Bab 11

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Bangsat!" Pakin mengumpat sepenuh hati. Dengan rasa kesal yang menonjok tulang rusuk, ia melempar ponsel. Benda tersebut langsung terpental di atas kasur. Ia berkacak pinggang, berjalan mondar-mandir sambil menggigit kuku. Ingin rasanya ia berteriak lantang, mengacak-acak keadaan kasur, dan menggugat takdir Tuhan. Tapi Pakin sadar, sekuat apa pun ia protes, tidak ada yang benar-benar mampu mengubah takdirnya. Tuhan tetap berada di tempat yang tidak terusik, bahkan mungkin sambil tersenyum kesenangan melihatnya uring-uringan, ditemani para malaikat yang enggan mengubah hasil akhir. Takdir itu tetap berliku, terjal dan curam, dan jalan buntu terus mengadang di hadapan. Bagaimana pun dia mengulang langkah, memperbaiki cara berpikir, mencoba menggunakan sudut pandang lain, hasilnya tetap sama. Jalan buntu. Bajingan! Pakin benar-benar tidak tahu lagi harus bagaimana.

"Kenapa?" Neo keluar dari kamar mandi dengan hanya berlilitkan handuk di pinggul. Pahatan dada telanjangnya yang selalu mampu menarik perhatian Pakin, hanya dipandang sekilas sama si Ikal. Pemuda itu terus berjalan mondar-mandir dengan pikiran tidak tenang.

Neo menghampiri lemari, mengambil kaus kutang berwarna putih, mengenakannya sambil terus menatap sang sahabat. Dari tumpukan lipatan baju yang rapi ia susun, Neo menarik kaus jersey basketnya. Hari ini jadwal fakultasnya melawan anak FISIP. Sebenarnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari mereka. Apalagi sejak ia bergabung di tim basket kampus, FEB tidak pernah memiliki sejarah untuk takluk di bawah kaki mereka. Hanya saja kali ini situasinya berbeda. Sejak malam ia merusak percumbuan panas Drake dan Pakin, Neo tidak pernah lagi bisa menatap Drake tanpa membawa tumpukan emosi. Mata laki-laki itu selalu mampu mengundang perkelahian. Apalagi ketika Drake sepertinya paham bahwa Pakin adalah kelemahan Neo, pria sialan itu selalu sanggup memancing emosi Neo. Ia berkali-kali hampir adu hantam setiap berjumpa dengan Drake. Dan pemuda bajingan itu akan menghadiahi emosinya dengan tawa meremehkan. Neo takut kali ini pun ia bisa kelepasan saat menjumpai Drake di lapangan.

Itu bisa berakibat buruk. Ia tidak peduli dengan keselamatannya. Ia hanya tidak ingin, kesusahannya mengelola emosi, merugikan teman-teman sefakultas. Sama seperti tahun-taun lalu, mereka pasti mengharapkan Neo membawa kembali trofi POM tahun ini. Dan ia jelas akan menjadi tersangka utama jika ia sampai kelepasan yang mengakibatkan kalahnya tim basket FEB.

"Ada sesuatu yang ingin lo katakan? Setidaknya, gue masih ada di sini jadi gue bisa dengerin." Neo melepas handuk, dan mengenakan celana training panjang. Ia bercermin, dan bayang wajah Pakin yang masih terlihat gundah, terpantul di sana. "Kin...." Neo menoleh ke belakang.

"Gue kayaknya emang setolol itu, deh, Nyo." Gumaman itu terdengar penuh keraguan. Pakin menatap Neo dengan bibir bergetar. "Lo pernah, nggak, sih, merasa bahwa lo ternyata salah jurusan selama ini?"

Neo menggeleng, menghampiri si kecil, lantas menarik jempol Pakin yang terus ia gigit. Si kawan lama terlihat mirip anak anjing kelaparan di dekat parit. Ou, kondisi Pakin dengan ketidakberdayaannya adalah pemandangan yang tidak pernah Neo suka. Ia lebih menyukai Pakin dengan ledakan emosinya. Sebab ketika Pakin melantangkan suara, pemuda itu seolah-olah dibanjiri energi. Sementara Pakin dengan keadaan lesu seperti saat ini, tanpa daya dan semangat, membuatnya terlihat terpuruk. Itu mampu menyedot energinya pula.

"Gue mencoba semaksimal mungkin mengejar ketertinggalan gue. Walaupun hasilnya nggak sesuai dengan harapan gue, setidaknya progres gue membaik. Gue udah berusaha mati-matian, melakukan berbagai macam cara, tapi tetap aja gue tolol. Emang goblok aja sih dari pabrikannya. Anjing lah. Gue benci banget sama hidup gue."

"Apa yang mendasari lo berpikiran bahwa lo tolol padahal IP lo semester kemarin 3.5? Mencapai IP segitu di jurusan seenggak pasti Sastra Indonesia, di kampus sehebat GMM, emang lo tolol sih kalau lo menganggap diri lo tolol."

"Tapi cerpen gue ditolak lagi." Mata Pakin bergetar.

Oh, perkara itu.

"Sejak dua tahun ke belakang, anjing, Nyo,ada kali tujuh puluh cerpen gue buat, tapi nggak ada satu pun dari mereka yang tembus koran. Tai, lah. Gue nggak tahu lagi apa kriteria yang koran-koran itu tetapkan supaya mereka mau menayangkan cerpen gue. Apa mereka maunya cerpen gue diketik pakai tinta emas hasil tambang dari Freeport? Ngentot emang. Pengin banget gue beli tuh perusahaan-perusahaan koran agar cerpen gue bisa mejeng di semua halaman setiap harinya. Kek... apa susahnya sih ngasih satu saja halaman untuk nayangin cerpen gue?"

Neo manggut-manggut. Berkawan lama dengan Pakin, dan mendengarkan laki-laki itu membualkan rasa sakitnya setiap kali berita tentang penolakan cerpen dia dapat, membuat Neo sedikitnya paham tentang bagaimana cerpen itu dibuat—walaupun tidak yang benar-benar paham, sih. Hanya saat Pakin memintanya membaca cerpen buatannya, Neo akan mengomentari isi cerpen itu dari kemampuan yang ia miliki. Yah, sekadar bagus, bagus banget, ini sih luar biasa bagus kata gue, ya ampun, Kin, ini bagus banget, asli, dah.

"Kali ini yang judulnya apa?"

"Perempuan Pukul Empat Pagi."

"Bukannya itu cerpen yang udah lo garap dua bulan ini?"

"Itu dia. Gue udah nulis itu dua bulan lalu. Udah gue bijikan ke Mas Force jutaan kali, udah gue minta Ohm untuk mereview miliaran kali, tapi fucklah, anjing, barusan Mas Force kembali ngomong kalau naskah gue ditolak dengan catatan. Gue muak banget, seriusan, dengan catatan-catatan itu. Terlihat mengada-ada, tapi kenyataanya sampai sekarang belum ada naskah gue yang diterbitkan. Emang nggak becus gue."

"Lo nggak nyoba minta Ohm untuk mereview naskah lo lagi? Siapa tahu dengan catatan yang diberi Mas Force, dia memiliki sudut pandang lain."

"Gue capek banget, Nyo. Capeknya sampe bikin gue berpikir, gue emang nggak layak ada di dunia sastra. Emang goblok aja guenya."

"Atau lo mau nulis cerpen baru? Gue temenin. Sejak lo turun dari Arjuno dan ketambahan insiden pemukulan kemarin, gue belum pernah lihat lo ngetik. Selama ini walaupun naskah lo dicaci-maki kayak nggak punya harga diri, lo selalu menyempatkan waktu buat nulis cerpen baru lagi."

"Nggak tahu lah gue. Rasanya nggak ada kekuatan buat nulis. Pikiran gue buntu banget kali ini. Ide sama sekali nggak bisa masuk di otak gue yang bebal. Jangankan ide, gue sanksi bisa merangkai kata lagi apa enggak."

"Lo, kan, selama ini menulis untuk menggambarkan keresahan perempuan yang menurut lo didiskriminasi oleh lingkungan yang patriarkal, kenapa lo nggak mencoba mencari bahasan baru?"

"Maksud lo?" Pakin terlihat tertarik.

"Ya, coba sekali-kali lo menulis tentang keresahan laki-laki. Sebagai seorang cowok, lo pasti paham banget, kan, bagaimana intrik-intrik yang dihadapi laki-laki? Dengan menuliskan sesuatu dari dunia yang lo kenal banget, gue pikir lo bisa mengeksplor lebih dalam. Gue tahu lo udah melakukan riset tentang perempuan, lo bahkan berkali-kali mengikuti seminar, tapi tetap saja perempuan itu sendiri adalah batasan lo. Perasaan hakiki mereka adalah sesuatu yang nggak lo jumpai di teks-teks yang lo baca selama ini. Sebab perasaan sendiri adalah fluktuasi. Ketika penulis mewawancarai perempuan, perasaannya bisa jadi berwarna merah. Tapi ketika hasil wawancara itu dituangkan dalam bentuk ketikan, sangat mungkin terjadi perasaan perempuan berubah biru. Dan apabila mereka sudah terbit dalam bentuk cetak, tidak ada yang menjamin mereka sudah berubah hitam."

Alis Pakin naik, ditatapnya Neo dengan seulas senyum miring. "Tumben-tumbenan lo pinter."

"Atau lo bisa mengambil pembahasan nirgender."

"Gue suka nih kalau lo mulai nyambung dengan dunia gue."

"Karena gue selalu berada di sana, nggak, sih?"

"Stop dangdut dulu bisa, nggak?" Pakin memutar bola mata. Si anak basket terkekeh kecil.

"Lo bisa menuliskan fenomena Jawasentris dalam bentuk kalimat-kalimat pedas tapi bisa ditangkap lucu-lucuan."

"Sarkasme maksud lo?"

"You named it. Gue nggak gitu paham. Selama ini banyak netizen di Twitter yang selalu melempar bahasan ini seperti pingpong. Menurut gue itu udah menjadi suatu keresahan. Lo nggak perlu bingung menempatkan diri, sebab dia nggak memiliki kelamin."

"Hmmm... bener juga. Gue setuju sama lo. Nanti gue diskusikan dengan Ohm. Siapa tahu dia bisa mengarahkan gue tentang aliran yang cocok untuk topik ini."

"Lo juga bisa mendiskusikan Perempuan Pukul Empat Pagi lo dengannya."

"Ah, Nyooo... capek banget gue sama sampah itu."

"Gue paham. Tapi gue sangat tahu, di kepala lo masih ada rasa penaran yang gede banget tentang apa yang salah dengan perempuan lo kali ini. Lo selalu membuang sampah-sampah itu ketika lo sudah selesai dengan mereka. Tapi untuk saat ini, gue belum melihat lo tuntas dengannya."

"Sialan.Bener banget lagi."

Senyum Neo terkembang melihat Pakin yang mulai mengambil ponselnya di atas kasur. Ia kembali melangkah mendekati cermin. Sekarang sudah pukul dua sore, pertandingan itu akan berlangsung pukul empat. Masih ada waktu buat makan siang.

"Kata Ohm ada yang aneh."

Suara Pakin terdengar setelah dalam beberapa waktu kedua roomate tersebut sibuk dengan kegiatan masing-masing, dan Neo tidak pernah mampu menyembunyikan perasaan senang apabila sang sahabat mulai cerewet dan mendengkingkan apa pun yang ada di kepala. Bagi Neo itu adalah sebuah anugerah. Menjadikan dirinya tempat sampah yang nyaman sehingga Pakin tidak perlu berpikir dua kali untuk curhat, membuat Neo merasa menjadi orang yang dibutuhkan. Dua puluh dua tahun dia hidup, ditinggal hampir tiap hari oleh orang tuanya yang merupakan anggota parlemen, membuat hidup Neo akrab dengan lengang. Selama ini kebutuhannya selalu disiapkan oleh orang tua dan para pembantu. Ia hidup hanya perlu menadahkan tangan. Jadi ketika suatu hari ada orang yang melebarkan tawa kelewat bahagia ketika dia mengulurkan tangan, tidak bisa dimungkiri, untuk pertama kali dalam hidupnya, ia merasa berguna menjadi manusia. Dan memenuhi kebutuhan Pakin entah kenapa seperti ekstasi yang membuat eksistensinya sebagai sebenar-benarnya manusia diakui.

"Apanya?" Neo menggusak kepala dengan handuk, mencoba mengeringkan rambut yang basah setelah keramas.

"Menurut dia naskah gue udah oke banget sebelum gue kirim ke media. Nggak ada lagi kesan menggurui yang sebelumnya terbaca kuat di sana. Dia bahkan sanksi kalau perempuan gue dia kirim ke media menggunakan namanya, dia pasti bakal diterima dan dicetak."

"Kenapa bisa begitu?"

"Gue juga nggak tahu. Dia belum membalas pesan gue."

"Nggak coba lo telepon?"

Pakin terlihat menggigit kukunya lagi, Neo menggeleng gemas. Ia keluar kamar, menyampirkan handuk basah di jemuran baju, kemudian balik lagi. Ia menyambar hoodie yang tergantung di balik pintu, mengenakannya sebagai layer jersey, lantas mencangklong tas dan menghampiri Pakin.

"Makan dulu, yuk. KFC mau, nggak?" Neo menurunkan jempol dari bibir Pakin, lalu menyodorkan dompet Pakin yang tersimpan di atas meja.

"Ohm masih di basecamp mapala, kali, ya?" Pakin mengekori Neo, keluar dari kamar dan berjalan menuju mobil kawannya parkir. Neo membukakan pintu mobil untuk Pakin, dan tangannya melindungi kepala Pakin supaya tidak terantuk saat pemuda itu masuk dengan mata yang masih tertuju layar ponsel. "Boleh-boleh. Seperti biasanya, ya, Nyo. Oh, tambahin burger, dong. Bm banget tiba-tiba."

"Siap." Mobil meluncur, Neo menyalakan AC di hadapan Pakin, lantas menghubungkan Youtube Musicnya dengan stereo mobil dan menyetel lagu Ndx Aka favorit si keriting akhir-akhir ini. "Ohm udah bisa lo telepon?"

"Nggak diangkat dari tadi. Anak pantek emang. Suka banget ngelempar bom untuk membuat gue penasaran, lalu ditinggal pergi gitu aja. Si babi."

Neo terkekeh kecil. Ketika mobil berhenti di setopan lampu lalu lintas, ia menoleh ke belakang dan mengambil beberapa makanan ringan yang ia beli semalam sepulang dari kampus. "Ganjel perut lo dengan ini dulu."

Pakin menerima uluran tangan dari Neo, dan memeluk bungkus snack sewaktu mulai memakannya. "Menurut lo aneh yang dimaksud Ohm apaan? Tulisan gue atau reviewnya penerbit?"

Neo tampak berpikir sejenak. "Asdos lo?"

"Ha? Maksud lo Mas Force? Kenapa lo tiba-tiba menyebut namanya? Kita sedang mendiskusikan naskah gue kalau-kalau lo lupa."

"Gue nggak lupa. Gue nggak tahu apa yang terjadi pada diri gue, hanya saja gue selalu merasa nggak nyaman ketika lo mulai konsul dengan dia. Lo tahu gue selalu cemburu saat lo mulai menginvasi pembicaraan kita tentang Ohm, tapi rasa nggak nyaman yang gue miliki kepada Force nggak seperti itu. Lebih ke...."

Lampu berubah hijau, suara klakson mobil di belakang mereka seketika terdengar bersahut-sahutan. Neo melajukan kendaraan sambil menggeleng. Manusia dan budaya antre adalah PR.

"Lebih ke?"

"Lo, sih."

"Gue nggak paham, seriusan."

Neo menarik tiga lembar tisu di atas dasbor lalu memberikannya kepada Pakin, yang langsung pemuda itu gunakan untuk mengelap mulut.

"Gue nggak bisa menjelaskan isi kepala gue. Tapi gue merasa seolah-olah lo nggak aman saja saat deket-deket sama dia. Kalau lo bertanya kenapa gue memiliki hipotesis seperti ini? Gue pun nggak tahu harus menjawab apa. Perasaan itu murni gue dapat dari alam bawah sadar gue."

"Sekarang justru gue yang mulai takut sama lo."

"Bagaimananya?"

Pakin memasukkan tiga chips kentang sekaligus. Neo yang melihat itu mencoba menoleh ke belakang untuk mengambil sekaleng soft drink di sana. Ia membuka penutup dan kembali memberikannya kepada Pakin.

Menerima pemberian Neo, lalu menenggak cola tersebut, Pakin sedikit berbisik, "Lo bukan jenis orang yang bisa menebak isi pikiran orang lain, kan?" Kalimat yang Ohm utarakan ketika mereka ngobrol di Savana 2 pukul setengah tiga pagi kala itu, kembali membuat Pakin merinding.

Kening Neo mengerut. Ia bahkan menoleh dua kali ke arah Pakin hanya untuk memastikan kalimat tersebut keluar dari mulut sahabatnya, lantas tertawa. "Apa yang membuat lo berpikir begitu? Kita sudah bareng-bareng selama enam tahun. Apakah gue memiliki indikasi bisa menebak pikiran orang?"

"Nggak ada, sih, cuma ya siapa tau saja lo bisa seperti itu tanpa gue sangka."

"Gue nggak, Kin." Neo masih tertawa, sama sekali tidak paham ke mana arah pembicaraan Pakin.

"Lalu kenapa alam bawah sadar lo mengirim intuisi kayak gitu? Nggak mungkin banget mereka bekerja tanpa trigger."

"Mungkin karena gue sama sekali nggak mengenal Force? Oke, mungkin ini terdengar berlebihan, tapi gue selalu mengenal lingkungan lo selama ini. Fourth, Winny, Satang, Ohm, Nanon, anak-anak dari teater maupun seni tari, even kating-kating lo—yeah walaupun hanya sekadar sapa, tapi setidaknya gue tahu. Itu membuat gue menempatkan mereka dalam sebuah lingkaran yang mengelilingi lo yang bakal melindungi lo tanpa lo benar-benar tahu bagaimana cara kerja mereka melindungi lo. Tapi ini Force, gue sama sekali nggak bisa menebak jalan pikirnya."

"Tapi lo bahkan udah pernah berkali-kali nemenin gue bimbingan ke dia."

"Itu dia masalahnya, Kin. Gue udah bersinggungan dengan dia, sering kali, ngobrol, bahkan pernah berdisikusi, tapi gue nggak tahu apa-apa tentang dia. Area buta yang dia ciptakan membuat gue merasa nggak nyaman. Terlebih ketika lo yang harus konsul dengannya secara langsung, perasaan was-was itu senantiasa memenuhi kepala gue. Gue nggak tahu apa yang ada di area hitam itu jadi gue nggak tahu harus menghadapinya menggunakan persiapan apa. Blind area itu membuat gue ikutan buta."

"Gue nggak menyalahkan argumen lo, tapi apa hubungannya Mas Force dengan naskah gue?"

Neo hanya mampu menggeleng, sebab ia pun tidak kuasa menarik garis simpul dari pikirannya dengan masalah yang mengadang sang kawan. Pola itu sangat tidak bisa ditebak. Meletup-letup seperti ledakan kembang api, tapi tidak pernah benar-benar mau meninggalkan isi kepala Neo. Selama ini ia ingin mengobrolkan hal tersebut dengan Pakin, tapi ia kesulitan mencipta kesempatan. Dia pun takut, Pakin akan semakin membencinya jika ia terlalu ikut campur privasinya.

Pakin berdeham, mencoba mengingat-ingat kembali bagaimana interaksinya dengan asdos selama ini. Menurutnya tidak ada yang salah dari pria asal Surabaya tersebut. Ia santun, pintar sudah pasti, pemikirannya terbuka, dan sanggup mengimbangi cara kerja otak Pakin yang terkadang melompat-lompat. Ia sudah memiliki kekasih yang menjadi guru di salah satu sekolah swasta di Surabaya. Dan dari cerita yang mengalir ketika mereka berdua, Force tipe orang yang memuja kekasihnya serupa Rama kepada Sinta. Memang terlihat begitu berlebihan, tapi mengingat bagaimana Force yang selalu menerima panggilan dari kekasihnya ketika ia harus memberi kuliah tentang cerpen kepada Pakin, atau saat Force yang tahu-tahu mengirim makanan kepada kekasih apabila di jam makan 'dia' berkabar masih berkutat dengan diktat, rasa-rasanya diksi memuja tidak terdengar lewah.

Mobil memasuki area KFC, mereka memutuskan untuk drive thru sebab takut tidak bisa mengejar waktu apabiladiadang macetnya jalanan ibukota. Neo mengestafetkan pesanan sebuket ayam goreng dan dua lapis cheeseburgers kepada Pakin, menerima bungkus snack yang Pakin sodorkan, dan melipatnya supaya tidak angin-anginan lalu kembali menaruhnya di belakang.

Pakin mulai menyantap menu makan siangnya yang sedikit terlambat, sambil menyuapi Neo dengan menu yang sama.

"Ohm belum menjawab telepon gue. Oh, sial."

"Kenapa?"

"Lo tadi baca bismillah dulu, nggak, sih, sewaktu nyebut Nanon temen gue?"

Neo memutar bola mata.

"Anak pantek telepon, nih."

"Angkat, lah. Kenapa pusing-pusing?"

"Males banget, seriusan."

"Siapa tahu ada yang penting."

"Masalahnya, ketika dia menguhubungi gue, sesuatu yang penting pasti terjadi dan gue yang akan menjadi tumbal. Dari kita turun dari Arjuno dia berkali-kali nge-wa gue, tapi males banget gue nanggepin. Dan sekarang, fuck lah, dia telepon-telepon terus."

"Apa perlu gue angkat?"

Kini giliran Pakin memutar bola mata. Neo mengambil buket ayam goreng di pangkuan Pakin, menyodorkan beberapa lembar tisu supaya bisa Pakin gunakan untuk mengelap tangannya, menurunkan volume musik yang memutar lagu Apa Kabar Mantan, lantas menyuruh pemuda itu segera mengangkat panggilan yang terus menggerung tidak sabar.

Pakin mendesah, mencoba bertaawud sebelum menggeser tombol jawab, "Serius, Non, kalau lo lagi-lagi menumbalkan kewarasan gue, gue blokir semua akun sosmed lo."

"Lo tahu, kan, Kin, gue juga secinta mati itu sama lo. Lo itu tak ubahnya Adonis yang membuat gue kewalahan menerima cinta lo. Bisa, nggak, sih, lo biasa-biasa aja menebarkan cinta lo? Gue tahu lo manusia yang terbuat dari sepuhan berlian, jadi limpahan cinta lo bisa membanjiri tanah Jawa yang penuh angkara murka. Tapi, please, lah, kasihani jiwa rapuh gue yang gersang ini. Lo kasih perhatian dikit saja, gue dangdut setengah mati, soalnya."

"Gue matiin nih telepon."

Pria di ujung salurang panggilan terpingkal-pingkal. Dan Pakin bersumpah bahwa ia sungguh-sungguh menggunakan sisa energinya untuk membenci peranakan iblis ini setengah mati.

"Apa lagi sekarang?"

Nanon berdeham, dan tidak bisa dimungkiri, bulu kuduk Pakin meremang.

"Lo tahu, kan, dua bulan lagikita memasuki bulan teater? Gue...."

"Nggak, Non! Gue nggak mau!"

"Tema yang bakal kami angkat kali ini yang benar-benar ada di dalam diri se—"

"Gue bilang nggak mau, Nanon Korapat. Lo paham bahasa manusia, nggak, sih?"

"Setiap manusia. Katakanlah ketakutan-ketakutan yang menjelma hantu-hantu seperti Dementor. Gue—"

"Gue tutup bener-bener nih telepon, Non."

"Kin, please."

"Gue nggak mau, Non. Lo tahu, lah, penampilan terakhir gue di atas panggung. Lo masih ingat, nggak, sih, bagaimana manusia-manusia itu benar-benar menjadikan gue badut yang membuahkan trauma di kepala gue? Gue nggak mau, Non."

"Itu hanya karena lo—di antara ribuan mahasiswa GMM—yang berani mengambil cerita vulgar itu. Mereka tahu lo benar, mereka tahu lo nggak bisa digugat, tapi mereka nggak sudi harus mendengar kebenaran itu dari lo. Mereka memiliki ekspektasi bahwa merekalah yang seharusnya menyuarakan hal tersebut, tapi keduluan dengan lo dan kebinalan lo kala itu."

"Itu karena gue payah, Non. Ah, elah, lo kenapa nggak pernah mau menerima konsep ini, sih? Jangan denial, plis. Gue nggak sehebat itu."

"Karena lo itu. Seharusnya yang nggak denial itu lo, Kin, bukan gue. Bukan anak-anak teater. Mereka bertujuan memadamkan api diri lo, dan mereka berhasil. Lo terpuruk... sampai sekarang, di saat lo memiliki kemampuan sehebat itu."

"Berhenti, Non, gue serius. Jangan karena selama ini gue selalu haha hihi lo jadi meragukan keseriusan gue."

Gigi Pakin bergemelatukan menahan amarah. Nanon dan teater adalah dua entitas yang kehadirannya tidak bisa diganggu gugat. Sejak kecil dunia Nanon adalah seni lakon. Ia sudah pernah tampil di panggung-panggung bahkan sampai ke luar negeri. Kecintaannya pada dunia seni peran bahkan sanggup Pakin masukkan ke dalam golongan sakit jiwa yang mampu menggerus kewarasan. Dan di fakultasnya, perkawinan antara Ohm dan Nanon jelaslah merupakan kegilaan—bahkan menjurus kemustahilan. Sebab kesintingan Ohm dalam dunia sastra, sepertinya hanya mampu disandingkan oleh kekentiran Nanon mengolah tubuh dalam mewujudkan tulisan-tulisan Ohm.

Dan Pakin tidak pernah bisa lupa bagaimana ketika kedua orang tersebut bersetubuh di atas panggung. Drama yang Nanon lakukan atas naskah garapan Ohm berjudul Kancil-Kancil di Tubuh Perempuan adalah ciptaan manusia paling sekarat yang pernah Pakin lihat. Ketika Nanon berteriak sambil tertawa sambil menangis sambil memukul-mukul meja, diiringi suara gema dari genderang yang mengetuk-ngetuk jantung, lalu setelahnya ia melempar tatapan kepada para penonton dengan mata penuh benci, lantas berbisik dengan suara menyayat yang begitu membuat ngilu, "jika Tuhan tidak sanggup menghukum kancil-kancil yang terus menggerogoti selangkanganku, maka aku yang akan menjadi Tuhan untuk diriku sendiri. Akan kusobek selangkanganku, tanganku merogoh sampai perut, dan kancil-kancil itu akan kucekik, kugigit dia sampai sekarat sambil tertawa tentunya, sebagaimana Tuhan yang tertawa-tawa melihatku sekarat," Pakin tahu bahwa ia mulai gandrung pada seni lakon tersebut.

Senyum kelewat bahagia Nanon menyambut kehadiran Pakin ketika ia mendaftar untuk bergabung dengan kelompok teater kampus yang ia punggawai beberapa hari setelahnya. Sebenarnya Pakin tidak pernah memiliki riwayat di dunia teater. Bahkan ketika praktik drama sewaktu di sekolah saja berujung musibah. Nilai C ia dapat sebab bahkan ia tidak mampu akting bersama kawannya. Ia hanya tiba-tiba sangat menyukai drama setelah melihat kegilaan Nanon, dan Pakin tidak bisa menghilangkan pentasnya malam itu dari kepala.

"Maafin gue, Kin, kalau gue terlalu jauh mengintervensi perasaan lo. Oke, sekarang gue ngomong serius." Suara Nanon membuat Pakin terjaga. Ia berdeham untuk melonggarkan kerongkongan. Sejak tahun lalu, teater adalah momok; mimpi buruk paling menyedihkan. Ia selama ini selalu mampu bertahan kendati mendapat beribu banyak ujaran kebencian, tapi ketika itu menyangkut dengan teater, Pakin sepertinya benar-benar telah kalah. Ia benar-benar telah tuntas.

"Non, bisa, nggak, sih, dengerin gue? Gue nggak mau."

"Gue tahu lo bakal langsung menolak permintaan gue, tapi kali ini coba dengerin gue. Setelah itu lo mau ngapain terserah. Gue nggak akan mengganggu-ganggu lo lagi. Bisa, Kin? Gue mohon."

Pakin menoleh ke arah Neo. Pemuda itu menepikan mobil, kali ini mematikan musik dan AC, menurunkan kaca, lalu menyodorkan sebatang rokok yang ia ambil di dalam laci. Neo membantu Pakin menyalakan rokok menggunakan macis, kemudian asap itu langsung mengepul dari mulutnya—seperti kata Winny—bak lokomotif. Oh, rasanya suara-suara bisikan di kepala Pakin sedikit mereda. Nikotin itu terlalu menguasai pertahanan Pakin. Apa yang terjadi pada tubuhnya jika dia diharuskan berpisah dengan rokok?

"Gue dengerin."

"Tema yang anak-anak usung kali ini... kematian."

"Lo sinting, ya, ngebawain tema itu? Lo bisa membuat lautan manusia yang nonton ketrigger."

"Kematian maksud kami bukan yang seperti itu. Kita bisa mendefinisikan dengan cara yang berbeda. Lihat pemerintahan dengan kebijakannya yang sekarang, omnibus law, UU Cipta Kerja, kenaikan iuran BPJS dan masih banyak lagi. Siapa yang mati di sini? Rakyat. Pihak-pihak yang nggak mendapat kebaikan dari kebijakan itu, yang ada justru kian dicekik tanpa tanggung-tanggung."

Pakin manggut-manggut, seirama dengan bibirnya yang terus-terusan memproduksi asap rokok.

"Lalu apa hubungannya dengan gue? Dan kenapa harus gue? Gue nggak memiliki urgensi dengan tema pertunjukan lo tahun ini."

"Justru bintang utamanya itu elo, Kin. Lo yang tahun lalu membuat kelabakan petinggi kampus sampai mendapatkan trauma hebat, adalah bentuk dari kematian nasib mahasiswa, pendidikan, dan keadilan. Pendidikan sejatinya adalah hak masyarakat dari semua lapisan. Tapi keparat itu justru membuat kebijkan yang membuat gedung GMM tak ubahnya tangan kapitalis yang menyedot nilai-nilai kemanusiaan. Berita baiknya, ia pun telah membunuh seniman liar yang bertumbuh dan berkembang di dalam diri lo. Lo boleh menyangkal bahwa lo nggak bisa apa-apa, bahwa lo adalah musibah, tapi undangan yang lo dapat dari Indonesia Bertutur setelah penampilan lo malam itu adalah sangkalan dari semua tuduhan lo terhadap diri lo sendiri. Lo terlalu mengerdilkan diri lo, Kin."

"Itu cuma halusinasi."

"Gue hanya ingin membuat kehidupan di atas panggung drama kita dari kematian paling tidak wajar. Dan lo jelas merupakan hidup yang dimatikan setelah mereka berusaha sekuat mungkin membunuh lo. Semua bacotan kami terhadap pemerintah terdengar muluk, tapi diri lo yang sedang terbaring mati itu adalah sebenar-benarnya kematian yang paling dekat dengan kita. Setidaknya, lingkungan GMM."

"Non, lo benar-benar salah mengartikan semua maksud gue. Gue bahkan menolak tawaran Indonesia Bertutur. Bagaimana lo yakin gue memiliki bakat? Dan...." Pakin mendecih, menatap Neo dari ekor mata, sebelum berujar, "Gue emang bener-bener udah mati. Pakin yang sekarang bukan Pakin dengan semangat naif membabi buta seperti tahun lalu. Dia udah ngga ada, Non. Dia udah dikubur."

"Gali kuburan itu, Kin. Gue temani. Ayo kita ambil mayat Pakin yang itu. GMM nggak bisa terus-terusan buta terhadap kebijakannya yang mencekik mahasiswa. Perusahaan kapitalis ini harus terus diingatkan supaya dia bisa memeluk mahasiswa yang ingin mendapatkan kesetaraan. Gue tahu, omongan gue saat ini mungkin terdengar begitu di atas awan dan terlalu mengada-ada. Yang gue ingin lo tahu adalah gue membutuhkan lo, Kin. Kami membutuhkan lo. Bisa saja kami mencari seniman lain yang akan memakai pov lo di atas pentas, tapi apa bisa kami mendapatkan ruhnya di sana?"

Pakin tahu jawabannya, dan jawabannya pun tidak. Ia menyedot kuat batang rokoknya, mengendapkan sebenar asap di dalam mulut, sebelum ia lepaskan di udara.

"Semuanya tetap sama, Non. Jawaban gue pun sama."

Nanon terdiam sebentar, sebelum sebuah dehaman Pakin dengar.

"Oke, gue terima keputusan lo siang ini. Drama itu masih tiga bulan lagi omong-omong. Kalau lo berubah pikiran, hubungi gue kapan saja. Dan sesuai dengan janji gue, gue nggak akan mengusik lo tentang teater di kemudian. Pegang omongan gue."

"Kenapa lo seyakin itu gue bakal berubah pikiran, Non?"

Diam yang menyusul pertanyaan Pakin barusan membuat perut Pakin mual. Ia merasa tidak enak. Dan sewaktu Nanon menjawab pertanyaannya, Pakin benar-benar berharap ia larung di kali Ciliwung.

"Karena lo tahu... gue tahu, Kin."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro