Bab 7: Feeling Good

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mobil melaju meninggalkan sekolah, adiknya Elysa sudah masuk ke dalam bangunan itu dengan senyum yang terlihat jelas dari wajahnya.

"El, sekolah adikmu udah offline lagi?" tanya Renata heran. 

Pasalnya kondisi sekarang masih belum baik, kasus positif juga terus meningkat. Dari berita ia mengetahui kalau sudah ada beberapa sekolah yang mulai uji coba kegiatan belajar mengajar secara offline, feeling-nya tidak baik soal ini. 

Dia di tim kontra untuk rencana uji coba kegiatan belajar mengajar offline, meskipun dia juga pengen banget bisa melakukan aktifitas seperti dulu, tapi semua sudah berbeda. Mau tidak mau, manusia harus beradaptasi dan menerima kenyataan kalau mereka harus menahan kesenangan pribadi demi memutus rantai penularan virus ini.

Tentu saja tidak mudah, dia juga termasuk orang yang tidak betah di rumah, tapi apa boleh buat? Demi tidak membawa pulang virus ke rumah, akhirnya dia mencoba mengubah mindset dan bertahan di rumah.

Dia hanya takut nanti menularkan virus pada ayahnya, well, orang tua itu rentan sekali terkena virus ini. Tidak, dia pasti akan sangat menyalahkan dirinya sendiri jika itu terjadi. Kalau ada anggota keluarganya yang terkena virus ini, pasti dia menangis dan berharap dia saja yang terkena sebagai ganti mereka. Dia tidak pernah tega dan tidak akan pernah sanggup, membayangkan saja sudah membuatnya sedih.

"Ey, melamun bae," ujar Elysa sambil menabok bahu temannya itu.

"Eh, sorry. Kamu bilang apa tadi, El?"

Elysa tersenyum tipis sambil melirik temannya itu tapi masih tetap fokus melihat ke jalan di depan.

"Kamu udah hubungin Johan atau ayahmu?" tanya Elysa penasaran.

Mendengar itu membuat Renata semakin lesu saja, wajahnya juga kembali murung. Sepertinya Elysa salah menanyakan hal itu padanya, dia masih patah hati.

"Eh, sorry kalau kamu masih belum mau bahas," ujar Elysa panik lalu dia tampak berpikir sebentar.

"Hm, kita happy-happy aja, oke?" ujar Elysa memastikan kembali. 

Kalau melihat temannya tidak semangat begitu, dia juga ikut nggak semangat. Sebaliknya, melihat orang lain bahagia itu membuat diri sendiri juga bahagia. Lingkungan pertemanan memang harus diperhatikan baik-baik, tidak boleh sembarangan saja. Sebab dari lingkungan pasti akan mempengaruhi diri sendiri.

Renata tersenyum dan mengangguk pelan.

"Iya, kita cari sugar daddy aja sabi kali, ya?" gurau Renata sambil tertawa pelan.

"Wah! Ide bagus. Nanti, kan, kita cuci mata ngelihat cowok ganteng. Siapa tahu nih, kita nemu sugar daddy, beuh lumayan tuh."

Mereka tertawa terbahak-bahak, selanjutnya Elysa memutar musik di mobilnya dan mereka bernyanyi bersama. Mereka menggunakan masker, tentu saja kalau keluar tetap harus disipli protokol kesehatan. Sesampai di sana juga tidak akan kumpul dengan banyak orang, semuanya serba dibatasi. Ini jelas salah, kalau ayahnya sampai tahu pasti dia akan diomelin siang dan malam. Tapi, dia tidak perduli. Lagipula memangnya siapa yang mau pulang ke rumah?

Terlebih lagi tadi dia membaca pesan yang dikirim oleh ayahnya mengenai tanggal pernikahan mereka, sial. Tiga hari lagi mereka akan menikah, rupanya mereka sudah menyiapkan semua ini dari lama lalu seenak jidat baru memberitahukan hubungan mereka ke Renata, jelas saja dia ngamuk.

Dia harus segera merancang rencana untuk keluar dari rumah, mungkin mencari pekerjaan dan ada tempat tinggal sehingga dia bisa beralasan untuk keluar dari rumah. Semoga ada, dia tidak bisa membayangkan tinggal serumah dengan Johan. Bertemu dengan cowok itu hanya akan membuatnya berharap dan bertahan, sayangnya hubungan antara saudara tiri itu sangat tidak mungkin terjadi.

Mereka akhirnya sampai di tempat itu, dari luar terlihat seperti restoran.

"Hm, ini restoran, El?" tanya Renata memastikan.

"Yaps! Benar sekali, kita ketemuannya di restoran. Mereka seharusnya udah sampai, deh. Tipe cowok yang tepat waktu, idaman banget nggak, sih?" ujar Elysa dengan semangat.

Melihat temannya yang begitu semangat membuat dia juga ikut semangat. Dalam hatinya, dia ingin melupakan masalahnya sejenak. Memikirkan masalahnya hanya membuat kepalanya semakin pusing saja.

Mereka masuk ke dalam sana, Renata mengikuti langkah Elysa saja. Temannya mengobrol dengan pelayan di sana, seperti menanyakan ruangan atas nama seseorang. Lalu, dengan senyum yang semakin melebar dia menatap Renata  dan mengangguk.

"Di sana ruangannya, ayok!" serunya senang.

Begitu pintu itu terbuka, netra Renata terpaku pada satu orang. Seorang pria dengan warna kulit kuning langsat, wajahnya oval dengan rahang tegas, alisnya tidak terlalu tebal, bibirnya seksi, gaya rambutnya textured bowl fringe-- modelnya menyerupai mangkok terbalik atau sering disebut bowl cut, gaya rambutnya sengaja dibuat berantakan dengan poni panjang seolah lama tidak dipotong. Rambutnya berwarna cokelat gelap, dia mengenakan kemeja berwarna biru gelap dan celana kain berwarna hitam. Badannya terlihat ideal, dia begitu mempesona di mata Renata.

Melihatnya yang sedang tertawa sambil mengobrol dengan teman di sebelahnya saja mampu mengambil perhatian gadis itu, hingga dia tidak sadar sudah berapa kali Elysa memanggilnya.

"Woi! Sadar sini, jangan bengong di depan pintu astaga," gerutu Elysa.

Akhirnya Renata sadar juga dari lamunannya, lalu dia mengikuti langkah Elysa mendekati ke meja itu. Mereka duduk di kursi paling ujung, di sana memang dikasih jarak antara orang yang satu dengan yang lain. Dimanapun itu, tetap soscial distancing

"Hai semua, kenalin namaku Elysa dan temanku namanya Renata. Salam kenal!" serunya dengan suara cukup keras. Maklum saja kalau tidak dikeraskan suaranya nanti tidak terdengar karena dia menggunakan masker.

Mereka mengangguk dan salah satu dari mereka berdiri lalu memulai acaranya. Acarapun berlangsung, acara ini tidak akan lama, hanya mengobrol dan mencuci mata memandang cowok ganteng. Untuk makanan ada yang makan di sana, tapi Renata tidak ingin makan di luar karena nanti harus melepas masker. Lebih baik makannanya dibawa pulang dan dia makan di rumah saja, lebih aman dan tidak khawatir.

Tentu saja kalau makan di luar itu resikonya lebih besar, bayangkan saja semuanya melepas masker lalu makan. Tidak mungkin hanya diam-diam saja dan makan, pasti mengobrol juga. Renata pernah membaca, Pusat Pengendalian dan Pencegaha Penyakit  (CDC) mencatat bahwa tidak ada bukti yang mendukung adanya potensi penularan COVID-19 melalui makanan, tapi tidak berarti seseorang aman dari paparan virus ini saat makan di luar. Makan di tempat yang ramai dan orang-orang tidak menggunakan masker, maka semakin lama waktu terpapar, maka semakin banyak virus yang mungkin terhirup yang dapat terinfeksi tubuh. Kita tidak pernah tahu apakah orang yang kita temui ini terinfeksi atau tidak, jika terpapar virus dari orang yang terinfeksi dalam jarak dekat selama 15 menit, maka resiko tertular COVID-19 lebih tinggi.

Itulah yang didebatkan dengan ayahnya sewaktu ia merengek untuk makan di luar. Ayahnya menjelaskan panjang lebar hingga akhirnya dia membaca artikel di internet. Artikel  dari laman detik health, tentu menambah wawasan dan pemahamannya untuk sebaiknya tidak makan di luar.

Gadis itu terus merenung dan menatap ke sekelilingnya. Dia mencari pria tampan tadi hingga perutnya jadi mules. Dia segera berdiri dan berlari kecil ke arah pintu, dia melirik ke arah petunjuk dimana letak toilet berada. Begitu dia belok mengikuti petunjuk arah, badannya menabrak sesuatu, seperti dada bidang seseorang. 

"Aduh!" serunya kencang.

-Bersambung-







Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro