Bab 23

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Lagi-lagi pagiku tidak seindah dulu. Lilia hari ini berpakaian maid, padahal biasanya dayang bebas memakai gaun biasa. Niran dan Norin juga memakai baju pelayan, padahal kemarin hanya memakai setelan hitam putih. Dan yang lebih mengejutkan adalah Laya, dia yang paling mencolok. Pakaian terusan berlipat berwarna abu-abu dengan lengan seperempat, sudah biasa sih. Tapi biasanya rambut Laya terurai atau diikat jadi satu. Hari ini ia gulung dengan pita berwarna merah, sama dengan warna matanya. Dan yang paling membuatku terkejut adalah,

"Mulai sekarang saya akan menjadi kepala pelayan istana Gold Rose," ujarnya dengan bahasa formal dan lembut. Cara bicaranya membuatku geli.

Aku melempar bantal ke arahnya, "Kenapa bisa orang sepertimu menjadi kepala pelayan!" Teriakku.

Dia menyipitkan mata, itu berarti Laya sedang menyengir dari balik cadarnya. "Anda tidak tahu ya, saya bukan hanya penari biasa lo, fufufu." Laya mendekatiku, dan membisikkan sesuatu, "Sebenarnya saya putri bangsawan dari kerajaan Hujan."

Aku menghela nafas, tidak ada satupun prilakunya di depanku yang mencerminkan putri bangsawan. Laya bukan orang yang dengan senang hati menerima jabatan. Jika memang dia anak bangsawan, kenapa dia berkeliaran menjadi seorang penari. Memang anak ini ada yang tidak beres. Akan kumasukkan dia ke daftar hal yang harus diwaspadai di tempat ini. Ayo ambil keuntungannya, setidaknya dia bukan mata-mata.

"Ngomong-ngomong hari ini saya akan membuat jadwal harian untuk Nona. Karena selama ini Nona sudah cukup tidur, makan, membaca novel romantis dan bermain peran," ujar Laya.

Kalau diingat-ingat memang itu kesehariannku. Jiwa Miaa si tukang mager dan rebahan masih tersisa. "Lalu apa jadwalnya. Dan satu lagi, nada bicaramu membuatku jijik."

"Ayolah, padahal aku sudah lama tidak semanis ini pada seseorang."

Aku menatapnya dengan rendah. "Sejak kapan kau nampak manis?"

Aku melihat kerutan di dahinya. "Kalau begitu tanpa basa-basi akan kujelaskan jadwal Nona."

Aku duduk dan menyimak. Padahal Milica di Novel hanya bangun dan tidur seperti orang mati. Dan satu lagi, tidak dijelaskan bahwa ada kepala pelayan kurang ajar seperti Laya. Di Novel ada seorang tokoh figuran yang merupakan kepala pelayan. Dia sosok yang direkrut langsung oleh Raja untuk mengurus keperluan istrinya. Kepala pelayan di Novel itu sangat dingin, dan tidak banyak bicara. Dia hanya mengurus hal yang merupakan kewajibannya, dan selain itu dia tidak peduli. Berbeda dari orang-orang lain yang mengabaikan dan mempermiankan Milica dengan rendah, kepala pelayan itu sesekali memperhatikan Milica dan membelanya jika terbukti Milica tidak salah. Tapi mungkin kata yang lebih tepat adalah dia iba terhadap Milica. Tidak banyak dijelaskan tentang sosok kepala pelayan itu, karena dia hanya tokoh figuran yang hanya sekali dua kali lewat.

"Kalau begitu, pagi hari Kau harus mandi dan sarapan dengan yang mulia Raja. Lalu dilanjutkan dengan belajar dari guru-guru yang sudah disiapkan. Lalu sorenya jika tidak ada acara kau bisa beristirahat di kamar atau melatih sulaman," jelas Laya.

"Tunggu, kenapa ada kata-kata BELAJAR?"

Dia menatapku dengan tajam. "Kau fikir ada yang mau dipimpin oleh Ratu bodoh?"

Aku bahkan tidak berniat menjadi Ratu dan ingin kabur dari istana ini.

"Jangan bilang kau tidak mau jadi ratu dan kabur dari sini," Laya membaca fikiranku dengan tepat.

"Lalu, ke…"

"Padahal kemarin yang Mulia bersandar di bahu Nona, anda yakin tidak akan menjadi Ratu?" Tepis Laya. Laya melirik Lilia yang wajahnya memerah mendengar ucapan itu.

"Tunggu, kalian mengintipku!" Teriakku emosi.

"Sudahlah, lagipula apa susahnya belajar. Kau kan murid teladan dulu."

Benar juga, aku dulu gila belajar dan akhirnya jomblo sampai akhir hayat. Berbeda dari Laya yang menikmati masa-masa indah di sekolah dengan romantis. Lagipula selama di Kerjaan hujan aku menghabiskan waktu dengan belajar hal-hal yang berguna. Mungkin tidak jauh beda dengan pelajaran yang akan diberikan nanti.

"Ngomong-ngomong siapa gurunya?"

Laya menunjuk dirinya sendiri. "Tentu saja aku."

"Jangan bercanda!"

"Nona, yang mulia sendiri yang bilang Nona Laya akan menjadi kepala pelayan dan guru anda. Karena cuma dia orang terpercaya yang kompeten di dekat anda," sambung Laya.

"Laya kau suap apa Eren, dan kalimat terakhir sangat sulit untuk kupecaya. Lagipula apakah kau benar-benar putri bangsawan, bangsawan mana?"

"Suatu saat nanti anda akan tahu," jawab Laya. Aku merasakan aura kamatian dari Laya. Aku lupa, dia dari dulu orang yang benci membicarakan masa lalu.

"Yaudah maaf, lalu ini sudah siang. Sarapannya?" Aku memalingkannya wajah darinya.

"Untuk hari ini kau akan makan di sini." Lilia mengankat nampan berisi sarapanku, dan ia letakan ke meja di depanku. "Makanlah, karena hari ini anda akan kencan dengan Yang Mulia."

Untung aku belum makan dan minum apa-apa. Kalau tidak aku akan tersedak mendengarnya. Mataku melotot ke Laya. "Apa maksudmu nona kepala pelayan baru?"

"Bukannya hari ini anda akan memilih pelayan untuk dipekerjakan?"

Benar juga, aku yang minta memilih pelayanku sendiri dari anak-anak yang dijual orangtuanya karena utang. Aku kadang simpati melihat Niran dan Norin. "Kalau begitu kenapa dua anak itu hari ini memakai pakaian pelayan?"

Keduanya terteguk dan ragu-ragu mengangkat kepalanya ke arahku.

"Karena kekurangan pelayan jadi,-"

"Berhubung kau Kepala pelyan baru, aku ingin memasukan mereka berdua ke akademi. Niran ke akademi formal biasa, dan Norin akademi kesatria. Lagipula nanti aku akan mendapat pelayan baru."

"Nona, itu berlebihan untuk kami," sentak Norin. Sudah kuduga dia akan mengatakan seperti itu. Tapi Laya pasti setuju denganku, atau kata yang lebih tepat tidak peduli.

"Baiklah, akan ku tulis surat rekomendasi," jawab Laya.

"Ta… Tapi Nona?" Norin mengandeng tangan Niran. Tatapnya berbinar ke arahku.

"Jangan berharap, aku butuh orang kompeten mengganti perempuan ini," aku menunjuk Laya yang sedang menyengir. "Jadi kalian masuklah ke akademi dan luluslah dengan cepat agar bisa menjadi orangku."

Niran dan Norin saling bertatapan. Lalu mereka berdua memaparkan senyuman, dan membungkuk padaku. "Baiklah Nona akan kami lakukan sebaik Mungkin."

"Kami tidak akan mengecewakan nona," lanjut Niran.

Aku merasa lega mendengarnya. Rasanya senang bisa membantu orang lain dengan statusku sekarang. Walau hanya menjadi putri palus kerajaan Hujan, dan tunangan Raja. Apa mungkin aku harus menjadi Ratu? Jika aku menjadi Ratu, aku bisa menyelamatkan lebih banyak anak-anak seperti Niran dan Norin. Alasanku ingin memilih pelayan adalah selain mengindari mata-mata, juga agar bisa membantu anak-anak malang itu. Karena mereka terkadang diperlukan seperti budak para bangsawan.

"Apa kau ada minat menjadi ratu sekarang?" Tanya Laya.

"Akan kufikirkan," dengusku.

Aku menyendok satu suapan sup yang disiapkan. Bahkan sampai sekarang aku hanya makan sejenis tumbuh-tumbuhan. Aku masih ragu untuk memakan daging apapun itu. Walau kadang saat jamuan dengan Erem, aku terpaksa makan steak walau sedikit ragu itu daging hewan apa manusia.

Laya mendengung cukup lama, pasti ada hal penting yang ingin ia katakan. Laya mendekati telingaku. "Mili, apa kau ingat berapa umur kita mati saat itu?" Bisiknya.

Eh, dia menanyakan hal itu. Itu berarti dia juga lupa soal itu. "Aku bahkan tidak ingat bagaimana kecelakaan itu terjadi. Kukira  kepalaku terbentur jadi kehilangan beberapa ingatan."

"Apa kau tidak merasa ganjil?"

Sempat sih, tapi kenyataannya Miaa sudah tidak ada, dan yang ada adalah Milica. Padahal Laya yang mengatakan untuk menerima diriku sepenuhnya sebagai Milica. Kenapa dia bertanya seperti itu.

"Entahlah," jawabku singkat sambil menyuapkan satu sendok mekanan ke mulutku.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro