# Chapter 06

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

#Sepenggal kisahku dan orang asing

Selalu ada cerita dari mereka yang berduka. Namun, kita sering kali lupa. Bahkan untuk sekadar mengucapkan syukur pun tidak. Sering menyalahkan diri dan Tuhan sendiri atas takdir yang diterima. Padahal, bisa saja itu merupakan teguran atas perbuatan buruk kita di masa lalu. Atau, bisa saja takdir tersebut adalah kasih sayang Tuhan pada kita. Karena hanya Dia Yang Maha Tahu apa yang terbaik bagi kita.

Tuhan senantiasa memberikan apa yang dibutuhkan makhluk-Nya daripada apa yang kita inginkan. Bisa saja pula, Tuhan mengabulkan doa kita, hanya saja dalam bentuk yang berbeda. Entah dikabulkan secara langsung apa yang kita inginkan. Entah diberikan perlindungan lagi keselamatan atas suatu musibah, atau entah ditunda sementara waktu dan kemudian dikabulkan di lain waktu. Atau, bisa saja doa kita ditahan, lalu dikabulkan di Pengadilan Terakhir kelak.

Perihal ini adalah tentang mereka, dan Luna. Bagi sebagian orang, setelah mendapatkan penawaran interviu, pastilah sudah berbesar hati. Yakin diterima, berpeluang ke terima. Optimisme memang diperlukan, tetapi kenyatannya kita juga mesti realistis terhadap keadaan. Tidak serta-merta mengagungkan diri sendiri hingga bersikap culas dan gampang berpuas hati.

Setelah interviu yang Luna ikuti minggu lalu, ia memang lebih sering mengurung diri di kost. Komunikasinya dengan orang-orang, ia tarik kembali. Luna bersikap antipati terhadap mereka yang mengusiknya di masa-masa tersebut. Berbeda dengan keadaan sewaktu dirinya di PHK, kali ini Luna ditolak setelah yakin bahwa dirinya berpeluang besar ke terima di perusahaan tersebut.

Resume yang dibuat Luna, menurutnya sudah oke. Namun, mereka kata bahwa resume yang dibuatnya tidak menegaskan value-nya. Sedangkan dia dianggap terlalu mendewakan resume. Kritik tersebut masih dapat Luna terima. Namun, ketika sang interviwer mengatakan bahwa Luna tidak cocok dengan budaya perusahaan mereka, karena ketidakpercayaan diri Luna yang kurang, maka mereka menolak Luna mentah-mentah. Ia pun sudah tidak legawa lagi.

Kejadian tersebut diperparah dengan peringatan dari Bu Ai yang menagih uang kost bulanannya yang belum bisa Luna bayar. Tenggat waktunya memang seminggu lagi, tetapi Bu Ai memang gemar menagih diluar tenggat tersebut. Meminimalisir orang yang menunggak bayar kost, katanya. Namun pada akhirnya, Bu Ai tetap mengiakan tawaran Luna untuk memberinya kelonggaran bayar sewa setelah Luna--dengan wajah memerah karena malu--menceritakan nasib pekerjaannya.

“Ibu turut berduka atas kemalanganmu, Nak.” Bu Ai ikut simpati padanya. Ia pun menyarankan hal yang sudah seharusnya Bu Ai ketahui kalau tawaran seperti itu sudah pasti tidak akan Luna lakukan. Sampai kapan pun, tidak akan!

Setelah memberikan pelukan singkat, Bu Ai kembali berkata, “Bukankah sudah seharusnya kamu memberitahukan keadaanmu pada mereka, Luna?”

Bahkan Bu Ai sendiri sudah melabeli orang tua Luna dengan julukan mereka, karena memang begitulah jarak antara kedua orang berikatan darah tersebut.

Jawaban Luna selalu statis, berupa gelengan. Akhirnya Bu Ai hanya bisa mengeluh lelah. Ia pun sudah kehabisan akal untuk membujuk gadis permulaan usia 20-an itu agar sudi menghubungi orang tua sendiri. “Ya sudah, kalau begitu. Jangan sampai telat bayar kost nanti, ya!”

“Baik, Bu. Akan kuusahakan. Doakan saja semoga lamaran pekerjaanku berbuah manis.” 

“Tentu saja, Nak,” kata Bu Ai sambil mengusap surai Luna. “Ingatlah, bahwa ringan tulang, berat perut.

Luna mendadak tertawa pelan. Hal itu membuat Bu Ai mengernyitkan kening. “Ada apa, Luna?”

“Bu Ai lama-lama mirip dengan Aryan,” jawab Luna.

“Miripnya?”

Luna mengulum senyum seraya menjawab, “Sama-sama suka bicara pakai peribahasa. Aku aja kadang nggak paham apa yang dimaksud sama peribahasa itu sendiri.” Luna tertawa pelan. Pipi pada wajahnya yang kuning langsat, seketika memerah. “Peribahasa yang Ibu bilang barusan pun, aku nggak paham.”

Kali ini bergantian Bu Ai yang menertawakan perilaku Luna. Ia menganggap Luna terlalu lucu untuk disetarakan dengan wanita karier. Walaupun memiliki tubuh proporsional, tetapi perawakan Luna lebih pantas dibilang seperti anak SMA pada umumnya. “Ibu kira apaan lho, Lun.” Bu Ai menghentikan tawanya, tetapi tidak dapat menyembunyikan kedutan senyum pada ujung bibirnya yang menahan tawa. “Ringan tulang, berat perut tuh, artinya seperti ini: orang yang mau bekerja keras dan rajin bekerja pasti akan mendapatkan rejeki. Begitu lho, Lun.”

“Jadi, Luna,” kata Bu Ai. “Kamu jangan dulu berkecil hati, ya. Yakinlah, kalau tangan-tangan Tuhan senantiasa membantu kita.”

Luna mengangguk paham. Ia pun membalas senyuman Bu Ai sebelum akhirnya berterima kasih dan berpamitan untuk pergi. Ada janji yang harus ia genapi pada dirinya sendiri.

•oOo•

Serupa, tapi tak sama. Begitulah kiranya ungkapan yang tepat untuk menggambarkan keberadaan Taman Suropati dan Taman Patung Diponegoro. Akan tetapi, kedua taman tersebut memiliki kedudukan yang setara--tegak sama tinggi, duduk sama rendah--di mata masyarakat kota Jakarta. Kedua taman dengan keunikan tersendiri, menjadi ikonik di Ibu Kota, khususnya di daerah Menteng.

Letak Taman Patung Diponegoro berada tepat di depan Taman Suropati, serta berdekatan dengan Pusat Ilmu dan Kebudayaan RRusia, Gereja Paulus dan Mesjid Agung Sunda Kelapa di Jalan Diponegoro. Landmark taman tersebut adalah patung Pangeran Diponegoro yang tampak gagah-berani tengah menunggangi kuda, menggambarkan kegagahan sosok pahlawan nasional. Ia pun terkenal sebagai pahlawan perang yang berasal dari Jawa dalam memerangi penjajahan Belanda.

Di tengah taman tersebut, patung Pangeran Diponegoro dikelilingi oleh bunga beragam warna yang tertata rapi. Meski tidak terlalu besar, taman ini tampak asri dan terawat baik. Keberadaan taman ini pun mudah untuk ditemukan dari arah Bundaran HI menuju Menteng, Cikini, atau daerah sekitarnya.

Luna baru merasakan kelegaan yang luar biasa setelah menghindari orang-orang dalam media sosialnya selama dua hari ini. Ia menarik diri dari segala pergaulan. Sekiranya baru Selasa siang, terbesit dalam benaknya untuk mengunjungi taman kaya akan makna ini. Ia sedari tadi hanya diam dan lebih banyak mengamati orang-orang dari kursi taman.

Mungkin karena cara pandang Luna yang membuat orang yang memerhatikannya sedari tadi, akhirnya menghampiri Luna.

Sementara Luna, ia kaget karena kedatangan tiba-tiba dari orang asing. Meski nalurinya menyuruh Luna untuk tetap waspada, tetap saja saat Luna memerhatikan mimik wajah orang tersebut yang tampak bersahabat, Luna pun mempersilakan laki-laki itu untuk duduk di sebelahnya.

“Saya perhatikan, kamu diam dari tadi. Ada yang mengganggu pikiranmu, ya?” tanya lelaki itu tanpa basa-basi.

Luna menoleh. Ia tersenyum kikuk, tak menyangka jika akan ada yang mampu menerka perasaannya. Padahal ia hanya duduk diam sedari tadi. Tak ada yang memerhatikan, pikirnya. Namun rupanya, ia salah. Sosok lelaki itu, sepertinya sudah lama mengamatinya. Entah dari mana, dan entah sejak kapan, Luna tak tahu. Akhirnya Luna pun mengangguk. Toh tak ada gunanya juga berbohong.

Lelaki itu menggerakkan kepalanya ke atas-bawah, lagaknya sok paham. Ia mengarahkan sebagian tubuhnya agar menghadap pada Luna. Kemudian tak lama setelahnya, ia memberikan penawaran. “Maukah kau dengar cerita-cerita dari mereka yang bernasib sama sepertimu?”

Luna tak langsung mengiakan. Ia bertanya lebih dulu, “Memangnya, kesamaan apa yang mereka miliki denganku?”

Lelaki itu tertawa. Suara yang ikut menggelitik telinga Luna dan membuatnya merasa ingin tertawa pula, tetapi Luna tahan. “Jika aku bilang, aku dapat memperkirakan sikap dan nasib seseorang hanya lewat pandangan mata, apa kamu mau percaya?”

Luna tercekat. Ia mengedipkan matanya beberapa kali. Baru ketika tawa lelaki itu memudar, kesadaran Luna seakan kembali padanya. Ia pun akhirnya mengangguk. Menggiurkan. Penawaran yang tidak mengganggu sama sekali. Tidak pula merugikan dan hal itu mengusik sisi penasaran Luna. “Apa boleh?” tanya Luna sedikit ragu.

Lelaki itu mengangguk antusias. “Tentu saja boleh,” katanya. “Mereka pasti senang, jika kisah yang kubagikan ini dapat membantu banyak orang. Apalagi dapat--setidaknya--tidak membuat mereka mengambil keputusan yang nantinya akan berujung pada penyesalan.”

Ah, kurasa ini akan menjadi kisah yang sangaaat panjang untuk diceritakan.

~TBC~

Voila! Alhamdulillah, aku masih bisa up lagi. Doakan semoga lancar, ya. Aamiin
.
.
Sebagai penyemangat untuk kita,
Mari kita bicarakan tentang luka!
.
.
Selama ini, sudah sejauh apa kamu melangkah? Apakah terlintas bahwa kamu akan menyerah? Pernahkah menghitung kembali berbagai upaya yang kamu ambil untuk memutuskan berhenti melangkah?

Tentu saja sudah beberapa kali mencoba menyerah. Namun, Tuhan berbaik hati memberikan kesempatan. Lagi dan lagi
Secara terus-menerus. Berulang kali.
Di setiap kesempatan yang bisa saja kamu anggap sebagai titik terakhir perjuanganmu.

Tuhan memberikan kamu sedikit celah untuk dapat kembali melangkah. Walaupun ragu-ragu kamu lakukan. Karena takut kegagalan lain akan terulang kembali, tetapi kamu akhirnya memutuskan kembali melangkah dengan kesempatan yang Tuhan berikan.

Hingga nanti kamu akan sadar.
Bahwa memang seharusnya kamu tidak boleh berhenti melangkah. Sesulit apa pun nanti rintangan yang akan dihadapi. Kehidupan ini sudah semestinya kita jalani baik-baik.

Hidup adalah tentang serentetan masalah,
Dengan sejuta rintangan yang mesti dilalui. Jangan menyerah dulu,
Kamu baru melangkah satu kali
Sedangkan kebahagiaanmu menanti di langkahmu yang sekian kalinya.

Tetaplah semangat, ok.


See u soon~

Next part?
ASAP!
Salaam Hijau 🍃

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro