Selayaknya Bumi dan Matahari

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Sejatinya puncak dari rasa cinta ialah keikhlasan. Mampu berdamai dengan kenyataan, dan ikut berbahagia melihat seseorang yang dicintai larut dalam kebahagiaan."

°°°

Senandika, sampai jumpa!

Sebagaimana judul yang tertera di dalam buku, diri ini selalu berdoa dan berharap agar bisa menyandingkan dirimu tepat berada satu shaf di belakangku.

Mata perempuan itu terpejam beberapa saat, menyelami rasa sakit yang kian memberontak hebat. Setiap kata yang tertulis apik di sana, membuat hati kecilnya bersorak tak terima. Dadanya sesak tiada terkira.

Anin memeluk erat buku berjudul Shaf karya Ima Madani tersebut. Rasa sakitnya kian menjadi, seperti ada hujaman belati yang menyayat hati.

Pandangan Anin jatuh pada sebuah amplop putih yang tergelak di pembaringan, tak jauh dari dirinya berada. Dia mengambil lantas membukanya dengan tangan bergetar.

Sepucuk surat dan sebuah benda kecil berbentuk lingkaran ada di dalam sana. Cincin yang hilang beberapa waktu lalu ternyata ditemukan Arhan, dan lelaki itu mengembalikannya pada Anin.

Saya menemukannya tak jauh dari tempat pertemuan kita waktu itu. Saya memungutnya dan saya kembalikan pada pemiliknya, kamu.

Jika memang Allah tak mengizinkan kita bersatu, setidaknya cincin ini telah menjadi saksi bisu.

Maaf, jika kehadiran saya hanya membuat luka di hatimu.

Air mata mencelos begitu saja, bahkan kini perempuan itu sudah terisak dibuatnya. Dia memukul-mukul dada yang terasa begitu sesak.

Arhan Azhari, lelaki yang sudah lancang merampas hatinya dari singgah sana, ternyata dia hanya sebatas singgah. Dia yang diharapkan mampu menjadi imam hidup, imam salat, dan imam penuntun menuju surga ternyata hanya memberi luka.

Semanis apa pun sebuah perpisahan, tetap saja meninggalkan sakit yang tak terbantahkan. Beginilah jika sudah lancang melabuhkan hati pada seseorang yang belum halal. Allah timpakan kesakitan dan kekecewaan dalam waktu yang bersamaan.

Jangan terlalu dekat, nanti maksiat. Jangan terlalu mengenal, nanti menyesal. Cukup berteman tanpa berlebihan. Jika memang terpikat, dengan izin Allah Ta'ala akan terikat.

Arhan memutuskan menjauh untuk menjaga, meniru bumi dan matahari. Jika memang sudah saatnya, sudah waktunya, dan atas izin-Nya mereka bisa dipersatukan dalam ikatan halal.

Dia menyadari betul kekeliruannya, karena terlalu tergesa-gesa bertindak hingga membuat wanitanya didera luka. Mulai saat ini, dirinya akan lebih berhati-hati dan mempersiapkan semuanya secara tersembunyi. Sampai waktunya tiba, dirinya datang bersama orang tua dan sanak saudara.

Kesakitan yang kini Anin rasa memang menyesakan dada, tapi jika terus dibiarkan dan terombang-ambing di tengah ketidakpastian pun, justru akan semakin membuat luka itu semakin menganga dengan lebar.

Pria yang baik akan meminta wanitanya untuk menunggu sampai dirinya mampu untuk mengetuk pintu dan meminta restu. Tapi pria yang benar-benar mencintai wanitanya, ia takkan melakukan hal itu. Ia lebih memilih mundur jika ada sosok lain yang lebih dari dirinya, dan mampu memberi kebahagiaan lebih untuk wanitanya.

Sejatinya puncak dari rasa cinta ialah keikhlasan. Mampu berdamai dengan kenyataan, dan ikut berbahagia melihat seseorang yang dicintai larut dalam kebahagiaan.

Anin melepas kalung yang melingkar indah di lehernya, lantas dia memasukkan cincin tersebut. Dia berjalan menuju cermin, kembali memasangkan kalungnya dan tersenyum samar.

"Jika memang kita berjodoh, cincin ini akan melingkar di jari manisku, bukan hanya sekadar menjadi pemanis yang melingkar apik di leherku," katanya seraya memegang cincin tersebut.

"Aku mencoba untuk mengerti dan memahami, mungkin kamu ingin menjauh untuk menjaga seperti layaknya bumi dan matahari. Semoga Allah mudahkan langkahmu, Allah perlancar segala urusanmu, dan Allah berkenan untuk mempersatukan aku dan kamu," imbuhnya sembari menatap pantulan diri di cermin.

Anin menghapus jejak-jejak air matanya dan tersenyum dengan begitu lebar. "Bersabarlah untuk sesuatu yang indah."

Jika kodrat seorang lelaki memperjuangkan, doakan dia dan jangan pernah memaksa apalagi mendesak untuk segera dihalalkan. Dan jika menunggu menjadi kodrat seorang wanita, maka lapangkan rasa sabar dalam penantiannya. Isi kesendirian dengan terus berbenah dan mendekatkan diri pada-Nya.

"Bismillah, semua akan baik-baik saja," bisiknya berusaha menguatkan diri dan juga hati.

°°°

Di lain tempat, Arhan terlihat tengah menikmati hidangan makan malam bersama dengan orang tua serta kakaknya dengan penuh keheningan. Hanya terdengar suara dentingan piring yang beradu dengan sendok sebagai backsound.

"Haidar akan pulang besok," ungkapnya setelah acara makan selesai.

"Kenapa harus pulang? Ini juga rumah kamu, Nak," sahut Asma menimpali.

"Haidar butuh waktu sendiri, Bibi," katanya seraya tersenyum samar.

"Apa kamu sudah merasa baik-baik saja?" tanya Anjar ikut larut dalam obrolan.

"Mencoba untuk baik-baik saja," ralatnya menjawab pernyataan sang ayah.

Arhan yang sedari tadi menyimak akhirnya angkat bicara, "Bang Haidar masih berduka, Arhan harap Bang Haidar bisa tetap tinggal di sini."

"Apa yang Arhan katakan benar, dengan kamu pulang ke rumah rasa kehilangan akan semakin terasa. Sebab, setiap sudut rumah menyimpan banyak kenangan dan cerita, akan lebih baik kamu di sini dulu," imbuh Asma.

"Tinggallah lebih lama di sini, Ayah lebih tenang jika kamu berada dalam pengawasan Ayah. Saat ini hanya Ayah orang tua kamu yang tersisa, izinkan Ayah untuk menebus semua waktu yang hilang bersama kamu," ungkap Anjar tulus.

"Kita berbeda, Haidar merasa asing di tempat ini," sahutnya dengan suara pelan, takut menyinggung perasaan yang lain.

Asma tersenyum lembut dan mengelus punggung tangan putra sambungnya. "Kita sama, jangan sampai hanya karena satu perbedaan membuat tali persaudaraan di antara kita terputus. Haidar akan selalu menjadi putra Ayah dan Ibu, dan tentu saja abangnya Arhan."

Haidar terperangah tak percaya, dirinya disambut dan diterima dengan tangan terbuka. Dia jadi merasa tak enak hati, karena sempat membenci dan menyalahkan ibu sambung serta ayahnya sebagai dalang dari meninggalnya sang mama.

Semua yang terjadi memang sudah menjadi takdir yang harus Haidar terima dengan lapang dada. Kematian bukan berada di tangan manusia, melainkan atas kehendak-Nya. Dia harus berusaha untuk mengikhlaskan kepergian sang mama, hidupnya harus terus berjalan, dan kini dia harus berbakti pada sang ayah.

Haidar akhirnya mengangguk sebagai tanda persetujuan.

"Alhamdulillah," ketiganya berseru penuh kelegaan.

"Pekerjaan kamu bagaimana?" tanya Anjar.

"Gak setiap hari ke kantor, karena kerjaan Haidar lebih banyak di luar. Hanya sesekali saja ke sana," jawabnya.

Menjadi seorang jurnalis memang tidak selalu terpaku duduk nyaman di kantor, bahkan waktunya lebih banyak dihabiskan di luar. Lagi pula jarak Bandung-Cimahi tidak terlalu jauh, masih bisa ditempuh dengan hitungan menit.

Anjar manggut-manggut paham.

"Mungkin besok Haidar mau pamit pulang buat ambil pakaian," tuturnya setelah meneguk kopi yang dihidangkan Asma.

"Arhan temani Abang berkemas," sahut Arhan penuh semangat.

Haidar mengangguk setuju.

Asma dan Anjar saling berpandangan, melihat kedekatan dan keakraban yang terjalin di antara Arhan dan Haidar membuat mereka senang sekaligus lega.

Semesta memang telah merenggut satu nyawa, tapi Dia menghadirkan hadiah terindah di balik setiap musibah. Akan selalu ada pelangi selepas hujan menghampiri.

Anjar pun akan perlahan memperkenalkan Haidar pada keluarga besarnya. Membuat sang putra yang sedari dulu tak dianggap keberadaannya diakui dan dianggap sebagai keluarga.

—BERSAMBUNG—

Padalarang,
Kamis, 27 Oktober 2022

Hai ... Hai ... Hai🥳
Masih adakah yang setia menunggu kelanjutannya?

Semoga saja ada🙈, aku tak sabar menyaksikan perang saudara😂✌️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro