# Chapter 10

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

#Manusia dengan segala pikirannya

Kehidupan memang penuh dengan segudang keanekaragaman. Tidak selalu roda kehidupan berada dalam satu titik. Ia akan senantiasa bergulir mencapai titik-titik lain. Selain berkat usaha, dan doa serta kehendak Ilahi, sampailah roda tersebut dalam satu posisi. Sebelum akhirnya, posisi roda tersebut berubah di kemudian hari. Begitu pula dengan kehidupan manusia, terkadang suka dan duka pun datang silih berganti. Akan tetapi, ada juga satu hal yang berawal dari kegiatan menyenangkan, tetapi berakhir dengan ketidaknyamanan.

Bayangkan saja, ketika mengkonsumsi makanan pedas (berdasarkan pengalaman pribadi) saat makanan tersebut terasa begitu nikmat di mulut, meski kadang pula rasa pedasnya tak dapat tertahankan. Namun, tanpa sadar pula makanan pedas itu pula yang membangkitkan hormon endorfin. Hormon ini juga berpengaruh untuk meningkatkan mood dan mengurangi rasa sakit.

Hormon endorfin bisa dipengaruhi dengan mengonsumsi makanan pedas (mengandung capsaicin). Capsaicin yang merangsang produksi hormon endorfin--bisa juga terjadi berkat olahraga dan tertawa dengan teman-- bisa membangkitkan sensasi kenikmatan.

Sama halnya dengan mengkonsumsi makanan pedas, keadaan bebas kerjaan (alias menganggur) bisa menimbulkan kesan yang memanjakan, seperti berbaring seharian di kasur tanpa memedulikan waktu. Bahkan merasa bahwa hidup pun tanpa beban. Namun, jika hal tersebut terjadi secara terus-menerus dalam jangka waktu yang cukup lama, pastilah timbul rasa bosan. Luna pun merasa demikian. Hidupnya seakan monoton. Ia sudah terbiasa dengan segala tuntutan deadline yang kerap berdatangan silih berganti.

Hidup Luna bagaikan di ujung gurun. Memang pada awalnya, ketika ia kena PHK untuk pertama kalinya, ia merasa kalau itu adalah kesempatan untuk beristirahat. Memang menyenangkan, tetapi tidak pada akhirnya. Bagaikan sedap dahulu pahit kemudian. Beberapa tuntutan hidup pun datang secara bersamaan, seperti halnya uang sewa kost dan titahan Ibunda tercintanya untuk segera pulang ke kampung halaman.

“Manusia itu memang tidak ada habisnya mengeluh, ya?” gumam Luna. Sebelum akhirnya ia ditarik oleh Aryan menuju salah satu pusat supermarket di sekitaran daerah Menteng.

Terik matahari yang tertutupi oleh awan dan menjadikan bumi bagian khatulistiwa jadi sejuk. Padahal sudah pukul hampir setengah dua belas siang. Tiupan angin yang tak seberapa kencang, menerpa beberapa helai rambut Luna yang kini berwarna putih-kelabu. Selayaknya manula pada umumnya, tampilan Luna sekarang ini bagaikan manula paling cantik. Ia pun tanpa ragu, menghabiskan sisa pewarna rambutnya. Dan, memang hanya tersisa kedua warna tersebut; putih dan abu-abu.

Ketika sampai di tempat tujuan mereka, sosok yang tinggi menjulang di samping Luna, Aryan dengan sikap anomalinya. Ia pun anteng menyeret Luna--dengan rambut ala manula--berbelanja kebutuhan bulanan. Ia bahkan tak memedulikan lirik orang lain yang menertawakannya, membawa manula seperti Luna.

Supermarket yang letaknya tidak jauh dari Bunderan HI, menjadi alternatif Aryan untuk mengajak Luna. Gadis itu sudah memasang wajah mirip manula yang meratapi hidupnya dengan membawa berkas lamaran, yang kena tolak lagi. Sewaktu Aryan temukan di bahu jalan.

“Mengeluh itu udah jadi konsumsi dan bagian dalam diri. Nggak usah dibuat pusing,” kata Aryan. Ia mendorong keranjang rodanya untuk memasuki deretan makanan serba instan.

Olahan mi siap saji, kornet dan sarden dalam kaleng, satu toples sedang berisi sosis rasa ayam, dan beberapa pak susu cair siap santap pun menumpuk di keranjang Aryan. Luna yang mengamati barang belanjaan pria itu hanya bisa berdecak sambil menggelengkan kepala tak paham.

“Kamu yakin, dengan makan kayak gitu yang bikin kamu jadi bertubuh sehat begini?” tanya Luna. Ia sangsi dengan tubuh bagus dan sehat milik Aryan didapatkan dengan cara instan. Apalagi setelah melihat makanan yang pria itu tumpahkan ke keranjang. “Nggak yakin aku. Jiwa rakyat jelata kayak aku bisa-bisa menangis kalau kamu jawab iya.”

Aryan tertawa kecil. Setelah dia memboyong beragam makanan ringan ke keranjangnya, ia menghadap kepada Luna dengan tersenyum geli. “Ya nggak gitu juga kali.” Ia mengedikkan bahunya tak acuh. “Bisa juga karena rutin olahraga, kan?” jawabnya tak pasti. Berlagak sok misterius.

Sementara itu, Luna malah manggut-manggut paham saja. Meski sudah diseret ke tempat ramai seperti sekarang, Luna bukannya merasa betah. Sakit hatinya akibat lamaran pekerjaan yang berbuah busuk pun tak bisa diobati cepat. Ia makin malu terhadap Aryan. Pria itu bahkan sudah mendanai sewa kost Luna selama dua bulan ke depan. Luna yang merasa tak enak hati pun--meski dalam keadaan tak nyaman akibat menolaknya--akhirnya menuruti Aryan untuk menemani pria itu ke tempat seperti sekarang.

“Yan ...,” panggil Luna. “Sekali lagi, terima kasih buat yang kemarin.”

Aryan yang ada di samping Luna, setelah kesibukannya memilah-milah kaleng soda, hanya menoleh sekilas. “Oh, tenang aja. Lagian, gue juga butuh bantuan kamu. Anggap aja seperti aku membeli waktu kamu.”

Luna yang tak sepenuhnya paham dengan ucapan Aryan, menarik ujung hoodie pria tersebut, hingga membuat Aryan jadi berhenti melangkah dan menatap Luna seakan-akan bertanya, “Ada apa?” melalui isyarat mata.

“Membeli waktu ... bukannya terlalu ambigu, ya?”

Aryan berdecak takjub, tetapi juga penuh kekesalan. “Seriusan, dari sekian pertanyaan yang kamu miliki dan sedikitnya waktu yang bisa aku gunakan, kamu bertanya ini? Tentang itu?” tanyanya. “Kamu benar-benar siap tinggal di Jakarta ini, ya?”

Bergantian. Kali ini Luna yang dibuat tak paham. Ia memiringkan kepalanya dan menatap Aryan dengan air muka bingung. “Memangnya ada yang salah? Bukannya kata seperti 'membeli waktu', justru itulah yang sering mendapatkan stereotipe tidak baik?”

“Tidak semua yang dipandang buruk itu, berarti buruk juga, Luna.” Aryan menuntun Luna untuk duduk di salah satu kursi tunggu. Keranjang beroda ia simpan tak jauh di sampingnya. “Dengar ini baik-baik, ya. Aku nggak akan mengulanginya. Nggak akan pernah,” tegas Aryan.

Luna pun hanya mengangguk untuk menyanggupi. Ia bagaikan terhipnotis oleh pesona Aryan, ketika pria itu mulai memimpin percakapan. Luna juga bermimpi punya value yang sama kuatnya dengan Aryan, minimal. Namun, karena setelah ditelusuri pun, ia tidak punya waktu untuk mengaplikasikan kegemaran sendiri. Akhirnya ia pun menjadi boneka hidup. Dan, sudah bukan hal asing jika ada di kehidupan kita, kan?

“Soal apa lagi, Yan?” Luna bersuara pasrah.

Pria itu mengikis jarak di antara mereka. Niat Aryan untuk membisikan kalimat, tepat pada telinga kanan Luna. Namun, siapa sangka jika hal demikian malah membuat keduanya berada dalam situasi yang canggung dan sampai bersemu merah. Mereka pun akhirnya saling menjaga jarak dengan kikuk.

“Sori!”

“Maaf!”

Aryan dan Luna mengucapkan perkataan yang serupa dengan waktu yang bersamaan. Mereka pun lantas saling pandang. Sampai pada detik-detik yang sekian, mereka pun sama-sama menertawakan kekonyolan yang dilakukan.

“Kamu dulu aja,” kata Luna, segera menyela percakapan Aryan. Ia takut jika pria itu malah akan bertanya-tanya padanya.

“Baiklah,” kata Aryan. Ia mengambilalih interaksi keduanya dengan penuh semangat. “Sekarang ini, bukankah sudah musim jamannya ketika cover sudah bukan lagi penilaian secara akurat, kan?”

“Penafsiran sifat manusia hanya berdasarkan tampilannya saja, seperti berpenampilan preman bukan berarti ia punya tabiat buruk.” Aryan menghela napas sebentar sebelum kembali melanjutkan, “Begitupun tokoh pemuka. Tak jarang, orang-orang yang sering berpenampilan baik, justru mereka pula yang patut kita waspadai, bukan?”

~TBC~

Alhamdulillah. Masyaa Allah, aku bisa up lagi🥺
Seneng banget! Akhirnya ada cerita yang bisa up setiap hari. Mohon doanya juga ya, guys semoga cerita ini bisa tamat sesuai sesuai dengan snk yups🙏🏻🔥
.
.
.
Okay, see you
.
.
.
Salam Hijau🍃

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro