnya hari ini. Pizza hari ini hanya sebagai pengganjal emosi yang aku pun tidak tahu kapan akan reda. Baiklah, saatnya misi utama.

Aku mencari tempat yang sekiranya nyaman untuk duduk dan terdapat wi-fi agar aku bisa menghemat paket data. Harusnya aku terima saja tawaran Arga tadi supaya tidak perlu repot-repot seperti ini. Mencari pekerjaan tidak semudah berkedip atau pun bernapas. Apalagi yang dadakan seperti ini walaupun hanya sekadar kerja paruh waktu. Aku akan bertanya di grup saja.

"Di seberang minimarket dekat gerbang kampus utama ada, tuh. Mereka sedang butuh tukang angkut barang." Satu pesan masuk mengomentari pertanyaanku.

"Di minimarket dekat kosku katanya sedang butuh kasir." Komentar yang lain. Dan yang lainnya menyusul kemudian. Ah, ini akan mudah. Terima kasih media sosial.

Ya, akan mudah. Setidaknya aku bisa menemukan tempat-tempat yang dimaksud, tapi kenyataan tak seindah ekspektasi. Hasilnya? Nihil. Tidak ada satu pun tempat yang mereka tunjukan menerima lagi karyawan apalagi hanya untuk kerja paruh waktu. Sekarang apa yang harus aku lakukan? Ini sudah malam dan aku harus pulang.

Aku sangat lelah. Hal ini pasti yang membuat aku berhalusinasi. Bayangan hitam seolah bergerak dari satu gedung ke gedung lainnya. Aku harus segera pulang.

-oOo-

Semoga menghibur

Salam literasi!

Diterbitkan: 26-4-2019

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro