Asing

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Musuh paling nyata seorang wanita adalah pikirannya yang sulit terbaca dan hati yang terlalu perasa."

°°°

"Mau ke mana, Ma?" tanya Anin saat baru keluar dari kamar dan mendapati ibunya berjalan menuju pintu seraya membawa sebuah payung.

"Jemput ayah kamu, kasihan kalau pulang dari masjid hujan-hujanan. Suka meriang, masuk angin," jawab Arini.

"Biar Anin aja, Ma," cetus sang putri menawarkan diri.

Arini menggeleng. "Hujannya lumayan besar, Mama takut kamu sakit lagi. Gak papa, Mama aja."

"Mending Anin aja, sekalian mau beli mie ayam Mang Darsa. Hujan-hujan gini butuh kehangatan," sahut Anin yang mau tak mau dibalas anggukan.

"Bentar, Anin ambil kerudung sama kaos kaki dulu," imbuhnya lantas kembali masuk kamar.

Dia mengambil asal kerudung yang menggantung di balik pintu, dan juga kaos kaki yang tergeletak di meja lantas memakainya dengan kecepatan kilat.

Ke mana pun Anin pergi, sepasang kaos kaki pasti akan terpasang apik menutupi auratnya. Sekalipun malam dan hanya sekadar pergi ke warung depan. Dia tak ingin auratnya dilihat oleh yang bukan mahram, sekalipun hanya sepasang kaki saja.

"Anin pamit dulu, assalamualaikum," katanya seraya menyalami punggung tangan sang ibu.

"Wa'alaikumusalam," jawab beliau.

Hujan benar-benar deras mengguyur, sekarang memang sudah memasuki musim penghujan. Hampir setiap malam juga kota Bandung diguyur hujan.

"Mang, mie ayam tiga dibungkus yah," pesan Anin saat melewati kedai mie ayam langganan yang berada di seberang jalan, sebelah masjid.

"Siap, Neng Anin."

"Nanti diambil, mau jemput Ayah dulu sebentar," kata Anin sebelum langkahnya menjauh dari tempat tersebut.

Anin duduk di teras masjid yang dilindungi kanopi, air hujan tak membasahi, hanya rasa dingin saja kini tengah menggerogoti.

Cukup lama dirinya berdiam diri, sampai akhirnya ada sepasang tangan yang menyentuh lembut bahunya. Dia pun mendongak dan mendapati senyum sumringah sang ayah.

"Lama yah?" tanya beliau.

Anin bangkit dari duduknya lantas berujar, "Lumayan."

Haruman mengacak gemas puncak kepala Anin yang tertutup khimar hitam. "Padahal gak usah dijemput, Ayah bisa pulang sendiri."

Anin mendongak untuk menatap wajah teduh sang ayah. "Kalau gak dijemput, besoknya Ayah pasti meriang karena masuk angin. Anin gak mau Ayah sakit."

Haruman hanya terkekeh pelan dibuatnya. Anak perempuan satu-satunya ini memang sangat manis dan romantis.

"Ini jaket titipan Mama, harus dipake!" titahnya tak merima bantahan.

Haruman mengangguk patuh dan segera memakainya. Beliau menjawil hidung bangir sang putri lantas berkata, "Kamu ini emang paling bisa yah, nyuruh Ayah pake jaket tapi kamu polosan hanya pake gamis aja."

Anin terkikik geli lantas berujar, "Anin udah biasa. Angin gak akan masuk, daya tahan tubuh Anin terlalu kebal!"

"Aamiin," sahut Haruman.

Keduanya berjalan berdampingan, tangan kiri Haruman memegang payung, sedangkan tangan lainnya merangkul erat bahu sang putri penuh kehangatan.

"Mampir ke Mang Darsa dulu, tadi Anin pesan mie ayam," tutur Anin yang dibalas anggukan.

Sesampainya di kedai mie ayam, Anin pun dengan segera mengambil pesanannya.

"Hatur nuhun, Mang," kata Anin seraya menyerahkan selembar uang pecahan lima puluh ribu.

"Muhun sami-sami, Neng," sahut beliau sembari menyodorkan uang kembalian.

"Gak usah, buat Mang Darsa aja," tolak Anin seperti biasanya.

Dia selalu memberi uang lebih pada saat membeli mie ayam. Porsi sambal yang diminta Anin terkadang banyak, dan dia melebihkan dalam membayar untuk mengganti cabai yang kini harganya melonjak tinggi.

"Kang," sapa seseorang pada Haruman yang setia menunggu sang putri yang masih asik berbincang di dalam dengan penjual mie ayam. Sedangkan dirinya berdiri gagah di luar.

Haruman tersenyum ramah. "Ketemu lagi di sini, lagi beli mie ayam juga?"

Sang lawan bicara mengangguk. "Perut putra saya keroncongan, maklum baru diisi air putih saja. Jadi, mau mampir sebentar untuk mengisi perut."

Haruman mengangguk singkat. "Saya juga lagi nunggu putri saya yang malah asik ngobrol sama Mang Darsa," katanya seraya menunjuk ke arah Anin.

Anin itu kelewat ramah jika sudah saling mengenal, bahkan dia pun cukup bisa berbasa-basi apalagi jika lawan bicaranya ramah dan supel. Sudah pasti dia akan berlama-lama dan membuang-buang waktunya secara percuma.

"Ayok, Yah," ajak Anin pada saat sudah berada di dekat sang ayah.

Haruman mengangguk singkat. "Kenalin ini Pak Anjar, dan yang di sampingnya Arhan, putra beliau. Kenalan baru Ayah di masjid."

Kepala yang awalnya menunduk seketika mendongak, dan matanya tak sengaja bersitatap dengan mata sipit tanpa bingkai kacamata seperti biasanya.

Gemuruh dalam dada seketika berdetak tak seirama, bahkan suhu tubuhnya pun mendadak berkeringat dingin. Padahal sedang hujan, tapi keringat bercucuran di dahi dan telapak tangannya juga mendadak basah saking gugupnya.

Anin menarik napas panjang lantas mengembuskannya secara perlahan. Berusaha sekeras tenaga untuk menormalkan detak jantung, dan bersikap biasa saja.

"Perkenalkan saya Anin," katanya seraya menangkup kedua tangan di depan dada.

Anjar dan Arhan hanya tersenyum hangat.

Lelaki itu sama sekali tak berucap sepatah kata pun. Dia masih belum percaya, kembali dipertemukan dengan Anin beserta ayahnya di tempat ini.

"Kami permisi dulu, assalamualaikum," cetus Haruman lantas berlalu dan merangkul mesra putri semata wayangnya.

"Wa'alaikumusalam," jawab keduanya.

Arhan terpaku beberapa saat, melihat punggung Anin yang kian menjauh dan kini sudah menghilang dari pandangan. Sampai tak sadar dirinya melamun cukup lama.

"Malah bengong di tengah jalan. Katanya lapar," sembur sang ayah membuyarkan lamunan Arhan.

"Astagfirullahaladzim," katanya berulang kali mengucap istighfar.

"Sebegitu terpesonanya kamu sama gadis itu, sampai ngahuleng tarik gitu!" ledek sang ayah berhasil membuat Arhan gugup bukan main.

Arhan tak menyahut dan lebih memilih untuk duduk seraya menunggu pesanan datang. Sedangkan Anjar tak henti-henti meledek dan menertawakan sang putra yang tertangkap basah gugup hanya karena seorang wanita.

"Kayaknya kamu bakal sering ngajak Bapak salat jamaah di masjid ini lagi," tutur Anjar menggoda.

"Buat apa?"

"Buat deketin calon ayah mertua sekaligus gaet putrinya. Iya, kan?"

Arhan geleng-geleng dibuatnya lantas berujar, "Tanpa usaha modus ke ayahnya juga Arhan sudah berhasil melingkarkan cincin di jari manis gadis itu."

Anjar yang tengah asik meracik mie ayam pun terhenti sejenak kala mendengar ucapan sang putra. Otaknya mendadak loading, tak mampu untuk berpikir.

"Maksud kamu?"

"Dia perempuan yang Arhan maksud. Perempuan yang akan Arhan lamar secara resmi pada orang tuanya."

Anjar tertegun tanpa kata. Dia benar-benar speechless sekaligus linglung tak percaya.

°°°

Sedangkan di lain tempat, Anin terlihat tengah gelisah sekaligus gundah. Pertemuan ke sekian kalinya dengan Arhan, tapi tidak sedikit pun terlibat perbincangan. Mereka seperti orang asing yang tidak saling mengenal.

Matanya tertuju pada sebuah cincin yang melingkar apik di jari manisnya. Dia tertegun dengan pikiran yang saling bercabang. Apakah cincin itu akan bertahan lama di sana?

Apakah cincin itu benar-benar diperuntukkan bagi dirinya?

"Kenapa bengong?" tanya sang ayah cemas.

Anin mendongak lantas menggeleng. "Gak papa."

Haruman mengangguk saja. Dia tak ingin mendesak sang putri untuk bercerita. Jika memang Anin bersedia mengadu, pasti perempuan itu akan dengan sukarela berbicara banyak hal.

"Sepertinya aku terlalu percaya diri. Dia terlihat asing dan tak mengenali. Aku terlalu pakai hati, seharusnya tidak secepat ini melingkarkan cincin itu di jari," gumamnya sangat amat pelan dan lirih.

Anin melepas cincin tersebut dan memasukkannya ke dalam saku gamis. Tapi nahas, cincin itu malah jatuh dan menggelinding entah ke mana tanpa Anin sadari.

°BERSAMBUNG°

Padalarang,
Sabtu, 15 Oktober 2022

Masih adakah yang menunggu cerita ini?🤭🙈 ... Sudah terlalu lama tidak update, semoga tidak lupa dengan alurnya😊

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro