FOREVER

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Gimnasium dipadati oleh orang-orang dalam toga. Upacara kelulusan akan segera dimulai. Jantung Lilly berdebar kencang. Dia tidak percaya hari kelulusannya sudah tiba.

Sebagai lulusan terbaik, Thomas berpidato. Lilly bisa menebak isi pidatonya—ajakan untuk merawat bumi dan setiap makhluk hidup di dalamnya, serta ajakan untuk menjalani hidup dengan sebaik-baiknya. Yang tidak Lilly duga adalah bagian dalam pidato Thomas yang membicarakan tentang pentingnya teman dan keluarga.

"Saya dihadapkan pada salah satu keputusan besar dalam hidup saya awal tahun ini," kata Thomas. "Saya bisa memilih sebuah universitas di negara bagian lain, atau yang tidak terlalu jauh. Universitas di negara bagian lain itu adalah universitas impian saya sejak kecil, dan dulu, saya akan melakukan apa saja untuk bisa belajar di sana. Namun, universitas yang satunya lebih dekat dengan Los Angeles—dengan rumah saya."

Thomas menyapukan pandangannya ke seisi gimnasium. Saat matanya bertemu dengan mata Lilly, Thomas berhenti dan tersenyum. "Saya memilih universitas yang dekat. Saya yakin, ilmu bisa didapatkan di mana saja. Namun, kau tidak akan bisa menemukan teman yang baik di sembarang tempat. Saya sudah menemukan teman terbaik saya. Saya ingin bersekolah di mana dia berada."

Hati Lilly menghangat. Apakah kalimat Thomas ditujukan kepadanya?

Situasi sedikit rusuh setelah acara selesai. Banyak sekali yang ingin mengajak Thomas berfoto—salah satunya adalah Mr. Johnson. Lilly bahkan sempat bertemu dengan Joanne, ibu Thomas, yang langsung menyuruhnya berfoto bersama dengan Thomas. Orang-orang berbicara dengan begitu riuh di sekitar mereka.

"Hei, kau mau kabur?" bisik Thomas.

Lilly menatapnya heran. "Ke mana?"

Tanpa mengatakan apa-apa, Thomas menarik tangan Lilly. Setelah menyelinap keluar, mereka berlari sepanjang lorong sekolah. Lilly bisa menebak ke mana Thomas mengarah: kebun belakang sekolah, tempat favoritnya di seluruh area sekolah. Dia rupanya masih membawa kunci kebun. Begitu pintu terbuka, Thomas membawa Lilly masuk, lalu menutup pintu.

"Seharusnya aku sudah bisa menebaknya," kata Lilly sambil tertawa. Dia melepas topi toganya dan memakainya sebagai kipas. "Astaga. Hari ini panas sekali."

"Wajahmu merah sekali," Thomas tersenyum. "Sepertinya sekarang aku harus memanggilmu Pink Lilly."

Lilly menyeringai. "Omong-omong, teman terbaik yang kausebutkan dalam pidato tadi. Apakah itu aku?"

Thomas mengangguk. "Aku tidak ingin berpisah denganmu. Aku pasti akan menderita kalau tidak berada di dekatmu."

"Romantis sekali."

Thomas menarik Lilly ke dalam pelukannya. Untuk sesaat, mereka hanya saling menatap. Lilly memperhatikan wajah pemuda di hadapannya. Rambut cokelatnya berantakan. Matanya yang sayu menatapnya dengan begitu lekat. Sorot mata Thomas membuat jantung Lilly berdebar begitu kencang.

"Aku tidak akan meninggalkanmu," bisik Thomas.

"Janji?"

Sebelum Thomas menjawab, dia sudah terlebih dulu menundukkan kepalanya. Perlahan, bibirnya menemukan mulut Lilly dan mengecupnya. Di saat Lilly mengira hatinya tidak bisa lebih bahagia lagi, Thomas membuktikannya salah. Jantungnya berdetak begitu cepat meski waktu terasa melambat. Thomas menarik diri lima detik setelahnya, tersenyum dengan cara yang amat Lilly sukai—lembut dan jujur, begitu penuh akan perasaan yang membuncah dari hatinya.

"Aku berjanji tidak akan meninggalkanmu. Kau bisa pegang janjiku. Aku akan selalu ada di sana untuk menemanimu, apa pun yang terjadi."

Goodbye may seem forever. Farewell is like the end.But in my heart is the memory and there you will always be.

Walt Disney

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro