Bab 8

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Arjuna memang tidak memiliki trek berpasir laksana Semeru, yang apabila kau melangkah satu tapak, kau akan merosot dua tapak. Tidak juga memiliki jalur siratal mustakim yang begitu mengilukan dengkul di Gunung Raung. Tapi perjalanan menuju puncak Ogal-Agil bukanlah perjalanan yang bisa ditempuh dengan mudah. Selepas Lembah Kidang, tidak ada bonus sama sekali. Trek nanjak terus. Kadang melewati bebatuan besar, menyusuri padang rumput, dan hutan pinus sampai bukit pertama. Dari bukit ini, tempat para mahadewa menjamu Dewi Sembadra mulai terlihat. Setidaknya, di belakang dua bukit lagi.

Setelah satu jam penuh tanpa beristirahat rombongan mapala GMM mendaki, mereka berhenti sejenak di kawasan vegetasi hutan pinus. Dari sepuluh mahasiswa yang ikut, hanya lima yang summit, sisanya menunggu di area camp bersama empat porter. Kelima mahasiswa tersebut ada Fourth, Winny, Satang, dan dua anak dari fakultas teknik—Luna yang masih mengantuk dan mengeluh betisnya sakit, memutuskan tinggal di camp berteman sleeping bag hangatnya. Formasi guide tetap sama seperti ketika pertama kali mereka naik. Ohm di depan membawa keril berisi makanan dan minuman, Pakin di tengah, Neo menjadi sweeper. Sejak terhitung sejam penuh juga, sudah lima batang rokok Pakin sulut untuk membantu tubuhnya mendulang kehangatan.

Ia sudah akan menyulut batang yang keenam ketika suara Winny menginterupsi. "Buset, dah, Bang, bibir lo dah kayak lokomotif." Ia menurunkan buff, dan kepulan uap dari mulutnya terembus. "Lo bisa mati konyol karena penyakit paru kalau lo kayak gini terus."

Pakin terkekeh. Ohm menggeleng melihatnya, sementara Neo hanya menatap dalam diam. Ia mengangsurkan sebotol air mineral ketika salah satu mahasiswa teknik minta. Fokusnya terpusat penuh di pelipis Pakin yang berplester. Apa yang terjadi padanya? Dia terjatuh? Tapi kapan? Terakhir saat ia melihat Pakin ketika makan malam, pelipisnya belum terluka. Ia dengan keparnoannya terhadap Pakin sudah akan memeluk pria itu sewaktu rombongan menyantap hidangan sebelum summit. Namun hal tersebut urung ia lakukan, mengingat Pakin masih mengibarkan bendera perang kepadanya.

"Dingin banget apa, Bang?" tanya Fourth. Mengeluarkan botol mineral dari daypack dan menyodorkanke arahnya. "Minum dulu, Bang. Lo belum minum dari tadi gue lihat-lihat."

"Aman, Fourth. Lo kasih ke Winny dan Satang saja." Dan dua sahabatnya itu tanpa pikir panjang langsung menerima tawaran Fourth.

Subuh telah benar-benar terjatuh. Garis fajar keemasan terlihat melintang di balik jajaran pohon-pohon pinus. Jika mereka mendaki dengan kecepatan seperti ini, kemungkinan besar mereka bisa melihat sunrise di puncak. Tapi Ohm tadi sudah mewanti-wanti. Berjalan semampunya, jangan sampai ngoyo hanya untuk mengejar sunrise. Keindahan matahari yang menyembul di puncak gunung memang terlalu sayang untuk dilewatkan, tapi sekali lagi, dia tidak ingin melihat ada anggotanya yang terluka akibat obsesi itu. Ia ingin mereka mendaki dengan senang, tanpa target apalah-apalah. Itu saja.

"Jalan sekarang atau break lagi?" Ohm membuka suara. Pendaki lain terlihat baru saja melewati mereka. Ohm dan kawan-kawannya menyapa para pendaki tersebut. Di belakang, pantulan-pantulan cahaya headlamp terlihat, kemungkinan itu pendaki yang lebih belakang lagi. "Tenang saja, jangan ngoyo-ngoyo. Puncak nggak ke mana-mana."

"Asik dah, Bang." Si anak teknik berseru. "Lanjutlah, Bang. Masih kuat banget ini."

Dan rombongan itu kembali naik. Sebelum Pakin melangkah, tangannya ditahan oleh Neo. Pemuda berambut keriwil tersebut menoleh, menaikkan satu alis untuk bertanya apakah gerangan niat Neo menghentikannya.

Tapi sang sahabat tidak mengeluarkan sepata kata. Sebagai ganti, ia menyodorkan jempolnya kepada Pakin. Kening Pakin berkerut dalam. Pertanyaan-pertanyaan timbul di tempurung kepalanya. Ia sudah akan mengabaikan Neo dengan tingkah tidak jelasnya, ketika pemuda itu justru menyentuhkan ujung jempolnya di mulut Pakin.

"Ap—" tapi belum sempat Pakin berkata, jempol Neo tahu-tahu melesak ke dalam liang mulutnya. Otomatis Pakin mengemut, dan cairan madu meleleh di lidahnya, membasahi kerongkongannya yang lumayan kering.

Neo menarik jempol, melumerinya lagi dengan madu saset yang ia bawa, lantas kembali menyodorkannya di mulut Pakin. Pria itu menyambutnya sepenuh hati. Lidahnya membelit jempol Neo, menjilat rasa madu di daging sang kawan. Sensasinya tidak mampu Pakin bayangkan. Darah seolah-olah meledak di permukaan pipinya. Jantungnya berstereo, sementara paru-parunya seakan-akan menyempit, membuatnya kesulitan menyirkulasi udara. Hal itu Neo ulangi berkali-kali sampai madu di tangannya habis.

"Gue tahu lo sering hiking jadi pertahanan tubuh lo bisa dibilang cukup solid. Tapi lo harus tetap terhidrasi. Jangan sampai lo tumbang akibat kehausan."

Itu kalimat pertama yang Pakin dengar setelah kejadian erotis di kos-kosan Ohm. Pakin mengangguk, sibuk menenteramkan gempuran serotoninnya yang seperti mendidih. Tangan Neo menyentuh lengan Pakin, dan pemuda itu menggerung nelangsa. Sentuhan itu... sentuhan yang sangat dirindukannya. Sentuhan intim yang tubuhnya kenal betul sebagaimana ia mengenal kebiasaan-kebiasaan sang kawan. Tatapan Pakin kepada Neo mencair. Tembok tinggi yang ia bangun untuk mengadang keberadaan sang karib, halai-balai mengenaskan. Keangkuhan yang ia sombongkan tidak akan mampu melunak, kini terserak dan berderai. Meninggalkan jasadnya yang hanya tahu apa itu kangen dan apa itu ingin pulang.

Neo memanglah teman buruk. Tapi tidak ada tempat pulang sebaik-baiknya yang Neo tawarkan dalam jalinan perkawanan mereka.

"Pelipis lo kenapa?" Jari Neo menyentuh pelipis Pakin, dan Pakin semakin tidak keru-keruan di tempatnya.

"Kecelakaan kecil. Tadi waktu mau kencing, gue kepentok pohon." Pakin menjawab asal.

Satu alis Neo terangkat, seolah menyanksikan kejujuran dari kalimat Pakin. Tapi ia diam saja, menerima kalimat itu dan menyimpannya di kepala. Ia mendekat. Jarinya masih mengelus pelipis Pakin dengan sayang, lantas dalam kurun waktu yang begitu teramat singkat, Neo membubuhkan kecupan kecil di atas plester.

Ia menarik diri ketika suara Ohm mencari keberadaannya dan Pakin terdengar di depan. "Lo tahu, kan, bagaimana semberononya lo kalau nggak ada gue? Kalau lo memang nggak mau dekat-dekat dengan gue, paling nggak lo harus bisa berjanji untuk lebih berhati-hati. Gue sama sekali nggak keberatan melindungi lo dua puluh empat jam penuh, tapi lo sendiri kan yang menjauh dari gue? Jadi, tolong berhenti membuat gue khawatir dan balik ke sisi gue lagi."

Tidak bisa dimungkiri, hati Pakin menghangat mendengarnya. Neo memang sangat posesif, dan Pakin tidak tahu apa yang membuatnya demikian. Tapi kalimat-kalimat sarkas Neo yang bertujuan melindunginya itu adalah kalimat yang paling membuatnya merasa diterima.

Pakin hanya mengangguk, kembali memantik macis dan menyalakan rokoknya yang sempat mati sebelum kembali menanjak mengejar rombongan di depan.

Setelah melewati dua bukit dengan trek sempit, licin, dan berbatu, mereka akhirnya sampai di Pasar Dieng. Daerahnya cukup lapang, banyak batu-batu yang berserakan. Fourth, Winny, dan Satang berlarian di sana. Pakin melebarkan pandangan. Puncak Welirang dan Semeru tampak antap bersembahyang kepada Tuhan. Subuh benar-benar merekah. Fajar menyembul. Warnanya yang merah keemasan membakar langit, dan memantul-mantul di lautan awannya yang terlihat seperti gulungan bulu domba. Beberapa pendaki terdengar menjerit kesenangan, bergegas dengan penuh semangat menuju unduk-undukan batu yang jika terlihat dari jauh, tampak seakan-akan menggantung di puncak. Tumpukan batu itu seolah ringkih dan rentan, yang apabila disapu oleh angin bisa terjatuh ke dalam jurang yang curam. Tapi sebenarnya mereka kokoh. Kuat untuk menyangga dosa-dosa manusia berkuintal-kuintal beratnya. Ada bendera berkibar di sana—itulah tujuan pria-pria dari GMM sejak kemarin—Puncak Ogal-Agil.

Pakin bertafakur sejenak di depan makam pendaki di Pasar Dieng. Ia tidak tahu mereka siapa, tapi setiap Pakin ke sini, ia selalu menyempatkan menghormati para pendaki yang gagal menakhlukkan diri mereka sendiri tersebut. Neo berdiri di sampingnya, merangkul dan mengelus pundaknya yang liat. Ini adalah kali pertama Neo mendaki Arjuna. Ia memang sering didapuk guide oleh Ohm, tapi kehadirannya dalam pendakian bisa dihitung dengan jari sejak pertama kali mereka kuliah di GMM.

"Walaupun petakilan, sengak, urakan, nggak tahu diri, gue selalu menaruh hormat tinggi buat Ohm," kata Pakin. Matanya menatap memoriam jasad para pendaki di depannya. "Kecintaannya pada gunung membuatnya menjadi manusia yang mampu memandang manusia lain sama tinggi dengannya. Ia begitu mengedepankan keselamatan para pendaki di mana pun kita hiking. Sewaktu di Binaiya tahun lalu, dia bahkan rela ditinju habis-habisan sama kating sebab dia memutuskan menghentikan pendakian karena ada pendaki yang sakit. Itu prinsip Ohm di mana pun berada. Kewarasan adalah puncak pendakiannya. Berapa puluh juta uang yang dikeluarkan dalam pendakian, semua itu nggak akan ada artinya jika ada satu saja anggota yang sakit, dan pendakian itu akan berhenti di sana. Dan gue selalu mampu menjadi makmum yang mengamini setiap keputusannya di gunung."

Neo mengangguk. Ia paham bagaimana Pakin mendambakan pria kelahiran Solo tersebut. Selain kecerdasannya di bidang kesusastraan, hal-hal yang berhubungan dengan Ohm tidak bisa dipisahkan dengan pesona akan eksotisnya gunung. Neo tidak begitu menenal Ohm. Yang ia tahu, pemuda itu sudah didapuk menjadi ketua mapala di tahun keduanya kuliah di GMM. Kemampuannya dalam hal survival yang ia dapatkan dari beberapa bulan mengikuti pelatihan yang diadakan Wanadri sebagai anggota, tidak bisa dipandang sebelah mata.

UKM mapala GMM yang dulunya terkenal sebagai tongkrongan mahasiswa semester akhir, kini menjadi UKM pilihan utama para mahasiswa. Ia tidak hanya membuat proker tentang pendakian, ia pun membuat proker yang bekerja sama langsung dengan Wanadri. Seperti penjelajahan, pendidikan, integrasi dengan masyarakat, dan perlindungan alam. Di dalam prokernya tersebut, Ohm mengampu langsung program yang Wanadri miliki; pengembaraan di gunung, menyusuri hutan rimba yang lebat, menuruni jurang yang dalam, memanjat tebing terjal, bergulat dengan arus deras, riam dan jeram di sungai. Singkat cerita, dengan kecerdasannya yang tidak main-main, ia menjelma menjadi sosok yang dihormati baik adik tingkat, kating, maupun jajaran manajemen GMM.

"Lo tahu, kan, hal paling sulit ditaklukkan ketika kita mendaki?"

Neo masih mengelus pundak Pakin. Diam adalah jawaban yang ia berikan dari pertanyaan sang sahabat. Ada sedikit rasa tidak suka yang mencubit dada Neo ketika Pakin mengejawantahkan isi pikirannya terhadap sosok Ohm. Rasa tidak suka yang mumbul dari pertama kali Pakin mengenalkan Ohm kepada Neo. Neo pikir rasa itu hanyalah cemburu belaka yang akan menghilang dalam sekejap ketika ia bisa berkenalan dengan Oh.. Tapi rupanya Neo salah duga. Perasaan itu terus berkumpar di dalam kepalanya. Ia tidak lagi menginvasi perasaan, tapi otaknya pun dijajah semena-mena. Neo tidak tahu harus memberi nama apa terhadap rasa ini. Jika ia cemburu, ia pun tidak paham, kenapa cemburu ini tidak pernah lunas sekalipun tiga tahun ia mengenal Ohm.

"Ego kita. Dan Ohm bergulat dengan egoisme para anggota yang banyak menentang prinsipnya ketika mendaki. Gue benar-benar kagum sama dia. Di usianya yang sepantaran dengan kita, dia sudah memiliki prinsip yang nggak bisa diganggu gugat. Prinsip yang mengantarnya memiliki banyak musuh di luar sana. Katakan dia kolot, keras, atau apa pun, tapi dengan prinsipnya itu, para anggota selalu aman ketika ada dia dalam pendakian."

"Lo tahu, nggak, Kin, hal lucu apa yang terjadi pada gue?" tanya Neo, terdengar tidak nyambung dengan kalimat damba Pakin kepada kawan sefakultasnya tadi.

"Apa?"

"Dari awal lo mengenalkan Ohm ke gue, gue nggak pernah benar-benar suka mendengar lo memujanya seperti ini. Lo bisa memuja dan mendambakan orang lain, lo bahkan bisa ngentot dengan cowok yang nggak gue kenal, tapi gue nggak pernah bisa biasa-biasa saja ketika orang itu adalah Ohm. Gue nggak tahu kenapa gue bisa sampai seperti ini, tapi gue sangat terganggu dengan kehadiran dia jika kita lagi berdua."

Pakin tertawa kecil, melepas rangkulan tangan Neo. Ditatapnya karib tersebut dengan tatapan merendahkan, lantas senyum meremehkan ia keluarkan. Pakin menyulut sebatang rokok lagi yang ditahan Neo. Tapi Pakin menepis tangan kawannya.

"Itu karena lo telah dikalahkan secara mental olehnya, Nyo. Ohm nggak perlu adu kepinteran maupun kekuatan dengan lo, karena sebelum lo mengangkat peralatan perang, lo udah kalah."

"Bisa berhenti menyebut namanya, setidaknya, ketika lo lagi sama gue?" Tatapan Neo menuntut. "Gue akui, gue emang nggak bisa menyamai keberadaannya, dia terlalu berada jauh di luar jangkauan gue, tapi bolehkah gue minta rasa nyaman dan aman ketika kita lagi bersama? Sebut gue egois atau apa, gue nggak peduli, gue hanya ingin ketika kita bersama, waktu-waktu kita habis hanya karena kita bercerita tentang kita, bukan tentang orang lain."

"Lo benar-benar egois, Nyo. Nggak punya hati. Lo meminta gue berhenti memuja Ohm, tapi gue nggak pernah meminta lo berhenti ketika lo bercerita tentang Luna. Lo merasa cemburu dan memaksa gue untuk memaklumi perasaan lo, tapi lo nggak pernah merasakan bagaimana ketika lo mencoba memakai sepatu gue."

Neo terdiam. Ia menatap Pakin dalam. Sinar matahari yang mulai merangkak, menyiram gatra Pakin dan membuatnya seakan bermandikan cahaya. Rambutnya yang keriting terlihat halus dan berhamburan diacak-acak angin pukul enam pagi. Hidung bangirnya membentuk garis tegas akibat timpaan sang rawi. Bulu-bulu matanya lentik, lebat dan rapat, berbaris rapi dan melengkung keluar, saling bersinggungan tapi berbanjar teratur. Kedua matanya membulat laksana pimpong, berwarna cokelat terang seperti lelehen karamel di atas sepotong pancake. Kulit wajahnya terlihat segar, putih dengan cipratan semburat warna abang yang masih mentah. Pipinya sedikit gembil, tempat Neo suka melesakkan cubitan gemas di sana. Dan bibirnya, aduh, Tuhan, bibir Pakin adalah bukti nyata bahwa Tuhan itu ada. Tuhan dan para malaikat pasti sedang memutar tembang Yogyakarta ketika menciptakan daging kenyal berwarna merah, basah, lembab, dan terlihat begitu penuh tersebut.

Neo tak butuh belajar literasi agar mampu mendeskripsikan betapa Mark Pakin adalah indah. Bahkan indah tidak pernah bisa disebut tanpa Pakin ikut serta. Melihat Pakin maka Neo akan beriman kepada Tuhan begitu saja. Tanpa cela, tanpa syarat. Pakin mampu mengembalikan seluruh rasa letih dan keragu-raguannya menghadapi hidup, mampu mendatangkan kembali akal yang minggat entah ke mana.

Tanpa sadar ia mengangkat tangan, dan membelai lembut bibir Pakin. Tangannya menyapu daging kenyal tersebut secara hati-hati, takut apabila ia memperlakukan mereka dengan kasar, ciptaan Tuhan itu bisa hancur dalam sentuhannya.

"Gue tahu. Gue minta maaf. Gue akan lebih giat belajar menahan egois supaya lo sanggup berdampingan dengan gue dalam waktu yang lama. Gue emang nggak sehebat Ohm. Gue nggak bisa menulis cerpen. Gue nggak bisa menggubah puisi. Gue nggak tahu cara bertahan di gunung tanpa peralatan apa-apa. Lo tahu semua keburukan dan kebusukan gue, lo tahu bobroknya gue. Yang gue hanya minta adalah waktu lo. Waktu berkualitas lo. Gue ingin menua bersama lo, Kin. Menikmati permainan catur yang nggak kita kuasai. Membeli barang promo dari live Tiktok. Dan membakar roti sampai gosong sebab kita lupa karena terlalu asik ngobrolin tetangga yang baru membeli mesin pencukur rumput."

Pakin menahan napas. Tak bisa dimungkiri dadanya bergemuruh hebat. Tadi sewaktu Neo mengecup pelipisnya, Pakin seolah-olah kehilangan pijakan. Ditambah dengan kalimat-kalimat manipulatif Neo barusan, kewarasan Pakin tinggal seutas benang. Rasa cinta yang Pakin miliki telah sampai di bentuk seperti itu. Keratan sederhana, di mana hari-hari tuanya hanya dihabiskan dengan sang kawan semata. Tidak ada intervensi apa-apa. Bahkan bisik-bisik jahat itu telah mampu Pakin lupakan. Neo yang tertawa sambil menggerundelkan pinggangnya yang sakit. Neo yang kesal sebab acar timun di nasi goreng langganan mereka terasa hambar. Neo yang kesulitan mengingat tanggal berapa ulang tahun Pakin. Kecil-kecil saja, tapi sebisa mungkin Pakin menggusur pemikiran itu. Sinting! Dengan apa yang ia miliki di muka bumi, imajinasinya tersebut tidak bisa dibilang sederhana dan kecil. Mereka sungguh besar, penuh pengorbanan dan keberanian, dan Pakin jelas tidak memiliki apa-apa untuk bisa dikorbankan sebanyak mungkin guna mencicipi ujung-ujung mimpinya.

Melepas tangan Neo dari bibirnya,Pakin mengisap batang rokok, dan mengembuskannya perlahan. Berharap segala rasa yang memberati dadanya turut berceceran sebagaimana asap rokoknya.Ia melarikan pandangan. Kemungkinan bocah-bocah itu sudah berada di Ogal-Agil. Dan pesona yang ditawarkan Arjuna setelah mampu mendaki tubuhnya itu benar-benar tergusur dari kepala Pakin.

"Luna menawarkan hal gila ke gue kemarin." Pakin membuka suara, berjalan mencari batu besar untuk melesakkan bokong di sana. "Tapi yang lebih gila lagi, lo menyutuji keinginan sinting itu." Ia tertawa meremehkan.

Neo mengambil tempat di sisi Pakin. Terdiam merespons ucapan kawannya barusan.

"Lo melihat gue apa, sih, sampai hal seperti itu terlintas di kepala lo? Lo tahu gue suka sama lo, lo tahu gue mengharapkan memiliki malam-malam erotis dengan lo, tapi nggak kayak gini caranya, Nyo. Lo nyakitin gue, demi Tuhan. Apa, sih, yang ada di dalam pikiran kalian sampai ide sinting kayak gitu tercetus? Gue rasanya nggak bisa percaya ketika Luna menginginkan lo yang nggak terprediksi. Luna dan obsesinya dengan pola hubungan yang nggak memiliki keteraturan. Apa kalian nggak sadar bahwa manusia diberi kebatasan, yang membuatnya memiliki batas melompat-lompat dalam interval yang hanya bisa dijangkau?"

Neo mengembuskan napas besar, lantas mengikuti Pakin, ia menyulut sebatang rokok. Selama ini permasalahan hubungannya dengan Luna selalu ia simpan rapi dalam sebuah belanga. Ia tutup rapat supaya kancil-kancil di kebun tidak mencium aromanya. Tapi ketika ia menempatkan perempuan itu dalam sebaik-baiknya tempat dalam jalinan romansa ini, justru perempuan itu yang meluaskan permasalahannya. Bejana di atas tungkunya seolah-olah menggeripis dan retak, sehingga membuat air di dalam kualinya merembes, lalu membasahi batang-batang kayu. Berita baiknya, kancil itu bernama Pakin. Dan Luna sendirilah yang mengundang pemuda itu untuk masuk di dapur mereka.

"Lo cinta sama dia?"

"Gue nggak tahu harus menamai hubungan gue dan Luna dengan sebutan apa. Gue akui, perempuan itu cantik. Dia memberikan tempat yang aman dan nyaman buat gue. Mengobrol dengannya selalu mampu merelakskan isi kepala gue yang sering penuh. Maka dari itu, gue selalu memberikannya kejutan karena keinginan gue untuk memberikan yang terbaik kepadanya. Tapi, makin ke sini, gue semakin kewalahan dengan keinginan dia."

"Dan apa saja keinginan dia selama ini, Nyo?"

"Dari awal hubungan gue dengan Luna nggak direstui orang tuanya, Kin."

Pakin menahan napas. Tidak pernah ada dalam sepanjang umur perkawanannya dengan Neo, ia memprediksi nasib hubungan kawannya dengan sang terkasih. Di dalam haribaannya, mereka adalah sepasang kekasih yang saling menyayangi. Apalagi mereka akan menikah, bukankah tujuan mereka untuk bersatu semakin dekat?

"Bukankah kalian akan lamaran?"

"Ceritanya sangat panjang sebelum kami memutuskan untuk lamaran."

"Gue nggak keberatan mendengarnya."

Neo terlihat menimbang. Mulut yang selalu terkunci rapat itu bergerak kaku ketika ia akan mengatakan prahara dalam hubungannya. Sebisa mungkin selama ini ia tidak memperlihatkan masalah kepada siapa pun. Luna berhak mendapatkan semua privasi darinya. Perempuan itu layak dilindungi dengan rasa aman yang sama seperti yang ia berikan. Tapi kali ini justru perempuannyalah yang menyeret Pakin turut serta. Dan melibatkan Pakin tanpa tahu duduk perkara yang sebenarnya, juga bukan hal yang baik. Sahabatnya tidak tahu apa-apa. Sementara keputusan Luna yang beberapa waktu lalu seperti meludahinya tersebut, cukup mampu menghancurkan hidup sahabatnya. Jujur kali ini Neo tidak tahu harus mengambil langkah yang bagaimana. Semuanya terlihat buntu, tapi ia pun tidak ingin mengajak Pakin turut tercebur ke dalam sumur yang sama.

"Sejak hubungan gue ditentang sama orang tua Luna, gue membebaskan Luna untuk mencari laki-laki lain sebelum dia melepaskan gue. Gue nggak ingin Luna sendirian, maka dari itu sebelum dia mendapatkan laki-laki yang baik dan sempurna menurut orang tuanya, sebisa mungkin gue menemani dan membersamai Luna."

"Luna pacaran dengan laki-laki lain saat lo masih berhubungan dengan Luna?"

Neo mengangguk.

Sinting!

"Gue membebaskan Luna berhubungan dengan laki-laki mana pun asal syaratnya hanya satu. Laki-laki itu harus lebih unggul dari gue. Katakan gue bego atau apa, tapi Luna dengan kepribadian dan kecerdasannya berhak mendapatkan laki-laki yang baik dari segala aspek. Tiga tahun kami bersama, tiga tahun pula gue membiarkan Luna bergonta-ganti pasangan. Lo jangan tanyakan hati gue. Hati gue sudah mati sejak Luna mengenalkan pacarnya dan membiarkan gue melihat dia ngewe sama mereka."

"Anjing!"

"Yeah, perempuan itu benar-benar anjing betina yang sialnya, gue sayangi sampai gue nggak ada harga diri. Gue nggak pernah mempermasalahkan kegirangannya yang bergonta-ganti pasangan, sebab gue yang menyuruhnya demikian. Gue pun nggak peduli lagi dengan perasaannya. Dia cinta sama gue atau enggak, terserah. Gue hanya menginginkan tubuhnya menjadi milik gue. Gue hanya menginginkan keberadaaannya ketika isi kepala gue penuh. Lo tahu, Kin, Luna sangat mampu mengimbangi semua ketakutan dan kegilaan gue, dan gue nggak pernah merasa begitu dengan siapa pun.

"Dengan tuntutan sebagai anak anggota dewan, kesempurnaan yang selalu orang tua gue injeksikan di kepala gue, kesalahan yang selalu membuahkan ganjaran menyakitkan, prestasi yang selalu diwajibkan, Luna seperti zona aman dan nyaman yang mampu menerima semua kelemahan dan kekurangan gue. Luna ada di sana ketika orang tua gue menghukum gue. Luna menggenggam tangan gue ketika tuntutan mereka semakin gila dan nggak masuk akal. Luna menjadi penawar ketika orang-orang di lingkungan orang tua gue mencoba menjadikan gue boneka politik mereka.

"Singkat cerita, gue bisa mati dan gila kalau nggak ada kehadiran Luna di sisi gue. Kedua orang tua gue emang anggota DPR RI, tapi gue hanyalah manusia biasa, Kin. Gue hanyalah laki-laki yang memiliki kebutuhan, dan mengejutkan sekali, Luna memenuhi semua kebutuhan gue. Di lain waktu dia memanjakan gue, tapi di sisi lain, dia bakal menentang dan mengadang semua ide gila yang muncul di kepala ketika gue muak dengan semua problem hidup gue.

"Gue setergantung itu sama Luna, yang menjadikan gue akan mengabulkan semua permintaanya asal dia nggak meninggalkan gue. Ya, pada akhirnya gue sadar, Kin. Lambat laun rasa cinta gue kepada Luna berubah menjadi obsesi sinting yang membuat gue harus berpikir seperti orang sinting pula. Gue nggak ingin memiliki perasaan ini, tapi gue nggak bisa memungkiri, gue kecanduan dengan rasa yang Luna berikan kepada gue."

Hahaha!

Anjing!

Semakin mendengarkan penuturan pemujaan Neo kepada Luna, semakin Pakin merasa oksigen segar yang Arjuna berikan berubah menjadi polusi dengan tingkatan konsentrasi rata-rata tahunan terparah di dunia. Kendil neraka seolah bocor, dan lelehan lahar panasnya yang berbahan bakar para pendosa di bumi ini, lumer lalu menciprati kepala Pakin. Rasanya nyes sekali. Panas bukan main. Membuatnya pengar seketika, dan serudukan bisik-bisik jahat itu kembali menggempur relung-relung otaknya.

Pakin kira, Neo-lah yang tidak memiliki potongan puzle tentang kehidupannya. Tapi rupanya ia terlalu angkuh untuk melabeli dirinya sebagai seorang sahabat. Jangankan sebilah puzle, untuk segantar pengantar kehidupan Neo saja dia tidak punya. Bingkai puzle itu melompong. Sementara ia tidak tahu bagaimana bentuk dari kepingan-kepingannya. Apakah mereka berwarna kelabu, ataukah berwarna biru sebagaimana langit Arjuna pagi ini?

Ia bahkan tidak pernah tahu bahwa Neo memiliki problemsepelik itu dalam hidupnya. Menjadi anak yang dituntut sempurna oleh orang tuanya saja sudah terdengar mengerikan, apalagi ditambah menjadikannya boneka politik oleh lingkungan orang tuanya.

Pemuda jurusan Sastra Indonesia tersebut mengembuskan asap rokok. Pantas sekali Neo selalu mengagung-agungkan Luna, sebab, hei lihat, orang yang terlalu sombong menyebut sahabat ini, tak sekali pun mencoba mengerti hidup Neo dari kacamatanya anak Manajemen tersebut.

Pakin tahu dan sadar, dengan latar belakang yang Neo ceritakan, neraka seperti apa yang mengepungnya selama ini. Tapi selama dua puluh dua tahun hidup di dunia, tidak pernah Pakin menjumpai rasa kecewa yang luar biasa agung seperti sekarang. Ia mencoba memahami segala pedih yang Neo rasakan, tapi nihil. Kecewa itu lebih berat mengganduli hati dan jantungnya. Jangankan masalah perasaan Neo kepada Luna, hal dasar yang menyangkut hubungan Neo dengan keluarganya saja Pakin tidak tahu. Lantas, jalinan persahabatan keparat macam apa yang mereka lalui selama enam tahun sialan ini, hah?

Apakah Pakin terlalu bodoh dan miskin dan tidak memiliki masa depan dan tidak memiliki lingkungan keluarga yang kaya maka Neo tidak memercayakan cerita itu kepada Pakin? Apa Pakin terlalu naif menjadi manusia dan merasa hidupnya paling menderita di dunia dan tidak pernah merasa cukup atas semua yang menimpanya sehingga membuat Neo menutup rapat-rapat pintu rumahnya? Coba lihat Luna. Jika dibandingkan dengannya, jelas itu bukanlah perbandingan yang sebanding. Luna bahkan tidak cocok untuk disejajarkan dengan Pakin. Ia terlalu melesat ke atas langit, sementara dirinya kian terpuruk setiap harinya.

Kedua orang tuanya merupakan dokter spesialis yang memiliki rumah sakit swasta besar di Lampung. Kakak dan kakak iparnya juga berprofesi sebagai dokter. Dan sekarang perempuan ayu itu turut mengenyam pendidikan kedokteran. Pendidikan dengan jaminan hari tua yang cerah. Jika disandingkan dengannya, apa yang mau dilihat dari lulusan Sastra Indonesia? Jauh... jauh sekali rasanya. Apalagi jika mereka tahu bagaimana sosok Bunda selama ini, Neo pasti akan langsung mengeliminasinya dari daftar perkawanan.

Rasa tidak layak itu seperti lendut yang menyedot tungkai kaki Pakin untuk tenggelam ke dalam pusaran lumpur. Dalam keadaan seperti ini, jelas ia tak hanya membutuhkan rokok. Ia membutuhkan lebih. Guiness dan Vodca di Petra rasa-rasanya sedikit mampu menawar rasa rendah diri itu. Apalagi jika ditambah berhala bernama ngentot bersama orang yang tidak ia kenal. Pakin membutuhkan paket lengkap itu. Menyesatkan wajahnya di selangkangan pria, membaui aroma penis dan sperma yang bercampur kolon dan keringat, adalah suguhan dari makhluk bernama manusia yang patut Pakin acungi jempol. Sebab, bagaimana bisa manusia tempat segala angkara berkumpul itu mampu mempersembahkan dosa paling nikmat yang pernah ada? Persetan dengan ketakutan Neo apabila ia menderita penyakit kelamin. Ketika Pakin melarikan mata ke makam pendaki tadi, Pakin merasa lebih baik menderita penyakit kelamin dan mati dan terkubur sehingga perasaan tidak enak hati di dalam hatinya ini lesap sebagaimana jasad-jasad para pendaki tersebut.

"Tapi kalian akan lamaran."

"Itu murni kesalahan gue, Kin. Murni dari ketololan gue."

Pakin menatap Neo putus asa. Ia seolah-olah membiarkan dirinya larung ke dalam kadang beruk yang mampu mencabik-cabik daging tubuhnya. Seakan tidak memiliki tenaga, yang mampu Pakin lakukan untuk menuntut cerita lebih dari Neo hanyalah tatapan mata kosong, tatapan mata sakit jiwa, yang jika Ohm terjemahkan, sudah mampu memberedeli isi hatinya yang bertempiar.

"Gue pikir dengan menawarkan kursi di pemerintah kepada orang tua Luna, permasalahan restu itu rampung. Memang benar, mereka menyetujui gue karena orang tua gue bersedia memberi mereka kursi di parlemen dengan cara entah bagaimana. Tapi yang nggak bisa gue kendalikan ternyata adalah sosok kekasih gue sendiri."

Kekasih gue sendiri. Jika diibaratkan sebuah gelas, hati Pakin sekarang sudah terbanting dan pecahan kacanya berserakan. Mau diperbaiki dengan cara bagaimana saja, rasa-rasanya sungguh mustahil. Sekalipun jika dia moksa dan bertarekat, beling-beling itu tidak akan pernah bisa utuh kembali. Ia sudah hancur, berantakan, tercerai berai. Jadi apa salahnya jika dihancurkan sekalian? Apa yang bisa dipertahankan dari dirinya sendiri? Tidak ada. Masa depan jelas suram—sampai sekarang saja ia tidak mampu membuat namanya masuk ke dalam surat kabar di kolom cerpen Indonesia. Kekayaan? Kekayaan dari mana jika ia dilahirkan sebagai orang paling melarat di muka bumi? Pasangan yang sehat? Tailah. Bagaimana ia bisa mendapatkan pasangan yang sehat jika justru dirinya sendirilah yang rusak dan berpenyakitan? Keluarga yang mendukung? Ayolah. Lelucon Kiwil yang usang terdengar jauh lebih kocak daripada ini. Bagaimana ia bisa memberi lingkungan yang mendukung jika sejak dari rahim kehadirannya tidak pernah diterima?

"Tiga tahun gue membiarkan Luna memiliki hubungan yang nggak monogami, membuatnya terbiasa dengan hubungan terbuka. Setelah restu itu gue dapatkan, justru Luna yang uring-uringan dalam hubungan ini. Ia jelas-jelas berkata bahwa ia nggak akan sanggup kalau hanya ada gue dalam hidupnya. Kami berpikir berkali-kali. Gue mencoba mengenalkan Luna dengan teman-teman gue, sekaligus mengajak mereka masuk dalam hubungan kami. Tapi, nggak ada dari mereka yang mampu menarik hati Luna. Sampai perempuan itu tahu-tahu berujar di malam gue menghajar Drake bahwa dia menginginkan lo masuk ke rumah kami. Demi Tuhan, Kin, gue mati-matian menolak gagasan sinting ini. Tapi lo tahu sendiri bagaimana keras kepalanya Luna. Semakin dia dilarang, hasratnya semakin membabi buta. Gue nggak bisa menjanjikan kebahagiaan kepada lo, Kin, kalau masuk dalam hubungan gue dengan Luna, tapi sebisa mungkin gue akan menjadi apa pun yang lo inginkan selama ini. Gue harap lo mempertimbangkan keinginan Luna, sebab lo tahu sendiri, dia adalah prioritas gue saat ini. Kalau dia menginginkan lo masuk dalam hubungan kami, maka gue bisa apa selain menolak? Jadi, gue mohon, terima tawaran kami ya, Kin. Selain untuk memuaskan fantasi seksual Luna, ini juga bisa menjadi satu-satunya cara agar gue bisa mempertahankan lo dalam hidup gue. Kita bisa berbahagia sama-sama bertiga. Lo mau, ya, Kin?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro